LANDASAN-LANDASAN BIMBINGAN DAN
KONSELING
Oleh: Abdulchalid Badarudin
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
A. LANDASAN
AGAMA DALAM BIMBINGAN KONSELING
Landasan
agama membahas tentang kemuliaan manusia sebagaimana ditunjukkan oleh
kaidah-kaidah agama yang harus dikembangkan dan dimuliakan. Segala tindakan dan
kegiatan bimbingan dan konseling selalu diarahkan pada tujuan pemuliaan
kemuliaan manusia. Menurut sifat hakiki manusia adalah makluk beragama (homo
religus), yaitu makluk yang mempunyai fitrah untuk memamhami dan menerima
nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan
kebenaran agama sebagai rujukan (referensi) sikap dan perilakunya. Dapat
juga dikatakan bahwa manusia adalah makluk yang memiliki motif beragama, rasa
keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama.
Kefitrahan inilah yang mambedakan manusia dengan hewan di samping akal manusia,
dan juga mengangkat harkat martabatnya atau kemuliaannya di sisi Tuhan.
Terkait
dengan tugas manusia sebagai khalifah, al-Qur’an menggambarkan sebagai berikut,
yang artimya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Albaqarah: 30)
Malaikat adalah makhluk
Allah yang paling patuh terhadap segala perintahNya. Sebelum manusia pertama
atau Adam diciptakan, malaikat sudah diciptakan terlebih dahulu. Suatu ketika
Allah memberikan pengumuman berupa rencana akan menciptakan suatu makhluk yang
akan menjadi khalifah di muka bumi. Namun, makhluk yang dipilih Allah itu
adalah manusia. Mengetahui hal ini malaikat sedikit “protes” pada Allah.
Seperti yang dijelaskan oleh ayat di atas, malaikat tahu bahwa manusia yang
akan diciptakan Allah tersebut akan membuat kerusakan di muka bumi. Padahal
Allah menciptakan manusia dengan tujuan menjadi khalifah di muka bumi. Allah
pun menjawab “protes” para malaikat dengan kalimat “Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Untuk
mempertegas rencana penugasan manusia sebagai khalifah, kemudian Allah
mempersiapkan manusia dengan mengajarkannya ‘nama-nama’ sebagaimana digambarkan
dalam surat Al-Baqarah: 31-33
berikut ini.
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Albaqarah:31).
“Mereka menjawab:
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana .” (Albaqarah:32).
“Allah berfirman:
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah
sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan ?”
(Albaqarah:33).
Kemampuan
manusia untuk dapat mengembangkan potensi “taqwa” dan mengendalikan
“jujur”-nya, tidak terjadi secara otomatis atau berkembang dengan sendirinya,
tetapi memerlukan bantuan orang lain yaitu melalui pendidikan agama. Dengan
mengamalkan ajaran agama, berarti manusia telah mewujudkan jati dirinya,
identitas dirinya (self identity) yang hakiki yaitu sebagai hamba Allah
dan khalifah di muka bumi. Salah satu fitrah manusia adalah makluk sosial yang
bersifat altruis (sikap sosial untuk membantu orang lain). Menilik
fitrahnya ini, manusia memiliki potensi atau kemampuan unutk bersosialisasi,
berinteraksi sosial secara positif dan konstruktif dengan orang lain, atau
lingkungannya. Sebagai khalifah manusia mengemban amanah, atau tanggung jawab
untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan tatanan kehidupan
yang nyaman dan sejahtera; dan berupaya mencegah terjadinya pelecehan
nilai-nilai kemanusiaan dan perusakan lingkungan hidup.
1. Peran Agama
Agama
sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk tentang berbagai
aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental rohani yang sehat.
Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan
memberikan, tuntunan bagi arti, tujuan, dan kesetabilan hidup umat manusia.
Kehidupan yang efektif menuntut adanya tuntuanan hidup yang mutlak.
a. Memelihara Fitrah.
Manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Namun manusia mempunyai hawa nafsu
(naluri atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan/keinginan), dan juga ada pihak
luar yang senantiasa menggoda atau menyelewengkan manusia dari kebenaran, yaitu
setan, manusia sering terjerumus melakukan perbuatan dosa. Agar manusia dapat
mengendalikan hawa nafu dan terhindar dari godaan setan (sehingga drinya tetap
suci), maka manusia manusia harus beragama atau bertaqwa pada Allah, yaitu
beriman dan beramal shaleh, atau melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Apabila manusia telah bertaqwa kepada Tuhan berarti dia telah
memelihara fitrahnya, dan ini juga berarti bahwa dia termasuk orang yang akan
memperoleh rakmat Allah.
b. Memelihara jiwa.
Agama
sangat menghargai harkat dan martabat, atau kemuliaan manusia. Dalam memelihara
kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan
penganiayaan, penyiksaan, atau pembunuhan, baik terhadap dirinya sendiri mpada
maupun orang lain.
c. Memelihara akal.
Allah
telah memberikan karunia manusia yang tidak diberikan kepada makluk lainnya,
yaitu akal. Dengan akal inilah, manusia memiliki; (a) kemampuan untuk
membedakan yang baik dan buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai agama,
dan (b) mengembangkan ilmu dan teknologi, atau mengembangkan kebudayaan.
Melalui kemampuannya inilah dapat berkembang menjadi makluk yang berbudaya
(beradab). Karena pentingnya peran akal ini, maka agama memberi petunjuk kepada
manusia untuk memngembangkan dan memeliharanya, yaitu hendaknya manusia ; (a)
mensyukuri nikamt akal itu, dengan cara memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk
berfikir, belajar, atau mencari ilmu; (b) menjauhkakn diri dari perbuatan yang
merusak akal, seperti minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang,
narkoba, dan hal-hal lain yang merusak keberfungsian akal sehat.
d. Memelihara keturunan.
Agama
mengajarkakn kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau regenarasi
yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu adalah
pernikahan. Pernikahan merupakan uapacara agama yang suci yang waib ditempuh
oleh sepasang pria an wanita sebelum melakukan hubungan biologis sebagai suami
istri. Pernikahan itu bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah (tentram,
nyaman), mawaddah (cinta kasih, mutual respect), dan rahmah (
mendapat curahan karunia Allah). Menurut Zakaiah Daradjat (1982) salah satu
peranan agama adalah sebagai terapi (penyembuhan) bagi gangguan kejiwaan.
Pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi dari kejatuhan
kepada gangguan jiwa dan dapat pula mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang
yang gelisah. Semakin dekat dengan Tuhan, semakin banyak ibadahnya, maka akan
semakin tenteramlah jiwanya, serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan
kesukaran-kesukaran dalam hidup. Demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang
itu dari agama akan semakin susahlah mencari ketenteraman batin. M. Surya
(1977) mengatakan bahwa agama memegang peranan sebagai penentu dalam proses
penyesuaian diri. Hal ini diakui oleh ahli klinis, psikiatris, dan konselor
bahwa adama adalah faktor penting dalam memelihara dan memperbaiki mental.
Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik,
frustasi, dan ketegangan lainnya, dan memberikan suasana damai dan tenang.
Agama
merupakan sumber nilai, keprcayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan
memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kesetabilan hidup umat manusia,
kehidupan yang efektif menutut adanya tuntunan hidup yang mutlak. Pemberian
layanan bimbingan dan konseling semakin diyakini kepentingannya bagi anak atau
siswa, mengingat dinamika kehidupan masyarakat ini cenerung kompleks, terjadi
perbenturan antara berbagai kepentingan yang bersifat kompetitif, baik yang
menyangkut aspek politik, ekonomi, ilmu teknologi, maupun aspek-aspek yang
lebih khusus tentang perbenturan ideologi, antara yang hak (benar) dan batal
(salah)
2. Peran agama bagi konselor
Landasan
religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai “helper”
pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama dan
komitmen yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya
sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada
klien atau peserta didik. Konselor seyogianya menyadari bahwa memberikan
layanan bimbingan dan konseling kepada klien merupakan salah satu kegiatan yang
bernilai ibadah, karena di dalam proses bantuannya terkandung nilai
mengembangkan kebaikan dan mencegah keburukan. Agar layanan bantuan yang
diberikan itu bernilai ibadah, maka kegiatan tersebut harus didasarkan kepada
keiklasan dan kesabaran. Kaitannya dengan hal tersebut Prayitno dan Erman Amti
mengemukakan persyaratan bagi konselor, yaitu sebagai berikut ;
a. Konselor hendaklah orang yang
beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketakwannya sesuai dengan
agama yang dianutnya.
