IMPLEMENTASI SUPERVISI KLINIS KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KINERJA GURU PAI DI SMPN 2 DAN SMPN 3 WABULA KABUPATEN BUTON
(Studi Multi Situs di Kecamatan
Wabula Kabupaten Buton)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Konteks
Penelitian
Pendidikan di Indonesia saat ini sedang
mengalami tantangan yang cukup berat, dengan makin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang kehidupan manusia. Peran lembaga
pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis, dalam meningatkan mutu
pendidikan di Indonesia, dan harus didukung oleh seluruh stakholders terkait
yang terorganisir secara rapi.
Kepala sekolah merupakan elemen penting dalam
mengembangkan mutu pendidikan, maju dan tidaknya sekolah tergantung pada
perannya dalam mengambil inisiatif dan menjalangkan berbagai program di
sekolah. Menurut Munir (2008:6). Kepala sekolah sebagai penentu kebijakan harus
memfungsikan perannya secara maksimal dan mampu memimpin sekolah dengan bijak
dan terarah, serta mengarah pada pencapaian tujuan yang optimal pula, demi
terwujudnya mutu pendidikan yang lebih baik.
Kepala sekolah mempunyai wewenang dan
kekuasaan, serta kompetensi untuk mengatur dan mengembangkan bawahannya secara
professional. Dengan demikian kepala sekolah harus memiliki kompetensi
professional yaitu: (1) kepala sekolah sebagai pemimpin, (2) kepala sekolah
sebagai manajer, (3) kepala sekolah sebagai supervisor, (4) kepala sekolah
sebagai pendidik.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini
peneliti dapat menggambarkan dan menceritakan mengenai keadaan kepala sekolah
dan guru Pendidikan Agama Islam sebagai ujung tombak dalam proses belajar
mengajar, untuk menjadikan manusia yang berahlak mulia, dan mengembangkan mutu
Pendidikan Agama Islam pada lembaga pendidikan, dalam hal ini juga tidak
terlepas dari perang kepala sekolah dan guru Pendidikan Agama Islam yang
merupakan elemen penting dalam mengembangkan mutu Pendidikan Agama Islam pada
lembaga pendidikan, maju dan tidaknya pembelajaran pendidikan Agama Islam di
sekolah tergantung perannya dalam mengambil insiatif dan menjalankan berbagai
program di sekolah. Menurut Munir (2008 : 6) Kepala sekolah sebagai penentu
kebijakan harus memfusikan perannya secara maksimal dan mampu memimpin sekolah
dengan bijak dan terarah, serta mengarah kepada pencapaian tujuan yang optimal
demi terwujudnya mutu pendidikan yang lebih baik, dalam hal ini kepala sekolah
mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk mengatur dan maju mundurnya suatu
lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Sementara seorang guru harus memiliki
kompeteni sosial, sebab bagaimanapun juga ketika proses pendidikan berlangsung
dampaknya akan dirasakan bukan saja oleh siswa itu sendiri, melainkan juga
masyarakat yang menerima lulusannya (Usman:2001).
Setelah diamati dan dihayati panjang
lebar, disamping memiliki sandaran teori juga diperkuat dengan sandaran
observasi terdahulu. Pada uraian yang menjadi fokus permasalahn adalah
terjadinya ketidak jelasan disana-sini,
artinya ada guru selalu menyuruh yang
tidak sesuai teori, atau mencatat sampai selesai jam pelajaran, ada guru
menyuruh siswa diluar jam sekolah untuk kepentingan pribadinya, bahkan ada guru
umum yang mengajar Pendidikan Agama Islam yang tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikannya, sebab saat ini banyak dijumpai guru yang salah tempat,
ia memiliki ijazah kesarjanaan bidang ilmu tertentu, tetapi terpaksa harus mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai
dengan kesarjanaannya, hal ini menjadi salah satu penyebab gagalnya pemahaman
konsep materi kepada siswa. Dahrin (2000) mengemukakan bahwa banyak di antara
guru yang tidak berkualitas dan salah dalam menyampaikan materi ajar sehingga
mereka tidak/kurang mampu menyajikan dan melaksanakan pendidikan yang
benar-benar berkualitas. Keadaan inilah yang merupakan salah satu pertimbangan
Pemerintah (Depdiknas) untuk menyelenggarakan sertifikasi guru, agar kompetensi
yang dimiliki guru benar-benar dapat diukur. Berdasarkan kasus diatas, maka
peneliti berkeinginan melakukan penelitian, bagaimanakah implementasi supervisi
klinis yang dilakukan oleh kepala sekolah berdasarkan kasus yang ada seperti di
ungkapkan diatas, selanjutnya disebut supervisi klinis, baik di Sekolah
menengah pertama negeri 2 Wabula maupun di Sekolah menengah pertama negeri 3
Wabula, sehingga fokus penelitian adalah Implementasi Supervisi klinis Kepala
Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah
menengah pertama negeri 2 Wabula dan Sekolah menengah pertama negeri 3 Wabula.
Supervisi klinik mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan
oleh Morris L. Cogan, Robert Goldammer dan Richart Weller di Universitas
Harvard pada akhir tahun lima puluhan dan awal dasa warsa enam puluhan
(Krajewski, 1982:63). Supervisi klinis merupakan satu strategi yang
sangat berguna dalam supervisi pembelajaran, sebagai peningkatan kemampuan
profesional guru. Ada dua asumsi yang mendasari praktik supervisi klinis.
Pertama, pembelajaran merupakan aktivitas yang sangat kompleks yang memerlukan
pengamatan dan analisis secara hati-hati. Melalui pengamatan dan analisis ini,
seorang supervisor pendidikan akan dengan mudah mengembangkan kemampuan guru
dalam mengelolah proses pembelajaran. Kedua, guru-guru yang profesionalismenya
ingin dikembangkan lebih menghendaki cara kesejawatan dari pada cara yang
otoriter.
Acheson dan Gall menyatakan bahwa supervisi klinis adalah
proses membinaan guru untuk memperkecil jurang antara perilaku mengajar nyata
dengan perilaku mengajar seharusnya yang ideal. Tujuan supervisi klinis adalah
memperbaiki perilaku guru dalam proses belajar mengajar, terutama yang kronis
secara aspek demi aspek dengan intensif, hingga mereka dapat mengajar dengan
baik (Pidarta, 2002:249). Hal ini berarti perilaku yang tidak kronis bisa
diperbaiki dengan teknik supervisi yang lain.
Dalam tulisan ini penulis membahas tentang model supervisi klinis dan
efektivitasnya dalam supervisi pendidikan.
Ada dua asumsi yang mendasari praktek supervisi klinis,
yaitu : 1) pengajaran merupakan aktivitas yang sangat komplek yang memerlukan
pengamatan dan analisis secara hati-hati. Melalui pengamatan dan analisis ini
supervisor pengajaran akan mudah mengembangkan kemajuan guru mengelola proses
belajar mengajar, dan 2) guru-guru merupakan profesi dan profesionalnya ingin
dikembangkan lebih menghendaki cara yang kelompok dari pada yang autorium.
Supervisi klinis pada dasarnya merupakan pembinaan performansi guru mengelola
proses belajar mengajar, pelaksanaannya didesain dengan praktis dan rasional,
baik desainnya mapun pelaksanaannya dilakukan atas dasar analisis data mengenai
keiatan-kegiatan di kelas. Data dan hubungan antara guru dan supervisor
merupakan dasar program prosedur, dan strategi pembinaan perilaku mengajar guru
dalam mengembangkan belajar murid (Bafadal, 1992:90).
Supervisi klinis merupakan salah satu jenis supervisi yang
dilakukan oleh kepala sekolah terhadap para guru. Jenis supervisi ini merupakan
bantuan professional yang diberikan secara sistematik kepada guru berdasarkan
kebutuhan guru tersebut dengan tujuan untuk membina guru serta meningkatkan
profesionalisme dalam melaksanakan proses pembelajaran. Kepala sekolah selaku
supervisor klinis selain sebagai penanggungjawab tugas-tugas supervisi klinis,
juga harus melakukan akuntabilitas terhadap tugas-tugas tersebut. Maksudnya
jika tanggung jawab merupakan usaha agar apa yang dibebankan kepadanya dapat
diselesaikan sebagaimana mestinya dalam waktu tertentu, maka akuntabilitas
harus melebihi dari kewajiban itu.
Pengertian supervisi klinik bisa dibaca dari istilah klinik
itu sendiri adalah clinikal artinya berkenaan dengan menangani
orang sakit. Sama halnya dengan mendiagnosa dalam proses belajar mengajar,
untuk menemukan aspek-aspek mana yang membuat guru itu tidak dapat mengajar dengan
baik. Jadi supervisi klinis merupakan satu model supervisi untuk menyelesaikan
masalah tertentu yang sudah diketahui sebelumnya hanya dengan cara seperti ini
(Pidarta, 2002:251). Proses pembinaan guru untuk memperkecil jurang antara
perilaku mengajar secara nyata dengan perilaku mengajar seharusnya yang ideal.
Sementara itu Lucil (1979) membatasi maksud supervisi klinis hanya untuk
menolong guru-guru agar mengerti inovasi dan mengubah permonia mereka agar
cocok dengan inovasi itu.
Supervisi klinis adalah pembinaan performansi guru mengelola
proses pembelajaran (Sullivan & Glanz, 2005). Menurut Sergiovanni (1987)
ada dua tujuan supervisi klinis: pengembangan profesional dan motivasi kerja
guru. Supervisi klinis dapat dianalogikan dengan istilah klinis dalam dunia
kesehatan yang menunjuk pada suatu tempat untuk berobat. Seorang pasien datang
ke klinis bukan karena diundang dokter melainkan karena ia membutuhkan
pengobatan agar sembuh dari penyakitnya. Selanjutnya, dokter mengadakan
diagnosis dan resep untuk mengobati penyakit pasiennya. Dalam dunia sekolah,
guru datang sendiri menemui kepala sekolah untuk meminta bantuan memecahkan
permasalahan yang sedang dihadapinya. Beberapa ahli mengemukakan pengertian
supervisi klinis sebagai berikut.
1.
Richart
Waller, supervisi klinis sebagai supervisi yang difokuskan pada perbaikan
pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistematis dari tahap perencanaan,
pengamatan dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar
sebenarnya dengan tujuan untuk memodifikasi yang rasional.
2.
Keith
Scheson dan Mandith D. Call mengemukakan batasannya tentang supervisi klinis
sebagai berikut : supervisi klinis adalah proses membantu guru memperkecil
jurang antara tingkah laku mengajar yang ideal. Secara teknis ahli ini mengemukakan
bahwa supervisi klinis adalah suatu model supervisi yang terdiri dari tiga fase
yakni : pertemuan perencanaan, observasi kelas dan pertemuan balikan.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat diambil simpulan
bahwa supervisi klinis adalah suatu teknik supervisi yang dilakukan oleh
supervisor untuk memberikan bantuan yang bersifat profesional yang diberikan
berdasarkan kebutuhan guru yang bersangkutan dalam mengatasi masalah yang
dihadapi dalam proses belajar mengajar melalui bimbingan yang intensif yang
disusun secara sistematis dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan mengajar
dan meningkatkan profesionalisme guru. Supervisi klinis adalah suatu proses
bimbingan yang bertujuan untuk membantu mengembangkan profesional guru atau
calon guru khususnya dalam penampilan mengajar berdasarkan observasi dan analisis
data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku
mengajar tersebut. Supervisi klinis bertujuan memperbaiki perilaku guru-guru
dalam proses belajar mengajar, terutama yang kronis, secara aspek demi aspek
dengan intensif, sehingga mereka dapat mengajar dengan baik. Hal ini berarti
perilakuyang tidak kronis bisa diperbaiki dengan teknik-teknik supervisi yang
lain.
Bimbingan yang diberikan tidak bersifat instruksi atau
perintah akan tetapi diberikan dengan cara sedemikian rupa sehingga memotivasi
guru untuk menemukan sendiri cara-cara yang tepat untuk memperbaiki kekurangan
yang dialami dalam proses pembelajaran. Supervisi klinis difokuskan pada
perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap
perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap
penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan mengadakan modifikasi yang
rasional.
Sedangkan tujuan supervisi klinis menurut Pidarta (1999:73),
adalah untuk memperbaiki perilaku guru dalam proses pembelajaran, terutama yang
kronis, aspek demi aspek secara intensif, sehingga mereka dapat mengajar dengan
baik. Pendapat tersebut menekankan adanya perbaikan perilaku guru terutama yang
kronis, karena apabila masalah ini dibiarkan akan tetap menyebabkan instabilitas
dalam pembelajaran di kelas. Ini berati perilaku yang tidak kronis bisa
diperbaiki dengan teknik supervisi yang lain. Oleh karena itu tujuan
dilaksanakan supervisi klinis adalah memperbaiki cara mengajar guru di dalam
kelas (Azhar, 1996:26).
Berdasarkan pendapat di atas, tujuan supervisi klinis secara
garis besar dapat diartikan sebagai berikut: (1) memperbaiki perilaku guru
hanya yang bersifat kronis, artinya perilaku yang tidak kronis bisa diperbaiki
dengan teknik supervisi yang lain, (2) menyediakan umpan balik secara obyektif
bagi guru tentang kegiatan proses pembelajaran yang dilakukannya sebagai cermin
agar guru dapat melihat apa yang dilakukan
Berangkat dari pengertian di atas supervisi klinis memiliki
ciri-ciri tersendiri yang membedakan dengan model-model supervisi yang lain.
Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Dalam supervisi klinis bantuan diberikan bukan bersifat intruksi atau
memerintah , tapi tercipta hubungan manusiawi, sehingga guru-guru memiliki rasa
aman dengan timbulnya rasa aman, diharapkan adanya kesediaan untuk menerima
perbaikan.
2.
Apa yang akan disupervisi timbul dari harapan dan dorongan dari guru sadar
karena memang dia membutuhkan bantuan tersebut.
3.
Supervisi diberikan tidak saja pada keterampilan mengajar, tetapi juga
mengenai aspek-aspek kepribadian guru, misalnya motivasi terhadap gairah
mengajar.
4.
Instrumen yang digunakan untuk observasi disusun atas dasar kesepakatan antara
supervisor dan guru.
5.
Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki guru merupakan satuan yang
terintegrasi harus dianalisis dengan tujuan agar terlihat kemampuan apa,
keterampilan apa yang spesifik yang harus diperbaiki (Sahertian, 2000:38-39).
Kelebihan yang tampak dalam penggunaan supervisi klinis yang
tujuannya adalah perbaikan pada pengajaran guru dalam proses belajar mengajar
adalah sangat signifikan. Dalam supervisi klinis yang disupervisi adalah
aspek-aspek perilaku guru misalnya cara menertibkan kelas, teknik bertanya,
teknik mengendalikan kelas dan lainnya. Dalam memperbaiki aspek perilaku di
atas perlu sekali ada nya hipotesis bersama tentang bentuk perilaku perbaikan
atau cara mengajar yang baik. Hipotesis ini bisa diambil dari teori-teori dalam
proses belajar mengajar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan demi kelancaran
pelaksanaan supervisi, maka perlu adanya kesepakatan antara supervisor dan guru
yang akan disupervisi tentang aspek-aspek yang akan diperbaiki.
Ada prinsip kerjasama antara supervisor dengan guru yang
saling mempercayai dan sama-sama bertanggungajawab, sehingga bersifat kolegal.
Dari hasil yang diperoleh tersebut perlu adanya unsur penguatan terhadap
perilaku guru terutama yang sudah berhasil diperbaiki. Karena akan menimbulkan
motivasi kerja dan kesadaran penuh akan pentingnya kerja dengan baik serta
dilakukan secara terus menerus. Untuk itu supervisor (kepala sekolah) hendaknya
dalam memimpin jangan merupakan seorang hakim atau jaksa yang mengadili atau
menuduh, akan tetapi harusnya ada hubungan yang kolegal dan saling percaya
terbisa merupakan seorang teman yang mempunyai penuh perhatian dan pengertian
terhadap kesulitan pengajaran (Pidarta, 2002:176). Dengan demikian dalam supervisi
klinis, supervisor bersama-sama dengan guru yang bersangkutan dapat memperbaiki
atau membuat situasi belajar mengajar menjadi lebih baik. Salah satu tugas
supervisor untuk memperlancar tujuan supervisi adalah mengorganisasi guru.
Tugas ini amat penting dari pada tugas-tugas supervisor lainnya. Karena guru
sangat membutuhkan organisasi dari pihak supervisor agar mereka dapat
berpartisipasi sebaik-baiknya dalam pendidikan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis lakukan di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton dan Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Buton, terdapat sejumlah problem dalam implementasi supervisi
klinis di sekolah. Problem-problem itu antara lain:
1.
Adanya
kecurigaan atau sikap kurang hormat dari pihak yang akan disupervisi. Banyak
hal yang membuat pengawas atau supervisor enggan datang melakukan supervisi,
karena sering kali sikap kepala sekolah dan guru-gurunya kurang menaruh hormat
(respect) dan seolah-olah curiga atas kedatangan supervisor. Misalnya,
seharusnya paling tidak dilakukan tiga kali kunjungan dalam satu semester,
karena sedikitnya dibutuhkan tiga tahap pembinaan. Namun, karena adanya suasana
kecurigaan atau kurang hormat tadi, jadinya hanya dilakukan satu kali
kunjungan dalam satu semester.
2.
Masalah
tidak adanya media pembelajaran. Supervisi klinis itu memang bagus dan dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran, yang ujung-ujungnya siswa akan memperoleh
hasil yang baik. Tetapi sering dijumpai, ketika perangkat pembelajaran atau RPP
guru sudah bagus, ternyata pelaksanaannya tidak sesuai, karena guru sering lupa
dan tidak membawa media pembelajaran. Metodenya akhirnya jadi seadanya.
Padahal, ketika ada supervisi kelas dalam rangka sertifikasi, guru dapat
melaksanakan dengan bagus sesuai RPP. Ini berarti perlu peningkatan kesadaran
guru bahwa perencanaan yang baik pun bisa memberi hasil yang kurang baik, jika
tidak dilaksanakan atau dieksekusi dengan baik.
3.
Terlalu
banyak beban tugas bagi guru. Adanya supervisi klinis oleh supervisor terhadap
guru memang dapat berarti positif. Supervisor adalah mitra guru, bukan
eksekutor yang bertujuan menjatuhkan guru seperti yang selama ini mungkin
dirasakan oleh sebagian guru. Namun, ada situasi yang dihadapi guru, yang juga
harus dipahami supervisor. Yakni, karena terlalu banyaknya beban tugas dan
kewajiban guru, maka sebagian guru tidak sempat lagi memberikan pengajaran
terbaik kepada para siswanya. Untuk mengevaluasi kekurangan para siswa saja,
guru sudah tidak sempat, apalagi jika guru dituntut untuk berinovasi.
4.
Kualitas
dan kompetensi supervisor. Dalam melakukan supervisi klinis, yang juga perlu
diperhatikan adalah bagaimana kualitas sang supervisor, dalam hal ini pengawas.
Apakah mereka sudah memiliki kompetensi sebagai supervisor. Artinya, dalam
melakukan supervisi klinis, supervisor harus benar-benar memahami dan menguasai
tujuan supervisi klinis. Tanpa harus dijelaskan panjang lebar, seorang
supervisor sebaiknya memang harus memiliki kompetensi, yang melebihi kompetensi
orang yang disupervisi olehnya.
5.
Bentuk
hubungan personal dan jabatan antara supervisor dan guru. Selama ini, banyak
supervisor bertindak seolah-olah sebagai “mandor” yang menjaga jarak terhadap
guru, saat supervisi klinis dilaksanakan. Hal ini bukannya membuat guru menjadi
terbantu atau ”tersembuhkan” dari berbagai kesulitan, yang dihadapinya saat
melaksanakan tugas sebagai guru. Sebaliknya, hal itu justru berpotensi membuat
kesulitan --yang dihadapi guru bersangkutan-- jadi semakin kronis. Maka,
seorang supervisor itu haruslah profesional. Mereka harus memiliki kompetensi
supervisi. Memilih seorang pengawas atau supervisor itu tidak boleh asal comot,
karena dia harus memiliki wawasan supervisi.
Pandangan umum yang dapat diambil dari implementasi
supervisi klinis guru PAI di SMPN 2 dan
SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton,
lebih dari 50% masalah peningkatan mutu pembelajaran disebabkan oleh kurangnya
kompetensi guru. Lebih dari 80% guru PAI
di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton mengajar tanpa media pembelajaran/alat peraga. Namun, hal
ini mungkin juga terjadi karena di SMPN
2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton sejumlah sekolah tidak ada aturan yang begitu ketat terhadap
kinerja guru. Guru yang malas, yang rajin, yang pintar, yang bodoh, semuanya
digaji merata. Ini tidak mendukung ke arah pencapaian prestasi guru yang
sebaik-baiknya.
Pemerintah juga seharusnya bisa melakukan langkah-langkah
terobosan. Misalnya, pertama, guru profesional biasanya dihasilkan oleh LPTK
yang bonafid. Pemerintah tidak ada salahnya bekerjasama dengan LPTK tersebut,
dan bersedia mengangkat 10 lulusan terbaik tanpa melalui tes. Selain
mendapatkan produk yang jelas kualitasnya, langkah terobosan pemerintah ini
juga dapat meningkatkan minat dan memacu para mahasiswa calon guru untuk
berprestasi.
Kedua, minimal kepala sekolah juga harus mau dan mampu
memberikan reward (penghargaan atau imbalan prestasi), bagi guru yang telah
berprestasi mengharumkan nama baik sekolah. Misalnya, dibuatkan surat
keterangan bahwa sang guru tersebut pernah membimbing anak didik, sampai
menjadi juara bidang akademis di tingkat provinsi, nasional, bahkan
internasional. Syukur-syukur ada hadiah konkretnya bagi sang guru. Lomba guru
berprestasi juga harus bersifat transparan. Jangan asal tunjuk guru untuk
mewakili sekolah, dengan alasan efisiensi karena tak ada dana seleksi.
Supervisi klinis sangat dibutuhkan oleh guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton. Melihat data empiris, menurut
penulis, ada hal yang lebih urgen lagi bagi para guru, yaitu pembentukan watak
(character building). Kesadaran guru
PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton akan tugas dan tanggungjawabnya perlu dibentuk. Mereka
bukan hanya berperan sekadar untuk mengalihkan pengetahuan (transfer of
knowledge), tetapi juga sebagai pembawa perubahan (agent of change). Maka,
semboyan yang umum di lapangan seperti ”yang penting masuk kelas” akan bisa
dikurangi, bahkan dihilangkan. Dampak sampingan dari itu semua adalah: akan
terbentuk budaya guru yang selalu meng-update (memperbarui dan meningkatkan
kapasitas) dirinya, terhadap tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Caranya,
mereka akan selalu berusaha bekerja lebih baik, serta memberikan pelayanan terbaik
terhadap peserta didik.
Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang telah dilaksanakan
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan Penjaminan
Mutu Pendidikan (BPSDMPK dan PMP) Kemendikbud Kabupaten Buton menunjukan
kompetensi guru PAI masih rendah. Menurut Kepala BPSDMPK dan PMP Kemendikbud Kabupaten
Buton, UKG merupakan ujian untuk mengukur kompetensi dasar tentang tentang
bidang studi (subject matter) dan pedagogik dalam domain content guru.
Hasilnya, sebanyak 42 guru PAI di Kabupaten Buton hanya memperoleh rata-rata
nilai UKG sebesar 47. Kompetensi dasar bidang studi yang diujikan bagi seluruh
guru itu, sesuai dengan bidang studi sertifikasi bagi guru yang sudah
bersertifikat pendidik. Sedangkan bagi guru yang belum bersertifikat pendidik,
disesuaikan dengan kualifikasi akademik guru.
Dalam kenyataannya, guru masih banyak yang mengalami masalah
dalam menjalani profesinya dan guru tidak dapat menjalankan tugasnya dengan
baik (secara ilmiah). Akibatnya ketika mutu proses dan hasil pendidikan rendah,
guru selalu melemparkan tanggungjawab kepada pihak lain, misalnya orang tua,
lingkungan, dan sebagainya dan hal ini akan berdampak pada kinerja seorang
guru.
Disamping itu ada beberapa factor penyebab rendahnya profesionalisme
guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula
Kabupaten Buton dalam disebabkan oleh antara lain;
1.
Guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton yang tidak menekuni profesinya
secara utuh. Hal ini disebabkan oleh guru
PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan
diri tidak ada;
2.
Belum
adanya standar profesional guru PAI di SMPN
2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton sebagaimana tuntutan di sekolah-sekolah maju;
3.
Kemungkinan
disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru PAI yang
lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga
menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan;
4.
Masih
belum berfungsi PGRI di Kabupaten Buton sebagai organisasi profesi yang
berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama
untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Namun demikian dimasa mendatang PGRI sepantasnya mulai
mengupayakan profesionalisme guru sebagai anggotanya. Dengan melihat
adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah
berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.
Dalam hal ini seperti yang sudah diutarakan, bahwa guru PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton sangat memegang peranan penting
dalam kemajuan bahakan meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di Kabupetan
Buton dalam menjalankan tugas mulianya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, pada kenyataannya guru PAI di SMPN 2
dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton kurang prifesional, atau rendah untuk meningkatkan kualitas
profesionalismenya. Lalu bagaimana guru
PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton harus mewujudkan tujuannya, mendidik generasi masa yang
akan datang dan generasi penerus bangsa? Maka dalam hal ini perlu peningkatan
kualitas profesionalisme dari berbagai solusi.
B. Fokus Penelitian
Menghindari meluasnya
masalah dalam penelitian ini, maka diperlukan pembatasan permasalahan, dengan
mengacu kepada paparan sebelumnya, antara lain: konteks penelitian, kondisi
kepala sekolah dan guru Pendidikan Agama Islam. Oleh karena itu, fokus
penelitian pada tesis ini adalah sebagai berikiut:
1.
Bagaimana
implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton?
2.
Bagaimana
pemahaman kepala sekolah tentang supervisi klinis dalam meningkatkan kinerja
guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula
Kabupaten Buton?
3.
Bagaimana
upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan
Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian
untuk mendeskripsikan makna tentang fenomena yang terjadi yang berkaitan dengan
proses implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja
guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kecamatan Wabula
Kabupaten Buton, sehingga bisa dijadikan rujukan lembaga pendidikan lain dalam
pengembangan implementasi supervisi klinis dalam meningkatkan kinerja guru
Pendidikan Agama Islam. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan dan menganalisa tentang:
1.
Implementasi
supervisi klinis kepala sekolah dalam
meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah
Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton.
2.
Pemahaman
kepala sekolah tentang supervisi klinis dalam meningkatkan kinerja guru
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula
Kabupaten Buton.
3.
Upaya yang
dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam
di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan 3 Wabula Kabupaten Buton.
D. Kegunaan
Penelitian
Dalam
penelitian ini kegunaan dapat dibedakan menjadi dua, yakni kegunaan secara
teoritis dan kegunaan praktis
a.
KegunaanTeoritis
1.
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan teori dalam bidang
kepemimpinan pendidikan khususnya dengan implementasi supervisi klinis kepala sekolah sebagai pemimpin lembaga pendidikan.
2.
Penelitian ini
dapat dijadikan sebagai dasar pembanding bagi para hasil penelitian tentang
implementasi supervisi klinis kepala
sekolah dalam meningkatkan kinerja guru Pendidikan Agama Islam terus
dikembangkan oleh peneliti berikutnya.
b. Kegunaan Praktis
1.
Penelitian ini
secara praktis diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah
dalam memperbaiki kinerga guru Pendidikan Agama Islam serta mengambil kebijakan
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
2.
Bagi
Kementrian agama dan Kepala Dinaas Pendidikan Nasional Kabupaten Buton
penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan masukan dalam memberikan
pembinaan terrhadap kepala sekolah yang berada di bawah naungannya dalam rangka
untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
E.
Definisi Istilah atau definisi Operasional
Guna
menghindari terjadinya perbedaan persepsi dan salah penafsiran terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka penulis memandang
perlu mempertegas dfinisi terhadap beberapa istilah tertentu sebagai berikut,
dan agar dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca, dan tidak bias dalam
memahami penelitian yang berjudul “ Implementasi Supervisi Klinis Kepala
Sekolah dalam Memperbaiki Kinerja Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah
menengah pertama negeri 2 dan 3 penting kiranya peneliti memberikan penegasan
istilah sebagai berikut; Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atas
penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan
implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman,
2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang
saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan
juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman). Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan
bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau
mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi
bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan
secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan
kegiatan.Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi
oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum. Dalam kenyataannya, implementasi
kurikulum menurut Fullan merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau
seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan
melakukan perubahan.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, supervisi
berarti pengawasan utama. Dari arti kata yang masih umum tersebut,
istilah supervisi tidak hanya
digunakan. Sedangkan tentang supervisi
pendidikan, para ahli
pendidikan memberikan tujuan supervisi
pengajaran adalah untuk membantu
guru mengembangkan profesinya. oleh (M Al Hutdi - 2011).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, supervisi
berarti pengawasan utama, pengontrolan utama. Sedangkan para ahli pendidikan
memberikan definisi. Secara singkat, tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan kinerja guru. Mengingat
pentingnya supervisi tersebut, dalam
kesempatan ini penulis mengutip Para ahli
dibidang ini memberikan pengertian supervisi
klinis dengan Fokus supervisi
klinis adalah: (1) perbaikan proses pembelajaran, (2) keterampilan
penampilan pembelajaran yang memiliki arti
(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Supervisi
klinis termasuk bagian dari supervisi pengajaran, Dikatakan supervisi klinis
disebabkan prosedur pelaksanaanya lebih ditekankan kepada mencari sebab-sebab
atas kelemahan yang terjadi di dalam proses belajar mengajar dan kemudian
secara langsung pula diusahakan bagaimana cara memperbaiki kelemahan atau
kekurangan tersebut. Didalam supervisi klinis carar mengatasinya “memberikan
solusi” dilakukan setelah supervisor mengadakan pengamatan secara langsung
terhadap cara guru mengajar, dengan mengadakan diskusi”balikan”, maksudnya di
sini adalah diskusi yang dilakukan segerah setelah guru selesai mengajar,
kelemahan yang terdapat selama guru selesai mengajar serta bagaimana usaha
untuk memperbaikinya, Menurut Richard Waller, memberikan definisi tentang supervisi
klinis sebagai berikut; “supervisi klinis” adalah supervisi yang difokuskan
pada perbaikan pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap
perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap
penampilan mengajar sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang
rasional.
Sedangkan secara sederhana, “Kepala sekolah
didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk
memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakannya proses pembelajaran”.
F. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, kerangka
berpikir dapat digambarkan sebagai berikut :
|
||||||||
![]() ![]() |
||||||||
![]() |
||||||||
![]() |
||||||||
![]() |
||||||||
|
||||||||
Kerangka berpikir di atas
dapat diuraikan bahwa Kepala Sekolah melakukan supervisi klinis kepada guru PAI
dengan cara;
1. Implementasi supervisi klinis kepala sekolah
2. Pemahaman kepala sekolah tentang supervisi klinis
3. Upaya kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru
PAI
Sedangkan
hasil yang diperoleh adalah peningkatan kinerja guru PAI, antara lain
1. Guru PAI memiliki keterampilan
mengamati memahami (mempersepsi) proses pembelajaran secara analitik,
2. Guru PAI memiliki keterampilan
menganalisis proses pembelajaran secara rasional berdasarkan bukti-bukti
pengamatan yang jelas dan tepat,
3. Guru PAI memiliki Keterampilan
dalam pembaharuan kurikulum, pelaksanaan serta pencobaannya,
4. Guru PAI memiliki keterampilan
dalam mengajar.
BAB II
LANDASAN
TEORI
A.
Penelitian terdahulu
Ada
beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti terdahlu, sebelumnya, yang secara substansi mengkaji
tentang pelaksanaan supervisi klinis di
sekolah antara lain:
1.
Presepsi Guru Tentang Pelaksanaan
Supervisi Klinis dan kompetensi Guru (studi di SD/MI Gugus V Kecamatan Sukun
Kota Malang). Skripsi Yulia Amaliyah 2011 Program Studi S1. Universitas Negeri
Malang. Dalam Penelitiannya peneliti menghasilkan bahwa sebagian besar guru
memiliki presepsi yang pelaksanaan supervisi klinis telah dilaksanakan dengan
efektif dengan rata-rata 68,94% dan telah berkesinambungan antara kegiatan
pertemuan pendahuluan sampai dengan pertemuan balikan.
2.
Peningkatan Kemampuan
Guru dalam Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) melalui Supervisi
Klinis (studi di SMPN 2 Wlingi Kabupaten Blitar). Skiripsi Daya Negeri Wijaya
2011 Program Studi S 1 Universitas Negeri Malang, dengan hasil penelitiannya
yaitu supervisi klinis dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun RPP.
Hal ini dapat dilihat dari perubahan kea rah yang lebih baik dari subjek
penelitian dalam menyusu RPP.
3.
Peran Kepala Sekolah
dalam Pelaksanaan Supervisi untuk Meningkatkan Motivasi Kerja Guru di SMA
Negeri 2 Kota Malang. Skripsi Moh Mustofa 2012 Program Studi S1 Universitas
Negeri Malang, hasil penelitiannya bahwa kepala sekolah SMAN 2 Malang telah
melakukan supervisi dengan menggunakan teknik Supervisi Observasi Kelas, yang
mana hal itu dapat membuat guru lebih termotivasi dalam mengembangkan kemampuan
mengajarnya.
4.
Peran Kepala Sekolah
Sebagai Supervisi dalam meningkatkan Kualitas Belajar Mengajar Guru (Studi
Kasus di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Singosari). Tesis Siti Nurwagiati
2000 Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, dengan hasil penelitiannya
sipeneliti mengatakan bahwa dalam meningkatkan kualitas belajar mengajar guru
Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Singosari telah melakukan berbagai
kegiatan diantaranya kegiatan dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Kegiatan
Kerja Kepala Sekolah KKKS) yang setiap bulan mengadakan pertemuan,
diskusi-diskusi.
Berbagai penelitian diatas diharapkan dapat melengkapi dan
menyempurnakan terhadap penelitian yang sedang peneliti teliti, yaitu tentang
“Implementasi Supervisi Klinis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru
PAI di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kabupaten Buton”.
Tabel 1
Mapping Teori
NO
|
JUDUL
DAN NAMA PENELITI
|
JENIS
PENELITIAN
|
HASIL
PENELITIAN
|
1.
|
Presepsi guru Tentang pelaksanaan Supervisi
Klinis dan Kompetensi Guru
|
Kuantitatif
|
Ebagian besar guru memiliki presepsi pelaksanaan
supervisi klinis dilaksanakan dengan efektif dengan rata 68,94%.
|
2.
|
Yulia Amalyah (2011)
Peningkatan Kemampuan Guru dalam Menyusun Rencana pelaksanaan
Pembelajaran melalui Supervisi Klinis
Daya Negeri Wijaya (2011)
|
Kualitatif
|
Supervisi Klinis dapat meningkatkan guru dalam
menyusu RPP, yang dapat dilihat dari perubahan kearah yang lebih baik dari
subjek penelitian dalam menyusun RPP.
|
3.
|
Perang Kepala Sekolah dalam Pelaksanaan Supervisi
untuk Meningkatkan Kinerja Guru di SMA Negeri 2 Kota Malang
Moh Mustofa T (2012)
|
Kualitatif
|
Teknik Supervisi Observasi kelas dapat membuat
guru lebih memotivasi dalam mengembangembangkan kemampuan mengajar
|
4.
|
Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor dalam
Meningkatkan Kualitas Belajar Mengajar Guru.
Siti Nurwagiati (2000)
|
Kualitatif
|
Kegiatan KKG dan KKKS yang setiap bulan diadakan
ternyata dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar guru SMKN 1 Singosari.
|
B. Implementasi
Majone dan Wildavsky (dalam
Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan
Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi
adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi
sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin
(dalam Nurdin dan Usman).
Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai pelaksanaan atau penerapan. Artinya yang dilaksanakan dan diterapkan
adalah kurikulum yang telah dirancang/didesain untuk kemudian dijalankan
sepenuhnya.Kalau diibaratkan dengan sebuah rancangan bangunan yang dibuat oleh
seorangInsinyur bangunan tentang rancangan sebuah rumah pada kertas kalkirnya
maka impelemntasi yang dilakukan oleh para tukang adalah rancangan yang telah
dibuattadi dan sangat tidak mungkin atau mustahil akan melenceng atau tidak
sesuai denganrancangan, apabila yang dilakukan oleh para tukang tidak sama
dengan hasilrancangan akan terjadi masalah besar dengan bangunan yang telah di
buat karenarancangan adalah sebuah proses yang panjang, rumit, sulit dan telah
sempurna darisisi perancang dan rancangan itu. Maka implementasi kurikulum juga
dituntut untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang telah direncanakan dalam
kurikulumnya untuk dijalankan dengan segenap hati dan keinginan kuat,
permasalahan besar akan terjadiapabila yang dilaksanakan bertolak belakang atau
menyimpang dari yang telahdirancang maka terjadilah kesia-sian antara rancangan
dengan implementasi.Rancangan kurikulum dan impelemntasi kurikulum adalah
sebuah sistem danmembentuk sebuah garis lurus dalam hubungannya (konsep
linearitas) dalam artiimpementasi mencerminkan rancangan, maka sangat penting
sekali pemahaman guruserta aktor lapangan lain yang terlibat dalam proses
belajar mengajar sebagai intikurikulum untuk memahami perancangan kuirkulum
dengan baik dan benar.
Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata
implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme
suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan
sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara
sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan
kegiatan.Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi
oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum. Dalam kenyataannya, implementasi
kurikulum menurut Fullan merupakan proses untuk melaksanakan ide, program atau
seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan
melakukan perubahan. Atau dengan kata lain impelentasi adalah suatu tindakan
atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan
terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap
fix. berikat ane akan sedikit info tentang pengertian implentasi menurut para
ahli. semoga info tentang pengertian implementasi menurut para ahli bisa
bermanfaat.
C. Hakekat
Supervisi
Oteng Sutisna (1983) dalam Arikunto
(2004:11) mengatakan definisi supervisi adalah segala sesuatu dari pejabat
sekolah yang diangkat yang diarahkan kepada penyediaan kepemimpinan bagi para
guru dan tenaga pendidik yang lain dalam perbaikan pengajaran, melihat
stimulasi petumbuhan profesional dan perkembangan dari para guru, seleksi dan
revisi tujuan-tujuan pendidika bahkan pengajaran, dan metode-metodepengajar dan
evaluasi pengajaran.
Kimball Wiles (1995) dalam Arikunto
(2004:11) supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar mengajar
agar memperoleh kondisi yang lebih baik.
Adams dan
Dicky dalam Sahertian (2008:17) mengemukakan supervisi merupakan program yang
berencana untuk memperbaiki pengajaran. Program itu adalah perbaikan hal
belajar mengajar.
Mc. Nerney dalam Sahertian (2008:17)
menegaskan bahwa supervisi itu
Sebagai
salah satu prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis
terhadap proses pengajaran.
Made Pidarta (2009:17) menjelaskan
bahwa supervisi adalah kegiatan membina para pendidik dalam mengembangkan
proses pembelajaran, termasuk segala unsur penunjangnya.
Ngalim dalam Jasmani dan Syaiful
Mustofa (2013:26) supervisi adalah suatu aktifitas pembinaan yang direncanakan
untuk membantu guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan
mereka secara efektif.
Olivia dalam Sahertian (2008:18)
berpendapat bahwa supervisi pengajaran adalah tindak lanjut pejabat yang
direncanakan oleh lembaga yang langsung berpengaruh terhadap perilaku guru
dalam berbagai cara untuk membantu belajar siswa dan untuk mencapai tujuan.
Gunawan (2002:194) merumuskan
supervisi sebagai usaha yang sistimatis dan terus menerus untuk mendorong dan
mengarahkan pertumbuhan dari guru yang berkembang secara lebih efektif dalam
membantu tercapanya tujuan pendidikan dengan murid-murid dibawah tanggung
jawabnya.
Wiles (181), mengemukakan supervisi
merupakan kegiatan untuk membantu dan melayani guru agar dapat melaksanakan tugasnya
dalam dengan baik.
D. Supervisi Klinis
Dikatakan supervisi klinis disebabkan prosedur
pelaksanaanya lebih ditekankan kepada mencari sebab-sebab atas kelemahan yang
terjadi di dalam proses belajar mengajar dan kemudian secara langsung pula
diusahakan bagaimana cara memperbaiki kelemahan atau kekurangan tersebut.
Didalam supervisi klinis carar mengatasinya “memberikan solusi” dilakukan
setelah supervisor mengadakan pengamatan secara langsung terhadap cara guru
mengajar, dengan mengadakan diskusi”balikan”, maksudnya di sini adalah diskusi
yang dilakukan segerah setelah guru selesai mengajar, kelemahan yang terdapat
selama guru selesai mengajar serta bagaimana usaha untuk memperbaikinya,
Menurut Richard Willer, memberikan definisi tentang supervisi klinis sebagai
berikut; “supervisi klinis” adalah supervisi yang difokuskan pada perbaikan
pengajaran dengan melalui siklus yang sistematis dari tahap perencanaan,
pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan mengajar
sebenarnya dengan tujuan untuk mengadakan modifikasi yang rasional.
Acheson dan Gall (1980:25)
mengemukakan bahwa supervisi klinis adalah suatu proses pembimbingan dalam
mengelolah proses belajar mengajar yang bertujuan membantu pengembangan
professional guru khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi
dan analisis data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk perubahan
tingkah laku mengajar.
Beberapa faktor yang ikut mendorong
dikembangkannya supervisi klinis adalah pelaksanaan supervisi yang tradisional,
secara diam-diam ditentang para guru sebab tidak banyak membantu mereka dalam
menjalankan tugas mengajarnya. Dalam hal ini bukan berarti para guru tidak
setuju atau membenci terhadap supervisi pengajaran, akan tetapi gaya dari
pelaksanaan supervisi itu sendiri. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIKTI
(1984:6) mengemukakan factor-faktor yang mendorong dikembangkannya supervisi
klinis sebagai berikut: (1) Supervisi klinis dalam prakteknya dilaksanakan
seperti evaluasi semata-mata, sehingga sering tidak disukai, bahkan cenderung
ditolak baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. (2)
Pemberian suatu supervisi diberikan pada kebutuhan atau keinginan supervisor
tanpa memperhatikan kebutuhan guru, oleh karena itu guru tidak merasakan
manfaatnya. (3) Sasaran pengamatan supervisi berlaku umum dan luas, sehingga
pembeian balikan akan sukar dan tidak terarah. (4) Pemberian balikan sering
menjadi pemberian pengarahan, bahkan instruksi-instruksi, dan tidak melihat
guru dalam menganalisis dirinya serta mencari cara-cara memperbiki dirinya.
Seperti yang dikemukakan P Wingger
bahwa dalam diri seseorang ada tiga konsep diri yaitu: (a) saya dengan seil
consep saya sendiri, (b) saya dengan self ideal saya sendiri , (c) saya dengan
self reality saya sendiri dan menjadi diri sendiri, (d) melalui diagnosis dan
analisis diri sendiri dan guru menemukan dirinya. Ia sadar akan kemampuan
dirinya dengan kemampuan dirinya dengan menerima deirinya dan timbul motivasi
dari dari dalam dirinya sendiri untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Praktek-praktek supervisi yang tidak
manusiawi itu menyebabkan kegagalan dalam pemberian supervisi kepada guru-guru.
Itulah sebabnya perlu supervisi klinis.
Untuk mengatasi kelemahan dan
kekurangan Implementasi supervisi dalam peroses pengajaran maka Cogan (1973)
memperkenalkan supervisi klinis sebagai model pembimbing guru maupun calon guru
dalam tugas mengajar.
Nurdin, (1982) mengemukakan bahwa
supervisi klinis adalah suatu bimbingan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalitas
guru secara sengaja yang dimulai dari pertemuan awal, observasi kelas dan
pertemuan akhir, yang dianlisis secara cermat, teliti dan objektif untuk
mendapatkan perubahan perilaku mengajar yang diharapkan.
Untuk mengatasi kelemahan dan
kekurangan implementasi supervisi dalam proses mengajar maka Cogan (1973)
memperkenalkan supervisi klinis sebagai model pembimbing guru maupun calon guru
dalam mengajar.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1984:7) mengidentifikasikan beberapa faktor yang menjadi titik tolak supervisi
klinis, yaitu: (1) kemampuan mengajar, khususnya menguasai berbagai ketrampilan
mengajar harus ditingkatkan dan dikembangkan bukan hanya dalam pendidikan pra
jabatan di LPTK, tetapi juga pada para guru yang telah bekerja dilapangan. Baik
dengan bantuan supervisor atau kepala sekolah maupun dengan usaha sendiri. Hal
ini hanya mungkin akan terlaksana apabila mampu dan mau menganalisis dan
mengembangkan dirinya. (2) seperti sudah dinyatakan bahwa mengajar adalah suatu
kegiatan yang kompleks, oleh sebab itu setiap guru memerlukan bantuan kepala
sekolah untuk mengamati, merefleksikan dan menganalisis permormansinya dalam
mengajar. (3) ketrampilan-ketrampilan mengajar meskipun penggunaan secara
integratif dapat dilatih secara terisolasi agar mudah dikontrol dan
diobservasi, Latihan tersebut bukan hanya dapat dilakukan dalam konteks
pengajaran mikro tetapi juga dapat dilatih dalam pengajaran biasa satu kelas.
Untuk pelajaran dikelas titik perhatian dapat dipusatkan pada beberapa
ketrampilan mengajar tertentu agar dapat diobservasi guru. Dikatakan bertolak,
karena pada akhirnya ketrampilan-ketrampilan yang dilatihkan dan diobservasi
itu merupakan kesepakatan antara guru dan kepala sekolah, dan (4) secara khusus
menyatakan bahwa fungsi kepala sekolah adalah membantu guru agar dapat
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan profesionalnya sendiri.
Dari uraian di atas ternyata
aktualisasi supervisi gaya tradisional kurang mendapatkan tanggapan yang serius
dari para guru, karena perilaku supervisi lebih banyak dilakukan supervisor
kepala sekolah dan bersifat instruktif administrative. Dengan demikian
supervisi klinis merupakan solusinya dalam membantu dan membina para guru untuk
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan professional guru yang didasarkan pada
pusat perhatian dan aspirasi guru.
Sejalan dengan ini Bolla (1983:11)
menegaskan bahwa supevisi klinis merupakan suatu proses bimbingan yang
bertujuan untuk membantu guru, khususnya dalam performosi mengajar berdasarkan
observasi dan analisis data secara teliti dan objektif sebagai pegangan untuk
perubahan tingkah laku mengajar tersebut.
Azhari (2003:19) supervisi klinis
merupakan proses pembimbingan yang bertujuan meningkatkan profesionalitas guru
dengan penekanan penampilan mengajar, melalui prosedur yang sistimatis yang
dimulai dengan pertemuan pendahuluan, observasi kelas, dan pertemuan balikan
guna mendapatkan perubahan tingkah laku mengajar yang diharapkan. Dan dapat
pula diartikan seperti yang terpusat pada guru (teacher-centered-supervision).
E. Landasan
Supervisi Klinis
Terdapat beberapa landasan yuridis
yang mendasari pentingnya kegiatan supervisi klinis pada tingkat satuan
pendidikan. Landasan yuridis tersebut yaitu:
1)
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa system Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah, berkesinambungan.
2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun
2005 Tentang guru dan Dosen. Bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses,
peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan
akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan local, nasional, dan global perlu dilakukan pemeberdayaan
dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
3)
Peraturan
Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor tahun 2007 Tentang Standar
Kepala Sekolah/Madrasa: pasal 1 (1) untuk diangkat sebagai kepala
sekolah/madrasah, seseorang wajib memenuhi standar kepala sekolah/madrasah yang
berlaku nasional. (2) standar kepala sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran
Peraturan Mentri ini yaitu salah satunya kompetensi supervisi yang meliputi a)
merencanakan program supervisi pengajaran dalam rangka peningkatan
profesionalisme guru, b) Melaksanakan supervisi pengajaran terhadap guru dengan
menggunakan pendekatan dan tekhnik supervisi yang tepat, serta c) menindak lanjuti hasil supervisi terhadap
guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
4)
Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 16 tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi guru : pasal 1 (1) setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi
akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional. (2) Standar
kualifikasi akademik dan kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tercantum dalam Lampiran Peraturan Mentri ini pasal 2 ketentuan mengenai guru
dalam jabatan yang belum memenuhi kualifikasi akademik diploma (D-IV) atau
sarjana (S1) akan diatur dalam Peraturan Mentri sendiri.
F.
Prinsip-Prinsip Supervisi klinis
Dalam supervisi klinis terdapat
prinsip-prinsip umum dan berapa prinsip tambahan yang dijadikan dasar dalam
kegiatannya. Acherson dan Gall (1980) mengemukakan ada tiga prinsip umum dan
beberapa prinsip tambahan yang dijadikan pijakan dalam melaksanakan supervisi
klinis sebagai berikut:
1.
Terpusat pada guru maupun calon guru ketimbang
supervisor. Prinsip ini menekankan prakarsa dan tanggung jawab dalam meningkatkan atau mengembangkan ketrampilan
mengajar dan menganalisis dan mencari cara-cara meningkatkan ketrampilan
mengajar lebih baik disesuaikan dengan kebutuhan guru maupun calon guru yang
bersangkutan.
2.
Demokratik ketimbang otoritek. Prinsip ini
menekankan kedua belah pihak harus bersikap terbuka, artinya masing-masing
supervisor dan guru maupun calon guru berhak mengemukakan pendapat secara
bebas, namun keduanya berkewajiban mengkaji dan mempertimbangkan pendapat pihak
lain untuk mencapai kesepakatan.
3.
Hubungan guru maupun calon guru dengan supervisor
lebih interaktif ketimbang derektif. Prinsip ini menekankan guru maupun calon
guru pada hakekatnya sederajat dan saling membantu dalam meningkatkan sikap
profesionalnya.
4.
Sasaran supervisi terdapat pada kebutuhan dan
aspirasi guru maupun calon guru.
5.
Umpan balik dari proses belajar mengajar guru
maupun calon guru diberi dengan segera dan hasil penjualan dan pelayanannya
harus sesuai dengan kontrak yang telah disetujui bersama.
6.
Supervisor yang diberikan bersifat bantuan dengan
tujuan untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan sikapprofesional.
7.
Supervisi yang diberikan bersifat bantuan dengan
tujuan utuk meningkatkan kemampuan mengajar dan sikap professional.
8.
Pusat perhatian pada waktu berlangsungnya supervisi
dalam kegiatan belajar mengajar tertentu hanya pada beberapa ketrampilan
mengajar saja.
Dengan kata lain bahwa prinsip-prinsip supervisi
klinis adalah supervisi klinis yang dilaksanakan harus berdasarkan insiatif
dari para guru terlebih dahulu. Perilaku supervisor harus sedemikian taktis
sehingga guru-guru terdorong untuk berusaha meminta bantuan dari supervisor
dengan menciptakan hubungan manusia yang bersifat interaktif dan rasa
kesejawatan, menciptakan suasana bebas dimana setiap orang bebas mengemukakan
apa yang dialaminya, objek kajian adalah kebutuhan professional guru yang ril
yang mereka alami, dan perhatian dipusatkan pada unsur-unsur yang sepesifik
yang harus diangkat untuk diperbaiki.
G. Model Supervisi Klinis
Morris Cogan (1973),
mendefinisikan Casana linical supervision sebagai latar dan praktik yang
didesain untuk mengembangkan performa guru di kelas, Sergiovani dan Stratt
(1979) menjelaskan bahwa clinical supervision mengacu pada tatap muka,
pertemuan dengan guru tentag mengajar, biasanya dalam classroom dengan maksud
agar terciptanya profesionalitas guru dan pengembangan serta peningkatkan
intruksi pembelajaran.
Senada dengan pendapat
tersebut, Flanders (1976 melihat pengawasan clinical sebagai sebuag teaching
kasus khusus yang mana setidaknya dua orang yang bersangkutan akan diperbaiki.
Kegiatan ini juga untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru dan
merangsang perubahan dalam mengajar. Sedangkan model supervisi klinis ini
adalah untuk proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu
pengembangan professional guru dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan
analisis dan secara obyektif serta
teliti sebagai dasar untuk mengubah perilaku mengajar guru. Tekanan dalam
supervisi klinis ini ditetapkan bersifat khusus melalui tatap muka ketika guru
mengajar.Inti bantuan dari supervisi terpusat pada perbaikan penampilan dan perilaku guru mengajar.
Powel dan Brodsky (2004)
menyatakan, metode supervisi klinis adalah prinsip-prinsip disiplin proses
tutorial yang diubah menjadi keterampilan praktis,, dengan empat focus yang
tumpah tindih, yaitu administrasi, evaluasi, klinis, dan suportif. Pengawasan
adalah intervensi yang disediakan oleh anggota senior profesi yang sama.
Hubungan ini bersifat evaluative, meluas dari waktu ke waktudan memiliki tujuan
simultan meninggalkan fungsi professional dari orang yang lebih yunior,
pemantauan layanan professional yang ditawarkan kepada klien bahwa dia atau
mereka melihat, dan melayani sebagai gatekeeper dari mereka yang memasuki
profesi tertentu.
Pendapat lain, menurut
Durham (2001), model supervisi klinis adalah hubungan antara pribadi tutorial
berpusat pada tujuan pengembangan keterampilan dan pertumbuhan professional
melalui belajar dan berlatih, melalui observasi, eveluasi. Umpan balik, dan
pengawasan memungkinkan konselor untuk memperoleh kompetensi yang dibutuhkan
untuk memberikan perewatan pasien yang efektif sementara memenuhi professional
tanggung jawab.
Selanjutnya model
supervisi klinis ini mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
1.
Bantuan yang diberikan
bersifat intruksi atau perintah.
2.
Harapan dan dorongan
supervisi timbul dari guru itu sendiri
3.
Guru memiliki satuan
tingkah laku mengajar terintegrasi
4.
Satuan dalam pemberian
supervisi penuh kekeluargaan, kedekatan, dan keterbukaan
5.
Supervisi yang diberikan
bukan pada keterampilan mengajar saja, melainkan pada pula mengenai aspek-aspek
keperibadian guru
6.
Balikan yang diberikan
harus secepat mungkin dan bersifat obyektif
Jadi model supervisi
klinis dapat dikatakan bertujuan untuk mengadakan perubahan terhadap oerilaku,
cara, dan mutu mengajar guru yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan
serta analisis yang interaktif yang cermat tentang penampilan mengajar yang
nyata serta mengadakan perubahan dengan cara yang rasional. Model supervisi
klinis menawarkan lebih interaktif dari pada direktif, demokratif dari pada
otoritatif.
Model supervisi klinis
sesuai dengan kajian teori seperti yang telah dijelaskan diatas, maka
implementasinya memerlukan siklus yang sistematis. Paling tidak terdapat tiga
siklus yang harus ditempuh supervisor, yaitu (1) perencanaan, (2) pengamatan,
(3) analisis.
H. Langkah-langkah Supervisi
Klinis
Sahertian
(2000:40) memberikan tiga tahapan dalam
pelaksanaan supervisi klinis diantaranya adalah:
1.
Tahap pertama pertemuan awal, dalam
percakapan awal ini seorang guru mengeluh bahwa pada saat melaksanakan tugas
mengajar dikelasmenemui kendala yang sulit untuk dipecahkan sendiri.
2.
Tahap kedua observasi
3.
Tahap ketiga merupakan kegiatan akhir
yaitu percakapan yang dilaksanakan setelah analisis dilakukan percakapan, ini
terjadi antara pervisor dengan guru. Dalam percakapan ini dalam kelas. Dalam
hal ini supervisor maupun guru berusaha untuk menemukan solusi yang terbia
untuk memperbaiki kekurangan secaraserta upaya meningkatkan profesinya.
Menurut
Sukirman (1998:89-90) supervisi klinis meliputi beberapa siklus, yaitu pra
onservasi kelas, analisis hasil observasi, dan pembicaraan hasil observasi.
1.
Tahap pertemuan pendahuluan
Kegiatan
supervisor dan guru dalam tahap pertemuan pendahuuan adalah membicarakan
rencanaan tentang ketrampilan yanga akan diobservasi dan dicatat. Tahap ini
memberikan kesempatan kepada guru dan supervisor untuk mengidentifikasi
perhatian utama guru kemudian menterjemahkan ke dalam bentuk tingkah laku yang
dapat diamati.
Suwarna, dkk (2005:183) mengemukakan
bahwa secara tekhnis diperlukan lima langkah utama bagi pelaksanaan pertemuan
pendahuluan yang baik yaitu;
a) Menciptakan
suasana intim dan terbuka antara supervisor dan gurusebelum langkah-langkah
selanjutnya dibicarakan.
b) Membicrakan
rencana pelajaran yang telah dibuat oleh guru yang mencakup tujuan,
bahan,kegiatan belajar mengajar, serta alat evaluasi.
c) Mengidentifikasi
komponen ketrampilan yang akan dicapai oleh guru dalam kegiatan mengajar
tersebut, misalnya, guru yang melatih menguasai ketrampilan bertanya.
d) Memilih
instrument observasi yang akan digunakan, merekam data dalam penampilan guru
sesuai dengan persetujuan dan kesepakatan tentang ketrampilan beserta
indikatornya.
e) Instrumen
observasi yang dipilih atau yang akan dikembangkan, dibicarakan bersam-sama
antara guru dan supervisor.
2). Tahapan observasi kelas
Fungsi
utama adalah menangkap apa yang terjadi
selama pelajaran berlangsung secara lengkap, agar superviso dan guru dapat
dengan tepat mengingat kembali hal-hal yang terjadi dalam pelajaran sebelumnya.
Suwarna (2005:183) mengemukakan
hal-hal yang harus dilakukan pada saat pelaksanaan observasi antara lain guru
melatih tingkah laku mengajar berdasarkan komponen ketrampilan yang telah
disepakati didalam pertemuan pendahuluan. Dipihak lain supervisor mengamati dn
mencatat atau merekam tingkah laku guru ketika mengajar.
3). Tahap analisis hasil observasi
Pada
tahap ini kepala sekolah menganalisis hasil observasi berdasarkan pengamatannya
ketika menilai ketrampilan mengajar guru dalam kelas. Hasil observasi yang ada
dianalisis dan dimaknai oleh kepala sekolah, sehingga digunakan sebagai bekal
diskusi dengan guru.
4). Tahapan pertemuan balikan
Pertemuan
balikan ini merupakan diskusi antara supervisor dengan guru. Suasana pertemuan
sama dengan suasana pertemuan pendahuluan, yaitu suasana akrab, terbuka, bebas
suasana menilai atau mengadili. Supervisor menyiapkan data sedemikian rupa
sehingga guru dapat menemukan kekurangan dan kelebihannya sendiri. Secara lebih
rinci langkah-langka pertemuan balikan ini adalah;
a) menanyakan
perasaan guru tentag apa yang dialamiya dalam mengajar secara umum, hal ini
untuk menciptakan suasana santai dan bersahabat.
b) Meriview
tujuan pelajaran.
c) Meriview
target ketrampilan serta perhatian utama guru dalam mengajar
d) Menanyakanperasaan
guru tentang jalannya pelajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya.
e) Menunjukan
serta mengkaji hasil observasi.
f) Menyimpulkan
hasil denan melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
I. Kinerja
Kata kinerja dalam bahasa Indonesia adalah terjemahan dari
kata bahasa inggris Performance yang berarti pekerjaan, perbuatan, sedangkan
kinerja dalam ilmu administrasi memiliki pengertian hampir sama dalam istilah
Rue dan Syare sebagai tingkat pencapaian hasil/ penyelesian terhadap tujuan
organisasi. Beberapa pengertian kinerja dikemukakan Rivai yang dikutip oleh
Syaiful Sagala dalam bukunya yang berjudul “Menajemen Strategik Dalam
Peningkatan Mutu Pendidikan” oleh sejumlah ahli, antara lain: (1) Kinerja
merupakan seperangkat hasil yang dicapai merujuk pada tindakan pencapaian serta
pelaksanaan suatu pekerjaan yang diminta.(2) Kinerja merupakan salah satu
kumpulan total dari kerja yang ada. (3) Kinerja merupakan suatu fungsi motivasi
dan kemampuan menyelesaikan tugas/ pekerjaan seseorang harus memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu.
Dalam Kamus Psikologi Daliguno memberikan batasan bahwa
prestasi kerja adalah setiap kegiatan yang mengahasilkan suatu akibat
pelaksanaan suatu tindakan atas serangkaian tindakan, tingkat penyelesaian
suatu pekerjaan bagaimana seseorang bereaksi dalam menjalankan tugas yang
diberikan.
Kinerja adalah performance atau unjuk kerja. Kinerja
dapat pula diartikan prestasi kerja atau pelaksanaan kerja atau hasil unjuk
kerja. (LAN, 1992). Menurut August W. Smith, Kinerja adalah performance is
output derives from processes, human otherwise, artinya kinerja adalah
hasil dari suatu proses yang dilakukan manusia. Sehubungan dengan itu, menurut
menurut T.R. Mitchell (1989) ukuran kinerja dapat dilihat dari empat hal,
yaitu:
1.
Quality of work – kualitas hasil kerja.
2.
Promptness – ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan.
3.
Initiative – prakarsa dalam menyelesaikan pekerjaan.
4.
Capability – kemampuan menyelesaikan pekerjaan.
5.
Comunication – kemampuan membina kerjasama dengan pihak lain.
Kinerja harus terukur, oleh karenanya perlu adanya standar
kinerja yang dapat dijadikan acuan dalam mengadakan penilaian, yaitu
membandingkan apa yang dicapai dengan apa yang diharapkan. Standar kinerja
dapat dijadikan patokan dalam mengadakan pertanggungjawaban terhadap apa yang
telah dilaksanakan.
Menurut Ivancevich (1996), patokan tersebut meliputi: (1)
hasil, mengacu pada ukuran output utama organisasi; (2) efisiensi,
mengacu pada penggunaan sumber daya langka oleh organisasi; (3) kepuasan,
mengacu pada keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan atau
anggotanya; dan (4) keadaptasian, mengacu pada ukuran tanggapan organisasi
terhadap perubahan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah proses kerja seseorang individu untuk
mencapai tujuan yang relevan yang juga berarti kemauan dan kemampuan melakukan suatu pekerjaan.
Artinya, kinerja merupakan semangat, intensitas, kemauan serta kemampuan
seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. Dalam kata kinerja juga terkandung
makna profesionalitas, sebab dalam mewujudkan kinerja, keterampilan seseorang
dalam bidang yang ia kerjakan sangat menentukan.
J. Kinerja Guru
Berkenaan dengan kinerja guru Piet A. Sahertian dalam
Kusmianto (1997:49) bahwa, standar kinerja guru itu berhubungan dengan kualitas
guru dalam menjalankan tugasnya seperti: (1) bekerja dengan siswa secara
individual, (2) persiapan dan perencanaan pembelajaran, (3) pendayagunaan media
pembelajaran, (4) melibatkan siswa dalam berbagai pengalaman belajar, dan (5)
kepemimpinan yang aktif dari guru.
Berbicara tentang perbaikan kinerja guru, khususnya guru
PAI, tidak bisa dilepaskan dari apa yang menjadi tugas pokok (topoksi) utama
dan berbagai tanggung jawab guru yang terkait lainnya. Tugas dan tanggung jawab
guru meliputi banyak hal, yaitu guru dapat berperan sebagai pengajar, pemimpin
kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar, perencana pembelajaran,
supervisor, motivator, evaluator, innovator, serta tugas lainnya yang terkait
dengan statusnya sebagai guru pendidikan agama Islam.
Telaah atas eksistensi pendidik dalam literatur kependidikan menyatakan bahwa guru harus memiliki karakteristik profesional. Pertama, komitmen terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja (produk), dan sikap continous improvement (improvisasi berkelanjutan). Kedua, menguasai dan mampu
mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi, dan implementasi ilmu kepada peserta didik. Ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungannya. Keempat, mampu menjadikan dirinya sebagi model dan pusat anutan (centre of self- identification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya. Kelima, mampu bertanggung jawab dalam
membangun peradaban di masa depan (civilization of the future).
Cukup banyak sifat dan ciri-ciri pendidik yang profesional, Robert W. Richey mengemukakan
delapan ciri-ciri pendidik yang profesional. Pertama, lebih mementingkan pelayanan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Kedua, sebagai seorang pekerja profesional, secara relative memerlukan waktu
yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep, seperti prinsip-prinsip pengetahuan khusus
yang mendukung keahliannya.
Ketiga,
memiliki
kualifikasi
tertentu untuk memasuki profesi tersebut, serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
Keempat, memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap, dan cara kerja. Kelima, membutuhkan kegiatan intelektual
yang tinggi. Keenam, adanya organisasi
yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, dan kesejahteraan anggotanya. Ketujuh, memberikan
kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian. Kedelapan, memandang profesi sebagai suatu karier hidup dan menjadikan diri sebagai profesional yang permanen.
H.M. Arifin
menegaskan bahwa
pendidik yang profesional adalah
pendidik yang mampu memanifestasikan seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah. Di samping itu, mampu menekuni profesinya selama hidupnya, yaitu pendidik yang memiliki kompetensi keguruan berkat pendidikan dan latihan di lembaga
pendidikan guru dalam jangka waktu tertentu. Tidak hanya itu, pendidik yang profesional adalah pendidik yang memiliki
kecakapan dalam manajemen kelas dalam rangka proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Jika profesionalisme keguruan itu dikaitkan dengan akuntabilitas publik, profesi pendidik bukanlah hal yang ringan, melainkan sesuatu yang mengharuskan pelayanan ditingkat kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara sederhana kualifikasi profesional kependidikan pendidik bisa dijelaskan sebagi berikut. Pertama, kapabilitas personal (person capability), artinya pendidik diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif. Kedua, pendidik sebagi inovator yang berarti memiliki komitmen
terhadap
upaya perubahan
dan reformasi. Pendidik
diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan, serta sikap yang tepat terhadap pembaruan dan sekaligus penyebar ide pembaruan yang
efektif. Ketiga, pendidik sebagi developer yang berarti harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Pendidik harus mampu dan mau melihat jauh ke depan (the future thinking) dalam menjawab tantangan-tantangan jaman yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai sebuah sistem.
Selain persyaratan profesional di atas, pendidik juga disarankan memiliki kepekaan emosional
sehingga ia merasa senang dalam menjalankan profesinya. pendidik dalam bekerja didorong oleh hati nuraninya untuk mendidik peserta didik. Panggilan hati nurani guru merupakan dasar kewajiban yang harus melekat pada pendidik untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan pendidikan. Oleh karena itu, eksistensi yang sering dilekatkan pada pendidik adalah pembimbing, pengasuh, bahkan guru spiritual.
Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational
Leadership edisi Maret 1988 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru
professional. Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru
dituntut memiliki lima hal, yakni:
a.
Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen
tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
b.
Guru
menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara
mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan.
c.
Guru
bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
d.
Guru
mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari
pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan
refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar
dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk
dampaknya pada proses belajar siswa.
e.
Guru
seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya, misalnya PGRI, MGMP, KKG, dan organisasi profesi lainnya.
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru
dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
o
Menguasai
bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai
bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
o
Mengelola
program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b)
mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan
program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
o
Mengelola
kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan
iklim belajar-mengajar yang serasi.
o
Penggunaan
media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b)
membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses
belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan
lapangan.
o
Menguasai
landasan-landasan pendidikan.
o
Mengelola
interaksi-interaksi belajar-mengajar.
o
Menilai
prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
o
Mengenal
fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi
dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan
bimbingan dan konseling.
o
Mengenal
dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
o
Memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran.
Karakteristik guru professional yang sangat perfeksionis
itu, dalam undang-undang guru dan dosen disebutkan beberapa kompetensi utama
yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu: 1) kompetensi pribadi; 2)
kompetensi paedagogik; 3) kompetensi professional, dan 4) kompetensi sosial.
1) Kompetensi Pribadi
Dalam pasal empat UU Guru dan Dosen
disebutkan bahwa guru yang professional setidaknya pribadi guru harus memiliki
kompetensi sebagai berikut: a)
berakhlak mulia; b) arif dan
bijaksana; c) mantap; d) berwibawa; e) stabil; f) dewasa; g) Jujur; h) menjadi teladan
bagi peserta didik dan masyarakat; i) secara obyektif mengevaluasi kinerja
sendiri; dan
j) mengembangkan
diri secara mandiri dan berkelanjutan.
2) Kompetensi Paedagogik
Kompetensi
paedagogik adalah kompetensi guru yang berkaitan dengan landasan dan wawasan
keilmuan yang mendasari tugas guru sebagai seorang pendidik, yang meliputi:
a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; b) pemahaman terhadap peserta didik; c) pengembangan
kurikulum/silabus;
d) perancangan
pembelajaran;
e) pelaksanaan
pembelajaran yang mendidik dan dialogis; f) pemanfaatan
teknologi pembelajaran;
g) evaluasi hasil
belajar; dan
h) pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
3) Kompetensi professional
Kompetensi professional menurut UU Guru dan Dosen adalah merupakan
kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan bidang ilmu, teknologi, dan/atau
seni yang diampunya yang sekurang-kurangnya meliputi penguasaan:
a) materi
pelajaran secara luas dan mendalam sesuai standar isi program satuan
pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu;
dan
b) konsep-konsep
dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan.
Profesionalisme pendidik dalam konteks pembelajaran lebih pada kemampuan pendidik dalam mendesain strategi pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Strategi pembelajaran merupakan elemen penting yang harus dikuasai oleh pendidik yang profesional, baik mengenai definisi, klasifikasi, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkaitan dengan strategi pembelajaran, ada empat hal yang
harus dijalankan oleh
pendidik yang profesional. Pertama, mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku serta kepribadian peserta didik yang diharapkan. Kedua, memilih sistem pendekatan pembelajaran berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat. Ketiga, memilih dan menetapkan metode dan teknik pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Pemilihan metode dan teknik pembelajaran ini berkaitan dengan pemilihan media pembelajaran dan pengelolaan kelas. Keempat, menerapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan untuk dapat menjadi pedoman dalam melakukan evaluasi.
Profesionalisme pendidik yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal penting. Pertama,
model pembelajaran yang meliputi pendidik menyampaikan dan
peserta didik menerima materi pelajaran (expository teaching-receptive learning), pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik dan pendidik sebagai fasilitator (active learning), situasi interaktif antara pendidik dengan peserta didik (interactive learning), dan peserta didik dimotivasi untuk mencari, menemukan, dan
memecahkan
masalah
sendiri (inquiry-discovery-problem
solving). Kedua,
pengelolaan kelas yang meliputi pendekatan klasikal, kelompok, dan individual. Ketiga, sasaran pembelajaran
yang meliputi
pendekatan
pengalaman, pembiasaan,
emosional, rasional,
dan fungsional.
4) Kompetensi sosial
Kompetensi sosial berkaitan dengan
eksistensi guru sebagai panutan di lingkungan kolega dan masyarakat di mana ia
tinggal. Kompetensi social yang harus dimiliki guru setidaknya meliputi:
a) berkomunikasi lisan, tulisan,
dan/atau isyarat; b) menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orangtua/wali
peserta didik; d) bergaul secara
santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta
sistem nilai yang berlaku; dan e) Menerapkan
prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan Pendekatan kualitatif
naturalistik karena subjek yang diteliti berlangsung dalam latar yang wajar dan
bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan memberkan makna tentang
apa dibalik Implementasi Supervisi Klinis Kepala Sekolah dalam
memperbaiki kinerja guru Pai di SMPN 2 dan 3 Wabula.
Berkenaan
dengan hal tersebut istilah naturalistik sebagaimana yang di ungkapkan oleh
Arikunto (2002:11), bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara
alami, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan
kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami terkait hal ihwal kepala
sekolah sebagai supervisi klinis. Pengambilan data, atau penjaringan fenomena
dilakukan dari keadaan yang sewajarnya, dikenal dengan sebutan pengambilan
secara alami atau natural. Dan pelibatan peneliti dilaoangan secara langsung.
Penelitian kualitatif menurut Faisal )1990:1) berarti membicarakan sebuah
metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup pandangan-pandsngsn filsafat
mengenai disciplinet inquiry, dan mengenai realitas dari obyek yang di Studi
dalam ilmu-ilmu sosial dan tingkah laku, bukan sekedar membicarakan metode
penelitian yang sifatnya lebih teknis kemetodean dalam pekerjaan penelitian.
Bogdam dan Taylor yang dikutip oleh Basrowi dan Sukidin menyatakan, bahwa
penelitian kualitarif adalah salah satu prosedur penelitian yang menhasilkan
data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang
diamati.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu
prosedur penelitian yang menugungkap suatu gejala secara holistik kontekstual
yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang
diamati dengan konteks apa adanya. Oleh karena itu penelitian ini harus
memenuhi karakteristik penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah multi situs.
Berkenaan
dengan hal tersebut, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian
multi situs, dengan cara mendalam bagaimana implementasi supervisi klinis
kepala sekolah dalam memperbaiki kinerja guru pai dalam meningkatkan mutu
pendidikan PAI. Ada beberapa alasan yang
mendasar yaitu: (1) multi situs dapat memberikan informasi penting mengenai
hubungan antara peneliti dan yang di teliti serta proses yang memerlukan
penjelasan dan dan pemahaman yang lebih luas. (2) Multi situs memberikan
kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku
manusia. Dengan melalui penyelidikan, peneliti dapat menemukan karakteristik
seseorang dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak diharapkan sebelumnya. (3)
Multi situs dapat menyajikan data-data dan temuan yang sangat bergunasebagai
dasar untuk membangun permasalahan bagi
perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan
ilmu-ilmu yang lain.
B.
Kehadiran
Peneliti
Kehadiran peneliti dalam penelitian
kualitatif mutlak diperlukan, sebab
peneliti berdudukan sebagai instrument utama atau pokok, hal ini sesuai dengan
pendapat Guba dan Lincoln Lexy J Moleong (1999:21) mengemukakan bahwa “
peneliti adalah segalanya dari keseluruhan penelitian”. Sedangkan instrument
selai peneliti yang berbentuk alat-alat bantu dan dokumen lainnya, hanya
berfungsi sebagai penguat atau instrument pendukung. Oleh karena itu, untuk
memgumoulkan data secara komprehensif, maka kehadiran peneliti di lapangan
(obyek) sangat diutamakan, karena pengumpulan data harus dilakukan dalam
situasi yang sebenarnya (Onyektif).
Sebagaimana dikemukakan Nasution (1998:9) bahwa peneliti bertindak
sebagai instrument kunci atau instrument utama dalam pengumpulan data (key
instrument). Lebih lanjut Moleong (1999:121) mengatakan, bahwa kedudukan
peneliti dalam penelitian kualitatif ini cukup rumit, sebab peneliti sekaligus
merupakan perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis data, penafsiran
data dan akhirnya ia menjadi pelopor hasil penelitiannya. Disamping itu
peneliti juga berperang sebagai pengamat partisipasif atau pengamat yang
berperan serta agar peneliti dapatmengamati obyek secara langsung, sehingga
data yang dikumpulkan benar-benar lengkap karena diperoleh dari interaksi
sosial dan butuh waktu entyang cukup antara peneliti dengan obyek, yakni kepala
smpn 2 dan smpn 3 Wabula.
Berkenaan dengan hal tersebut peneliti
harus bersikap cermat dan hati-hati dalam mencari data di lapangan agar
mendapatkan data yang valid, obyektif dan bisa dipertanggung jawabkan. Oleh
karena itu untuk menghindari kesalahan dan lupa terkait dengan data atau sumber
informasi lain yang diperoleh, seorang peneliti harus mengonsep atau membuat
catatan lapangan, kemudian catatan lapangan tersebut disusun sedemikian rupa,
dianalisis, dan disimpulkan sehingga
menjadi laporan penelitian. Sebagaimana dikatakan Moleong (1999:52) bahwa
catatan lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian
kualitatif, karena peneliti mengandalkan pengamatan atau wawancara dalam
pengumpulan data di lapangan.
Kemampuan peneliti sebagai instrument
pokok, dapat dilatih dengan seringnya berkunjung kelokasi penelitian untuk
mengadakan wawancara dengan informan utama kepala sekolah dan guru Pai atau
informan pendukung (guru dan staf sekolah), mengadakan pengamatan secara langsung
terhadap subyek yang di teliti, memperoleh berbagai informasi, pengalaman,
pengumpulan berbagai data dan lain-lain.
Namun demikian mengingat peneliti dalam
menangkap berbagai informasi memiliki keterbatasan, maka peneliti mengambil
data maka peneliti dibantu oleh alat bantu peneliti berupa: buku catatan,
bollpoint,kamera,tape recorder, handy camp, hand phone, dan lain sebagainya,
sehingga data yang diperoleh peneliti memiliki akurasi tinggi.
Dalam penelitian ini, sumber data
penelitian bisa berupa peristiwa, letak, benda, orang, dokumen dan lain-lain.
Data yang dikumpulkan melalui penelitian ini, dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu sumber data utama dan
pendukung. Sumber data utama atau informan kunci dalam penelitian ini adalah
kepala sekolah dan guru Pai smpn 2 dan
smpn 3 wabula, sedangkan sumber data pendukung yaitu orang-orang yang ditunjuk
informan kunci yang dianggap mengerti tentang masalah yang akan diteliti (wakil
kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, komite sekolah, orang tua wali,
serta siswa). Menurut Riyanto (2007:11) sumber data penelitian ini bisa
dilaksanakan dengan cara snow hall sampling, yaitu cara menggali sumber data
atau informan lain, membandingkan dan mengecek ulang derajat kepercayaan data
yang diperoleh dengan menggunakan sumber lain atau informan yang berbeda.
Informan kunci akan merujuk orang-orang
yang mengetahui masalah yang akan di teliti untuk melengkapi keterannya, dan
orng-orang yang ditunjuk akan merujuk orang lain bil keterangan yang diberikan
kurang memadai, begitu seterusnya, dan proses ini akan berhenti jika data yang
akan digali diantara informan yang satu dengan yang lainnya ada kesamaan,
sehingga data dianggap cukup dan tidak ada yang baru.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini,
berbagai sumber dan teknik. Data yang berupa dokumen akan digunakan dengan
teknik documenter, data tentang peristiwa, dan penilaian sehari-hariakan
digunakan dengan teknik pengamatan langsung atau observasi. Sedangkan realitas
simbolik, sebagaimana dipikirkan, dipahami, dan dihayati oleh orang-orang yang
ada didalam lingkungan subyek penelitian, akan digunakan dengan wawancara
mendalam.
C.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini
adalah Sekolah Menengah Pertama negeri 2 Wabula dan Sekolah Menengah Pertama Negeri
3 Wabula. Lokasi tersebut menunjukan data-data yang unik dan menarik untuk
diteliti jika dianalisis dengan perkembangan kedua lembaga tersebut sampai
sekarang yaitu:
1.
Lembaga atau sekolah tersebut merupakan dua lembaga pendidikan punya nama
dan yang boleh dikatakan usia muda karena baru beberapa tahun berdirinya tapi
cukup mempunyai nama dan image di masyarakat setempat, dan menjadi pilihan
peserta didik.
2.
Lembaga atau sekolah tersebut merupakan dua lembaga pendidikan yang
mempunyai prestasi dan mutu yang cukup gemilang disbanding dengan
lembaga-lembaga lainnya, terbukti dengan adanya berbagai prestasi yang
diperoleh.
3.
Lembaga atau sekolah tersebut merupakan dua lembaga pendidikan yang
mempunyai pemimpin professional. Hal tersebut terbukti dan adanya kebijakan-kebijakan
tertentu yang dilakukan oleh kedua kepala sekolah yang dilaksanakan oleh
stakholdiers terkait.
Demikianlah alasan yang peneliti
kemukakan sehingga lembaga-lembaga atau kedua sekolah tersebut menurut
peneliti, merupakan lembaga yang unik dan menarik untuk diteliti.
D. Sumber Data
Yang
dimaksud sumber data dalam penelitian
menurut Arikunto (2002:107), adalah subjek dimana data diperoleh. Sedangkan
menurut Lofland, yang dikutip oleh Moleong, (2006:157) sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Adapun sumber data terdiri dari dua
macam:
(1)
Sumber Data Primer
Menurut Sugiono (2006:253), sumber data primer
adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Dalam
penelitian ini, sumber data primer yang diperoleh oleh peneliti adalah hasil
wawancara dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, siswa dan komite
sekolah.
(2)
Sumber Data Sekunder
Menurut Sugiono (2006: 253), sumber data sekunder
adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
misalnya lewat orang lain atau dokumen. Sumber data sekunder yang diperoleh
peneliti adalah data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang berkaitan
berupa data-data sekolah dan berbagai literatur yang relevan dengan pembahasan,
seperti: wawancara dari masyarakat sekitarnya, arsip-arsip sekolah, dan
lain-lain. Data sekunder adalah data yang diperoleh diluar kata-kata dan
tindakan yaitu sumber data tertulis. Sumber data tertulis dibagi atas sumber
data dari buku, majalah ilmiah, arsip maupun dokumentasi yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini, yang diantaranya sebagai berikut:
a.
Sumber
Data Tertulis
Sumber diluar
kata dan tindakan merupakan sumber data, tetapi hal itu tidak bias diabaikan.
Menurut Molleong (2010:159), bahwa tambahan yang berasal dari sumber tertulis
dapat dibagi atas sumber buku, majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi dan
dokumen resmi.
b.
Foto
Foto banyak digunakan sebagai alat keperluan penelitian
kualitatif, karena dapat dipakai berbagai keperluan. Foto menghasilkan data
deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi-segi
subyektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif. Ada dua kategori foto
yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan
oleh peneliti sendiri (Molleong, 2010:161).
c.
Data
Statistik
Data statistic dapat membantu memberikan gambaran
tentang kecenderungan subyek pada latar penelitian. Tetapi dalam penelitian ini
tidak terlalu banyak mendasarkan atas data statistic. Data statistic hanya
dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk mengatasi dan mengarahkan peneliti pada
kejadian dan peristiwa yang ditemukan sesuai dengan masalah dan tujuan dari
penelitian (Molleong, 2010:163.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Agar penelitian ini memiliki keakuratan data dan agar
peneliti mampu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya serta valid, maka peneliti
menggunakan tiga macam teknik pengumpulan data, yaitu:
(1) Metode
Observasi
Suharsimi
Arikunto (2002:204), mengemukakan bahwa observasi atau disebut juga dengan
pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan
menggunakan segala indera. Berdasarkan definisi di atas maka yang dimaksud
metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data melalui pengamatan panca
indera yang kemudian diadakan pencatatan-pencatatan.
Adapun
Sparadley (1980) dalam Hasan, dkk (2013:131) menjelaskan bahwa peran dalam
observasi dapat dibagi menjadi; (1) tidak berperan sama sekali, (2) berperan
pasif, (3) berperan aktif, (4) berperan penuh, dalam arti peneliti benar-benar
menjadi warga atau anggota kelompok yang sedang diamati.
Dalam observasi tidak berperan, kehadiran peneliti
untuk melakukan observasi sama sekali tidak diketahui oleh subyek yang diamati.
Subyek yang diamati setelah melihat bahwa kehadiran peneliti ternyata tidak
beran apa-apa, maka perilaku subyek akan semakin kembali menurut apa adanya
sesuai dengan kondisi aslinya.
Observasi berperan pasif mengenai perilaku dan kondisi
lingkungan penelitian bisa dilakukan baik secara formal maupun informal. Dalam
observasi ini peneliti hanya mendatangi lokasi , tetapi sama sekali tidak
berperan sebagai apa pun selain sebagai pengamat pasif.
Tidak demikian halnya dengan observasi berperan
aktif, atau berperan sepenuhnya. Observasi ini merupakan cara khusus dan
peneliti tidak bersikap pasif sebagai pengamat, tetapi memainkan berbagai peran
yang dimungkinkan dalam suatu situasi yang berkaitan dengan penelitiannya,
dengan mempertimbangkan akses yang bisa diperolehnya yang bisa dimanfaatkan
bagi pengumpulan data.
Dalam
penelitian ini, peneliti terlibat secara langsung selama mengobservasi kepemimpinan
kepala sekolah visioner, sehingga dapat dikatakan bahwa peneliti menggunakan
model observasi yang ketiga yaitu observasi berperan aktif, sehingga
dimungkinkan dapat mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk kepentingan
penelitian ini.
Penulis menggunakan metode ini untuk mengamati secara
langsung di lapangan, terutama data tentang : (a) Letak geografis serta keadaan fisik SMPN
2 dan SMPN 3 Wabula; (b) Fasilitas/sarana
prasarana pendidikan yang ada di SMPN 2 SMPN 3 Wabula (c) dan kepemimpinan kepala sekolah yang
visioner dalam mengelola mutu pendidikan di lembaganya masing-masing.
(2)
Metode Wawancara
Menurut Moleong, (2006:186).
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Metode
wawancara atau metode interview digunakan kalau seseorang untuk tujuan suatu
tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari
seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.
Metode interview ini digunakan oleh
penulis dengan tujuan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kepemimpinan
kepala sekolah yang visioner dalam mengelola mutu pendidikan. Adapun sumber
informasi (informan) adalah kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, guru, murid dan komite SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula.
Ada beberapa macam wawancara yaitu:
(1) wawancara terstruktur. Digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila
telah mengetahui informasi yang akan diperoleh, (2) wawancara semi terstruktur. Digunakan untuk
menemukan permasalahan secara lebih terbuka, yang diajak wawancara diminta
pendapat, dan ide-idenya, (3) wawancara tak terstruktur. Digunakan saat
penelitian pendahuluan atau malahan penelitian yang lebih mendalam tentang
subyek yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti
melaksanakan wawancara menggunakan bentuk wawancara yang pertama yaitu
wawancara terstruktur. Metode ini digunakan agar peneliti berhasil mengumpulkan
dan mendapatkan data-data yang lebih lengkap. Hal ini menjadikan pelaksanaan
wawancara menjadi lebih terarah pada apa yang telah ditentukan oleh peneliti.
(3)
Metode Dokumentasi
Tidak kalah penting dari
metode-metode lain adalah metode dokumentasi. Menurut Arikunto (2002:206),
metode ini digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda
dan sebagainya. Dokumen penting yang berupa peristiwa penting dan
benda-benda yang punya hubungan dengan pokok permasalahan dalam penelitian
ini. Dokumen yang diselidiki dalam penelitian ini diantaranya adalah sejarah
berdirinya sekolah, sejarah kepemimpinan kepala sekolah, struktur organisasi
sekolah, data guru, data TU/karyawan, siswa, dan data sarana maupun prasarana. Dibandingkan
dengan metode lain, maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila
ada kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum berubah. Dengan metode
dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati.
Dari definisi di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa dokumentasi yang penulis gunakan adalah dengan
mengambil kumpulan data yang ada di kantor SMPN 2 dan SMPN 3
Wabula, baik berupa tulisan, papan nama, arsip kegiatan kesiswaan, dan
brosur profil SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula.
Menurut Patton (Moleong, 2006:165),
menyatakan bahwa Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, Kategori, dan suatu uraian dasar.
Sedangkan penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif,
yakni analisis yang dilakukan hanya sampai pada laporan yang menggambarkan apa
yang terjadi di lapangan dengan mengombinasikan dua cara berfikir baik induktif
maupun deduktif.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh
peneliti untuk menganalisis data setelah terkumpul adalah:
(1)
Editing,
yaitu proses yang dilaksanakan oleh peneliti dalam memilah-milah data yang
terkumpul dari lapangan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Setelah
data yang terkumpul dirasa cukup lengkap, baik dan sesuai untuk menjawab fokus
penelitian ini, maka proses editing dianggap mencukupi sehingga dapat
dilaksanakan proses berikutnya.
(2)
Interpretasi,
yaitu proses yang dilaksanakan oleh peneliti ketika berusaha mencari makna atau
arti yang lebih luas dan terpercaya dari hasil temuan penelitian maupun data-data
yang digunakan sebagai jawaban terhadap fokus penelitian sehingga dijadikan
sebagai hasil penelitian. hasil interpretasi ini kemudian digabungkan dengan
teori-teori yang diperoleh melalui penelitian perpustakaan.
Verifikasi,
Peneliti berusaha semaksimal mungkin menemukan kesimpulan agar tidak bersifat kabur, maka harus diverifikasi
sehingga kesimpulan bersifat grounded. Tahapan selanjutnya dari analisis
data adalah mendeskripsikan data sesuai katagori dan tema dari fokus penelitian
ini sehingga pembaca dapat memahami tema dan temuan dalam penelitian ini.
Keabsahan data merupakan hal yang
sangat penting dalam suatu penelitian, karena akan menjamin kepercayaan data
yang telah terkumpul sebagai jawaban terhadap pemecahan masalah yang diteliti.
Demikian halnya dalam penelitian ini, proses pengecekan keabsahan data menjadi
suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh peneliti. Pernyataan Moleong (2006:326-338), pemeriksaan keabsahan data didasarkan atas kriteria
tertentu. Kriteria itu terdiri atas derajat kepercayaan (kredibilitas),
keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Masing-masing kriteria tersebut
menggunakan teknik pemeriksaan sendiri-sendiri. Kriteria derajat kepercayaan
pemeriksaan datanya dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut.
F. Teknik Perpanjangan Keikutsertaan
Dalam penelitian ini, peneliti telah berusaha dengan
maksimal untuk mengumpulkan data sesuai jadwal penelitian yang telah
ditentukan. Dalam masa pengumpulan data, peneliti sangat
terbuka terhadap pengaruh ganda, yaitu faktor-faktor
kontekstual dan pengaruh bersama pada peneliti dan subjek yang akhirnya
mempengaruhi fenomena yang diteliti. Jika data yang telah terkumpul dirasa
masih kurang, maka peneliti dengan segera menggali lagi ke lokasi penelitian
untuk memperpanjang masa penelitian sehingga terkumpullah data dengan hasil
yang maksimal yang kelak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
1.
Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud
menentukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan
persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal
tersebut dengan rinci (Moleong, 2006:329). Dalam proses ini peneliti berusaha
tekun dalam mengamati perilaku kepala sekolah dalam segala hal baik di dalam
lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah sehingga pelaksanaan
peranannya terhadap tugasnya sebagai kepala sekolah yang visioner terlihat
dengan jelas. Sehingga peneliti tidak sampai salah langkah dalam mengambil
data-data yang dibutuhkan dan tidak salah dalam mengambil kesimpulan, yang
akhirnya diharapkan tidak mengalami kesalahan dalam penulisan laporan
penelitian ini.
2.
Triangulasi
Triangulasi merupakan teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu
untuk keperlu pengecekan dan sebagai pembanding terhadap data tersebut. Ada
empat macam triangulasi seperti dikemukakan Denzim dalam Moleong (1988:178),
yaitu teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pengecekan keabsahan data
dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber data dan teknik pengumpulan
data. Triangulasi sumber data ditempuh dengan cara membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan data yang diperoleh dari seorang informan dengan
informan lainnya.
Teknik pengecekan data tersebut
dilakukan dengan cara mendatangi setiap informan dan memperlihatkan data atau
informasi, termasuk intrepretasi
peneliti terhadap data yang sudah berbentuk transkrip. Mereka diminta untuk
mengecek kembali dan memberikan komentar atau menambahkan dan mengurangi
apabila dipandang perlu sebagai revisi.
Sebagai seorang mahasiswa yang masih membutuhkan banyak belajar, peneliti
memandang perlu untuk melakukan diskusi melalui teman sejawat tentang berbagai hal yang ada hubungannya
dengan keabsahan data. Hal ini peneliti
lakukan dengan cara melaksanakan diskusi analitik dengan
rekan-rekan sejawat yang dianggap lebih memahami metode penelitian yang dalam
prosesnya dengan cara mengekspos hasil diskusi tersebut
berhasil diketahui mana data yang relevan dan yang tidak relevan serta data
mana yang perlu dikurangi atau ditambah sesuai dengan fokus penelitian.
Dalam penelitian ini, ada beberapa
tahapan penelitian:
1.
Tahapan
pra lapangan.
Tahapan
ini merupakan langkah awal dalam penelitian ini yang dimulai dengan memilih
lapangan atau lokasi penelitian, dengan pertimbangan bahwa SMPN 2 dan MPN 3
Wabula merupakan dua lembaga pendidikan yang berada dalam naungan Dinas
Pendidikan.
2.
Tahapan
pekerjaan lapangan.
Dalam tahapan ini peneliti mengawali dengan
mengadakan observasi langsung ke SMPN 2 dan SMPN 3 Kecamatan Wabula terhadap kepemimpinan
kepala sekolah yang visioner dalam mengelolah mutu pendidikan dengan melibatkan
beberapa informan untuk memperoleh data.
Dilanjutkan dengan melaksanakan proses pengamatan
langsung pada berbagai fenomena yang terlihat jelas di lapangan seperti, proses
pembelajaran yang diselingi dengan wawancara langsung dengan beberapa pihak
yang bersangkutan pada kegiatan tersebut. Peneliti dalam proses ini juga ikut
berperan serta sambil mengumpulkan data yang diperlukan.
3. Tahapan penyusunan laporan
Setelah tahap pra lapangan dan tahap
pekerjaan lapangan selesai, maka kegiatan penelitian ini dilanjutkan dengan
penyusunan laporan. Laporan yang telah disusun kemudian dikonsultasikan dengan
dosen pembimbing untukdikoreksi dan diberi masukan demi penyempurnaan laporan
hasil penelitian. Berdasarkan masukan
dan catatan dosen pembimbing, laporan penelitian ini direvisi sampai dianggap siap untuk diujikan,
dengan demikian selesai sudah tahap penyusunan laporan dalam penelitian ini.
G. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari
dan mengatur secara sistematis hasil obesrvasi, transkrip wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti untuk
meningkatkan pemahaman tentang kasus yang diteliti ,untuk dilaporkan. Peneliti
memproses data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, observasi, catatan
lapangan, dan dokumen. Kemudian data dianalisis sedemikian rupa sehingga
menjadi paparan data yang mudah dipahami dan kemudian diteliti dengan
pendekatan kualitatif.
Analisis data kualitatif adalah upaya
yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, dan
memilah-milah data menjadi satuan yang dapat dikelolah, mengsinteskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukaan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain
(Moleong, 2010:248). Analisis data kualitatif merupakan suatu teknik yang
menguraikan dan mendeskripsikan data-data yang telah terkumpul secara
menyeluruh tentang keadaan yang sebenarnya.
Menurut Molleong (2010:2480) proses analisis data
sebagai berikut:
1)
Mencatat yang menghasilkan catatan
lapangan, dengan halite diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
2)
Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat
ikhtiar, dan membuat indeksnya.
3)
Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna,
mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan,dan membuat tmuan-temuan umum.
Berkaitan dengan hal tersebut, setelah
memperoleh data lapangan, peneliti mengumpulkan, memilih dan memilahny.
Selanjutnya menganalisis data-data untuk mendapatkan gambaran dan pedoman yang
menyeluruh terkait implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam
memperbaiki kinerja guru pai di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kecamatan Wabula
Kabupaten Buton.
Dalam melakukan analisis data dari hasil
pengumpulan data dari lapangan
peneliti menggunakan model analisis dari kualitatif
yang dikemukakan oleh Milles dan Hubberman (1997:16) yng meliputi kegiatan, (1)
pengumpulan data, (2) reduksi data (data reduction), (3) penyajian data (data
display), dan (4) penarikan kesimpulan dan verifikasi. Berdasarkan teknik
diatas, maka analisis data dalam penelitian ini adalah proses mencari,
mengatur, menyusun, melaporkan, serta mendeskripsikan hasil observasi,
wawancara, dan catatan lapangan lainnya.
H.
Pengecekan Keabsahan Data
Untuk menjamin kepercayaan atau validitas
data yang diperoleh melalui penelitian, makadiperlukan adanya uji kabsahan data
dan kelayakan data yang dijelaskan dengan beberapa cara sebagai berikut:
1. Diskusi sejawat
Diskusi sejawat yaitu dengan mengekpos hasil sementara atau hasil akhir
yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat yang
memiliki kemampuan, keahlian bidang pendidikan yang berkitan dengan kompetensi
kepala sekolah. Diskusi rekan sejawat ini dilakukan dengan cara membahas data
dan temuan-temuan penelitian selama peneliti di lapangan, peneliti akan
mendiskusikan kembali tentang data yang diperoleh, baik dengan guru maupun
kepala sekolah. Melalui diskusi rekan sejawat ini, teman-teman peneliti atau
sesame peneliti diharapkan banyak memberikan konstribusi dalam penelitian ini.
2. Triangulasi Metode
Menggunakan triangulasi metode ini berarti mengecek dan membandingkan
tingkat kepercayaan atau kebenaran suatu informasi atau data yang diperoleh dengan menggunakan
berbagai metode pengumpulan data, yaitu dengan wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan cara: (1) membandingkan data hasil
observasi dengan data hasil wawancara, (2) membandingkan hasil wawancara dengan
isi dokumen yang diperoleh dari metode dokumentasi. (Riyanto,2007:18)
Pembandingan tersebutpeneliti gunakan untuk mencari data yang valid yang
kemudian dianalisis dengan teknik analisis data.
I.
Tahapan-Tahapan Penelitian
Ada beberapa tahapan dalam pelaksanaan
penelitian tentang “Implementasi Supervisi klinis Kepala Sekolah sebagai
supervisor dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula ini
yaitu: Pertama, peneliti melakukan
observasi tentang persoalan supervisi kepala sekolah kepada guru pai di SMPN 2
dan SMPN 3 wabula yang menjadi subyek dalam penelitian, berbagai problem, dan
keberhasilan kepala SMPN 2 dan SMPN 3 serta keunikan yang ada, bahkan di sini
peneliti secara formal juga telah mendapatkan ijin untuk melakukan penlitian di
subyek yang peneliti akan teliti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a) Tahapan Pra Lapangan
Tahapan ini merupakan pendahuluan yang berfungsi untuk memahami situasi
latar penelitian dengn langkah-langkah:
1)
Menentukan lapangan penelitian dengan pertimbangan bahwa SMPN 2 dan SMPN
3 Wabula yang melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar secara full day dan
berbagai kegiatan lainnya.
2)
Menyusun proposal penelitian.
3)
Mempersiapkan keperluan penelitian lapangan seperti membuat pedoman
interview dan lain sebagainya.
b) Tahapan Pelaksanaan Penelitian:
Tahapan ini merupakan tahapan tindak
lanjut dari sebelumnya, yang merupakan langkah implementasi dari yang telah
direncanakan, artinya peneliti terjun dalam kancah penelitian dan melakukan
penelitian secara intensif sebagai berikut:
1)
Melakukan pengamatan ke SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula Kecamatan Wabula,
Kabupaten Buton.
2)
Melakukan wawancara dengan para informan.
3)
Mengumpulkan semua data yng dianggap perlu melalui proses dokumentasi.
c)
Tahap akhir penyelesaian.
Setelah
data terkumpul, peneliti memilih data yang diperlukan untuk dianalisis dan
dideskripsikan agar didapatkan pemahaman dan hasil penelitian yang utuh tentang
implementasi supervisi klinis kepala sekolah dalam memperbaiki kinerja guru pai
di SMPN 2 dan SMPN 3 Wabula. Selanjutnya menyusun laporan hasil penelitian
dalam bentuk tulisan sesuai ketentuan yang ditetapkan, kemudian tahap paling
akhir adalah uji tesis.