Rabu, 06 April 2016

IMPLEMENTASI SUPERVISI KLINIS KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KINERJA GURU PAI DI SMPN 2 DAN SMPN 3 WABULA KABUPATEN BUTON (Studi Multi Situs di Kecamatan Wabula Kabupaten Buton)







IMPLEMENTASI SUPERVISI KLINIS KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KINERJA GURU PAI DI SMPN 2 DAN SMPN 3 WABULA KABUPATEN BUTON

(Studi Multi Situs di Kecamatan Wabula Kabupaten Buton)
 
BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Konteks Penelitian
Pendidikan di Indonesia saat ini sedang mengalami tantangan yang cukup berat, dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang kehidupan manusia. Peran lembaga pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis, dalam meningatkan mutu pendidikan di Indonesia, dan harus didukung oleh seluruh stakholders terkait yang terorganisir secara rapi.
Kepala sekolah merupakan elemen penting dalam mengembangkan mutu pendidikan, maju dan tidaknya sekolah tergantung pada perannya dalam mengambil inisiatif dan menjalangkan berbagai program di sekolah. Menurut Munir (2008:6). Kepala sekolah sebagai penentu kebijakan harus memfungsikan perannya secara maksimal dan mampu memimpin sekolah dengan bijak dan terarah, serta mengarah pada pencapaian tujuan yang optimal pula, demi terwujudnya mutu pendidikan yang lebih baik.
Kepala sekolah mempunyai wewenang dan kekuasaan, serta kompetensi untuk mengatur dan mengembangkan bawahannya secara professional. Dengan demikian kepala sekolah harus memiliki kompetensi professional yaitu: (1) kepala sekolah sebagai pemimpin, (2) kepala sekolah sebagai manajer, (3) kepala sekolah sebagai supervisor, (4) kepala sekolah sebagai pendidik.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini peneliti dapat menggambarkan dan menceritakan mengenai keadaan kepala sekolah dan guru Pendidikan Agama Islam sebagai ujung tombak dalam proses belajar mengajar, untuk menjadikan manusia yang berahlak mulia, dan mengembangkan mutu Pendidikan Agama Islam pada lembaga pendidikan, dalam hal ini juga tidak terlepas dari perang kepala sekolah dan guru Pendidikan Agama Islam yang merupakan elemen penting dalam mengembangkan mutu Pendidikan Agama Islam pada lembaga pendidikan, maju dan tidaknya pembelajaran pendidikan Agama Islam di sekolah tergantung perannya dalam mengambil insiatif dan menjalankan berbagai program di sekolah. Menurut Munir (2008 : 6) Kepala sekolah sebagai penentu kebijakan harus memfusikan perannya secara maksimal dan mampu memimpin sekolah dengan bijak dan terarah, serta mengarah kepada pencapaian tujuan yang optimal demi terwujudnya mutu pendidikan yang lebih baik, dalam hal ini kepala sekolah mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk mengatur dan maju mundurnya suatu lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Sementara seorang guru harus memiliki kompeteni sosial, sebab bagaimanapun juga ketika proses pendidikan berlangsung dampaknya akan dirasakan bukan saja oleh siswa itu sendiri, melainkan juga masyarakat yang menerima lulusannya (Usman:2001).
Setelah diamati dan dihayati panjang lebar, disamping memiliki sandaran teori juga diperkuat dengan sandaran observasi terdahulu. Pada uraian yang menjadi fokus permasalahn adalah terjadinya ketidak jelasan  disana-sini, artinya ada guru  selalu menyuruh yang tidak sesuai teori, atau mencatat sampai selesai jam pelajaran, ada guru menyuruh siswa diluar jam sekolah untuk kepentingan pribadinya, bahkan ada guru umum yang mengajar Pendidikan Agama Islam yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, sebab saat ini banyak dijumpai guru yang salah tempat, ia memiliki ijazah kesarjanaan bidang ilmu tertentu, tetapi terpaksa harus  mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kesarjanaannya, hal ini menjadi salah satu penyebab gagalnya pemahaman konsep materi kepada siswa. Dahrin (2000) mengemukakan bahwa banyak di antara guru yang tidak berkualitas dan salah dalam menyampaikan materi ajar sehingga mereka tidak/kurang mampu menyajikan dan melaksanakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Keadaan inilah yang merupakan salah satu pertimbangan Pemerintah (Depdiknas) untuk menyelenggarakan sertifikasi guru, agar kompetensi yang dimiliki guru benar-benar dapat diukur. Berdasarkan kasus diatas, maka peneliti berkeinginan melakukan penelitian, bagaimanakah implementasi supervisi klinis yang dilakukan oleh kepala sekolah berdasarkan kasus yang ada seperti di ungkapkan diatas, selanjutnya disebut supervisi klinis, baik di Sekolah menengah pertama negeri 2 Wabula maupun di Sekolah menengah pertama negeri 3 Wabula, sehingga fokus penelitian adalah Implementasi Supervisi klinis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah menengah pertama negeri 2 Wabula dan Sekolah menengah pertama negeri 3 Wabula.
Supervisi klinik mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan oleh Morris L. Cogan, Robert Goldammer dan Richart Weller di Universitas Harvard pada akhir tahun lima puluhan dan awal dasa warsa enam puluhan (Krajewski, 1982:63).  Supervisi klinis merupakan satu strategi yang sangat berguna dalam supervisi pembelajaran, sebagai peningkatan kemampuan profesional guru. Ada dua asumsi yang mendasari praktik supervisi klinis. Pertama, pembelajaran merupakan aktivitas yang sangat kompleks yang memerlukan pengamatan dan analisis secara hati-hati. Melalui pengamatan dan analisis ini, seorang supervisor pendidikan akan dengan mudah mengembangkan kemampuan guru dalam mengelolah proses pembelajaran. Kedua, guru-guru yang profesionalismenya ingin dikembangkan lebih menghendaki cara kesejawatan dari pada cara yang otoriter.
Acheson dan Gall menyatakan bahwa supervisi klinis adalah proses membinaan guru untuk memperkecil jurang antara perilaku mengajar nyata dengan perilaku mengajar seharusnya yang ideal. Tujuan supervisi klinis adalah memperbaiki perilaku guru dalam proses belajar mengajar, terutama yang kronis secara aspek demi aspek dengan intensif, hingga mereka dapat mengajar dengan baik (Pidarta, 2002:249). Hal ini berarti perilaku yang tidak kronis bisa diperbaiki dengan teknik supervisi yang lain.  Dalam tulisan ini penulis membahas tentang model supervisi klinis dan efektivitasnya dalam supervisi pendidikan.
Ada dua asumsi yang mendasari praktek supervisi klinis, yaitu : 1) pengajaran merupakan aktivitas yang sangat komplek yang memerlukan pengamatan dan analisis secara hati-hati. Melalui pengamatan dan analisis ini supervisor pengajaran akan mudah mengembangkan kemajuan guru mengelola proses belajar mengajar, dan 2) guru-guru merupakan profesi dan profesionalnya ingin dikembangkan lebih menghendaki cara yang kelompok dari pada yang autorium. Supervisi klinis pada dasarnya merupakan pembinaan performansi guru mengelola proses belajar mengajar, pelaksanaannya didesain dengan praktis dan rasional, baik desainnya mapun pelaksanaannya dilakukan atas dasar analisis data mengenai keiatan-kegiatan di kelas. Data dan hubungan antara guru dan supervisor merupakan dasar program prosedur, dan strategi pembinaan perilaku mengajar guru dalam mengembangkan belajar murid (Bafadal, 1992:90).
Supervisi klinis merupakan salah satu jenis supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap para guru. Jenis supervisi ini merupakan bantuan professional yang diberikan secara sistematik kepada guru berdasarkan kebutuhan guru tersebut dengan tujuan untuk membina guru serta meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan proses pembelajaran. Kepala sekolah selaku supervisor klinis selain sebagai penanggungjawab tugas-tugas supervisi klinis, juga harus melakukan akuntabilitas terhadap tugas-tugas tersebut. Maksudnya jika tanggung jawab merupakan usaha agar apa yang dibebankan kepadanya dapat diselesaikan sebagaimana mestinya dalam waktu tertentu, maka akuntabilitas harus melebihi dari kewajiban itu.
Pengertian supervisi klinik bisa dibaca dari istilah klinik itu sendiri adalah clinikal artinya berkenaan dengan menangani orang sakit. Sama halnya dengan mendiagnosa dalam proses belajar mengajar, untuk menemukan aspek-aspek mana yang membuat guru itu tidak dapat mengajar dengan baik. Jadi supervisi klinis merupakan satu model supervisi untuk menyelesaikan masalah tertentu yang sudah diketahui sebelumnya hanya dengan cara seperti ini (Pidarta, 2002:251). Proses pembinaan guru untuk memperkecil jurang antara perilaku mengajar secara nyata dengan perilaku mengajar seharusnya yang ideal. Sementara itu Lucil (1979) membatasi maksud supervisi klinis hanya untuk menolong guru-guru agar mengerti inovasi dan mengubah permonia mereka agar cocok dengan inovasi itu.
Supervisi klinis adalah pembinaan performansi guru mengelola proses pembelajaran (Sullivan & Glanz, 2005). Menurut Sergiovanni (1987) ada dua tujuan supervisi klinis: pengembangan profesional dan motivasi kerja guru. Supervisi klinis dapat dianalogikan dengan istilah klinis dalam dunia kesehatan yang menunjuk pada suatu tempat untuk berobat. Seorang pasien datang ke klinis bukan karena diundang dokter melainkan karena ia membutuhkan pengobatan agar sembuh dari penyakitnya. Selanjutnya, dokter mengadakan diagnosis dan resep untuk mengobati penyakit pasiennya. Dalam dunia sekolah, guru datang sendiri menemui kepala sekolah untuk meminta bantuan memecahkan permasalahan yang sedang dihadapinya. Beberapa ahli mengemukakan pengertian supervisi klinis sebagai berikut.
1.        Richart Waller, supervisi klinis sebagai supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk memodifikasi yang rasional.
2.        Keith Scheson dan Mandith D. Call mengemukakan batasannya tentang supervisi klinis sebagai berikut : supervisi klinis adalah proses membantu guru memperkecil jurang antara tingkah laku mengajar yang ideal. Secara teknis ahli ini mengemukakan bahwa supervisi klinis adalah suatu model supervisi yang terdiri dari tiga fase yakni : pertemuan perencanaan, observasi kelas dan pertemuan balikan.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil simpulan bahwa supervisi klinis adalah suatu teknik supervisi yang dilakukan oleh supervisor untuk memberikan bantuan yang bersifat profesional yang diberikan berdasarkan kebutuhan guru yang bersangkutan dalam mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar melalui bimbingan yang intensif yang disusun secara sistematis dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan meningkatkan profesionalisme guru. Supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu mengembangkan profesional guru atau calon guru khususnya dalam penampilan mengajar berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut. Supervisi klinis bertujuan memperbaiki perilaku guru-guru dalam proses belajar mengajar, terutama yang kronis, secara aspek demi aspek dengan intensif, sehingga mereka dapat mengajar dengan baik. Hal ini berarti perilakuyang tidak kronis bisa diperbaiki dengan teknik-teknik supervisi yang lain.
Bimbingan yang diberikan tidak bersifat instruksi atau perintah akan tetapi diberikan dengan cara sedemikian rupa sehingga memotivasi guru untuk menemukan sendiri cara-cara yang tepat untuk memperbaiki kekurangan yang dialami dalam proses pembelajaran. Supervisi klinis difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan mengadakan modifikasi yang rasional.
Sedangkan tujuan supervisi klinis menurut Pidarta (1999:73), adalah untuk memperbaiki perilaku guru dalam proses pembelajaran, terutama yang kronis, aspek demi aspek secara intensif, sehingga mereka dapat mengajar dengan baik. Pendapat tersebut menekankan adanya perbaikan perilaku guru terutama yang kronis, karena apabila masalah ini dibiarkan akan tetap menyebabkan instabilitas dalam pembelajaran di kelas. Ini berati perilaku yang tidak kronis bisa diperbaiki dengan teknik supervisi yang lain. Oleh karena itu tujuan dilaksanakan supervisi klinis adalah memperbaiki cara mengajar guru di dalam kelas (Azhar, 1996:26).
Berdasarkan pendapat di atas, tujuan supervisi klinis secara garis besar dapat diartikan sebagai berikut: (1) memperbaiki perilaku guru hanya yang bersifat kronis, artinya perilaku yang tidak kronis bisa diperbaiki dengan teknik supervisi yang lain, (2) menyediakan umpan balik secara obyektif bagi guru tentang kegiatan proses pembelajaran yang dilakukannya sebagai cermin agar guru dapat melihat apa yang dilakukan
Berangkat dari pengertian di atas supervisi klinis memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakan dengan model-model supervisi yang lain. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1.  Dalam supervisi klinis bantuan diberikan bukan bersifat intruksi atau memerintah , tapi tercipta hubungan manusiawi, sehingga guru-guru memiliki rasa aman dengan timbulnya rasa aman, diharapkan adanya kesediaan untuk menerima perbaikan.
2.   Apa yang akan disupervisi timbul dari harapan dan dorongan dari guru sadar karena memang dia membutuhkan bantuan tersebut.
3.  Supervisi diberikan tidak saja pada keterampilan mengajar, tetapi juga mengenai aspek-aspek kepribadian guru, misalnya motivasi terhadap gairah mengajar.
4.   Instrumen yang digunakan untuk observasi disusun atas dasar kesepakatan antara supervisor dan guru.
5.   Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki guru merupakan satuan yang terintegrasi harus dianalisis dengan tujuan agar terlihat kemampuan apa, keterampilan apa yang spesifik yang harus diperbaiki (Sahertian, 2000:38-39).
Kelebihan yang tampak dalam penggunaan supervisi klinis yang tujuannya adalah perbaikan pada pengajaran guru dalam proses belajar mengajar adalah sangat signifikan. Dalam supervisi klinis yang disupervisi adalah aspek-aspek perilaku guru misalnya cara menertibkan kelas, teknik bertanya, teknik mengendalikan kelas dan lainnya. Dalam memperbaiki aspek perilaku di atas perlu sekali ada nya hipotesis bersama tentang bentuk perilaku perbaikan atau cara mengajar yang baik. Hipotesis ini bisa diambil dari teori-teori dalam proses belajar mengajar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan demi kelancaran pelaksanaan supervisi, maka perlu adanya kesepakatan antara supervisor dan guru yang akan disupervisi tentang aspek-aspek yang akan diperbaiki.
Ada prinsip kerjasama antara supervisor dengan guru yang saling mempercayai dan sama-sama bertanggungajawab, sehingga bersifat kolegal. Dari hasil yang diperoleh tersebut perlu adanya unsur penguatan terhadap perilaku guru terutama yang sudah berhasil diperbaiki. Karena akan menimbulkan motivasi kerja dan kesadaran penuh akan pentingnya kerja dengan baik serta dilakukan secara terus menerus. Untuk itu supervisor (kepala sekolah) hendaknya dalam memimpin jangan merupakan seorang hakim atau jaksa yang mengadili atau menuduh, akan tetapi harusnya ada hubungan yang kolegal dan saling percaya terbisa merupakan seorang teman yang mempunyai penuh perhatian dan pengertian terhadap kesulitan pengajaran (Pidarta, 2002:176). Dengan demikian dalam supervisi klinis, supervisor bersama-sama dengan guru yang bersangkutan dapat memperbaiki atau membuat situasi belajar mengajar menjadi lebih baik. Salah satu tugas supervisor untuk memperlancar tujuan supervisi adalah mengorganisasi guru. Tugas ini amat penting dari pada tugas-tugas supervisor lainnya. Karena guru sangat membutuhkan organisasi dari pihak supervisor agar mereka dapat berpartisipasi sebaik-baiknya dalam pendidikan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis lakukan di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buton, terdapat sejumlah problem dalam implementasi supervisi klinis di sekolah. Problem-problem itu antara lain:
1.        Adanya kecurigaan atau sikap kurang hormat dari pihak yang akan disupervisi. Banyak hal yang membuat pengawas atau supervisor enggan datang melakukan supervisi, karena sering kali sikap kepala sekolah dan guru-gurunya kurang menaruh hormat (respect) dan seolah-olah curiga atas kedatangan supervisor. Misalnya, seharusnya paling tidak dilakukan tiga kali kunjungan dalam satu semester, karena sedikitnya dibutuhkan tiga tahap pembinaan. Namun, karena adanya suasana kecurigaan atau kurang hormat tadi,  jadinya hanya dilakukan satu kali kunjungan dalam satu semester.
2.        Masalah tidak adanya media pembelajaran. Supervisi klinis itu memang bagus dan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, yang ujung-ujungnya siswa akan memperoleh hasil yang baik. Tetapi sering dijumpai, ketika perangkat pembelajaran atau RPP guru sudah bagus, ternyata pelaksanaannya tidak sesuai, karena guru sering lupa dan tidak membawa media pembelajaran. Metodenya akhirnya jadi seadanya. Padahal, ketika ada supervisi kelas dalam rangka sertifikasi, guru dapat melaksanakan dengan bagus sesuai RPP. Ini berarti perlu peningkatan kesadaran guru bahwa perencanaan yang baik pun bisa memberi hasil yang kurang baik, jika tidak dilaksanakan atau dieksekusi dengan baik.
3.        Terlalu banyak beban tugas bagi guru. Adanya supervisi klinis oleh supervisor terhadap guru memang dapat berarti positif. Supervisor adalah mitra guru, bukan eksekutor yang bertujuan menjatuhkan guru seperti yang selama ini mungkin dirasakan oleh sebagian guru. Namun, ada situasi yang dihadapi guru, yang juga harus dipahami supervisor. Yakni, karena terlalu banyaknya beban tugas dan kewajiban guru, maka sebagian guru tidak sempat lagi memberikan pengajaran terbaik kepada para siswanya. Untuk mengevaluasi kekurangan para siswa saja, guru sudah tidak sempat, apalagi jika guru dituntut untuk berinovasi.
4.        Kualitas dan kompetensi supervisor. Dalam melakukan supervisi klinis, yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana kualitas sang supervisor, dalam hal ini pengawas. Apakah mereka sudah memiliki kompetensi sebagai supervisor. Artinya, dalam melakukan supervisi klinis, supervisor harus benar-benar memahami dan menguasai tujuan supervisi klinis. Tanpa harus dijelaskan panjang lebar, seorang supervisor sebaiknya memang harus memiliki kompetensi, yang melebihi kompetensi orang yang disupervisi olehnya.
5.        Bentuk hubungan personal dan jabatan antara supervisor dan guru. Selama ini, banyak supervisor bertindak seolah-olah sebagai “mandor” yang menjaga jarak terhadap guru, saat supervisi klinis dilaksanakan. Hal ini bukannya membuat guru menjadi terbantu atau ”tersembuhkan” dari berbagai kesulitan, yang dihadapinya saat melaksanakan tugas sebagai guru. Sebaliknya, hal itu justru berpotensi membuat kesulitan --yang dihadapi guru bersangkutan-- jadi semakin kronis. Maka, seorang supervisor itu haruslah profesional. Mereka harus memiliki kompetensi supervisi. Memilih seorang pengawas atau supervisor itu tidak boleh asal comot, karena dia harus memiliki wawasan supervisi.
Pandangan umum yang dapat diambil dari implementasi supervisi klinis guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton, lebih dari 50% masalah peningkatan mutu pembelajaran disebabkan oleh kurangnya kompetensi guru. Lebih dari 80% guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton mengajar tanpa media pembelajaran/alat peraga. Namun, hal ini mungkin juga terjadi karena di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton sejumlah sekolah tidak ada aturan yang begitu ketat terhadap kinerja guru. Guru yang malas, yang rajin, yang pintar, yang bodoh, semuanya digaji merata. Ini tidak mendukung ke arah pencapaian prestasi guru yang sebaik-baiknya.
Pemerintah juga seharusnya bisa melakukan langkah-langkah terobosan. Misalnya, pertama, guru profesional biasanya dihasilkan oleh LPTK yang bonafid. Pemerintah tidak ada salahnya bekerjasama dengan LPTK tersebut, dan bersedia mengangkat 10 lulusan terbaik tanpa melalui tes. Selain mendapatkan produk yang jelas kualitasnya, langkah terobosan pemerintah ini juga dapat meningkatkan minat dan memacu para mahasiswa calon guru untuk berprestasi.
Kedua, minimal kepala sekolah juga harus mau dan mampu memberikan reward (penghargaan atau imbalan prestasi), bagi guru yang telah berprestasi mengharumkan nama baik sekolah. Misalnya, dibuatkan surat keterangan bahwa sang guru tersebut pernah membimbing anak didik, sampai menjadi juara bidang akademis di tingkat provinsi, nasional, bahkan internasional. Syukur-syukur ada hadiah konkretnya bagi sang guru. Lomba guru berprestasi juga harus bersifat transparan. Jangan asal tunjuk guru untuk mewakili sekolah, dengan alasan efisiensi karena tak ada dana seleksi.
Supervisi klinis sangat dibutuhkan oleh guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton. Melihat data empiris, menurut penulis, ada hal yang lebih urgen lagi bagi para guru, yaitu pembentukan watak (character building). Kesadaran guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton akan tugas dan tanggungjawabnya perlu dibentuk. Mereka bukan hanya berperan sekadar untuk mengalihkan pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai pembawa perubahan (agent of change). Maka, semboyan yang umum di lapangan seperti ”yang penting masuk kelas” akan bisa dikurangi, bahkan dihilangkan. Dampak sampingan dari itu semua adalah: akan terbentuk budaya guru yang selalu meng-update (memperbarui dan meningkatkan kapasitas) dirinya, terhadap tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Caranya, mereka akan selalu berusaha bekerja lebih baik, serta memberikan pelayanan terbaik terhadap peserta didik.
Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilaksanakan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK dan PMP) Kemendikbud Kabupaten Buton menunjukan kompetensi guru PAI masih rendah. Menurut Kepala BPSDMPK dan PMP Kemendikbud Kabupaten Buton, UKG merupakan ujian untuk mengukur kompetensi dasar tentang tentang bidang studi (subject matter) dan pedagogik dalam domain content guru. Hasilnya, sebanyak 42 guru PAI di Kabupaten Buton hanya memperoleh rata-rata nilai UKG sebesar 47. Kompetensi dasar bidang studi yang diujikan bagi seluruh guru itu, sesuai dengan bidang studi sertifikasi bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik. Sedangkan bagi guru yang belum bersertifikat pendidik, disesuaikan dengan kualifikasi akademik guru.
Dalam kenyataannya, guru masih banyak yang mengalami masalah dalam menjalani profesinya dan guru tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik (secara ilmiah). Akibatnya ketika mutu proses dan hasil pendidikan rendah, guru selalu melemparkan tanggungjawab kepada pihak lain, misalnya orang tua, lingkungan, dan sebagainya dan hal ini akan berdampak pada kinerja seorang guru. 
Disamping itu ada beberapa factor penyebab rendahnya profesionalisme guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton dalam disebabkan oleh antara lain;
1.        Guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada;
2.        Belum adanya standar profesional guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton sebagaimana tuntutan di sekolah-sekolah maju;
3.        Kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru PAI yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
4.        Masih belum berfungsi PGRI di Kabupaten Buton sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian dimasa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme guru sebagai anggotanya. Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
Dalam hal ini seperti yang sudah diutarakan, bahwa guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton sangat memegang peranan penting dalam kemajuan bahakan meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di Kabupetan Buton dalam menjalankan tugas mulianya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, pada kenyataannya guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton kurang prifesional, atau rendah untuk meningkatkan kualitas profesionalismenya. Lalu bagaimana guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton harus mewujudkan tujuannya, mendidik generasi masa yang akan datang dan generasi penerus bangsa? Maka dalam hal ini perlu peningkatan kualitas profesionalisme dari berbagai solusi.

