Rabu, 06 April 2016

LANDASAN-LANDASAN BIMBINGAN DAN KONSELING



LANDASAN-LANDASAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh: Abdulchalid Badarudin 

UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
 




A.  LANDASAN AGAMA DALAM BIMBINGAN KONSELING
Landasan agama membahas tentang kemuliaan manusia sebagaimana ditunjukkan oleh kaidah-kaidah agama yang harus dikembangkan dan dimuliakan. Segala tindakan dan kegiatan bimbingan dan konseling selalu diarahkan pada tujuan pemuliaan kemuliaan manusia. Menurut sifat hakiki manusia adalah makluk beragama (homo religus), yaitu makluk yang mempunyai fitrah untuk memamhami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya. Dapat juga dikatakan bahwa manusia adalah makluk yang memiliki motif beragama, rasa keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama. Kefitrahan inilah yang mambedakan manusia dengan hewan di samping akal manusia, dan juga mengangkat harkat martabatnya atau kemuliaannya di sisi Tuhan.
Terkait dengan tugas manusia sebagai khalifah, al-Qur’an menggambarkan sebagai berikut, yang artimya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Albaqarah: 30)
Malaikat adalah makhluk Allah yang paling patuh terhadap segala perintahNya. Sebelum manusia pertama atau Adam diciptakan, malaikat sudah diciptakan terlebih dahulu. Suatu ketika Allah memberikan pengumuman berupa rencana akan menciptakan suatu makhluk yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Namun, makhluk yang dipilih Allah itu adalah manusia. Mengetahui hal ini malaikat sedikit “protes” pada Allah. Seperti yang dijelaskan oleh ayat di atas, malaikat tahu bahwa manusia yang akan diciptakan Allah tersebut akan membuat kerusakan di muka bumi. Padahal Allah menciptakan manusia dengan tujuan menjadi khalifah di muka bumi. Allah pun menjawab “protes” para malaikat dengan kalimat “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Untuk mempertegas rencana penugasan manusia sebagai khalifah, kemudian Allah mempersiapkan manusia dengan mengajarkannya ‘nama-nama’ sebagaimana digambarkan dalam surat Al-Baqarah: 31-33 berikut ini.













 














“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Albaqarah:31).
“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .” (Albaqarah:32).
“Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan ?” (Albaqarah:33).

Kemampuan manusia untuk dapat mengembangkan potensi “taqwa” dan mengendalikan “jujur”-nya, tidak terjadi secara otomatis atau berkembang dengan sendirinya, tetapi memerlukan bantuan orang lain yaitu melalui pendidikan agama. Dengan mengamalkan ajaran agama, berarti manusia telah mewujudkan jati dirinya, identitas dirinya (self identity) yang hakiki yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Salah satu fitrah manusia adalah makluk sosial yang bersifat altruis (sikap sosial untuk membantu orang lain). Menilik fitrahnya ini, manusia memiliki potensi atau kemampuan unutk bersosialisasi, berinteraksi sosial secara positif dan konstruktif dengan orang lain, atau lingkungannya. Sebagai khalifah manusia mengemban amanah, atau tanggung jawab untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan tatanan kehidupan yang nyaman dan sejahtera; dan berupaya mencegah terjadinya pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan perusakan lingkungan hidup.
1.  Peran Agama
Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental rohani yang sehat. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan, tuntunan bagi arti, tujuan, dan kesetabilan hidup umat manusia. Kehidupan yang efektif menuntut adanya tuntuanan hidup yang mutlak.
a.  Memelihara Fitrah.
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Namun manusia mempunyai hawa nafsu (naluri atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan/keinginan), dan juga ada pihak luar yang senantiasa menggoda atau menyelewengkan manusia dari kebenaran, yaitu setan, manusia sering terjerumus melakukan perbuatan dosa. Agar manusia dapat mengendalikan hawa nafu dan terhindar dari godaan setan (sehingga drinya tetap suci), maka manusia manusia harus beragama atau bertaqwa pada Allah, yaitu beriman dan beramal shaleh, atau melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apabila manusia telah bertaqwa kepada Tuhan berarti dia telah memelihara fitrahnya, dan ini juga berarti bahwa dia termasuk orang yang akan memperoleh rakmat Allah.
b.  Memelihara jiwa.
Agama sangat menghargai harkat dan martabat, atau kemuliaan manusia. Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan, atau pembunuhan, baik terhadap dirinya sendiri mpada maupun orang lain.
c.  Memelihara akal.
Allah telah memberikan karunia manusia yang tidak diberikan kepada makluk lainnya, yaitu akal. Dengan akal inilah, manusia memiliki; (a) kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai agama, dan (b) mengembangkan ilmu dan teknologi, atau mengembangkan kebudayaan. Melalui kemampuannya inilah dapat berkembang menjadi makluk yang berbudaya (beradab). Karena pentingnya peran akal ini, maka agama memberi petunjuk kepada manusia untuk memngembangkan dan memeliharanya, yaitu hendaknya manusia ; (a) mensyukuri nikamt akal itu, dengan cara memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk berfikir, belajar, atau mencari ilmu; (b) menjauhkakn diri dari perbuatan yang merusak akal, seperti minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, narkoba, dan hal-hal lain yang merusak keberfungsian akal sehat.
d.  Memelihara keturunan.
Agama mengajarkakn kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau regenarasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu adalah pernikahan. Pernikahan merupakan uapacara agama yang suci yang waib ditempuh oleh sepasang pria an wanita sebelum melakukan hubungan biologis sebagai suami istri. Pernikahan itu bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah (tentram, nyaman), mawaddah (cinta kasih, mutual respect), dan rahmah ( mendapat curahan karunia Allah). Menurut Zakaiah Daradjat (1982) salah satu peranan agama adalah sebagai terapi (penyembuhan) bagi gangguan kejiwaan. Pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi dari kejatuhan kepada gangguan jiwa dan dapat pula mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang yang gelisah. Semakin dekat dengan Tuhan, semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tenteramlah jiwanya, serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidup. Demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama akan semakin susahlah mencari ketenteraman batin. M. Surya (1977) mengatakan bahwa agama memegang peranan sebagai penentu dalam proses penyesuaian diri. Hal ini diakui oleh ahli klinis, psikiatris, dan konselor bahwa adama adalah faktor penting dalam memelihara dan memperbaiki mental. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustasi, dan ketegangan lainnya, dan memberikan suasana damai dan tenang.
Agama merupakan sumber nilai, keprcayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kesetabilan hidup umat manusia, kehidupan yang efektif menutut adanya tuntunan hidup yang mutlak. Pemberian layanan bimbingan dan konseling semakin diyakini kepentingannya bagi anak atau siswa, mengingat dinamika kehidupan masyarakat ini cenerung kompleks, terjadi perbenturan antara berbagai kepentingan yang bersifat kompetitif, baik yang menyangkut aspek politik, ekonomi, ilmu teknologi, maupun aspek-aspek yang lebih khusus tentang perbenturan ideologi, antara yang hak (benar) dan batal (salah)
2.  Peran agama bagi konselor
Landasan religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai “helper” pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama dan komitmen yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien atau peserta didik. Konselor seyogianya menyadari bahwa memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada klien merupakan salah satu kegiatan yang bernilai ibadah, karena di dalam proses bantuannya terkandung nilai mengembangkan kebaikan dan mencegah keburukan. Agar layanan bantuan yang diberikan itu bernilai ibadah, maka kegiatan tersebut harus didasarkan kepada keiklasan dan kesabaran. Kaitannya dengan hal tersebut Prayitno dan Erman Amti mengemukakan persyaratan bagi konselor, yaitu sebagai berikut ;
a.  Konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketakwannya sesuai dengan agama yang dianutnya.
b.  Konselor sedadat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah klien.

B. LANDASAN FILOSOFIS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Filsafat bimbingan konseling bersumber dari filsafat tentang hakikat manusia. Seorang pemikir abad modern Dr. Alexis Carrel; seorang peletak dasar-dasar humoniora di Barat, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya. Pendapat ini menunjukan betapa sulitnya memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga setiap kali seseorang selesai memahami dari satu aspek tentang manusia maka akan muncul aspek yang lainnya yang belum dibahas.
Berbicara tentang manusia, ada 4 (empat) aliran yang mendefinisikan manusia, yaitu : Pertama, aliran serba Zat, Aliran ini berpendapat bahwa yang sungguh-sungguh ada hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakekat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu hakekat manusia adalah zat atau materi. Sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma dari sang ayah, kemudian tumbuh menjadi janin yang akhirnya akan lahir ke dunia sebagai manusia.  Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran, perasaan (tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, hayalan, asosiasi, penghayatan, dan sebagainya) dari zat atau materi yang sel-sel tubuh. Oleh karena itu, manusia sebagai materi memiliki keperluan-keperluan yang bersifat matei pula, artinya manusia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi. Dari dasar pemikiran tersebut maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia maka pandangan materialistis tersebut identik dengan pandangan hidup yang bersifat duniawi, sedangkan yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai hayalan belaka.
Berbeda dengan pendapat aliran yang pertama, aliran kedua disebut aliran serba ruh ini berpendapat bahwa segala hakekat sesuatu yang ada di dunia ini adalah “ruh”, termasuk di dalamnya hakekat manusia itu sendiri. Adapun zat adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang sehingga tidak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indera. Jadi berlawanan dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu. Istilah-istilah  lain dari ruh yang artinya hampir sama adalah jiwa, sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Materi hanyalah penjelmaan ruh. Fichte berkata “bahwa segala sesuatu yang  lain (selain dari ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perupaan, perubahan dan penjelmaan dari pada ruh”.3
Dasar pikiran dari aliran ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Hal ini dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang sudah meninggal, akan dianggap sudah tidak ada lagi di dunia meskipun badannya atau raganya masih utuh. Demikian aliran ini menganggap bahwa ruh itu adalah hakekat, sedangkan badan adalah penjelmaan atau bayangan saja.
Aliran ketiga adalah aliran yang mencoba mengawinkan antara aliran serba zat dan aliran serbaruh. Aliran ini dinamakan aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua substansi yaitu  jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh dan juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam perwujudannya manusia itu serba dua, jasad dan ruh yang keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang brsifat kausal atau sebab akibat, artinya antara keduanya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akn mempengaruhi di pihak lain.
Pembahasan tentang hakekat manusia ternyata terus menerus berjalan dan tak kunjung berakhir. Orang belum  merasa puas dengan pandangan-pandangan di atas. Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakekat manusia, mana yang merupakan eksistensi manusia atau wujud manusia itu sesungguhnya.
Aliran keempat ini disebut aliran eksistensialisme. Pandangan aliran ini adalah mencari inti hakekat manusia. Yaitu apa yang menguasai manusia tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran ini, melainkan memandang dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu sendiri di dunia ini.
Memahami hakikat manusia berarti memahami seluruh factor yang disebutkan secara konprehensif dan utuh. Manusia adalah makhluk Allah yang Maha Kuasa, yang memiliki kehendak dan kebebasan, manusia patut mengembangkan diri atas kemerdekaan pikiran dan kehendak yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Kuasa, dalam tatanan kehidupan bersama yang tertuju kepada pencapaian kehidupan sejalan dengan fitrahnya. Kondisi eksistensial manusia mengandung makna bahwa manusia berada dalam proses menjadi menuju keberadaan diri sebagai makhluk pribadi, social dan makhluk Allah Yang Maha Kuasa.
Ada tiga fungsi pendidikan yaitu fungsi pengembangan, membantu individu mengembangkan diri sesuai potensinya, peragaman diferensiasi, membantu individu memilih arah perkembangn yang tepat sesuai potensinya, dan integrasi, membawa keragaman perkembangan ke arah tujuan yang sama sesuai dengan hakikat manusia untuk menjadi pribadi utuh.
Dalam mewujudkan pribadi utuh, BK peduli terhadap pengembangan kemampuan nalar yang motekar atau kreatif untuk hidup baik dan benar. Upaya bimbingan dalam merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan seperti disebutkan terarah kepada upaya membantu individu, dengan kemotekaran nalarnya, untuk memperhalus (refine), menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasi system nilai ke dalam perilaku mandiri. Dalam upaya semacam itu, BK amat mungkin menggunakan berbagai metode dan teknik psikologis, untuk memahami dan memfasilitasi perkembangan individu, akan tetapi tidak berarti bahwa BK adalah psikologi terapan, karena BK tetap bersandar terarah perkembangan manusia sesuai hakikat eksistensialitasnya. BK tidak cukup bertopang pada kaidah psikologis melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai makhluk Allah Yang Maha Kuasa.
Perkembangan kemandirian terarah kepada penemuan makna diri dan dunia, dan pemaknaan itu akan beragam sesuai dengan denan persepsi manusia akan diri dan dunianya. Proses memaknai adalah proses selektif, ditentukan melalui proses memilih, dan karena itu bangu kehidupan setiap diri manusia akan berbeda. Dalam tataran pemaknaan yang lebih tinggi akan terjadi makna sinoptik atau trasendensi lingkungan, yang menggambarkan interaksi individu dengan dunianya tidak lagi dalam interaksi subyek-obyek, melainkan merupakan hubungan antar subyetivitas, yakni proses dialog dalam diri.
Proses memilih adalah proses menimbang berbagai alterbatif, sebuah proses reaktif atau implusif. Kemandirian berkembang melalui pengembangan kemampuan berpikir, kreativitas, imajinasi, yang akan membawa manusia kepada pemahaman tentang perbedaan diri dengan lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan. Dalam tahapan seperti ini, individu akan berupaya sedikit demi sedikit malepaskan diri dari ikatan otoritas dan menuju kepada hubuangan mutualistik, mengambangkan kekhususan diri, mengembangkan kemampuan instrumental untuk memenuhi sendiri aktivitas hidup.
Visi bimbingan perkembangan bersifat edukatif, pengembangan dan outreach. Edukatif karena titik berat layanan bimbingan perkembangan ditekankan pada pencegahan dan pengembangan, bukan korektif atau terapeutik, walaupun layanan tersebut tidak diabaikan. Pengembangan karena titik sentral sasaran bimbingan perkembangan adalah perkembangan optimal seluruh aspek kepribadian individu dengan upaya pokoknya memberikan kemudahan perkembangan melalui rekayasa lingkungan perkembangan. Outreach karena target populasi layanan bimbingan perkembangan tidak terbatas pada individu yang bermasalah, tetapi semua individu berkenaan dengan semua aspek kepribadiannya dalam semua konteks kehidupan.

C. LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
1.  Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
2.  Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
3.  Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8) Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.


4.  Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
5.  Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
1.      Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2.      Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
3.      Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
4.      Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
5.      Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
6.      Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.

D. LANDASAN HISTORIS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Secara umum, konsep bimbingan dan konseling telah lama dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang pengembangan potensi individu dapat ditelusuri dari masyarakat yunani kono. Mereka menekankan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menguatkan individu melalui pendidikan. Plato dipandang sebagan koselor Yunani Kuno karena dia telah menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah pemahaman psikologis individu seperti menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam masyarakat dan teologis.
1.  Sejarah Bimbingan Konseling di Amerika Serikat
Menengok sejarah perkembangannya, bimbingan konseling berawal di Amerika Serikat yang dipelopori oleh seorang tokoh besar yaitu Frank Parson melalui gerakan yang terkenal yaitu guidance movement (gerakan bimbingan). Awal kelahiran gerakan ini dimaksudkan sebagai upaya mengatasi semakin banyaknya veteran perang yang tidak memiliki peran. Oleh karena itu, Frank Person berupaya memberi bimbingan vocational sehingga veteran-veteran tersebut tetap dapat berkarya sesuai kondisi mereka. Selanjutnya, gerakan ini berkembang tidak semata pada bimbingan vocational, tapi meluas pada bidang-bidang lain yang akhirnya masuk pula dalam pendidikan formal.
Dalam pendidikan formal, bimbingan (dan konseling) ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu siswa (peserta didik) mencapai titik optimal perkembangan mereka. Pencapaian-pencapaian itu dilakukan oleh petugas yang (di Indonesia) dikenal dengan sebutan guru pembimbing atau guru BK (bimbingan dan konseling), di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan konselor sekolah. Dalam mencapai tujuan tersebut guru pembimbing melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya yang sekaligus menjadi ujung tombak dari keseluruhan kegiatan bimbingan adalah kegiatan konseling.
Kegiatan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Dalam arti untuk melakukan kegiatan ini dibutuhkan kemampuan (keterampilan) khusus tentang praktik konseling, karena kegiatan konseling bukan kegiatan menasihati, memarahi, atau sekadar obrolan ”omong kosong”. Pelatihan-pelatihan konseling yang diberikan pada (bimbingan konseling) sedikit banyak memecah kekacauan pandangan dan tindakan tentang tugas-tugas pembimbing bahkan keberadaan bimbingan konseling itu sendiri.
Karakteristik seperti itu menjadikan guru pembimbing atau guru bimbingan dan konseling memiliki tipe kerja tersebut, yang seandainya disamakan dengan guru-guru bidang studi lain akan jauh berbeda. Sebenarnya antara guru pembimbing dengan guru-guru bidang studi memiliki kesamaan yaitu dalam visi dan misi pendidikan.
Sementara strategi yang ditempuh yang menjadikan mereka tampak berbeda. Guru bidang studi banyak berinteraksi dengan peserta didik di ruang kelas, melaksanakan semua instrumen kegiatan belajar mengajar. Sementara guru pembimbing lebih banyak berkecimpung dalam proses konseling yang semuanya itu dilakukan tidak secara klasikal dengan memakai ruang kelas.
Guru pembimbing lebih akan memakai pendekatan yang bersifat individual dan”santai”. Keberadaan ini yang menuntut kejelian serta ”kecerdasan” kita dalam memaknai bimbingan konseling. Akan sangat berat bila pikiran kita dipaksa untuk menyamakan bimbingan konseling dari kaca mata tugas-tugas guru bidang studi biasa. Tampaknya, bila ditarik dari sisi pesimis, munculnya sikap diskriminatif berpangkal dari tafsir bahwa bimbingan dan konseling hanya sisipan atau pelengkap ”penderita” dari keseluruhan pendidikan formal, kalau memang tidak karena sikap kita dari semula telah diskriminatif ataupun korup (?). Tak berlebihan bila akhirnya kondisi ini yang memicu lahirnya tindakan-tindakan diskriminatif pada petugas-petugas bimbingan konseling di lapangan.
Di Amerika Serikat sendiri tanpa bermaksud membandingkan apalagi menjiplak bimbingan konseling terus berkembang dan telah berperan sebagaimana keberadaannya. Kondisi Indonesia tentu lain, sekali lagi, surat pembaca di atas menjadi contoh bagaimana keterbatasan pengetahuan pada apa yang disebut dengan bimbingan konseling telah melahirkan tindakan-tindakan yang perlu terus dikoreksi.

2.  Sejarah Bimbingan Dan Konseling Di Indonesia Dan Lahirnya BK
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP  Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja. Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut:
a.  Belum Adanya Hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.
b.  Semangat luar biasa untuk melaksanakan
Lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.
c.  Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:
1)     Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
2)     Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
3)     Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.
4)     Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya,
5)     Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling. Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.
SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling adalah:
1)     Istilah “bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti menjadi “bimbingan dan konseling.”
2)     Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru.
3)     Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam.
4)     Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas:
a)      Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya.
b)      Bidang bimbingan : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir
c)      Jenis layanan : layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.
d)      Kegiatan pendukung : instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan kasus. Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian disebut “BK Pola-17”.
5)     Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap:
a)      Perencanaan kegiatan
b)      Pelaksanaan kegiatan
c)      Penilaian hasil kegiatan
d)      Analisis hasil penilaiane
e)      Tindak lanjut
f)       Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah.
Hal-hal yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang sudah lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti:
1)     Pengangkatan guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.
2)     Penataran guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan.
3)     Penyususnan pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti:
a)     Buku teks bimbingan dan konseling
b)     Buku panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolah.
c)      Panduan penyusunan program bimbingan dan konseling.
d)     Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan konseling
e)     Panduan pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah.
4)     Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling.
5)     Penyusunan pedoman Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas : istilah yang digunakan bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing atau guru yang sudah mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam, kegiatannya dengan BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut. Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan luar jam kerja. Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah Guru Pembimbing, dan guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku panduan.

E.  LANDASAN SOSIAL BUDAYA DALAM BIMBINGAN KONSELING
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.

F.  LANDASAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI DALAM BIMBINGAN KONSELING
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
G. LANDASAN PAEDAGOGIS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Bimbingan dan konseling itu identik dengan pendidikan. Artinya ketika seseorang melakukan praktik bimbingan dan konseling berarti ia sedang mendidik., dan begitu pula sebaliknya. Pendidikan itu merupakan salah satu lembaga sosial yang universal dan berfungsisebagai sarana reproduksi sosial (Budi Santoso, 1992).
Pendidikan merupakan salah satu lembaga sosial yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial (Budi Santoso, 1992). Pendidikan ditinjau sebagai landasan bimbingan dan konseling dari tiga segi, yaitu:
1.  Pendidikan Sebagai Upaya Pengembangan Individu : Bimbingan Merupakan Bentuk Upaya Pendidikan
Rakyat dan pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan pengertian pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Komponen utama pendidikan sendiri yaitu: Pertama, pendidikan merupakan usaha sadar. Kedua, pendidikan merupakan penyiapan peserta didik. Artinya peserta didik hendak dibawa ke arah tujuan yang jelas. Ketiga, tujuan tersebut adalah peranan peserta didik itu kelak dalam tatanan masyarakat yang lebih berkembang. Keempat, proses pendidikan dilakukan melalui praktek-praktek bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan. Kelima, keempat kemampuan pendidikan tersebut tidak dapat dipisahkan.
2.  Pendidikan Sebagai Inti Proses Bimbingan Konseling
Bimbingan dan konseling mengembangkan proses belajar yang dijalani oleh klien-kliennya. Kesadaran ini telah tampil sejak perkembangan gerakan bimbingan dan konseling secara meluas di Amerika Serikat. Pada Tahun 1953, Gistod telah menegaskan bahwa bimbingan dan konseling adalah proses yang berorientasi pada belajar, belajar untuk memahami lebih jauh tentang diri sendiri, belajar untuk mengembangkan dan merupakan secara efektif berbagai pengalaman. (dalam Beklin, 1975). Lebih jauh Nugent (1981) mengemukakan bahwa dalam konseling, klien mempelajari keterampilan dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah, tingkah laku, tindakan, serta sikap-sikap baru. Dengan belajar itulah klien memperoleh berbagai hal yang baru bagi dirinya; dengan memperoleh hal-hal baru itulah klien berkembang.
3.  Pendidikan Lebih Lanjut Sebagai Inti Tujuan Bimbingan dan Konseling
Tujuan bimbingan dan konseling disamping memperkuat tujuan-tujuan pendidikan, juga menunjang proses pendidikan pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti karena program-program bimbingan dan konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya yang menyangkut kawasan kematangan pendidikan karier, kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial, semuanya untuk peserta didik pada jenjang pendidika  dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (Borders dan Drury, 1992). Hasil-hasil bimbingan dan konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan pada umumnya.

DAFTAR RUJUKAN
Amti, E dan Prayitno. 2013. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Corey, Gerlald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.
Hall, Calvin S.  & Lidzey, Gardner. 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis). (editor A. Supratiknya).  Jakarta : Kanisius
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Prayitno, dkk. 2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Prayitno, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Depdiknas
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Surya, Moh.. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: PPB–IKIP Bandung
Suryabrata, Sumadi. 1999. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
Wirawan, Sarlito. 2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo
Yusuf, Syamsu, LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Rosda Karya Remaja.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar