FILSAFAT DAN KEBENARAN
Oleh :
Abdulchalid Badarudin
A. Latar Belakang
Manusia dalam kehidupannya pasti selalu dihadapkan pada permasalahan hidup baik besar maupun kecil. Untuk menghadapi permasalahan tersebut manusia selalu mencari kebenaran sejati. Terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh manusia dalam mencari kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, lalu kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Suatu kebenaran tidak hanya membutuhkan pengakuan dari salah satu orang atau sekelompok orang saja tetapi kebenaran itu memiliki takaran-takaran atau ukuran-ukuran.
Dalam perkembangan dunia filsafat terutama dalam dunia filsafat ilmu hakikat-hakikat kebenaran sangat penting dan berperan sekali di dalam memahami suatu masalah pokok. Setiap kebenaran harus diserap oleh kebenaran itu sendiri serta kepastian dari pengetahuan tersebut, dari suatu hakikat kebeneran merupakan suatu obyek yang terus dikaji oleh manusia terutama para ahli filsuf, karena hakikat kebenaran ini manusia akan mengalami pertentangan batin yakni konflik psikologis.
Menurut para ahli filsafat, kebenaran bertingkat-tingkat bahkan tingkatan tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain serta tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat judul tentang permasalahan “Filsafat dan Kebenaran”. Permasalahan inisangatlah penting terutama dalam memberikan landasan berfikir dan acuan dalam memahami hakikat kebenaran dalam konteks filsafat. Yang pada akhirnya, dengan memahami kebanaran ini bisa di implikasikan dalam kehidupannya sehari-hari terutama bagi penulis maupun bagi pembaca makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu;
1. Bagaimanakah pengertian Filsafat?
2. Apa yang melatarbelakangi munculnya filsafat?
3. Apa saja obyek penelitian filsafat?
4. Bagaimanakah kriteria berfikir filsafat?
5. Apa saja kriteria berfikir filsafat?
6. Apa saja cabang-cabang filsafat?
7. Bagaimanakah pengertian kebenaran?
8. Bagaimanakah tingkatan kebenaran?
9. Apa saja jenis-jenis kebenaran?
10. Apa saja macam-macam kebenaran?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. Menjelaskan pengertian Filsafat
2. Menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi munculnya filsafat
3. Menjelaskan obyek penelitian filsafat
4. Menjelaskan kriteria berfikir filsafat
5. Menjelaskan tentang kriteria berfikir filsafat
6. Menjelaskan tentang cabang-cabang filsafat
7. Menjelaskan tentang pengertian kebenaran
8. Menjelaskan tentang tingkatan kebenaran
9. Menjelaskan tentang jenis-jenis kebenaran
10. Menjelaskan tentang macam-macam kebenaran
PEMBAHASAN
A. PENGANTAR FILSAFAT
1. Pengertian Filsafat
Hatta (dalam Ahmad Tafsir, 1994:8) mengemukakan bahwa pengertian apa itu filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu. Nanti, bila orang telah banyak membaca dan mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Namun, untuk memberikan gambaran tentang hakikat filsafat, maka mendefinisikannya merupakan sebuah keharusan. Oleh karena itu penulis sedikit akan mengurai secara singkat definisi filsafat baik secara bahasa maupun secara istilah.
Secara bahasa Poejawiyatna (1998: 1) menyatakan bahwa kata filsafat berasal dari Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya ialah philosophia. Dalam bahasa Yunani kata philosophiamerupakan kata majemuk yang terdiri dari kata philo dan sophia. Philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijakan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan. Jadi, berdasarkan kutipan ini dapatlah diketahui bahwa dari segi bahasa, filasafat adalah keinginan yang mendalam untuk mendapatkan kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.
Selanjutnya secara istilah terdapat banyak pendapat yang dikemukakan oleh para pakar. Berikut ini dikemukakan definisi filsafat menurut beberapa pakar:
• Plato (427 sm – 347 sm), filsafat adl pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencari kebenaran yang asli).
• Aristoteles (382 sm – 322 sm), filsafat adl ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (fils adl mencari sebab dari segala benda).
• Marcus Tullius (106 sm – 43 sm), filsafat adl pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha utk mencapainya.
• Al-Farabi (w. 950 m), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
• Bertrand Russel, philosophy is the attempt to answer ultimate question critically (upaya untuk menjawab pertanyaan yang tinggi (ultimate)
• William James, Philosophy is a collective name for question which have not been answered to the satisfaction of all that have asked them (kumpulan pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan)
• Poejawijatna, Filsafat adl sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka (Ahmad Tafsir, 1994: 9).
Dari beberapa definisi tersebut menujukkan bahwa para tokoh bersilang pendapat dalam memberikan definisi. Perbedaan definisi tersebut menurut Abu Bakar Atjeh (1999: 9) disebabkan oleh perbedaan keyakinan hidupyang dianut mereka. Perbedaan itu juga muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan memisahkan diri dari filsafat.
2. Latar Belakang Munculnya Filsafat
Beerling (dalam Ahmad Tafsir, 1994: 12) mengatakan bahwa orang yang mula-mula berfilsafat adalah orang Yunani yang menjelaskan bahwa timbulnya filsafat karena ketakjuban. Ketakjuban menyaksikan keindahan dan kerahasiaan alam semesta ini lantas menimbulkan keinginan mengetahuinya. Plato mengatakan bahwa filsafat dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub ini akan lahir dalam bentuk bertanya. Pertanyaan itu memerlukan jawaban. Bila pemikir memerlukan jawaban, jawaban itu dipertanyakan lagi karena ia selalu sangsi pada kebenaran yang ditemukannya. Patrick (Mulder, 1995: 44) mengatakan, manakala keheranan mereka menjadi serius dan penyelidikan menjadi sitematis, mereka menjadi filosof.
Akan tetapi, hendaknya perlu segera dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat bukanlah pertanyaan sembarangan. Pertanyaan yang dangkal seperti “apa rasa gula” dapat dijawab oleh lidah. Pertanyaan yang demikian tidak akan menimbulkan filsafat. Riset dapat menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan yang dalam, yang ultimate, yang bobotnya berat itulah yang akan menimbulkan filsafat bila jawabannya diberikan secara serius.
Pada zaman modern ini penyebab timbulnya pertanyaan adalah kesangsian. Kesangsian keadaan antara percaya dan tidak percaya. Bila manusia menghadapi suatu pernyataan, ia mungkin percaya, dan ia mungkin tidak tidak percaya. Akan tetapi, bila ia percaya tidak, dan tidak percaya tidak, pikirannya akan bekerja, bekerja agar sampai pada percaya atau tidak tidak percaya. Bagi filosof pertanyaan itu menggelisahkan, merintangi, menganggu. Pertanyaan yang membentur-bentur dalam fikiran itu.
3. Macam-macam Pengetahuan Manusia
Upaya untuk memahami filsafat salah satunya dengan cara memahami macam-macam pengetahuan manusia. Filsafat merupakan salah satu jenis pengetahuan manusia, yaitu pengetahuan filsafat. Untuk menjelaskan macam-macam pengetahuan tersebut, penulis memberikan gambaran sebagaimana uraian berikut.
Seseorang ingin mengetahui jika jeruk ditanam, apa buahnya. Ia menanam bibit jeruk. Ia dapat melihat buahnya adalah jeruk. Jadi, tahulah dia bahwa jeruk pasti berbuah jeruk. Pada dasarnya pengetahuan jenis inilah yang disebut pengetahuan sains. Sebenarnya pengetahuan sains tidaklah sesederhana itu. Pengetahuan sains harus berdasarkan logika juga. Pengetahuan sains ialah pengetahuan yang logis dan didukung oleh bukti empiris. Dalam bentuknya yang telah baku, pengetahuan sains itu mempunyai paradigma dan metode tertentu. Paradigmanya disebut paradigma positivis, dan metodenya disebut metode ilmiah. Formula utama dalam pengetahuan sains adalah buktikan bahwa itu logis dan tunjukkan bukti empirisnya.
Selanjutnya jika seseorang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang jeruk tersebut: Mengapa jeruk selalu berbuah jeruk? Untuk menjawab pertanyaan ini penelitian tidak dapat lagi dilakukan pada obyek yang empiris. Akan tetapi kita ingin tahu jawabannya. Bila difikir secara serius, muncul jawaban: jeruk selalu berbuah jeruk karena ada aturan atau hukum yang mengatur agar jeruk berbuah jeruk. Para ahli menyebut hukum itu gene. Hukum itu tidak kelihatan, tidak empiris, tetapi akal mengatakan hukum itu ada. Ini adalah pengetahuan filsafat. Kebenarannya hanya dipertanggungjawabkan secara logis, tidak empiris. Paradigmanya logis, metodenya fikir. Pertanyaan filsafat masih dapat maju selangkah lagi: siapa yang membuat hukum itu tadi? Pikiran masih dapat menjawab, yang membuat hukum itu pasti mahapintar, orang menyebutnya Tuhan. Pengetahuan ini masih pengetahuan filsafat.
Segelitir orang masih ingin mengetahui siapa Tuhan itu, bahkan ingin melihatnya. Bagian ini tidak dapat lagi dijangkau dengan akal logis, apalagi dengan indera empiris. Bagian ini masih mungkin diketahui dengan menggunakan rasa. Bergson mengatakan rasa itu intuisi; Kant mengatakan rasa itu moral; orang-orang sufimenyebutnya dzauq, qalb. Pengetahuan ini disebut pengetahuan mistik, yaitu pengetahuan yang yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, tidak juga secara logis. Sebagian orang mengatakan pengetahuan ini dengan nama pengetahuan irfan atau makrifat. Metode yang digunakan dalam pengetahuan ini adalah metode riyadlah.
Secara ringkas macam-macam pengetahuan tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Macam Pengetahuan Manusia
Macam Pengetahuan | Obyek | Paradigma | Metode | Ukuran |
Sains | Empiris | Positivis | Sains | Logis dan Bukti Empiris |
Filsafat | Abstrak Logis | Logis | Rasio | Logis |
Mistik | Anstrak Supralogis | Mistis | Riyadlah | Rasa |
(Ahmad Tafsir, 1994: 18)
4. Obyek Penelitian Filsafat
Isi filsafat ditentukan oleh obyek apa yang difikirkan. Obyek yang difikirkan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Obyek yang diselidiki oleh filsafat ini disebut dengan obyek materia, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Tentang obyek materia ini banyak yang sama dengan obyek materia sains. Bedanya ialah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki obyek materia empiris; filsafat menyelidiki obyek yang abstrak. Kedua, ada obyek materia filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu obyek yang selama-lamanya tidak empiris.
Selain obyek materia, ada lagi obyek forma, yaitusifat penyelidikan. Obyek forma filsafat adalah peyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang obyek yang tidak empiris. Penyelidikan sains tidak mendalam karena ia hanya ingin mengetahui sampai batas obyek itu dapat diteliti secara empiris (Ahmad Tafsir, 1994: 19).
5. Kriteria Berfikir Filsafat
Dari uraian diatas, maka penulis dapat mempertegas kembali tentang karakteristik filsafat. Dalam konteks itu penulis lebih cenderung kepada pendapat Sidi Gazalba yang mengartikan filsafat sebagai berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala yang ada. Dari pengertian ini, ada lima unsur yang mendasari sebuah pemikiran filsafat, sebagai berikut:
a. Filsafat itu sebuah ilmu pengetahuan yang mengandalkan penggunaan akal (rasio) sebagai sumbernya. Akal digunakan sebagai sumber filsafat karena filsafat merupakan kegiatan dan proses berpikir.
b. Tujuan filsafat adalah mencari kebenaran atau hakikat segala sesuatu yang ada.
c. Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang ada mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. Ada yang tampak adalah dunia empiris, dan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian pakar filsafat membagi objek material filsafat dalam tiga bagian, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, untuk dapat diketahui hakikatnya.
d. Metode yang digunakan dalam berfikir filsafat adalah mendalam, sistematik, radikal dan universal. Mendalam artinya bukan hanya sekedar berfikir, tetapi berfikir sungguh-sungguh dan tidak berhenti sebelum yang dipikirkan dapat dipecahkan. Sistematik artinya menggunakan aturan-aturan tertentu yang secara khusus digunakan dalam logika. Radikal berarti menukik hingga intinya atau akar persoalannya. Universal maksudnya adalah bahwa filsafat tidak dikhususkan untuk kelompok atau wilayah tertentu, tetapi menembus batas-batas etnis, geografis, cultural dan social.
e. Oleh karena filsafat itu menggunakan akal sebagai sumbernya, maka kebenaran yang dihasilkannya dapat diukur melalui kelogisannya. Paradigma ini dapat diterima semua kalangan selama argumentasi yang dikemukakannya benar. Kebenaran ini akan dibantah oleh kebenaran lain yang mempunyai argumentasi yang logis pula. Jadi, kebenaran filsafat bersifat tentative dan relative.
Dengan kelima unsur di atas, tampak bahwa filsafat merupakan sebuah ilmu pengetahuan, karena memenuhi beberapa syarat ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, banyak ahli yang menyebut filsafat sebagai ilmu (science). Dalam kaitan ini, Saifuddin Anshari bahkan menyebut filsafat sebagai “ilmu istimewa”, karena filsafat mencoba menjawab persoalan-persoalan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa (Toto Suharto, 2011: 17).
6. Cabang-Cabang Filsafat
Tujuan filsafat adalah menemukan kebenaranyang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi atas: ontologi, epistemologi, dan akksiologi.
Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah hakikat di balik alam nyata ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi pancaindra kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme), ataukah terdiri dari unsur yang banyak (pluralisme). (Jalaluddin, 2012: 7). Dalam bahasa Prof. Belferik Manullang, filsafat ontologi berusaha membawa manusia untuk berpikir dengan benar (think rightly) tentang sederet pertanyaan seperti: objek apa yang ditelaah; bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut; bagaimana korelasi antara objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang menghasilkan ilmu. Ontologi adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidangnya.http://uge-karyanto.blogspot.com/2014/03/filsafat-dan-kebenaran1_2352.html-diakses tgl 27-01-2015.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia (Jalaluddin, 1988: 9).
Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan kebenaran. (Muhammad Noor Syam (dalam Jalaluddin, 1986: 32).
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan apakah yang baik atau bagus itu. Dalam definisi lain, aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia (Muhammad Noor Syam, 1986: 32).
Aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan; bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral; bagaimana penentuan objek dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral; bagaimana korelasi antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral. Aksiologi berusaha membawa manusia hidup dengan benar (act rightly) dalam memaknai kebenaran ilmu pengetahuan.
Demikianlah, filsafat adalah jalan yang dapat ditempuh oleh manusia dalam mendekati kebenaran. Filsafat memiliki tugas yang berat untuk mengharmoniskan segala fenomena yang menjadi tidak teratur dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari sikap dan cara memandang kehidupan yang terlalu bersandar kepada common sense manusia. Filsafat berusaha membawa kita untuk secara kritis terus mempertanyakan segala fenomena kehidupan, termasuk mempertanyakan diri kita sendiri, karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri, ”Berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah kita ketahui”( Jujun S. Suriasumantri, 2007: 20).
B. KEBENARAN DALAM FILSAFAT
1. Pengertian Kebenaran
Kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Jadi kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta actual atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi.
2. Tingkatan Kebenaran
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Adapun tingkatan kebenaran berdasarkan scope potensi subjeknya, maka susunan tingkatan kebenaran itu dibagi menjadi:
a. Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
b. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio.
c. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
d. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan(Bakhtiar Amsal, 2004: 111).
3. Macam-macam kebenaran
a. Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Secara etimologis, ilmu berasal dari bahasa Arab, ilmu atau ilmun yang berarti pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara teratur sehingga dapat menjelaskan sesuatu secara ilmiah. Ilmu juga berarti pengetahuan atau kepandaian. Selain itu, kita juga dapat menyelidiki definisi ilmu dari pendapat beberapa tokoh.
Menurut Ralph Ross, dan Ernest Van Den Haag, ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak. Sedangkan Karl Person mendiskripsikan ilmu sebagai lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. Dari bidang Antropologi, Ashley Montagu (Guru Besar Antropologi, Rutgers University) menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, kita dapat menarik kesimpulan tentang ciri-ciri sains, yaitu, obyektif-faktual, rasional-logik, organized skeptism, milik komunal, memiliki metode dan teori, memiliki kemampuan meramal, beretika, dan value free.
b. Kebenaran Agama
Menurut Poedjawijatna, dalam pandangan filsafat, agama merupakan keseluruhan pendapat tentang Tuhan, dunia, hidup dan mati, tingkah laku serta baik-buruknya yang berlandaskan wahyu. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wahyu adalah:
“...penerangan Tuhan secara istimewa kepada manusia, entah secara langsung, entah secara tidak langsung (misalnya melalui wakil atau utusan Tuhan).
Dengan demikian, kebenaran dalam Agama ditentukan oleh Tuhan yang memberikan kebenaran melalui wahyu yang diturunkan secara langsung maupun melalui wakil atau utusan Tuhan. Kebenaran tidak diperoleh dengan usaha akal budi, melainkan karena Firman Tuhan. Inilah yang menyebabkan bahwa agama sering disebut juga kepercayaan. Ciri yang lain, kebenaran agama tersebut diterima oleh terutama para penganut agamanya (orang yang percaya).
Dalam perkembangannya, agama pun juga diilmukan. Terdapat usaha untuk mencari kebenaran mana yang diwahyukan dan apa maksud wahyu tersebut dengan menggunakan metode tertentu. Setelah kebenaran tersebut disusun, maka dibuatlah sebuah sistem tertentu.
Maka, dalam agama pun terdapat obyektifitas, metodos, dan sistem. Semua itu harus didukung dengan bukti. Hanya saja, landasan pembuktiannya bukanlah pengalaman (layaknya data empiris dalam ilmu), bukan melalui akal budi semata (layaknya filsafat), melainkan wahyu. Jika sesuatu diwahyukan, maka itu benar. Ketika orang dengan akal budinya mencoba merenungkan kebenaran dalam agamanya berdasarkan wahyu, inilah yang disebut Theologia.
c. Kebenaran Budaya
Istilah kebudayaan didefinisikan pertama kali oleh E.B. Taylor pada tahun 1871 dalam bukunya Primitive Culture di London. Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Budaya dipelihara masyarakat karena fungsinya sebagai pedoman untuk berperilaku dalam masyarakat tertentu. Menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat penyelamat (survival kit) kemanusiaan di muka bumi. Hal itu didasarkan pada ketidakmampuan manusia untuk bertindak instingtif. Oleh karena itu, manusia dibekali dengan kemampuan lain, yaitu kemampuan untuk belajar, berkomunikasi, dan menguasai objek-objek fisik.
Dengan kata lain, akal budi menjadi sumber dari budaya yang dikembangkan oleh manusia untuk bertahan hidup. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu: sebuah Pengantar Populer menyatakan bahwa akal budi manusia mendorong untuk mengembangkan hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberikan penilaian terhadap objek dan kejadian. Pilihan nilai tersebut yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
d. Kebenaran Filsafat atau Rasional
Ada empat teori kebenaran menurut filsafat, yaitu teori Korespondensi, Teori Koherensi, Teori Pragmatisme, dan Teori Kebenaran Illahiah atau agama. Ketiga teori pertama mempunyai perbedaan paradigma. Teori koherensi mendasarkan diri pada kebenaran rasio, teori korespondensi pada kebenaran faktual, dan teori pragmatisme fungsional pada fungsi dan kegunaan kebenaran itu sendiri. Tetapi ketiganya memiliki persamaan. Yaitu pertama, seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal maupun material (deduktif dan induktif), kedua melibatkan bahasa untuk menguji kebenaran itu, dan ketiga menggunakan pengalaman untuk mengetahui kebenaran itu.
1) Teori Korenpondensi
Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aritoteles (384-322 S.M.) dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut: “VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.
Kemudian teori korespondensi ini dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970). Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realisme dan materialisme. Teori ini berprinsip pada pemikiran Induksi, yaitu pengambilan kesimpulan dari Umum ke Khusus. Kebebaran diperoleh setelah diadakan pengamatan dan pembuktian (Observasi dan Verifikasi).
Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun, 1990:237).
2) Teori Koherensi
Teori koherensi (The Coherence Theory of Truth) menganggap suatu pernyataan benar bila didalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas petimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah, truth is a systematic coherence, dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C, maka A = C.
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini, yang menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus-rasionalis dan idealis. Teori ini sudah ada sejak pra-Socrates, kemudian dikembangkan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (justifikasi) benar dan tahan uji (testable). Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3) Teori Pragmatis
Teori selanjutnya adalah teori pragmatisme tentang kebenaran. Pragmatisme berasal dari bahasa yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan.
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis (Hadiwijono, 1980:130) dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan (Jujun, 1990:59), demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis (Titus, 1987:245).
4. Jenis-jenis Kebenaran
Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran. Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berfikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai di situ saja. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah epistemologi terhadap “kebenaran” membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran yaitu:
a. Kebenaran epistemologis. Adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia.
b. Kebenaran ontologis. Adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
c. Kebenaran semantis. Adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa (Bakhtiar Amsal, 2004: 111).
5. Cara menemukan kebenaran
Cara-cara untuk menemukan kebenaran diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk., (1990), sebagai berikut:
a. Penemuan secara kebetulan.
b. Penemuan ‘Coba dan Ralat’ (Trial and Error).
c. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan
d. Penemuan secara spekulatif
e. Penemuan kebenaran lewat cara berpikir kritis dan rasional
f. Penemuan kebenaran melalui penelitian ilmiah
C. Hubungan antara filsafat dan kebenaran
Dalam kajian falsafah dikenal berbagai macam teori kebenaran. Karena tujuan utama berfilsafat adalah mencari kebenaran yang ditunjukan dengan upaya terus-menerus untuk mencari kebenaran sejati maka dalam wacana filsafat ada berbagai macam teori kebenaran yang saling melengkapi satu sama lain. Kebenaran kefilsafatan harus memenuhi empat aspek, yakni objek materi, forma, metode dan system yang terkait dengan kebenaran.
1. Objek materi
Dimana filsafat mempelajari segala sesuatu yang ada, sehingga dapat kita pahami bahwa kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat umum universal, yang berarti tidak terkait dengan jenis-jenis objek tertentu. Misalnya objek manusia, maka tidak dibatasi pada manusia etnis, golongan dan zaman tertentu.
2. Objek forma
Kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat metafisika, yakni meliputi ruang lingkup mulai dari konkret-khusus sampai kepada abstrak universal. Contohnya adalah macam-macam segitiga yang sebenarnya memiliki sifat yang sama, yaitu tiga garis lurus yang saling berpotongan sehingga membentuk tiga sudut yang kesemuanya berjumlah 180 derajat.. itulah acuan kebenaran filsafat yang abstrak-metafisika.
3. Metode
Kefilsafatan terarah pada pencapaian pengetahuan esensial atas setiap hal dan pengetahuan eksistensial daripada segala sesuatu dalam keterikatan yang utuh (kesatuan).
4. System
Kebenaran bersifat dialektis, yakni senantiasa terarah kepada keterbukaan bagi masuknya ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru yang semakin memperjelas kebenaran.
SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat dperoleh kesimpulan bahwa:
1. Filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala yang ada.
2. Filsafat merupakan sebuah ilmu pengetahuan, karena memenuhi beberapa syarat ilmu pengetahuan.
3. Proses pencarian kebenaran mengantarkan kita kepada dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
4. Kriteria berfilsafat adalah holistik, mendasar, dan spekulatif untuk sampai kepada kebenaran yang esensial.
6. Kebenaran adalah suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi.
7. Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda.
8. Macam-macam kebenaran ada empat yaitu kebenaran ilmu pengetahuan, kebenaran agama, kebenaran budaya, dan kebenaran filsafat atau rasional.
9. Telaah epistemologi terhadap “kebenaran” membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran epistemologi, kebenaran ontologi dan kebenaran semantik.
10. Ada empat teori kebenaran menurut filsafat yaitu teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatism dan kebenaran relegius (agama sebagai teori kebenaran).
DAFTAR PUSTAKA
Atjeh, Abu Bakar, 1997, Sejarah Filsafat Islam, Semarang: CV. Ramadhani
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr., 1994, Filsafat Umum, (Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya)
Bakhtiar, Amsal, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, 1984,Persoalan-Persoalan Filsafat, terjemahan H.M. Rasjidi dari Living Issues in Philosophy, ed. VII, (Jakarta: Bulan Bintang)
Jujun S. Suriasumantri, 2007,Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, cet. XX (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan)
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Fautanu, Idzam. Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi. Jakarta:Referensi. 2012.
Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.
Liza. Pengantar Filsafat Ilmu. Cirebon: t.p, t.t.
Verhaak & Imam, Haryono. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1995.
Muhammad Noor Syam (1986: 32); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid.
Prof. Dr. H. Jalaluddin dan Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed., Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, ed. 1—2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) h. 77.
Salam (1988: 9); lihat dalam Jalaluddin dan Idi, ibid.
Suharto, Toto; Filsafat Pendidikan Islam ( Jogjakarta; AR-Ruz Media, 2011), hlm 16-21.
http://uge-karyanto.blogspot.com/2014/03/filsafat-dan-kebenaran1_2352.html----diakses tgl 27-01-2015
Martinus, Surawan. Kamus Kata Serapan. 2008. p. 242
Zamroni, Mohammad. Filsafat Komunikasi. 2009. p. 207-208
Poedjawijatna, I.R. Tahu dan Pengetahuan: “Pengantar ke Ilmu dan Filsafat”. 1982. P. 69
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: “Sebuah Pengantar Populer”. 1998. p.261
Tidak ada komentar:
Posting Komentar