B.  Fokus Penelitian
Menghindari meluasnya masalah dalam penelitian ini, maka diperlukan pembatasan permasalahan, dengan mengacu kepada paparan sebelumnya, antara lain: konteks penelitian, kondisi kepala sekolah dan guru Pendidikan Agama Islam. Oleh karena itu, fokus penelitian pada tesis ini adalah sebagai berikiut:
1.        Bagaimana implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam  meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton?
2.        Bagaimana pemahaman kepala sekolah tentang supervisi klinis dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton?
3.        Bagaimana upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian untuk mendeskripsikan makna tentang fenomena yang terjadi yang berkaitan dengan proses implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kecamatan Wabula Kabupaten Buton, sehingga bisa dijadikan rujukan lembaga pendidikan lain dalam pengembangan implementasi supervisi klinis dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa tentang:
1.        Implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam  meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton.
2.        Pemahaman kepala sekolah tentang supervisi klinis dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton.
3.        Upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton.

D. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini kegunaan dapat dibedakan menjadi dua, yakni kegunaan secara teoritis dan kegunaan praktis
a.  KegunaanTeoritis
1.        Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan teori dalam bidang kepemimpinan pendidikan khususnya dengan implementasi  supervisi klinis kepala sekolah sebagai  pemimpin lembaga pendidikan. 
2.        Penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pembanding bagi para hasil penelitian tentang implementasi supervisi klinis  kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam terus dikembangkan oleh peneliti berikutnya.
b. Kegunaan Praktis
1.      Penelitian ini secara praktis diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah dalam memperbaiki kinerga guru Pendidikan Agama Islam serta mengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
2.      Bagi Kementrian agama dan Kepala Dinaas Pendidikan Nasional Kabupaten Buton penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan masukan dalam memberikan pembinaan terrhadap kepala sekolah yang berada di bawah naungannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.

E. Definisi Istilah atau definisi Operasional
Guna menghindari terjadinya perbedaan persepsi dan salah penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis memandang perlu mempertegas dfinisi terhadap beberapa istilah tertentu sebagai berikut, dan agar dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca, dan tidak bias dalam memahami penelitian yang berjudul “ Implementasi Supervisi Klinis Kepala Sekolah dalam Memperbaiki Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah menengah pertama negeri 2 dan 3 penting kiranya peneliti memberikan penegasan istilah sebagai berikut; Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atas penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman).  Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum. Dalam kenyataannya, implementasi kurikulum menurut Fullan merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan melakukan perubahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, supervisi berarti pengawasan utama.  Dari arti kata yang masih umum tersebut, istilah supervisi tidak hanya digunakan. Sedangkan tentang supervisi pendidikan, para ahli pendidikan memberikan tujuan supervisi pengajaran adalah untuk membantu guru mengembangkan profesinya. oleh (M Al Hutdi - 2011).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, supervisi berarti pengawasan utama, pengontrolan utama. Sedangkan para ahli pendidikan memberikan definisi. Secara singkat, tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan kinerja guru. Mengingat pentingnya  supervisi tersebut, dalam kesempatan ini penulis mengutip Para ahli dibidang ini memberikan pengertian supervisi klinis dengan Fokus supervisi klinis adalah: (1) perbaikan proses pembelajaran, (2) keterampilan penampilan pembelajaran yang memiliki arti (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Supervisi klinis termasuk bagian dari supervisi pengajaran, Dikatakan supervisi klinis disebabkan prosedur pelaksanaanya lebih ditekankan kepada mencari sebab-sebab atas kelemahan yang terjadi di dalam proses belajar mengajar dan kemudian secara langsung pula diusahakan bagaimana cara memperbaiki kelemahan atau kekurangan tersebut. Didalam supervisi klinis carar mengatasinya “memberikan solusi” dilakukan setelah supervisor mengadakan pengamatan secara langsung terhadap cara guru mengajar, dengan mengadakan diskusi”balikan”, maksudnya di sini adalah diskusi yang dilakukan segerah setelah guru selesai mengajar, kelemahan yang terdapat selama guru selesai mengajar serta bagaimana usaha untuk memperbaikinya, Menurut Richard Waller, memberikan definisi tentang supervisi klinis sebagai berikut; “supervisi klinis” adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang rasional.
Sedangkan secara sederhana, “Kepala sekolah didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakannya proses pembelajaran”.

F. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut :










KEPALA SEKOLAH
 


Text Box: PENINGKATAN KINERJA GURU PAI










1.     Implementasi supervisi klinis kepala sekolah
2.     Pemahaman kepala sekolah tentang supervisi klinis
3.     Upaya kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru PAI
 


 










Kerangka berpikir di atas dapat diuraikan bahwa Kepala Sekolah melakukan supervisi klinis kepada guru PAI dengan cara;
1.      Implementasi supervisi klinis kepala sekolah
2.      Pemahaman kepala sekolah tentang supervisi klinis
3.      Upaya kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru PAI
Sedangkan hasil yang diperoleh adalah peningkatan kinerja guru PAI, antara lain
1.      Guru PAI memiliki keterampilan mengamati memahami (mempersepsi) proses pembelajaran secara analitik,
2.      Guru PAI memiliki keterampilan menganalisis proses pembelajaran secara rasional berdasarkan bukti-bukti pengamatan yang jelas dan tepat,
3.      Guru PAI memiliki Keterampilan dalam pembaharuan kurikulum, pelaksanaan serta pencobaannya,
4.      Guru PAI memiliki keterampilan dalam mengajar.



BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Penelitian terdahulu
Ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti terdahlu,  sebelumnya, yang secara substansi mengkaji tentang pelaksanaan supervisi klinis  di sekolah antara lain:
1.        Presepsi Guru Tentang Pelaksanaan Supervisi Klinis dan kompetensi Guru (studi di SD/MI Gugus V Kecamatan Sukun Kota Malang). Skripsi Yulia Amaliyah 2011 Program Studi S1. Universitas Negeri Malang. Dalam Penelitiannya peneliti menghasilkan bahwa sebagian besar guru memiliki presepsi yang pelaksanaan supervisi klinis telah dilaksanakan dengan efektif dengan rata-rata 68,94% dan telah berkesinambungan antara kegiatan pertemuan pendahuluan sampai dengan pertemuan balikan.
2.        Peningkatan Kemampuan Guru dalam Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) melalui Supervisi Klinis (studi di SMPN 2 Wlingi Kabupaten Blitar). Skiripsi Daya Negeri Wijaya 2011 Program Studi S 1 Universitas Negeri Malang, dengan hasil penelitiannya yaitu supervisi klinis dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun RPP. Hal ini dapat dilihat dari perubahan kea rah yang lebih baik dari subjek penelitian dalam menyusu RPP.
3.        Peran Kepala Sekolah dalam Pelaksanaan Supervisi untuk Meningkatkan Motivasi Kerja Guru di SMA Negeri 2 Kota Malang. Skripsi Moh Mustofa 2012 Program Studi S1 Universitas Negeri Malang, hasil penelitiannya bahwa kepala sekolah SMAN 2 Malang telah melakukan supervisi dengan menggunakan teknik Supervisi Observasi Kelas, yang mana hal itu dapat membuat guru lebih termotivasi dalam mengembangkan kemampuan mengajarnya.
4.        Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisi dalam meningkatkan Kualitas Belajar Mengajar Guru (Studi Kasus di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Singosari). Tesis Siti Nurwagiati 2000 Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, dengan hasil penelitiannya sipeneliti mengatakan bahwa dalam meningkatkan kualitas belajar mengajar guru Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Singosari telah melakukan berbagai kegiatan diantaranya kegiatan dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Kegiatan Kerja Kepala Sekolah KKKS) yang setiap bulan mengadakan pertemuan, diskusi-diskusi.
Berbagai penelitian diatas diharapkan dapat melengkapi dan menyempurnakan terhadap penelitian yang sedang peneliti teliti, yaitu tentang “Implementasi Supervisi Klinis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton”.





Tabel 1 Mapping Teori
NO
JUDUL DAN NAMA PENELITI
JENIS PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
1.


Presepsi guru Tentang pelaksanaan Supervisi Klinis dan Kompetensi Guru
Kuantitatif


Ebagian besar guru memiliki presepsi pelaksanaan supervisi klinis dilaksanakan dengan efektif dengan rata 68,94%.
2.



Yulia Amalyah (2011)
Peningkatan Kemampuan Guru   dalam Menyusun Rencana pelaksanaan Pembelajaran melalui Supervisi Klinis
Daya Negeri Wijaya (2011) 




Kualitatif



Supervisi Klinis dapat meningkatkan guru dalam menyusu RPP, yang dapat dilihat dari perubahan kearah yang lebih baik dari subjek penelitian dalam menyusun RPP.
3.
Perang Kepala Sekolah dalam Pelaksanaan Supervisi untuk Meningkatkan Kinerja Guru di SMA Negeri 2 Kota Malang
Moh Mustofa T (2012)
Kualitatif




Teknik Supervisi Observasi kelas dapat membuat guru lebih memotivasi dalam mengembangembangkan kemampuan mengajar
4.
Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor dalam Meningkatkan Kualitas Belajar Mengajar Guru.
Siti Nurwagiati (2000)      
Kualitatif
Kegiatan KKG dan KKKS yang setiap bulan diadakan ternyata dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar guru SMKN 1 Singosari.

B.  Implementasi
         Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman). 
Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Artinya yang dilaksanakan dan diterapkan adalah kurikulum yang telah dirancang/didesain untuk kemudian dijalankan sepenuhnya.Kalau diibaratkan dengan sebuah rancangan bangunan yang dibuat oleh seorangInsinyur bangunan tentang rancangan sebuah rumah pada kertas kalkirnya maka impelemntasi yang dilakukan oleh para tukang adalah rancangan yang telah dibuattadi dan sangat tidak mungkin atau mustahil akan melenceng atau tidak sesuai denganrancangan, apabila yang dilakukan oleh para tukang tidak sama dengan hasilrancangan akan terjadi masalah besar dengan bangunan yang telah di buat karenarancangan adalah sebuah proses yang panjang, rumit, sulit dan telah sempurna darisisi perancang dan rancangan itu. Maka implementasi kurikulum juga dituntut untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang telah direncanakan dalam kurikulumnya untuk dijalankan dengan segenap hati dan keinginan kuat, permasalahan besar akan terjadiapabila yang dilaksanakan bertolak belakang atau menyimpang dari yang telahdirancang maka terjadilah kesia-sian antara rancangan dengan implementasi.Rancangan kurikulum dan impelemntasi kurikulum adalah sebuah sistem danmembentuk sebuah garis lurus dalam hubungannya (konsep linearitas) dalam artiimpementasi mencerminkan rancangan, maka sangat penting sekali pemahaman guruserta aktor lapangan lain yang terlibat dalam proses belajar mengajar sebagai intikurikulum untuk memahami perancangan kuirkulum dengan baik dan benar.
Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum. Dalam kenyataannya, implementasi kurikulum menurut Fullan merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan melakukan perubahan. Atau dengan kata lain impelentasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap fix. berikat ane akan sedikit info tentang pengertian implentasi menurut para ahli. semoga info tentang pengertian implementasi menurut para ahli bisa bermanfaat.

C.  Hakekat Supervisi
          Oteng Sutisna (1983) dalam Arikunto (2004:11) mengatakan definisi supervisi adalah segala sesuatu dari pejabat sekolah yang diangkat yang diarahkan kepada penyediaan kepemimpinan bagi para guru dan tenaga pendidik yang lain dalam perbaikan pengajaran, melihat stimulasi petumbuhan profesional dan perkembangan dari para guru, seleksi dan revisi tujuan-tujuan pendidika bahkan pengajaran, dan metode-metodepengajar dan evaluasi pengajaran.
          Kimball Wiles (1995) dalam Arikunto (2004:11) supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar agar memperoleh kondisi yang lebih baik.
Adams dan Dicky dalam Sahertian (2008:17) mengemukakan supervisi merupakan program yang berencana untuk memperbaiki pengajaran. Program itu adalah perbaikan hal belajar mengajar.
          Mc. Nerney dalam Sahertian (2008:17) menegaskan bahwa supervisi itu
Sebagai salah satu prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran.
          Made Pidarta (2009:17) menjelaskan bahwa supervisi adalah kegiatan membina para pendidik dalam mengembangkan proses pembelajaran, termasuk segala unsur penunjangnya.
          Ngalim dalam Jasmani dan Syaiful Mustofa (2013:26) supervisi adalah suatu aktifitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.
          Olivia dalam Sahertian (2008:18) berpendapat bahwa supervisi pengajaran adalah tindak lanjut pejabat yang direncanakan oleh lembaga yang langsung berpengaruh terhadap perilaku guru dalam berbagai cara untuk membantu belajar siswa dan untuk mencapai tujuan.
          Gunawan (2002:194) merumuskan supervisi sebagai usaha yang sistimatis dan terus menerus untuk mendorong dan mengarahkan pertumbuhan dari guru yang berkembang secara lebih efektif dalam membantu tercapanya tujuan pendidikan dengan murid-murid dibawah tanggung jawabnya.
          Wiles (181), mengemukakan supervisi merupakan kegiatan untuk membantu dan melayani guru agar dapat melaksanakan tugasnya dalam dengan baik.
D. Supervisi Klinis
Dikatakan supervisi klinis disebabkan prosedur pelaksanaanya lebih ditekankan kepada mencari sebab-sebab atas kelemahan yang terjadi di dalam proses belajar mengajar dan kemudian secara langsung pula diusahakan bagaimana cara memperbaiki kelemahan atau kekurangan tersebut. Didalam supervisi klinis carar mengatasinya “memberikan solusi” dilakukan setelah supervisor mengadakan pengamatan secara langsung terhadap cara guru mengajar, dengan mengadakan diskusi”balikan”, maksudnya di sini adalah diskusi yang dilakukan segerah setelah guru selesai mengajar, kelemahan yang terdapat selama guru selesai mengajar serta bagaimana usaha untuk memperbaikinya, Menurut Richard Willer, memberikan definisi tentang supervisi klinis sebagai berikut; “supervisi klinis” adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang rasional.
          Acheson dan Gall (1980:25) mengemukakan bahwa supervisi klinis adalah suatu proses pembimbingan dalam mengelolah proses belajar mengajar yang bertujuan membantu pengembangan professional guru khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar.
          Beberapa faktor yang ikut mendorong dikembangkannya supervisi klinis adalah pelaksanaan supervisi yang tradisional, secara diam-diam ditentang para guru sebab tidak banyak membantu mereka dalam menjalankan tugas mengajarnya. Dalam hal ini bukan berarti para guru tidak setuju atau membenci terhadap supervisi pengajaran, akan tetapi gaya dari pelaksanaan supervisi itu sendiri. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIKTI (1984:6) mengemukakan factor-faktor yang mendorong dikembangkannya supervisi klinis sebagai berikut: (1) Supervisi klinis dalam prakteknya dilaksanakan seperti evaluasi semata-mata, sehingga sering tidak disukai, bahkan cenderung ditolak baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. (2) Pemberian suatu supervisi diberikan pada kebutuhan atau keinginan supervisor tanpa memperhatikan kebutuhan guru, oleh karena itu guru tidak merasakan manfaatnya. (3) Sasaran pengamatan supervisi berlaku umum dan luas, sehingga pembeian balikan akan sukar dan tidak terarah. (4) Pemberian balikan sering menjadi pemberian pengarahan, bahkan instruksi-instruksi, dan tidak melihat guru dalam menganalisis dirinya serta mencari cara-cara memperbiki dirinya.
          Seperti yang dikemukakan P Wingger bahwa dalam diri seseorang ada tiga konsep diri yaitu: (a) saya dengan seil consep saya sendiri, (b) saya dengan self ideal saya sendiri , (c) saya dengan self reality saya sendiri dan menjadi diri sendiri, (d) melalui diagnosis dan analisis diri sendiri dan guru menemukan dirinya. Ia sadar akan kemampuan dirinya dengan kemampuan dirinya dengan menerima deirinya dan timbul motivasi dari dari dalam dirinya sendiri untuk memperbaiki dirinya sendiri.
         Praktek-praktek supervisi yang tidak manusiawi itu menyebabkan kegagalan dalam pemberian supervisi kepada guru-guru. Itulah sebabnya perlu supervisi klinis.
          Untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan Implementasi supervisi dalam peroses pengajaran maka Cogan (1973) memperkenalkan supervisi klinis sebagai model pembimbing guru maupun calon guru dalam tugas mengajar.
          Nurdin, (1982) mengemukakan bahwa supervisi klinis adalah suatu bimbingan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalitas guru secara sengaja yang dimulai dari pertemuan awal, observasi kelas dan pertemuan akhir, yang dianlisis secara cermat, teliti dan objektif untuk mendapatkan perubahan perilaku mengajar yang diharapkan.
          Untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan implementasi supervisi dalam proses mengajar maka Cogan (1973) memperkenalkan supervisi klinis sebagai model pembimbing guru maupun calon guru dalam mengajar.
          Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984:7) mengidentifikasikan beberapa faktor yang menjadi titik tolak supervisi klinis, yaitu: (1) kemampuan mengajar, khususnya menguasai berbagai ketrampilan mengajar harus ditingkatkan dan dikembangkan bukan hanya dalam pendidikan pra jabatan di LPTK, tetapi juga pada para guru yang telah bekerja dilapangan. Baik dengan bantuan supervisor atau kepala sekolah maupun dengan usaha sendiri. Hal ini hanya mungkin akan terlaksana apabila mampu dan mau menganalisis dan mengembangkan dirinya. (2) seperti sudah dinyatakan bahwa mengajar adalah suatu kegiatan yang kompleks, oleh sebab itu setiap guru memerlukan bantuan kepala sekolah untuk mengamati, merefleksikan dan menganalisis permormansinya dalam mengajar. (3) ketrampilan-ketrampilan mengajar meskipun penggunaan secara integratif dapat dilatih secara terisolasi agar mudah dikontrol dan diobservasi, Latihan tersebut bukan hanya dapat dilakukan dalam konteks pengajaran mikro tetapi juga dapat dilatih dalam pengajaran biasa satu kelas. Untuk pelajaran dikelas titik perhatian dapat dipusatkan pada beberapa ketrampilan mengajar tertentu agar dapat diobservasi guru. Dikatakan bertolak, karena pada akhirnya ketrampilan-ketrampilan yang dilatihkan dan diobservasi itu merupakan kesepakatan antara guru dan kepala sekolah, dan (4) secara khusus menyatakan bahwa fungsi kepala sekolah adalah membantu guru agar dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan profesionalnya sendiri.
          Dari uraian di atas ternyata aktualisasi supervisi gaya tradisional kurang mendapatkan tanggapan yang serius dari para guru, karena perilaku supervisi lebih banyak dilakukan supervisor kepala sekolah dan bersifat instruktif administrative. Dengan demikian supervisi klinis merupakan solusinya dalam membantu dan membina para guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan professional guru yang didasarkan pada pusat perhatian dan aspirasi guru.
          Sejalan dengan ini Bolla (1983:11) menegaskan bahwa supevisi klinis merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu guru, khususnya dalam performosi mengajar berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut.
          Azhari (2003:19) supervisi klinis merupakan proses pembimbingan yang bertujuan meningkatkan profesionalitas guru dengan penekanan penampilan mengajar, melalui prosedur yang sistimatis yang dimulai dengan pertemuan pendahuluan, observasi kelas, dan pertemuan balikan guna mendapatkan perubahan tingkah laku mengajar yang diharapkan. Dan dapat pula diartikan seperti yang terpusat pada guru (teacher-centered-supervision).

E.  Landasan Supervisi Klinis
          Terdapat beberapa landasan yuridis yang mendasari pentingnya kegiatan supervisi klinis pada tingkat satuan pendidikan. Landasan yuridis tersebut yaitu:
1)      Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa system Pendidikan  nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, berkesinambungan.
2)      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang guru dan Dosen. Bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, dan global perlu dilakukan pemeberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
3)       Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasa: pasal 1 (1) untuk diangkat sebagai kepala sekolah/madrasah, seseorang wajib memenuhi standar kepala sekolah/madrasah yang berlaku nasional. (2) standar kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Mentri ini yaitu salah satunya kompetensi supervisi yang meliputi a) merencanakan program supervisi pengajaran dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, b) Melaksanakan supervisi pengajaran terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan tekhnik supervisi yang tepat, serta  c) menindak lanjuti hasil supervisi terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
4)      Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi guru : pasal 1 (1) setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional. (2) Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Mentri ini pasal 2 ketentuan mengenai guru dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi akademik diploma (D-IV) atau sarjana (S1) akan diatur dalam Peraturan Mentri sendiri.

F. Prinsip-Prinsip Supervisi klinis
          Dalam supervisi klinis terdapat prinsip-prinsip umum dan berapa prinsip tambahan yang dijadikan dasar dalam kegiatannya. Acherson dan Gall (1980) mengemukakan ada tiga prinsip umum dan beberapa prinsip tambahan yang dijadikan pijakan dalam melaksanakan supervisi klinis sebagai berikut:
1.      Terpusat pada guru maupun calon guru ketimbang supervisor. Prinsip ini menekankan prakarsa dan tanggung jawab dalam  meningkatkan atau mengembangkan ketrampilan mengajar dan menganalisis dan mencari cara-cara meningkatkan ketrampilan mengajar lebih baik disesuaikan dengan kebutuhan guru maupun calon guru yang bersangkutan.
2.      Demokratik ketimbang otoritek. Prinsip ini menekankan kedua belah pihak harus bersikap terbuka, artinya masing-masing supervisor dan guru maupun calon guru berhak mengemukakan pendapat secara bebas, namun keduanya berkewajiban mengkaji dan mempertimbangkan pendapat pihak lain untuk mencapai kesepakatan.
3.      Hubungan guru maupun calon guru dengan supervisor lebih interaktif ketimbang derektif. Prinsip ini menekankan guru maupun calon guru pada hakekatnya sederajat dan saling membantu dalam meningkatkan sikap profesionalnya.
4.      Sasaran supervisi terdapat pada kebutuhan dan aspirasi guru maupun calon guru.
5.      Umpan balik dari proses belajar mengajar guru maupun calon guru diberi dengan segera dan hasil penjualan dan pelayanannya harus sesuai dengan kontrak yang telah disetujui bersama.
6.      Supervisor yang diberikan bersifat bantuan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan sikapprofesional.
7.      Supervisi yang diberikan bersifat bantuan dengan tujuan utuk meningkatkan kemampuan mengajar dan sikap professional.
8.      Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi dalam kegiatan belajar mengajar tertentu hanya pada beberapa ketrampilan mengajar saja.
Dengan kata lain bahwa prinsip-prinsip supervisi klinis adalah supervisi klinis yang dilaksanakan harus berdasarkan insiatif dari para guru terlebih dahulu. Perilaku supervisor harus sedemikian taktis sehingga guru-guru terdorong untuk berusaha meminta bantuan dari supervisor dengan menciptakan hubungan manusia yang bersifat interaktif dan rasa kesejawatan, menciptakan suasana bebas dimana setiap orang bebas mengemukakan apa yang dialaminya, objek kajian adalah kebutuhan professional guru yang ril yang mereka alami, dan perhatian dipusatkan pada unsur-unsur yang sepesifik yang harus diangkat untuk diperbaiki.

G.  Model Supervisi Klinis
Morris Cogan (1973), mendefinisikan Casana linical supervision sebagai latar dan praktik yang didesain untuk mengembangkan performa guru di kelas, Sergiovani dan Stratt (1979) menjelaskan bahwa clinical supervision mengacu pada tatap muka, pertemuan dengan guru tentag mengajar, biasanya dalam classroom dengan maksud agar terciptanya profesionalitas guru dan pengembangan serta peningkatkan intruksi pembelajaran.
Senada dengan pendapat tersebut, Flanders (1976 melihat pengawasan clinical sebagai sebuag teaching kasus khusus yang mana setidaknya dua orang yang bersangkutan akan diperbaiki. Kegiatan ini juga untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru dan merangsang perubahan dalam mengajar. Sedangkan model supervisi klinis ini adalah untuk proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan professional guru dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan analisis dan secara obyektif  serta teliti sebagai dasar untuk mengubah perilaku mengajar guru. Tekanan dalam supervisi klinis ini ditetapkan bersifat khusus melalui tatap muka ketika guru mengajar.Inti bantuan dari supervisi terpusat pada perbaikan  penampilan dan perilaku guru mengajar.
Powel dan Brodsky (2004) menyatakan, metode supervisi klinis adalah prinsip-prinsip disiplin proses tutorial yang diubah menjadi keterampilan praktis,, dengan empat focus yang tumpah tindih, yaitu administrasi, evaluasi, klinis, dan suportif. Pengawasan adalah intervensi yang disediakan oleh anggota senior profesi yang sama. Hubungan ini bersifat evaluative, meluas dari waktu ke waktudan memiliki tujuan simultan meninggalkan fungsi professional dari orang yang lebih yunior, pemantauan layanan professional yang ditawarkan kepada klien bahwa dia atau mereka melihat, dan melayani sebagai gatekeeper dari mereka yang memasuki profesi tertentu.
Pendapat lain, menurut Durham (2001), model supervisi klinis adalah hubungan antara pribadi tutorial berpusat pada tujuan pengembangan keterampilan dan pertumbuhan professional melalui belajar dan berlatih, melalui observasi, eveluasi. Umpan balik, dan pengawasan memungkinkan konselor untuk memperoleh kompetensi yang dibutuhkan untuk memberikan perewatan pasien yang efektif sementara memenuhi professional tanggung jawab.
Selanjutnya model supervisi klinis ini mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
1.        Bantuan yang diberikan bersifat intruksi atau perintah.
2.        Harapan dan dorongan supervisi timbul dari guru itu sendiri
3.        Guru memiliki satuan tingkah laku mengajar terintegrasi
4.        Satuan dalam pemberian supervisi penuh kekeluargaan, kedekatan, dan keterbukaan
5.        Supervisi yang diberikan bukan pada keterampilan mengajar saja, melainkan pada pula mengenai aspek-aspek keperibadian guru
6.        Balikan yang diberikan harus secepat mungkin dan bersifat obyektif
Jadi model supervisi klinis dapat dikatakan bertujuan untuk mengadakan perubahan terhadap oerilaku, cara, dan mutu mengajar guru yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan serta analisis yang interaktif yang cermat tentang penampilan mengajar yang nyata serta mengadakan perubahan dengan cara yang rasional. Model supervisi klinis menawarkan lebih interaktif dari pada direktif, demokratif dari pada otoritatif.
Model supervisi klinis sesuai dengan kajian teori seperti yang telah dijelaskan diatas, maka implementasinya memerlukan siklus yang sistematis. Paling tidak terdapat tiga siklus yang harus ditempuh supervisor, yaitu (1) perencanaan, (2) pengamatan, (3) analisis.



H. Langkah-langkah Supervisi Klinis
          Sahertian (2000:40)  memberikan tiga tahapan dalam pelaksanaan supervisi klinis diantaranya adalah:
1.      Tahap pertama pertemuan awal, dalam percakapan awal ini seorang guru mengeluh bahwa pada saat melaksanakan tugas mengajar dikelasmenemui kendala yang sulit untuk dipecahkan sendiri.
2.      Tahap kedua observasi
3.      Tahap ketiga merupakan kegiatan akhir yaitu percakapan yang dilaksanakan setelah analisis dilakukan percakapan, ini terjadi antara pervisor dengan guru. Dalam percakapan ini dalam kelas. Dalam hal ini supervisor maupun guru berusaha untuk menemukan solusi yang terbia untuk memperbaiki kekurangan secaraserta upaya meningkatkan profesinya.
Menurut Sukirman (1998:89-90) supervisi klinis meliputi beberapa siklus, yaitu pra onservasi kelas, analisis hasil observasi, dan pembicaraan hasil observasi.
1.      Tahap pertemuan pendahuluan
Kegiatan supervisor dan guru dalam tahap pertemuan pendahuuan adalah membicarakan rencanaan tentang ketrampilan yanga akan diobservasi dan dicatat. Tahap ini memberikan kesempatan kepada guru dan supervisor untuk mengidentifikasi perhatian utama guru kemudian menterjemahkan ke dalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati.
          Suwarna, dkk (2005:183) mengemukakan bahwa secara tekhnis diperlukan lima langkah utama bagi pelaksanaan pertemuan pendahuluan yang baik yaitu;
a)       Menciptakan suasana intim dan terbuka antara supervisor dan gurusebelum langkah-langkah selanjutnya dibicarakan.
b)       Membicrakan rencana pelajaran yang telah dibuat oleh guru yang mencakup tujuan, bahan,kegiatan belajar mengajar, serta alat evaluasi.
c)       Mengidentifikasi komponen ketrampilan yang akan dicapai oleh guru dalam kegiatan mengajar tersebut, misalnya, guru yang melatih menguasai ketrampilan bertanya.
d)      Memilih instrument observasi yang akan digunakan, merekam data dalam penampilan guru sesuai dengan persetujuan dan kesepakatan tentang ketrampilan beserta indikatornya.
e)       Instrumen observasi yang dipilih atau yang akan dikembangkan, dibicarakan bersam-sama antara guru dan supervisor.
2).  Tahapan observasi kelas
Fungsi utama  adalah menangkap apa yang terjadi selama pelajaran berlangsung secara lengkap, agar superviso dan guru dapat dengan tepat mengingat kembali hal-hal yang terjadi dalam pelajaran sebelumnya.
          Suwarna (2005:183) mengemukakan hal-hal yang harus dilakukan pada saat pelaksanaan observasi antara lain guru melatih tingkah laku mengajar berdasarkan komponen ketrampilan yang telah disepakati didalam pertemuan pendahuluan. Dipihak lain supervisor mengamati dn mencatat atau merekam tingkah laku guru ketika mengajar.
3).  Tahap analisis hasil observasi
Pada tahap ini kepala sekolah menganalisis hasil observasi berdasarkan pengamatannya ketika menilai ketrampilan mengajar guru dalam kelas. Hasil observasi yang ada dianalisis dan dimaknai oleh kepala sekolah, sehingga digunakan sebagai bekal diskusi dengan guru.
4).  Tahapan pertemuan balikan
Pertemuan balikan ini merupakan diskusi antara supervisor dengan guru. Suasana pertemuan sama dengan suasana pertemuan pendahuluan, yaitu suasana akrab, terbuka, bebas suasana menilai atau mengadili. Supervisor menyiapkan data sedemikian rupa sehingga guru dapat menemukan kekurangan dan kelebihannya sendiri. Secara lebih rinci langkah-langka pertemuan balikan ini adalah;
a)      menanyakan perasaan guru tentag apa yang dialamiya dalam mengajar secara umum, hal ini untuk menciptakan suasana santai dan bersahabat.
b)      Meriview tujuan pelajaran.
c)      Meriview target ketrampilan serta perhatian utama guru dalam mengajar
d)     Menanyakanperasaan guru tentang jalannya pelajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya.
e)      Menunjukan serta mengkaji hasil observasi.
f)       Menyimpulkan hasil denan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.

I. Kinerja
Kata kinerja dalam bahasa Indonesia adalah terjemahan dari kata bahasa inggris Performance yang berarti pekerjaan, perbuatan, sedangkan kinerja dalam ilmu administrasi memiliki pengertian hampir sama dalam istilah Rue dan Syare sebagai tingkat pencapaian hasil/ penyelesian terhadap tujuan organisasi. Beberapa pengertian kinerja dikemukakan Rivai yang dikutip oleh Syaiful Sagala dalam bukunya yang berjudul “Menajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan” oleh sejumlah ahli, antara lain: (1) Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan suatu pekerjaan yang diminta.(2) Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada. (3) Kinerja merupakan suatu fungsi motivasi dan kemampuan menyelesaikan tugas/ pekerjaan seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu.
Dalam Kamus Psikologi Daliguno memberikan batasan bahwa prestasi kerja adalah setiap kegiatan yang mengahasilkan suatu akibat pelaksanaan suatu tindakan atas serangkaian tindakan, tingkat penyelesaian suatu pekerjaan bagaimana seseorang bereaksi dalam menjalankan tugas yang diberikan.
Kinerja adalah performance atau unjuk kerja. Kinerja dapat pula diartikan prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk kerja. (LAN, 1992). Menurut August W. Smith, Kinerja adalah performance is output derives from processes, human otherwise, artinya kinerja adalah hasil dari suatu proses yang dilakukan manusia. Sehubungan dengan itu, menurut menurut T.R. Mitchell (1989) ukuran kinerja dapat dilihat dari empat hal, yaitu:
1. Quality of work – kualitas hasil kerja.
2. Promptness – ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan.
3. Initiative – prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan.
4. Capability – kemampuan menyelesaikan pekerjaan.
5. Comunication – kemampuan membina kerjasama dengan pihak lain.
Kinerja harus terukur, oleh karenanya perlu adanya standar kinerja yang dapat dijadikan acuan dalam mengadakan penilaian, yaitu membandingkan apa yang dicapai dengan apa yang diharapkan. Standar kinerja dapat dijadikan patokan dalam mengadakan pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dilaksanakan.
Menurut Ivancevich (1996), patokan tersebut meliputi: (1) hasil, mengacu pada ukuran output utama organisasi; (2) efisiensi, mengacu pada penggunaan sumber daya langka oleh organisasi; (3) kepuasan, mengacu pada keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan atau anggotanya; dan (4) keadaptasian, mengacu pada ukuran tanggapan organisasi terhadap perubahan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah proses kerja seseorang individu untuk mencapai tujuan yang relevan yang juga berarti kemauan dan kemampuan melakukan suatu pekerjaan. Artinya, kinerja merupakan semangat, intensitas, kemauan serta kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Dalam kata kinerja juga terkandung makna profesionalitas, sebab dalam mewujudkan kinerja, keterampilan seseorang dalam bidang yang ia kerjakan sangat menentukan.

J. Kinerja Guru
Berkenaan dengan kinerja guru Piet A. Sahertian dalam Kusmianto (1997:49) bahwa, standar kinerja guru itu berhubungan dengan kualitas guru dalam menjalankan tugasnya seperti: (1) bekerja dengan siswa secara individual, (2) persiapan dan perencanaan pembelajaran, (3) pendayagunaan media pembelajaran, (4) melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman belajar, dan (5) kepemimpinan yang aktif dari guru.
Berbicara tentang perbaikan kinerja guru, khususnya guru PAI, tidak bisa dilepaskan dari apa yang menjadi tugas pokok (topoksi) utama dan berbagai tanggung jawab guru yang terkait lainnya. Tugas dan tanggung jawab guru meliputi banyak hal, yaitu guru dapat berperan sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar, perencana pembelajaran, supervisor, motivator, evaluator, innovator, serta tugas lainnya yang terkait dengan statusnya sebagai guru pendidikan agama Islam. 
Telaah atas eksistensi pendidik dalam literatur kependidikan menyatakan bahwa guru harus memiliki karakteristik profesional. Pertama, komitmen terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja (produk), dan sikap continous improvement (improvisasi berkelanjutan). Kedua, menguasai dan mampu  mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi, dan implementasi ilmu kepada peserta didik. Ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungannya. Keempat, mampu menjadikan dirinya sebagi model dan pusat anutan (centre of self- identification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya. Kelima, mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan (civilization of the future).
Cukup banyak sifat dan ciri-ciri pendidik yang profesional, Robert W. Richey mengemukakan delapan ciri-ciri pendidik yang profesional. Pertama, lebih mementingkan pelayanan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Kedua, sebagai seorang pekerja profesional, secara relative memerlukan waktu yang panjang untumempelajarkonsep-konsepsepertprinsip-prinsipengetahuan  khusuyang  mendukung  keahliannya.  Ketiga,  memiliki  kualifikasi  tertentu  untuk memasuki profesi tersebut, serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan. Keempat, memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap, dan cara kerja. Kelima, membutuhkan kegiatan intelektual yang tinggi. Keenam, adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, dan kesejahteraan anggotanya. Ketujuh, memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian. Kedelapan, memandang profesi sebagai suatu karier hidup dan menjadikan diri sebagai profesional yang permanen.
H.M.  Arifin  menegaskan  bahwa  pendidik  yang  profesional  adalah  pendidik  yang  mampu memanifestasikan seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah. Di samping itu, mampu menekuni profesinya selama hidupnya, yaitu pendidik yang memiliki kompetensi keguruan berkat pendidikan dan latihan di lembaga pendidikan guru dalam jangka waktu tertentu. Tidak hanya itu, pendidik yang profesional adalah pendidik yang memiliki kecakapan dalam manajemen kelas dalam rangka proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Jika profesionalisme keguruan itu dikaitkan dengan akuntabilitas publik, profesi pendidik bukanlah hal yang ringan, melainkan sesuatu yang mengharuskan pelayanan ditingkat kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara sederhana kualifikasi profesional kependidikan pendidik bisa dijelaskan sebagi berikut. Pertama, kapabilitas personal (person capability), artinya pendidik diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif. Kedua, pendidik sebagi inovator yang berarti memiliki  komitmen  terhadap  upaya  perubahan  dan  reformasi.  Pendidik  diharapkan  memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan, serta sikap yang tepat terhadap pembaruan dan sekaligus penyebar ide pembaruan yang efektif. Ketiga, pendidik sebagi developer yang berarti harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Pendidik harus mampu dan mau melihat jauh ke depan (the future thinking) dalam menjawab tantangan-tantangan jaman yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai sebuah sistem.
Selain persyaratan profesional di atas, pendidik juga disarankan memiliki kepekaan emosional sehingga ia merasa senang dalam menjalankan profesinya. pendidik dalam bekerja didorong oleh hati nuraninya untuk mendidik peserta didik. Panggilan hati nurani guru merupakan dasar kewajiban yang harus melekat pada pendidik untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan pendidikan. Oleh karena itu, eksistensi yang sering dilekatkan pada pendidik adalah pembimbing, pengasuh, bahkan guru spiritual.
Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1988 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional. Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
a.         Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
b.        Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
c.         Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
d.        Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
e.         Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI, MGMP, KKG, dan organisasi profesi lainnya.
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
o    Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
o    Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
o    Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
o    Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
o    Menguasai landasan-landasan pendidikan.
o    Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
o    Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
o    Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
o    Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
o    Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Karakteristik guru professional yang sangat perfeksionis itu, dalam undang-undang guru dan dosen disebutkan beberapa kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu: 1) kompetensi pribadi; 2) kompetensi paedagogik; 3) kompetensi professional, dan 4) kompetensi sosial.
1)  Kompetensi  Pribadi
Dalam pasal empat UU Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru yang professional setidaknya pribadi guru harus memiliki kompetensi sebagai berikut: a)    berakhlak mulia; b)  arif dan bijaksana; c)  mantap; d) berwibawa; e) stabil; f) dewasa; g)  Jujur; h) menjadi teladan bagi peserta didik dan  masyarakat; i) secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri; dan j) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
2) Kompetensi Paedagogik
Kompetensi paedagogik adalah kompetensi guru yang berkaitan dengan landasan dan wawasan keilmuan yang mendasari tugas guru sebagai seorang pendidik, yang meliputi: a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; b) pemahaman terhadap peserta didik; c)  pengembangan kurikulum/silabus;
d) perancangan pembelajaran; e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; f) pemanfaatan teknologi pembelajaran; g) evaluasi hasil belajar; dan h) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
3) Kompetensi  professional
Kompetensi professional menurut UU Guru dan Dosen adalah merupakan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:
a) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; dan
b) konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan.
Profesionalisme pendidik dalam konteks pembelajaran lebih pada kemampuan pendidik dalam mendesain strategi pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Strategi pembelajaran merupakan elemen penting yang harus dikuasai oleh pendidik yang profesional, baik mengenai definisi, klasifikasi, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkaitan dengan strategi pembelajaran, ada empat hal yang harus dijalankan oleh pendidik yang profesional. Pertama, mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku serta kepribadian peserta didik yang diharapkan. Kedua, memilih sistem pendekatan pembelajaran berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat. Ketiga, memilih dan menetapkan metode dan teknik pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Pemilihan metode dan teknik pembelajaran ini berkaitan dengan pemilihan media pembelajaran dan pengelolaan kelas. Keempat, menerapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan untuk dapat menjadi pedoman dalam melakukan evaluasi.
Profesionalisme pendidik yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal penting. Pertama, model pembelajaran yang meliputi pendidik menyampaikan dan peserta didik menerima materi pelajaran (expository teaching-receptive learning), pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik dan pendidik sebagai fasilitator (active learning), situasi interaktif antara pendidik dengan peserta didik (interactive learning), dan peserta didik dimotivasi untuk mencarimenemukan,  dan  memecahkan  masalah  sendiri  (inquiry-discovery-problem  solving).  Kedua, pengelolaan kelas yang  meliputi pendekatan klasikal, kelompok, dan individual. Ketiga, sasaran pembelajaran  yang  meliputi  pendekata pengalaman,  pembiasaan,  emosional,  rasional,  dan fungsional.
4) Kompetensi sosial
Kompetensi sosial berkaitan dengan eksistensi guru sebagai panutan di lingkungan kolega dan masyarakat di mana ia tinggal. Kompetensi social yang harus dimiliki guru setidaknya meliputi: a) berkomunikasi lisan, tulisan, dan/atau isyarat; b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; c)  bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orangtua/wali peserta didik; d)  bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; dan  e) Menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan. 

BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan                 Pendekatan kualitatif naturalistik karena subjek yang diteliti berlangsung                  dalam latar yang wajar dan bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis,                 dan memberkan makna tentang apa dibalik Implementasi Supervisi Klinis                  Kepala Sekolah dalam memperbaiki kinerja guru Pai di SMPN 2 dan 3                  Wabula.
Berkenaan dengan hal tersebut istilah naturalistik sebagaimana yang di ungkapkan oleh Arikunto (2002:11), bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alami, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami terkait hal ihwal kepala sekolah sebagai supervisi klinis. Pengambilan data, atau penjaringan fenomena dilakukan dari keadaan yang sewajarnya, dikenal dengan sebutan pengambilan secara alami atau natural. Dan pelibatan peneliti dilaoangan secara langsung. Penelitian kualitatif menurut Faisal )1990:1) berarti membicarakan sebuah metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup pandangan-pandsngsn filsafat mengenai disciplinet inquiry, dan mengenai realitas dari obyek yang di Studi dalam ilmu-ilmu sosial dan tingkah laku, bukan sekedar membicarakan metode penelitian yang sifatnya lebih teknis kemetodean dalam pekerjaan penelitian. Bogdam dan Taylor yang dikutip oleh Basrowi dan Sukidin menyatakan, bahwa penelitian kualitarif adalah salah satu prosedur penelitian yang menhasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menugungkap suatu gejala secara holistik kontekstual yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati dengan konteks apa adanya. Oleh karena itu penelitian ini harus memenuhi karakteristik penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah multi situs.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian multi situs, dengan cara mendalam bagaimana implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam memperbaiki kinerja guru pai dalam meningkatkan mutu pendidikan PAI. Ada beberapa alasan  yang mendasar yaitu: (1) multi situs dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antara peneliti dan yang di teliti serta proses yang memerlukan penjelasan dan dan pemahaman yang lebih luas. (2) Multi situs memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. Dengan melalui penyelidikan, peneliti dapat menemukan karakteristik seseorang dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak diharapkan sebelumnya. (3) Multi situs dapat menyajikan data-data dan temuan yang sangat bergunasebagai dasar untuk membangun  permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu yang lain.

B.   Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti dalam penelitian kualitatif mutlak diperlukan,  sebab peneliti berdudukan sebagai instrument utama atau pokok, hal ini sesuai dengan pendapat Guba dan Lincoln Lexy J Moleong (1999:21) mengemukakan bahwa “ peneliti adalah segalanya dari keseluruhan penelitian”. Sedangkan instrument selai peneliti yang berbentuk alat-alat bantu dan dokumen lainnya, hanya berfungsi sebagai penguat atau instrument pendukung. Oleh karena itu, untuk memgumoulkan data secara komprehensif, maka kehadiran peneliti di lapangan (obyek) sangat diutamakan, karena pengumpulan data harus dilakukan dalam situasi yang sebenarnya (Onyektif).  Sebagaimana dikemukakan Nasution (1998:9) bahwa peneliti bertindak sebagai instrument kunci atau instrument utama dalam pengumpulan data (key instrument). Lebih lanjut Moleong (1999:121) mengatakan, bahwa kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif ini cukup rumit, sebab peneliti sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis data, penafsiran data dan akhirnya ia menjadi pelopor hasil penelitiannya. Disamping itu peneliti juga berperang sebagai pengamat partisipasif atau pengamat yang berperan serta agar peneliti dapatmengamati obyek secara langsung, sehingga data yang dikumpulkan benar-benar lengkap karena diperoleh dari interaksi sosial dan butuh waktu entyang cukup antara peneliti dengan obyek, yakni kepala smpn 2 dan smpn 3 Wabula.
Berkenaan dengan hal tersebut peneliti harus bersikap cermat dan hati-hati dalam mencari data di lapangan agar mendapatkan data yang valid, obyektif dan bisa dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan dan lupa terkait dengan data atau sumber informasi lain yang diperoleh, seorang peneliti harus mengonsep atau membuat catatan lapangan, kemudian catatan lapangan tersebut disusun sedemikian rupa, dianalisis, dan disimpulkan  sehingga menjadi laporan penelitian. Sebagaimana dikatakan Moleong (1999:52) bahwa catatan lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian kualitatif, karena peneliti mengandalkan pengamatan atau wawancara dalam pengumpulan data di lapangan.
Kemampuan peneliti sebagai instrument pokok, dapat dilatih dengan seringnya berkunjung kelokasi penelitian untuk mengadakan wawancara dengan informan utama kepala sekolah dan guru Pai atau informan pendukung (guru dan staf sekolah), mengadakan pengamatan secara langsung terhadap subyek yang di teliti, memperoleh berbagai informasi, pengalaman, pengumpulan berbagai data dan lain-lain.
Namun demikian mengingat peneliti dalam menangkap berbagai informasi memiliki keterbatasan, maka peneliti mengambil data maka peneliti dibantu oleh alat bantu peneliti berupa: buku catatan, bollpoint,kamera,tape recorder, handy camp, hand phone, dan lain sebagainya, sehingga data yang diperoleh peneliti memiliki akurasi tinggi.
Dalam penelitian ini, sumber data penelitian bisa berupa peristiwa, letak, benda, orang, dokumen dan lain-lain. Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini, dapat dikelompokkan menjadi dua,  yaitu sumber data utama dan pendukung. Sumber data utama atau informan kunci dalam penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru Pai smpn  2 dan smpn 3 wabula, sedangkan sumber data pendukung yaitu orang-orang yang ditunjuk informan kunci yang dianggap mengerti tentang masalah yang akan diteliti (wakil kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, komite sekolah, orang tua wali, serta siswa). Menurut Riyanto (2007:11) sumber data penelitian ini bisa dilaksanakan dengan cara snow hall sampling, yaitu cara menggali sumber data atau informan lain, membandingkan dan mengecek ulang derajat kepercayaan data yang diperoleh dengan menggunakan sumber lain atau informan yang berbeda.
Informan kunci akan merujuk orang-orang yang mengetahui masalah yang akan di teliti untuk melengkapi keterannya, dan orng-orang yang ditunjuk akan merujuk orang lain bil keterangan yang diberikan kurang memadai, begitu seterusnya, dan proses ini akan berhenti jika data yang akan digali diantara informan yang satu dengan yang lainnya ada kesamaan, sehingga data dianggap cukup dan tidak ada yang baru.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini, berbagai sumber dan teknik. Data yang berupa dokumen akan digunakan dengan teknik documenter, data tentang peristiwa, dan penilaian sehari-hariakan digunakan dengan teknik pengamatan langsung atau observasi. Sedangkan realitas simbolik, sebagaimana dipikirkan, dipahami, dan dihayati oleh orang-orang yang ada didalam lingkungan subyek penelitian, akan digunakan dengan wawancara mendalam.

C.     Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Sekolah Menengah Pertama negeri 2 Wabula dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Wabula. Lokasi tersebut menunjukan data-data yang unik dan menarik untuk diteliti jika dianalisis dengan perkembangan kedua lembaga tersebut sampai sekarang yaitu:
1.        Lembaga atau sekolah tersebut merupakan dua lembaga pendidikan punya nama dan yang boleh dikatakan usia muda karena baru beberapa tahun berdirinya tapi cukup mempunyai nama dan image di masyarakat setempat, dan menjadi pilihan peserta didik.
2.        Lembaga atau sekolah tersebut merupakan dua lembaga pendidikan yang mempunyai prestasi dan mutu yang cukup gemilang disbanding dengan lembaga-lembaga lainnya, terbukti dengan adanya berbagai prestasi yang diperoleh.
3.        Lembaga atau sekolah tersebut merupakan dua lembaga pendidikan yang mempunyai pemimpin professional. Hal tersebut terbukti dan adanya kebijakan-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh kedua kepala sekolah yang dilaksanakan oleh stakholdiers terkait.
Demikianlah alasan yang peneliti kemukakan sehingga lembaga-lembaga atau kedua sekolah tersebut menurut peneliti, merupakan lembaga yang unik dan menarik untuk diteliti.

D.  Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian menurut Arikunto (2002:107), adalah subjek dimana data diperoleh. Sedangkan menurut Lofland, yang dikutip oleh Moleong, (2006:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Adapun sumber data terdiri dari dua macam:
(1)     Sumber Data Primer
Menurut Sugiono (2006:253), sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini, sumber data primer yang diperoleh oleh peneliti adalah hasil wawancara dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, siswa dan komite sekolah.
(2)     Sumber Data Sekunder
Menurut Sugiono (2006: 253), sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Sumber data sekunder yang diperoleh peneliti adalah data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berkaitan berupa data-data sekolah dan berbagai literatur yang relevan dengan pembahasan, seperti: wawancara dari masyarakat sekitarnya, arsip-arsip sekolah, dan lain-lain. Data sekunder adalah data yang diperoleh diluar kata-kata dan tindakan yaitu sumber data tertulis. Sumber data tertulis dibagi atas sumber data dari buku, majalah ilmiah, arsip maupun dokumentasi yang digunakan peneliti dalam penelitian ini, yang diantaranya sebagai berikut:
a.         Sumber Data Tertulis
Sumber diluar kata dan tindakan merupakan sumber data, tetapi hal itu tidak bias diabaikan. Menurut Molleong (2010:159), bahwa tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku, majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi.
b.        Foto
Foto banyak digunakan sebagai alat keperluan penelitian kualitatif, karena dapat dipakai berbagai keperluan. Foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi-segi subyektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif. Ada dua kategori foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan oleh peneliti sendiri (Molleong, 2010:161).
c.         Data Statistik
Data statistic dapat membantu memberikan gambaran tentang kecenderungan subyek pada latar penelitian. Tetapi dalam penelitian ini tidak terlalu banyak mendasarkan atas data statistic. Data statistic hanya dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk mengatasi dan mengarahkan peneliti pada kejadian dan peristiwa yang ditemukan sesuai dengan masalah dan tujuan dari penelitian (Molleong, 2010:163.

E.  Prosedur Pengumpulan Data
Agar penelitian ini memiliki keakuratan data dan agar peneliti mampu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya serta valid, maka peneliti menggunakan tiga macam teknik pengumpulan data,  yaitu:
(1)     Metode Observasi
Suharsimi Arikunto (2002:204), mengemukakan bahwa observasi atau disebut juga dengan pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan segala indera. Berdasarkan definisi di atas maka yang dimaksud metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data melalui pengamatan panca indera yang kemudian diadakan pencatatan-pencatatan.
Adapun Sparadley (1980) dalam Hasan, dkk (2013:131) menjelaskan bahwa peran dalam observasi dapat dibagi menjadi; (1) tidak berperan sama sekali, (2) berperan pasif, (3) berperan aktif, (4) berperan penuh, dalam arti peneliti benar-benar menjadi warga atau anggota kelompok yang sedang diamati.
Dalam observasi tidak berperan, kehadiran peneliti untuk melakukan observasi sama sekali tidak diketahui oleh subyek yang diamati. Subyek yang diamati setelah melihat bahwa kehadiran peneliti ternyata tidak beran apa-apa, maka perilaku subyek akan semakin kembali menurut apa adanya sesuai dengan kondisi aslinya.
Observasi berperan pasif mengenai perilaku dan kondisi lingkungan penelitian bisa dilakukan baik secara formal maupun informal. Dalam observasi ini peneliti hanya mendatangi lokasi , tetapi sama sekali tidak berperan sebagai apa pun selain sebagai pengamat pasif.
Tidak demikian halnya dengan observasi berperan aktif, atau berperan sepenuhnya. Observasi ini merupakan cara khusus dan peneliti tidak bersikap pasif sebagai pengamat, tetapi memainkan berbagai peran yang dimungkinkan dalam suatu situasi yang berkaitan dengan penelitiannya, dengan mempertimbangkan akses yang bisa diperolehnya yang bisa dimanfaatkan bagi pengumpulan data.
Dalam penelitian ini, peneliti terlibat secara langsung selama mengobservasi kepemimpinan kepala sekolah visioner, sehingga dapat dikatakan bahwa peneliti menggunakan model observasi yang ketiga yaitu observasi berperan aktif, sehingga dimungkinkan dapat mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk kepentingan penelitian ini. 
Penulis menggunakan metode ini untuk mengamati secara langsung di lapangan, terutama data tentang : (a) Letak geografis serta keadaan fisik SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula; (b) Fasilitas/sarana prasarana pendidikan yang ada di SMPN 2 SMPN 3 Wabula (c) dan kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dalam mengelola mutu pendidikan di lembaganya masing-masing.   
(2)   Metode Wawancara
             Menurut Moleong, (2006:186). Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Metode wawancara atau metode interview digunakan kalau seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.
            Metode interview ini digunakan oleh penulis dengan tujuan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dalam mengelola mutu pendidikan. Adapun sumber informasi (informan) adalah kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, murid dan komite SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula.
             Ada beberapa macam wawancara yaitu: (1) wawancara terstruktur. Digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila telah mengetahui informasi yang akan diperoleh, (2)  wawancara semi terstruktur. Digunakan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya, (3) wawancara tak terstruktur. Digunakan saat penelitian pendahuluan atau malahan penelitian yang lebih mendalam tentang subyek yang diteliti.
             Dalam penelitian ini, peneliti melaksanakan wawancara menggunakan bentuk wawancara yang pertama yaitu wawancara terstruktur. Metode ini digunakan agar peneliti berhasil mengumpulkan dan mendapatkan data-data yang lebih lengkap. Hal ini menjadikan pelaksanaan wawancara menjadi lebih terarah pada apa yang telah ditentukan oleh peneliti.
(3)    Metode Dokumentasi
            Tidak kalah penting dari metode-metode lain adalah metode dokumentasi. Menurut Arikunto (2002:206), metode ini digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya. Dokumen penting yang berupa  peristiwa penting dan benda-benda yang punya hubungan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dokumen yang diselidiki dalam penelitian ini diantaranya adalah sejarah berdirinya sekolah, sejarah kepemimpinan kepala sekolah, struktur organisasi sekolah, data guru, data TU/karyawan, siswa, dan data sarana maupun prasarana. Dibandingkan dengan metode lain, maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.
            Dari definisi di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dokumentasi yang penulis gunakan adalah dengan mengambil kumpulan data yang ada di kantor SMPN 2  dan SMPN 3  Wabula, baik berupa tulisan, papan nama, arsip kegiatan kesiswaan, dan brosur profil SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula.
             Menurut Patton (Moleong, 2006:165), menyatakan bahwa Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, Kategori, dan suatu uraian dasar. Sedangkan penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yakni analisis yang dilakukan hanya sampai pada laporan yang menggambarkan apa yang terjadi di lapangan dengan mengombinasikan dua cara berfikir baik induktif maupun deduktif.
           Adapun langkah-langkah yang ditempuh peneliti untuk menganalisis data setelah terkumpul adalah:
(1)     Editing, yaitu proses yang dilaksanakan oleh peneliti dalam memilah-milah data yang terkumpul dari lapangan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Setelah data yang terkumpul dirasa cukup lengkap, baik dan sesuai untuk menjawab fokus penelitian ini, maka proses editing dianggap mencukupi sehingga dapat dilaksanakan proses berikutnya.
(2)     Interpretasi, yaitu proses yang dilaksanakan oleh peneliti ketika berusaha mencari makna atau arti yang lebih luas dan terpercaya dari hasil temuan penelitian maupun data-data yang digunakan sebagai jawaban terhadap fokus penelitian sehingga dijadikan sebagai hasil penelitian. hasil interpretasi ini kemudian digabungkan dengan teori-teori yang diperoleh melalui penelitian perpustakaan.
            Verifikasi, Peneliti berusaha semaksimal mungkin menemukan kesimpulan agar  tidak bersifat kabur, maka harus diverifikasi sehingga kesimpulan bersifat grounded. Tahapan selanjutnya dari analisis data adalah mendeskripsikan data sesuai katagori dan tema dari fokus penelitian ini sehingga pembaca dapat memahami tema dan temuan dalam penelitian ini.
             Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian, karena akan menjamin kepercayaan data yang telah terkumpul sebagai jawaban terhadap pemecahan masalah yang diteliti. Demikian halnya dalam penelitian ini, proses pengecekan keabsahan data menjadi suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh peneliti. Pernyataan Moleong (2006:326-338), pemeriksaan keabsahan data didasarkan atas kriteria tertentu. Kriteria itu terdiri atas derajat kepercayaan (kredibilitas), keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Masing-masing kriteria tersebut menggunakan teknik pemeriksaan sendiri-sendiri. Kriteria derajat kepercayaan pemeriksaan datanya dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

F.    Teknik Perpanjangan Keikutsertaan
Dalam penelitian ini, peneliti telah berusaha dengan maksimal untuk mengumpulkan data sesuai jadwal penelitian yang telah ditentukan. Dalam masa pengumpulan data, peneliti sangat terbuka terhadap pengaruh ganda, yaitu faktor-faktor kontekstual dan pengaruh bersama pada peneliti dan subjek yang akhirnya mempengaruhi fenomena yang diteliti. Jika data yang telah terkumpul dirasa masih kurang, maka peneliti dengan segera menggali lagi ke lokasi penelitian untuk memperpanjang masa penelitian sehingga terkumpullah data dengan hasil yang maksimal yang kelak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
1.    Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menentukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut dengan rinci (Moleong, 2006:329). Dalam proses ini peneliti berusaha tekun dalam mengamati perilaku kepala sekolah dalam segala hal baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah sehingga pelaksanaan peranannya terhadap tugasnya sebagai kepala sekolah yang visioner terlihat dengan jelas. Sehingga peneliti tidak sampai salah langkah dalam mengambil data-data yang dibutuhkan dan tidak salah dalam mengambil kesimpulan, yang akhirnya diharapkan tidak mengalami kesalahan dalam penulisan laporan penelitian ini.
2.    Triangulasi
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperlu pengecekan dan sebagai pembanding terhadap data tersebut. Ada empat macam triangulasi seperti dikemukakan Denzim dalam Moleong (1988:178), yaitu teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber data dan teknik pengumpulan data. Triangulasi sumber data ditempuh dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan data yang diperoleh dari seorang informan dengan informan lainnya.
              Teknik pengecekan data tersebut dilakukan dengan cara mendatangi setiap informan dan memperlihatkan data atau informasi, termasuk intrepretasi  peneliti terhadap data yang sudah berbentuk transkrip. Mereka diminta untuk mengecek kembali dan memberikan komentar atau menambahkan dan mengurangi apabila dipandang perlu sebagai revisi.  
Sebagai seorang mahasiswa yang masih membutuhkan banyak belajar, peneliti memandang perlu untuk melakukan diskusi melalui teman sejawat tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan keabsahan data. Hal ini peneliti lakukan dengan cara melaksanakan diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat yang dianggap lebih memahami metode penelitian yang dalam prosesnya dengan cara mengekspos hasil diskusi tersebut berhasil diketahui mana data yang relevan dan yang tidak relevan serta data mana yang perlu dikurangi atau ditambah sesuai dengan fokus penelitian.
Dalam penelitian ini, ada beberapa tahapan penelitian:
1.    Tahapan pra lapangan.
Tahapan ini merupakan langkah awal dalam penelitian ini yang dimulai dengan memilih lapangan atau lokasi penelitian, dengan pertimbangan bahwa SMPN 2 dan MPN 3 Wabula merupakan dua lembaga pendidikan yang berada dalam naungan Dinas Pendidikan.
2.    Tahapan pekerjaan lapangan.
Dalam tahapan ini peneliti mengawali dengan mengadakan observasi langsung ke SMPN 2 dan SMPN 3 Kecamatan Wabula terhadap kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dalam mengelolah mutu pendidikan dengan melibatkan beberapa informan untuk memperoleh data.
Dilanjutkan dengan melaksanakan proses pengamatan langsung pada berbagai fenomena yang terlihat jelas di lapangan seperti, proses pembelajaran yang diselingi dengan wawancara langsung dengan beberapa pihak yang bersangkutan pada kegiatan tersebut. Peneliti dalam proses ini juga ikut berperan serta sambil mengumpulkan data yang diperlukan.
3.    Tahapan penyusunan laporan
Setelah tahap pra lapangan dan tahap pekerjaan lapangan selesai, maka       kegiatan penelitian ini dilanjutkan dengan penyusunan laporan. Laporan yang telah disusun kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing untukdikoreksi dan diberi masukan demi penyempurnaan laporan hasil penelitian.   Berdasarkan masukan dan catatan dosen pembimbing, laporan penelitian ini  direvisi sampai dianggap siap untuk diujikan, dengan demikian selesai sudah tahap penyusunan laporan dalam penelitian ini.

G.   Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis hasil obesrvasi, transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti untuk meningkatkan pemahaman tentang kasus yang diteliti ,untuk dilaporkan. Peneliti memproses data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, observasi, catatan lapangan, dan dokumen. Kemudian data dianalisis sedemikian rupa sehingga menjadi paparan data yang mudah dipahami dan kemudian diteliti dengan pendekatan kualitatif.
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, dan memilah-milah data menjadi satuan yang dapat dikelolah, mengsinteskannya, mencari dan menemukan pola, menemukaan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2010:248). Analisis data kualitatif merupakan suatu teknik yang menguraikan dan mendeskripsikan data-data yang telah terkumpul secara menyeluruh tentang keadaan yang sebenarnya.
Menurut Molleong (2010:2480) proses analisis data sebagai berikut:
1)         Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan halite diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
2)        Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtiar, dan membuat indeksnya.
3)        Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan,dan membuat tmuan-temuan umum.
Berkaitan dengan hal tersebut, setelah memperoleh data lapangan, peneliti mengumpulkan, memilih dan memilahny. Selanjutnya menganalisis data-data untuk mendapatkan gambaran dan pedoman yang menyeluruh terkait implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam memperbaiki kinerja guru pai di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kecamatan Wabula Kabupaten Buton.
Dalam melakukan analisis data dari hasil pengumpulan data dari lapangan   
peneliti menggunakan model analisis dari kualitatif yang dikemukakan oleh Milles dan Hubberman (1997:16) yng meliputi kegiatan, (1) pengumpulan data, (2) reduksi data (data reduction), (3) penyajian data (data display), dan (4) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Berdasarkan teknik diatas, maka analisis data dalam penelitian ini adalah proses mencari, mengatur, menyusun, melaporkan, serta mendeskripsikan hasil observasi, wawancara, dan catatan lapangan lainnya.

H. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk menjamin kepercayaan atau validitas data yang diperoleh melalui penelitian, makadiperlukan adanya uji kabsahan data dan kelayakan data yang dijelaskan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1.     Diskusi sejawat
Diskusi sejawat yaitu dengan mengekpos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat yang memiliki kemampuan, keahlian bidang pendidikan yang berkitan dengan kompetensi kepala sekolah. Diskusi rekan sejawat ini dilakukan dengan cara membahas data dan temuan-temuan penelitian selama peneliti di lapangan, peneliti akan mendiskusikan kembali tentang data yang diperoleh, baik dengan guru maupun kepala sekolah. Melalui diskusi rekan sejawat ini, teman-teman peneliti atau sesame peneliti diharapkan banyak memberikan konstribusi dalam penelitian ini.

2.     Triangulasi Metode
Menggunakan triangulasi metode ini berarti mengecek dan membandingkan tingkat kepercayaan atau kebenaran suatu informasi  atau data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai metode pengumpulan data, yaitu dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan cara: (1) membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara, (2) membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang diperoleh dari metode dokumentasi. (Riyanto,2007:18) Pembandingan tersebutpeneliti gunakan untuk mencari data yang valid yang kemudian dianalisis dengan teknik analisis data.

I. Tahapan-Tahapan Penelitian
Ada beberapa tahapan dalam pelaksanaan penelitian tentang “Implementasi Supervisi klinis Kepala Sekolah sebagai supervisor dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula ini yaitu:      Pertama, peneliti melakukan observasi tentang persoalan supervisi kepala sekolah kepada guru pai di SMPN 2 dan SMPN 3 wabula yang menjadi subyek dalam penelitian, berbagai problem, dan keberhasilan kepala SMPN 2 dan SMPN 3 serta keunikan yang ada, bahkan di sini peneliti secara formal juga telah mendapatkan ijin untuk melakukan penlitian di subyek yang peneliti akan teliti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a)    Tahapan Pra Lapangan
Tahapan ini merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk memahami situasi latar penelitian dengn langkah-langkah:
1)        Menentukan lapangan penelitian dengan pertimbangan bahwa SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula yang melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar secara full day dan berbagai kegiatan lainnya.
2)        Menyusun proposal penelitian.
3)        Mempersiapkan keperluan penelitian lapangan seperti membuat pedoman interview dan lain sebagainya.
b)       Tahapan Pelaksanaan Penelitian:
Tahapan ini merupakan tahapan tindak lanjut dari sebelumnya, yang merupakan langkah implementasi dari yang telah direncanakan, artinya peneliti terjun dalam kancah penelitian dan melakukan penelitian secara intensif sebagai berikut:
1)        Melakukan pengamatan ke SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton.
2)        Melakukan wawancara dengan para informan.
3)        Mengumpulkan semua data yng dianggap perlu melalui proses dokumentasi.
c)        Tahap akhir penyelesaian.
Setelah data terkumpul, peneliti memilih data yang diperlukan untuk dianalisis dan dideskripsikan agar didapatkan pemahaman dan hasil penelitian yang utuh tentang implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam memperbaiki kinerja guru pai di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula. Selanjutnya menyusun laporan hasil penelitian dalam bentuk tulisan sesuai ketentuan yang ditetapkan, kemudian tahap paling akhir adalah uji tesis.