b. Konselor sedadat-dapatnya
mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan
masalah klien.
B. LANDASAN
FILOSOFIS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Filsafat bimbingan konseling bersumber dari filsafat
tentang hakikat manusia. Seorang pemikir abad modern Dr. Alexis Carrel; seorang
peletak dasar-dasar humoniora di Barat, berpendapat bahwa manusia adalah
makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya
berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia
yang ada di luar dirinya. Pendapat ini menunjukan betapa sulitnya memahami
manusia secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga setiap kali seseorang selesai
memahami dari satu aspek tentang manusia maka akan muncul aspek yang lainnya
yang belum dibahas.
Berbicara
tentang manusia, ada 4 (empat) aliran yang mendefinisikan manusia, yaitu :
Pertama, aliran serba Zat, Aliran ini berpendapat bahwa yang sungguh-sungguh
ada hanyalah zat atau materi. Zat atau materi itulah hakekat dari sesuatu. Alam
ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu
hakekat manusia adalah zat atau materi. Sebagai makhluk materi, maka pertumbuhannya
berproses dari materi juga. Sel telur dari sang ibu bergabung dengan sperma
dari sang ayah, kemudian tumbuh menjadi janin yang akhirnya akan lahir ke dunia
sebagai manusia. Adapun apa yang disebut ruh atau jiwa, pikiran, perasaan
(tanggapan, kemauan, kesadaran, ingatan, hayalan, asosiasi, penghayatan, dan
sebagainya) dari zat atau materi yang sel-sel tubuh. Oleh karena itu, manusia
sebagai materi memiliki keperluan-keperluan yang bersifat matei pula, artinya
manusia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan dan sebagainya juga dari materi.
Dari dasar pemikiran tersebut maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang
materialistis. Oleh karena materi itu adanya di dunia maka pandangan
materialistis tersebut identik dengan pandangan hidup yang bersifat duniawi,
sedangkan yang bersifat ukhrawi (akhirat) dianggap sebagai hayalan belaka.
Berbeda
dengan pendapat aliran yang pertama, aliran kedua disebut aliran serba ruh ini
berpendapat bahwa segala hakekat sesuatu yang ada di dunia ini adalah “ruh”,
termasuk di dalamnya hakekat manusia itu sendiri. Adapun zat adalah manifestasi
dari pada ruh di atas dunia ini. Ruh adalah sesuatu yang tidak menempati ruang
sehingga tidak dapat disentuh atau dilihat oleh panca indera. Jadi berlawanan
dengan zat yang menempati ruang betapapun kecilnya zat itu.
Istilah-istilah lain dari ruh yang artinya hampir sama adalah jiwa,
sukma, nyawa, semangat dan sebagainya. Materi hanyalah penjelmaan ruh. Fichte
berkata “bahwa segala sesuatu yang lain (selain dari ruh) yang rupanya
ada dan hidup hanyalah suatu jenis perupaan, perubahan dan penjelmaan dari pada
ruh”.3
Dasar
pikiran dari aliran ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi
nilainya daripada materi. Hal ini dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang sudah meninggal, akan dianggap sudah tidak ada lagi di dunia
meskipun badannya atau raganya masih utuh. Demikian aliran ini menganggap bahwa
ruh itu adalah hakekat, sedangkan badan adalah penjelmaan atau bayangan saja.
Aliran
ketiga adalah aliran yang mencoba mengawinkan antara aliran serba zat dan
aliran serbaruh. Aliran ini dinamakan aliran dualisme. Aliran ini menganggap
bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua substansi yaitu
jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua substansi ini masing-masing merupakan
unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak
berasal dari ruh dan juga sebaliknya ruh tidak berasal dari badan. Hanya dalam
perwujudannya manusia itu serba dua, jasad dan ruh yang keduanya berintegrasi
membentuk yang disebut manusia. Antara badan dan ruh terjalin hubungan yang
brsifat kausal atau sebab akibat, artinya antara keduanya saling pengaruh
mempengaruhi. Apa yang terjadi di satu pihak akn mempengaruhi di pihak lain.
Pembahasan
tentang hakekat manusia ternyata terus menerus berjalan dan tak kunjung
berakhir. Orang belum merasa puas dengan pandangan-pandangan di atas.
Ahli-ahli filsafat modern dengan tekun berpikir lebih lanjut tentang hakekat
manusia, mana yang merupakan eksistensi manusia atau wujud manusia itu
sesungguhnya.
Aliran
keempat ini disebut aliran eksistensialisme. Pandangan aliran ini adalah
mencari inti hakekat manusia. Yaitu apa yang menguasai manusia tidak dari sudut
serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran ini, melainkan memandang
dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya manusia itu
sendiri di dunia ini.
Memahami hakikat manusia berarti memahami seluruh
factor yang disebutkan secara konprehensif dan utuh. Manusia adalah makhluk
Allah yang Maha Kuasa, yang memiliki kehendak dan kebebasan, manusia patut
mengembangkan diri atas kemerdekaan pikiran dan kehendak yang dilandasi
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Kuasa, dalam tatanan kehidupan
bersama yang tertuju kepada pencapaian kehidupan sejalan dengan fitrahnya.
Kondisi eksistensial manusia mengandung makna bahwa manusia berada dalam proses
menjadi menuju keberadaan diri sebagai makhluk pribadi, social dan makhluk
Allah Yang Maha Kuasa.
Ada tiga fungsi pendidikan yaitu fungsi pengembangan,
membantu individu mengembangkan diri sesuai potensinya, peragaman diferensiasi,
membantu individu memilih arah perkembangn yang tepat sesuai potensinya, dan
integrasi, membawa keragaman perkembangan ke arah tujuan yang sama sesuai
dengan hakikat manusia untuk menjadi pribadi utuh.
Dalam mewujudkan pribadi utuh, BK peduli terhadap
pengembangan kemampuan nalar yang motekar atau kreatif untuk hidup baik dan
benar. Upaya bimbingan dalam merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan seperti
disebutkan terarah kepada upaya membantu individu, dengan kemotekaran nalarnya,
untuk memperhalus (refine), menginternalisasi, memperbaharui dan mengintegrasi
system nilai ke dalam perilaku mandiri. Dalam upaya semacam itu, BK amat
mungkin menggunakan berbagai metode dan teknik psikologis, untuk memahami dan
memfasilitasi perkembangan individu, akan tetapi tidak berarti bahwa BK adalah
psikologi terapan, karena BK tetap bersandar terarah perkembangan manusia
sesuai hakikat eksistensialitasnya. BK tidak cukup bertopang pada kaidah
psikologis melainkan harus mampu menangkap eksistensi manusia sebagai makhluk
Allah Yang Maha Kuasa.
Perkembangan kemandirian terarah kepada penemuan makna
diri dan dunia, dan pemaknaan itu akan beragam sesuai dengan denan persepsi
manusia akan diri dan dunianya. Proses memaknai adalah proses selektif,
ditentukan melalui proses memilih, dan karena itu bangu kehidupan setiap diri
manusia akan berbeda. Dalam tataran pemaknaan yang lebih tinggi akan terjadi
makna sinoptik atau trasendensi lingkungan, yang menggambarkan interaksi
individu dengan dunianya tidak lagi dalam interaksi subyek-obyek, melainkan
merupakan hubungan antar subyetivitas, yakni proses dialog dalam diri.
Proses memilih adalah proses menimbang berbagai
alterbatif, sebuah proses reaktif atau implusif. Kemandirian berkembang melalui
pengembangan kemampuan berpikir, kreativitas, imajinasi, yang akan membawa
manusia kepada pemahaman tentang perbedaan diri dengan lingkungan dan orang
lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan. Dalam tahapan seperti ini, individu
akan berupaya sedikit demi sedikit malepaskan diri dari ikatan otoritas dan
menuju kepada hubuangan mutualistik, mengambangkan kekhususan diri,
mengembangkan kemampuan instrumental untuk memenuhi sendiri aktivitas hidup.
Visi bimbingan perkembangan bersifat edukatif,
pengembangan dan outreach. Edukatif karena titik berat layanan bimbingan
perkembangan ditekankan pada pencegahan dan pengembangan, bukan korektif atau
terapeutik, walaupun layanan tersebut tidak diabaikan. Pengembangan karena
titik sentral sasaran bimbingan perkembangan adalah perkembangan optimal
seluruh aspek kepribadian individu dengan upaya pokoknya memberikan kemudahan
perkembangan melalui rekayasa lingkungan perkembangan. Outreach karena target
populasi layanan bimbingan perkembangan tidak terbatas pada individu yang
bermasalah, tetapi semua individu berkenaan dengan semua aspek kepribadiannya
dalam semua konteks kehidupan.
C. LANDASAN
PSIKOLOGIS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Landasan
psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor
tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk
kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu
dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan
dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
1. Motif dan
Motivasi
Motif dan
motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik
motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh
individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya
maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi,
memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya
motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri
individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–,
menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada
suatu tujuan.
2. Pembawaan
dan Lingkungan
Pembawaan
dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi
perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan
merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti
struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau
ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang
perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada
lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu
akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada
pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat
tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot).
Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan
yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap
potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula
individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan
sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang
dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
3. Perkembangan
Individu
Perkembangan
individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang
merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya
meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral
dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan
sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya
dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari
Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan
psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori
dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang
perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8)
Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa
bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam
menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan
individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu
itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
4. Belajar
Belajar
merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar
untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan
dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat
kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu
yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan
yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah
tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun
psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat
belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau
pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk
memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori
belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar
Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan
(3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif
konstruktivisme.
5. Kepribadian
Hingga saat
ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian
secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang
dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat
dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang
kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang
menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider
dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses
respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya
mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi
dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut
dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan
yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan
antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh
keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik,
tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan
berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang
bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk
menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian
yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud,
Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler,
Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari
Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons
dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek
kepribadian, yang mencakup :
1.
Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi
etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2.
Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau
cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari
lingkungan.
3.
Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif,
negatif atau ambivalen.
4.
Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi
emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya
tersinggung, sedih, atau putus asa.
5.
Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk
menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau
menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang
dihadapi.
6.
Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan
dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau
tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk
kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan
mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat
memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi
perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga
harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya
sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu
pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi
pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan
belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam
belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya
pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang
karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor
benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat
bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum,
psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan
psikologi kepribadian.
D. LANDASAN
HISTORIS DALAM BIMBINGAN KONSELING
Secara umum, konsep bimbingan dan
konseling telah lama dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang
pengembangan potensi individu dapat ditelusuri dari masyarakat yunani kono.
Mereka menekankan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menguatkan individu
melalui pendidikan. Plato dipandang sebagan koselor Yunani Kuno karena dia
telah menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah pemahaman psikologis
individu seperti menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam
masyarakat dan teologis.
1. Sejarah
Bimbingan Konseling di Amerika Serikat
Menengok
sejarah perkembangannya, bimbingan konseling berawal di Amerika Serikat yang
dipelopori oleh seorang tokoh besar yaitu Frank Parson melalui gerakan yang
terkenal yaitu guidance movement (gerakan bimbingan). Awal kelahiran
gerakan ini dimaksudkan sebagai upaya mengatasi semakin banyaknya veteran
perang yang tidak memiliki peran. Oleh karena itu, Frank Person berupaya
memberi bimbingan vocational sehingga veteran-veteran tersebut tetap dapat
berkarya sesuai kondisi mereka. Selanjutnya, gerakan ini berkembang tidak
semata pada bimbingan vocational, tapi meluas pada bidang-bidang lain yang
akhirnya masuk pula dalam pendidikan formal.
Dalam
pendidikan formal, bimbingan (dan konseling) ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk membantu siswa (peserta didik) mencapai titik optimal perkembangan
mereka. Pencapaian-pencapaian itu dilakukan oleh petugas yang (di Indonesia)
dikenal dengan sebutan guru pembimbing atau guru BK (bimbingan dan konseling),
di Amerika Serikat dikenal dengan sebutan konselor sekolah. Dalam mencapai
tujuan tersebut guru pembimbing melakukan berbagai upaya. Salah satu upaya yang
sekaligus menjadi ujung tombak dari keseluruhan kegiatan bimbingan adalah
kegiatan konseling.
Kegiatan
konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Dalam arti untuk melakukan
kegiatan ini dibutuhkan kemampuan (keterampilan) khusus tentang praktik
konseling, karena kegiatan konseling bukan kegiatan menasihati, memarahi, atau
sekadar obrolan ”omong kosong”. Pelatihan-pelatihan konseling yang diberikan
pada (bimbingan konseling) sedikit banyak memecah kekacauan pandangan dan
tindakan tentang tugas-tugas pembimbing bahkan keberadaan bimbingan konseling
itu sendiri.
Karakteristik
seperti itu menjadikan guru pembimbing atau guru bimbingan dan konseling
memiliki tipe kerja tersebut, yang seandainya disamakan dengan guru-guru bidang
studi lain akan jauh berbeda. Sebenarnya antara guru pembimbing dengan
guru-guru bidang studi memiliki kesamaan yaitu dalam visi dan misi pendidikan.
Sementara
strategi yang ditempuh yang menjadikan mereka tampak berbeda. Guru bidang studi
banyak berinteraksi dengan peserta didik di ruang kelas, melaksanakan semua
instrumen kegiatan belajar mengajar. Sementara guru pembimbing lebih banyak
berkecimpung dalam proses konseling yang semuanya itu dilakukan tidak secara
klasikal dengan memakai ruang kelas.
Guru
pembimbing lebih akan memakai pendekatan yang bersifat individual dan”santai”.
Keberadaan ini yang menuntut kejelian serta ”kecerdasan” kita dalam memaknai
bimbingan konseling. Akan sangat berat bila pikiran kita dipaksa untuk
menyamakan bimbingan konseling dari kaca mata tugas-tugas guru bidang studi
biasa. Tampaknya, bila ditarik dari sisi pesimis, munculnya sikap diskriminatif
berpangkal dari tafsir bahwa bimbingan dan konseling hanya sisipan atau
pelengkap ”penderita” dari keseluruhan pendidikan formal, kalau memang tidak
karena sikap kita dari semula telah diskriminatif ataupun korup (?). Tak
berlebihan bila akhirnya kondisi ini yang memicu lahirnya tindakan-tindakan diskriminatif
pada petugas-petugas bimbingan konseling di lapangan.
Di
Amerika Serikat sendiri tanpa bermaksud membandingkan apalagi menjiplak
bimbingan konseling terus berkembang dan telah berperan sebagaimana
keberadaannya. Kondisi Indonesia tentu lain, sekali lagi, surat pembaca di atas
menjadi contoh bagaimana keterbatasan pengetahuan pada apa yang disebut dengan
bimbingan konseling telah melahirkan tindakan-tindakan yang perlu terus
dikoreksi.
2. Sejarah Bimbingan Dan
Konseling Di Indonesia Dan Lahirnya BK
Sejarah
lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya
Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting
sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu
hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang
kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan
berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)
pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya,
IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan
dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan
Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah
Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun
1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP
(setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di
sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan
S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan
di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan
Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui
tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit
bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di
dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan
bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih
belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta
didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna
terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul
anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang
tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa
anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan
No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di
dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan
pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No
025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi
Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di
sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.
Pelaksanaan
Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak
jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra
bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan
BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan
muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi
kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala
diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata
sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental,
BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau
”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara
pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa
saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil
pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi
semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes,
inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani
masalah-masalah yang ringan saja. Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di
sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang
harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Belum Adanya Hukum
Sejak
Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah
mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975
Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting
diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk
memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi
jelas arah kegiatannya.
b. Semangat luar biasa untuk
melaksanakan
Lahirnya
SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar
pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk
melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau
membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau
guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau
Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang,
menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas.
Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari
guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran
untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan
tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan
Penyuluhan di sekolah.
c. Belum ada aturan main yang
jelas
Apa,
mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana
pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa
bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan
kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang
kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini
jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk
menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua
murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah.
Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru
Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa
dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan,
juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola
yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:
1)
Guru
BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan
fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi
tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah
satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya.
2)
Guru
Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam
kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi
guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.
3)
Guru
Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para
siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak
memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.
4)
Kepala
Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program
pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di
sekolahnya,
5)
Terjadi
persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan
fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang
diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling. Kondisi-kondisi seperti di
atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.
SK
Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut
bimbingan dan konseling adalah:
1)
Istilah
“bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti menjadi “bimbingan dan
konseling.”
2)
Pelaksana
bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang
secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak
dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru.
3)
Guru
yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling
adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum
mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam.
4)
Kegiatan
bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas:
a)
Pengertian,
tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya.
b)
Bidang
bimbingan : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir
c)
Jenis
layanan : layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran,
konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.
d)
Kegiatan
pendukung : instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan
alih tangan kasus. Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian
disebut “BK Pola-17”.
5)
Setiap
kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap:
a)
Perencanaan
kegiatan
b)
Pelaksanaan
kegiatan
c)
Penilaian
hasil kegiatan
d)
Analisis
hasil penilaiane
e)
Tindak
lanjut
f)
Kegiatan
bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah.
Hal-hal
yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang
sudah lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti:
1)
Pengangkatan
guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.
2)
Penataran
guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan.
3)
Penyususnan
pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti:
a)
Buku
teks bimbingan dan konseling
b)
Buku
panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolah.
c)
Panduan
penyusunan program bimbingan dan konseling.
d)
Panduan
penilaian hasil layanan bimbingan dan konseling
e)
Panduan
pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah.
4)
Pengembangan
instrumen bimbingan dan konseling.
5)
Penyusunan
pedoman Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995
khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas :
istilah yang digunakan bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing
atau guru yang sudah mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180
jam, kegiatannya dengan BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap
perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut.
Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan luar jam kerja. Peningkatan
profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah Guru Pembimbing, dan guru
pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku panduan.
E. LANDASAN SOSIAL BUDAYA
DALAM BIMBINGAN KONSELING
Landasan
sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada
konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang
mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya
merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia
sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan
dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi
tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya.
Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu
berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan
perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam
sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik
internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses
perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan
pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses
konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien,
yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang
berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan
yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya,
yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d)
kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang
digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan
mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat
individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social
prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping
dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan
reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki
lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg
berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture
shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus
berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat
terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait
dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006)
mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa
bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk
lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling
dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di
atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada
nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang
harmoni dalam kondisi pluralistik.
F. LANDASAN ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI DALAM BIMBINGAN KONSELING
Layanan
bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki
dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan
tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan
menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen,
prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk
laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal
dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah
menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan
secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan
dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa
disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan
praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan,
statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi,
manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut
telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik
dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan
bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga
dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan
dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer,
sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan
dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak
memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling
pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan
teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya
(klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga
dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk
“cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi
komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi
dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan
adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya
mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno,
2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus
mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik
berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan
penelitian.
G. LANDASAN PAEDAGOGIS
DALAM BIMBINGAN KONSELING
Bimbingan dan
konseling itu identik dengan pendidikan. Artinya ketika seseorang melakukan praktik bimbingan dan konseling berarti ia sedang mendidik., dan
begitu pula sebaliknya. Pendidikan itu merupakan salah satu lembaga sosial yang
universal dan berfungsisebagai sarana reproduksi sosial (Budi Santoso, 1992).
Pendidikan merupakan salah satu lembaga sosial yang
universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial (Budi Santoso, 1992).
Pendidikan ditinjau sebagai landasan bimbingan dan konseling dari tiga segi,
yaitu:
1.
Pendidikan Sebagai Upaya Pengembangan Individu :
Bimbingan Merupakan Bentuk Upaya Pendidikan
Rakyat dan
pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menetapkan pengertian pendidikan sebagai usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Komponen utama pendidikan
sendiri yaitu: Pertama, pendidikan merupakan usaha sadar. Kedua,
pendidikan merupakan penyiapan peserta didik. Artinya peserta didik hendak
dibawa ke arah tujuan yang jelas. Ketiga, tujuan tersebut adalah peranan
peserta didik itu kelak dalam tatanan masyarakat yang lebih berkembang. Keempat,
proses pendidikan dilakukan melalui praktek-praktek bimbingan, pengajaran,
dan/atau latihan. Kelima, keempat kemampuan pendidikan tersebut tidak
dapat dipisahkan.
2. Pendidikan
Sebagai Inti Proses Bimbingan Konseling
Bimbingan
dan konseling mengembangkan proses belajar yang dijalani oleh klien-kliennya.
Kesadaran ini telah tampil sejak perkembangan gerakan bimbingan dan konseling
secara meluas di Amerika Serikat. Pada Tahun 1953, Gistod telah menegaskan
bahwa bimbingan dan konseling adalah proses yang berorientasi pada belajar,
belajar untuk memahami lebih jauh tentang diri sendiri, belajar untuk
mengembangkan dan merupakan secara efektif berbagai pengalaman. (dalam Beklin,
1975). Lebih jauh Nugent (1981) mengemukakan bahwa dalam konseling, klien
mempelajari keterampilan dalam pengambilan keputusan, pemecahan masalah,
tingkah laku, tindakan, serta sikap-sikap baru. Dengan belajar itulah klien
memperoleh berbagai hal yang baru bagi dirinya; dengan memperoleh hal-hal baru
itulah klien berkembang.
3. Pendidikan
Lebih Lanjut Sebagai Inti Tujuan Bimbingan dan Konseling
Tujuan
bimbingan dan konseling disamping memperkuat tujuan-tujuan pendidikan, juga
menunjang proses pendidikan pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti karena
program-program bimbingan dan konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan
individu, khususnya yang menyangkut kawasan kematangan pendidikan karier,
kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial, semuanya untuk
peserta didik pada jenjang pendidika dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan
menengah (Borders dan Drury, 1992). Hasil-hasil bimbingan dan konseling pada
kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan pada umumnya.
DAFTAR RUJUKAN
Amti, E dan Prayitno.
2013. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Corey, Gerlald. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi
(Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling.
Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into
Practice. New York : McMillan Publishing.
Hall, Calvin S. & Lidzey, Gardner. 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis).
(editor A. Supratiknya). Jakarta :
Kanisius
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork :
McGraw-Hill Book Company
Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda
Karya Remaja.
Prayitno, dkk. 2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II).
Depdiknas : Jakarta
Prayitno, dkk. 2004. Panduan
Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling,
Jakarta: Depdiknas
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Surya, Moh.. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran.
Bandung: PPB–IKIP Bandung
Suryabrata, Sumadi. 1999. Psikologi Kepribadian. Jakarta :
Rajawali.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja
Grafindo.
Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek.
Bandung : Alfabeta
Wirawan, Sarlito. 2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta :
Raja Grafindo
Yusuf, Syamsu, LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Rosda Karya
Remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar