Model Kepemimpinan
Kepala Sekolah Dalam Membangun Keharmonisan Guru dan Pegawai di SMAN 1 dan SMAN
2 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
Kedudukan dan posisi kepala sekolah dalam
lembaga pendidikan sangatlah
sentral.
Dikatakan sangat sentral karena kepala sekolah menjadi tonggak utama yang
menahkodai perjalan sebuah lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Jadi, maju tidaknya sebuah lembaga pendidikan tentu ada di tangan kepala
sekolah. Sekolah dapat berakibat fatal, dalam artian tidak dapat menghasilkan
output berkualitas jika pemimpin dalam sekolah tersebut tidak mempunyai skill
kepemimpinan yang baik. Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan seorang kepala sekolah harus mempunyai keahlian dalam membangun
keharmonisan di dalam sekolah.Sehingga kepala sekolah dapat mempengaruhi
bawahannya untuk berbuat dan bertindak dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan
yang telah dirumuskan bersama.
Mohyi
(1999:175) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah “suatu
proses kegiatan mempengaruhi, mengorganisir, menggerakkan, mengarahkan bawahan
untuk melaksanakan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan”.Jika
dikolaborasikan maka kepemimpinan dapat dimaknai sebagai sebuah kemampuan
kepala sekolah dalam mempengaruhi, mengorgasnisir, menggerakkan dan mengarahkan
para guru, staf, karyawan dan lainnya untuk bertindak dan melakukan sesuatu
dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Kepemimpinan
berarti “kemampuan dan kesiapan yang
dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan,
mengarahkan dan kalau perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh
tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya
suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan” (Wahab,2008:
132). Suetopo dan Suemanto (1999:9) kepemimpinan
mengandung arti “kemampuan atau daya untuk
menggerakkan pelaksana pendidikan agar tercapainya tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan secara efektif dan efisien”. Dikatakan juga
bahwa sebagai pemimpin pendidikan kepala sekolah menghadapi tanggung jawab yang
berat, untuk itu ia harus memiliki persiapan memadai. Fungsi utama kepala
sekolah sebagai pemimpin pendidikan adalah menciptakan situasi belajar mengajar
sehingga guru-guru dapat mengajar dan murid dapat belajar dengan baik.
Kholis (2003:167) model kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Model kepemimpinan adalah
suatu pola perilaku yang konsisten yang ditunjukkan oleh pemimpin dan diketahui
oleh pihak lain ketika pemimpin berusaha mempengaruhi kegiatan-kegiatan orang
lain. Model kepemimpinan juga merupakan pola tingkah laku seorang pemimpin dalam
proses mengerahkan dan mempengaruhi para pekerja.Kepalasekolah
dalam pengelolaan organisasi
sekolah secara tidak langsung telah
memperaktekkan salah satu model kepemimpinan
dalam teori yang ada. Model
kepemimpinan manakah yang paling tepat diterapkan masih menjadi
pertanyaan. Karakteristik sekolah sebagai organisasi pendidikan akan
berpengaruh terhadap keefektifan model kepemimpinan
yang diterapkan. Sebuah organisasi hanya akan bergerak jika kepemimpinan yang
ada di dalamnya berhasil dan efektif. Model kepemimpinan banyak mempengaruhi
keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah model secara sederhana adalah sama
dengan cara yang dipergunakan pemimpin di dalam mempengaruhi parapengikutnya.
Kepemimpinan suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan membangun iklim
motivasi yang menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka pemimpin
perlu memikirkan model kepemimpinannya.
Model
kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat
orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Pada dasarnya, ada
tiga model kepemimpinan seperti yang dikembangkan
oleh Lippit, dan White yaitu: otokratik/otokrasi, demokratik, dan laissez-faire.Motivasi
merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual.
Perannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan
semangat untuk belajar dan mengajar. Siswa dan guru yang memiliki motivasi
kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar mengajar (Sardiman,
1986:73-75).
Motivasi adalah suatu
tujuan jiwa yang mendorong individu untuk aktivitas-aktivitas tertentu dan
untuk tujuan terhadap situasi disekitarnya (Mustaqim dan Wahib, 2001:72). Sebagai salah
satu komponen dalam belajar mengajar (PBM), guru memiliki posisi yang sangat
menentukan keberhasilan pembelajaran dalam merancang, mengelola, melaksanakan,
dan mengevaluasi pembelajaran (Usman, 2007:7). Kepala sekolah juga memiliki
kedudukan sebagai figur sentral dalam meningkatkan proses belajar mengajar.
Guru sebagai tenaga kependidikan merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan tujuan pendidikan karena guru yang langsung bersinggungan dengan
peserta didik untuk memberikan bimbingan yang akan menghasilkan tamatan yang
diharapkan. Oleh karena itu, kepala sekolah senantiasa memberikan motivasi,dorongan,menumbuhkan
semangat kepada guru dengan demikian ada rasa termotivasi sehingga dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawab akan berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Hamzah (2008:63) mengatakan bahwa motivasi dapat
dipandang sebagai energi dalam diri seseorang yang ditandai oleh munculnya
feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Pernyataan ini
mengandung pengertian tiga pengertian yaitu bahwa motivasi mengawali perubahan
energi dalam diri setiap individu, motivasi relevan dengan persoalan kejiwaan,
afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia, dan motivasi
dirangsang karena adanya tujuan. Kepemimpinan
kepala sekolah harus menggerakkan bawahannya (guru) dalam mengerjakan
tugas, mampu memotivasi
guru sehingga guru akan memusatkan seluruh tenaga dan perhatiannya untuk
mencapai hasil yang telah ditetapkan. Kepala Sekolah harusmenjalin komunikasi
aktif dan setiap saat mengadakan evaluasi terhadap tugas pengajaran yang telah
dilakukan oleh guru. Hal ini dapat tercermin dari pola kepemimpinan yang
ditunjukkan oleh kepala sekolah kepada bawahannya. Perilaku pemimpin yang
positif dapat mendorong kelompok atau bawahannya dalam mengarahkan dan
memotivasiindividu untuk bekerja sama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan
tujuan Sekolah. Psikologi kepemimpinan menyatakan bahwa fungsi utama seorang
pemimpin adalah mengembangkan sistem motivasi yang efektif, agar para pengikut
(bawahan) mau bekerja sesuai dengan yang diperintahkan oleh pimpinan yang
bersangkutan. Dalam hal ini seorang pemimpin haruslah mampu melakukan stimulasi
atau rangsangan terhadap pengikut atau bawahannya sedemikian rupa agar dapat
memberikan sumbangan positif bagi tujuan organisasi, disamping memuaskan
kebutuhan-kebutuhan pribadinya.Selain motivasi guru yang ditingkatkan
keharmonisan guru juga harus mendapat perhatian yang lebih. Di SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara
merupakan wajah pluralisme, artinya dari unsur siswa, pegawai sampai pada unsur
guru beraneka ragam, baik pada aspek kesukuan, tradisi, bahkan agama.
Berdasarkan
studi pendahuluan kepala SMAN 1 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan
Utara memiliki strategi dalam membangun keharmonisan dan kekompokan tim guru
dan pegawai SMAN 1 Tanjung Selor, tercatat Jumlah guru dan pegawai sebanyak 65
orang dengan 9 orang beragama Kristen dan 56
beragama Islam. Program keharmonisan ala kepala SMAN 1 Tanjung Selor adalah
berupa program anjangsana. Program ini merupakan instruksi langsung dari kepala sekolah yang
dilaksanakan 1 bulan sekali, setelah gajian dengan cara bergiliran dari rumah
satu kerumah lainnya setiap bulan. Kepala sekolah juga ikut berpartisipasi pada
acara kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para guru dan pegawainya, baik
pada acara-acara formal sekolah maupun acara hari-hari besar agama yang
dilaksanakan oleh masing-masing guru atau pegawai yang ada. Dari partsisipasi
kepala sekolah terhadap kegiatan guru dan pegawai menunjukkan bahwa kepala
sekolah tidak pernah membeda-bedakan agama, karena itu kerja sama tim SMAN 1
Tanjung Selor, sangat kompak dalam berbagai kegiatan lebih-lebih dalam
membangun kebersamaan yang ada untuk meningkatkan mutu pendidikan yang
ada, (wawancara dengan Nurjannah guru
yang beragama Islam SMAN 1 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara
pada tanggal 17 oktober 2015).
Berbeda
dengan kepala SMA 2 Tanjung Selor Berdasarkan studi pendahuluan kepala SMAN 2
Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara memiliki strategi tersendiri
dalam membangun keharmonisan dan kekompokan tim guru dan pegawai sekolahnya,
tercatat Jumlah guru dan pegawai sebanyak 20 orang, 13 Beragama Islam dan 7 orang beragama
Kristen. salah satunya strategi dalam membangun keharmonisan dengan system dilegatif
kepanitian guru dan pegawai. Guru dan pegawai sama-sama diberi kewenangan dalam
sebuah kepanitian di sekolah, misalnya jika ketua panitianya beragama Islam
maka anggotanya yang beragama lain, sebaliknya jika ketuanya beragama lain maka
anggotanya dari Islam, hal ini biasanya dilaksanakan pada acara kegiatan formal
sekolah dan kegiatan hari-hari besar kegamaan. Selain itu kepala SMAN 2 menjadi
tempat konsultasinya para guru yang berlainan agama, hal ini ditunjukkan oleh
kepala sekolah yang selalu menjadi curahan hati para guru dan pegawai karena
kepala sekolah selalu menjemput persoalan-persolan yang dihadapi oleh anak
buannya (wawancara dengan Santo Dungau, S.Pd Guru yang beragama Kristen SMAN 2 Tanjung
Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara pada tanggal 19 Oktober 2015).
Selain
studi pendahuluan diatas ada penelitian yang relevan dengan peran dan
kepimimpinan kepala sekolah dan telah banyak dikaji baik
oleh peneliti maupun praktisi pendidikan, adapun penelitian-penelitian
terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini yang ditulis oleh :
1. Penelitian Tesis Moh. Arifin (1993: 21), judul penelitian performensi kerja
guru dan karyawan SMA Negeri di Kota
Administrasi Jember ditinjau dari model kepemimpinan kepala sekolah,penelitian
ini terfokus pada hubungn antara model kepemimpinan kepala sekolah dengan
performensi kerja guru dan karyawan serta membahas beberapa model kepemimpinan.
Walaupun penelitian ini mengungkap Model kepemimpinan,namuntidakada kaitannya
dengan pengembangan profesionalisme guru.
2. Penelitian Tesis
yang dilakukan oleh Sri Puji Astuti (2002: 19), judul penelitian tentang
kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan pembinaan profesionalisme guru
(studi kasus) SDN Bumiayu Batu Malang. Penelitian yang dilakukan lebih
difokuskan pada persepsi guru terhadap pembinaan profesionalisme guru, serta
membahas tentang faktor pendukung dan faktor penghambat yang harus dihadapi oleh
kepala sekolah dalam meningkatkan profesioanlisme guru. Penelitian ini
dilakukan di SD negeri yang berbeda dengan lokasi penelitian yang akan peneliti
lakukan. Sedangkan dalam penelitian ini di fokuskan pada model kepemimpinan
dalam meningkatkan motivasi kerja guru.
3. Penelitian Sri Rahmi
(2003: 23), tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan
profesionalisme guru (studi kasus di MAN 1 Malang). Penelitian ni terfokus pada
Model kepemimpinan yang demokratis dengan menggunakan strategi Colaborative
dalam meningkatkan profesionalisme guru. Sedangkan dalam penelitian ini di
fokuskan pada model kepemimpinan, kepala memenuhi kebutuhan fisik, kebutuhan
rasa aman kebutuhan bersosialisasi memenuhi kebutuhan penghargaan, memenuhi
kebutuhan aktualisasi dalam meningkatkan motivasi kerja guru dalam meningkatkan
motivasi kerja guru.
4. Penelitian Ratiah
(2010: 25), tentang peran kepala sekolah dalam peningkatan motivasi kerja guru
di SMP Darul Muhajirin Praya Lombok Tengah. Penelitian ini lebih difokuskan
pada peran kepala sekolah baik pada peran sebagai administrator dan supervisor
dalam meningkatkan motivasi kerja guru, belum sampai pada aspek model yang
pemimpin yang ia perankan. Persamaan pada penelitian ini terletak pada
peningkatan motivasi kerja guru baik motivasi secara intrinsik maupun ekstrinsik,
sedangkan perbedannya terletak pada model kepemimpinan
dan peran kepemimipinanya.
Tabel 1. Peneletian Terdahulu
No
|
Nama Peneliti
Judul & tahun penelitian
|
Persamaan
|
Perbedaan
|
Orisinalitas Penelitian
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Moh. Arifin
(1993), Ferformensi kerja guru dan karyawan SMA Negeri di
Kota Administrasi Jember ditinjau dari model kepemimpinan kepala Sekolah
|
Kepemimpinan Kepala Sekolah
|
Performansi kinerja guru dan
karyawan
|
Model Kepemimpinan Kepala
Sekolah Mempengaruhi Performansi Kinerja Guru dan Karyawan
|
2
|
Sri Puji Astuti
(2002),
Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam meningkatkan Pembinaan
Profesionalisme Guru (Studi Kasus ) SDN Bumiayu Batu Malang.
|
Kepemimpinan Kepala Sekolah
|
Pembinaan profesionalis me guru
|
Kepemimpinan Kepala Sekolah Mempenagruhi Peningkatan
Profesinalisme Guru
|
3
|
Sri
Rahmi (2003),
Kepemimpinan
Kepala Sekolah dalam meningkatkan Profesinalisme Guru ( Studi Kasus di MAN 1
Malang)
|
Kepemimpinan Kepala Sekolah
|
meningkatkan
Profesinalisme Guru
|
Modelkepemimpinan
yang demokratis dengan menggunakan strategi kolaboratif dapat meningkatkan
profesionalisme guru
|
4
|
Ratiah (2010),
Peran
Kpala Sekolah dalam Peningkatan Motivasi Kerja Guru Di SMP Darul Muhajirin
Praya Lombok Tengah
|
Kepemimpinan Kepala Sekolah
|
Peningkatan
Motivasi Kerja Guru
|
Peran Kepala Sekolah
Mempengaruhi Motivasi Kerja Guru
|
Berbeda dengan penelitian di atas, posisi penelitian ini
terletak pada model
kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun keharmonisan guru dan
pegawai.Melihatkonteks persoalan tersebut di atas maka penulis tertarik dan
tergugah untuk melakukan pengkajian lebih mendalam tentang model kepemimpinan
kepala sekolah dalam membangun keharmonisan guru dan pegawai. Untuk itu, dalam
penelitian ini penulis menuangkan ke dalam tesis dengan judul, “Model
Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Membangun Keharmonisan Guru Dan Pegawai
(studi multisitus di SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan
Kalimantan Utara)”.
Dari beberapa penelitian di atas, terdapat persamaan dan perbedaan antara
peneliti yang satu dengan yang lainnya, maka posisi penelitian ini terletak pada model
kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun keharmonisan guru dan pegawai
dengan demikian maka judul dalam penelitian ini adalah “Model Kepemimpinan
Kepala Sekolah Dalam Membangun Keharmonisan Guru dan Pegawai di SMAN 1 dan SMAN
2 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara”.
B.
Fokus Penelitian
Berdasarkan studi awal penelitian tersebut diatas, maka fokus penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana model
kepemimpinan instuktif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara?
2.
Bagaimana model
kepemimpinan konsultatif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara?
3.
Bagaimana model
kepemimpinan partisipatif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara?
4.
Bagaimana model
kepemimpinan delegatif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara?
C. TujuanPenelitian
Bertitik tolak dari fokus
penelitian di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan sebagai berikut:
1.
Model
kepemimpinan instuktif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara.
2.
Model
kepemimpinan konsultatif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara.
3.
Model
kepemimpinan partisipatif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara.
4.
Model
kepemimpinan delegatif kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara.
D.
Kegunaan Penelitian
Rumusan tentang penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan
manfaatnya kepada negara, atau khususnya kepada bidang yang sedang menjadi
fokus penelitian.
Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Manfaat
teoritis :
a.
Adanya kajian
ilmiah terkait persepsi masyarakat terhadap model
kepemimpinan kepala sekolah dalam sebuah lembaga pendidikan.
b.
Menghasilkan
temuan substantif maupun formal, sehingga menambah wacana baru dalam tataran model
kepemimpinan kepala sekolah di sebuah lembaga pendidikan.
2.
Manfaat praktis
:
a.
Bagi kepala
sekolah, guru, staf dan kepala sekolah, diharapkan menjadi bahan pertimbangan
untuk meningkatkan keharmonisan para guru dalam mewujudkan tujuan bersama.
b.
Bagi pengelola
program studi Supervisi Pendidikan Islam di UNISMA Malang, untuk pengembangan
integrasi keilmuan supervisi pendidikan terkait dengan model
kepemimpinan kepala sekolah terhadap keharmonisan guru.
c.
Bagi peneliti
lebih lanjut, agar dapat mengembangkan penelitiannya tentang model kepemimpinan
terhadap unsur-unsur lainnya di lembagapendidikan. Sehingga, terdapat berbagai
pengkayaan wacana dan khazanah keilmuan.
E.
Definisi Operasional
1.
Model
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia model adalah rencana,
representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep,
yang seringkali berupa penyederhanaan
atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis. Model adalah pola (contoh,
acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan (Departemen P dan
K, 1984:75). Definisi lain dari model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana serta
mempunyai tingkat prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah
abstraksi dari realitasdengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat
dari kehidupan sebenarnya (Simamarta, 1983: ix – xii).
2.
Kepemimpinan
Mohyi (1999:175) mengatakan bahwa “kepemimpinan
adalah suatu proses kegiatan mempengaruhi, mengorganisir, menggerakkan,
mengarahkan bawahan untuk melaksanakan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan”. Sedangkan Wahab (2008:132) “kepemimpinan berarti kemampuan dan
kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempengaruhi, mendorong, mengajak,
menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan kalau perlu memaksa orang atau kelompok
agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat
membantu tercapainya suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan”.
Dari
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepimpinan
adalah suatu proses kegiatan mempengaruhi, mengorganisir, menggerakkan,
mengarahkan bawahan untuk melaksanakan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan
bersama dalam sebuah wadah organisasi.
3.
Keharmonisan
Keharmonisan
berasal dari kata harmonis yang mempunyai arti selaras atau serasi. Sedangkan
dalam konteks lembaga pendidikan, keserasian dan keselarasan perlu dijaga untuk
mendapatkan suatu hubungan yang harmonis. (KBBI, 2005:229).
Sedangkan Fajri, dkk (1983:347) mengatakan “hubungan dalam hal ini
dapat berupa hubungan antara sesama guru
ataupun antara guru dengan kepala sekolah. Pada sisi lain, keharmonisan juga
dapat berarti ada hubungan yang terarah, teratur dan berlangsung begitu indah”.
Dari dua pengertian diatas dapat dipahami
bahwa keharmonisan adalah hubungan yang selaras dan serasi yang terjalin antara
sesama guru, guru dan kepala sekolah dan semua warga sekolah.
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Model Kepemimpinan
1.
Pengertian Kepemimpinan
Robbin
(2001: 3)
berpendapat bahwa “kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok ke arah tercapainya tujuan”. Selanjutnya Gibson
(1996:4), mendefinisikan “kepemimpinan
sebagai usaha menggunakan suatu model mempengaruhi dan tidak memaksa untuk
memotivasi individu dalam mencapai tujuan”. Manullang (2001:141) mengungkapkan
bahwa “kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk berbuat
guna mewujudkan tujuan-tujuan yang sudah ditentukan”.
Jadi,
kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan dalam menentukan dan mencapai suatu
tujuan yang diinginkan secara bersama atau organisasi dengan menggerakkan dan
mempengaruhi orang agar bersedia melakukan sesuatu pekerjaan secara
profesional. Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok
untuk mencapai tujuan. Adanya sumber pengaruh bisa didapatkan secara formal
maupun non formal. Pengaruh secara formal bisa dilakukan dengan cara
berorganisasi seperti kepala sekolah dalam lembaga pendidikan, sedangkan secara
non formal bisa melalui struktur organisasi yang tidak formal di lingkungan
masyarakat yang ada, jenis pengaruh seperti ini biasanya banyak dilakukan oleh
pranata sosial, difrensisosial, keturunan, kiai, ustadz dan lain sebagainya.
Konsep kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Dengan adanya
kekuasaan, pemimpin dapat mempengaruhi orang lain sehingga ia dapat melakukan
kerjasama yang baik. Oleh karena itu, praktik kepemimpinan dalam manajemen erat
sekali hubungannya untuk mempengaruhi orang lain dalam bertingkah laku baik
secara individu maupun secara kelompok tertentu.
Menurut
Terry (1986: 343), di dalam bukunya “Principles Of Management”
mengartikan “kepemimpinan sebagai hubungan di mana satu orang yakni pemimpin
mempengaruhi pihak lain untuk bekerjasama sukarela dalam usaha mengerjakan
tugas-tugas yang berhubungan untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh
pemimpin tersebut”. Suprayogo (1999: 160) mengatakan bahwa “kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi aktifitas individu atau group untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dalam situasi yang telah ditetapkan”. Menurut
Rivai (2003:2) mendefinisikan “kepemimpinan
secara luas meliputi proses mempengaruhi dan menentukan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan dan mempengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya”.
Dari
penjelasan di atas kepemimpinan merupakan tingkah laku dari pemimpin menggambarkan
sebenarnya suatu dinamika kegiatan dari seseorang pemimpin berdasarkan
kepemimpinannya. Dengan sendirinya ada beberapa hal yang bersifat universal,
namun terdapat pula beberapa yang bersifat spesifik dan sangat tergantung pada
situasi budaya, kelompok yang dipimpin dan tujuannya untuk keberhasilan
organisasi.
Sedangkan
dalam perspektif Islam, kepemimpinan (secara tekstual) digambarkan sebagai
hubungan orang laki-laki yang mempunyai kelebihan (fadilah) atas orang
perempuan, hal ini dapat dilihat dalam QS. An- Nisa’ Ayat 34 yang berbunyi :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
﴿النساء: ٣٤
Artinya:”Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, olehkarena Allah SWT telah
melebihkan sebagian mereka (kaum laki-laki) atas sebagian yang lain (kaum
wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang shalehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah
mereka.Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (Kemenag RI, 2014: 84).
Sejalan dengan itu, dalam Hadits Nabi
Muhammad Saw.Yang termuat dalam kitab-riyadhus-shalihin tentang kepemimpinan :
حديث عبدالله بن عمر رضى الله عنه، أنّ رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم،
قال: كلّكم راع فمسؤل عن رعيّته،
عن رعيّته،فالأمير الّذى على النّاس راع وهو مسؤول عنهم،
والرّجل راع على أهل بيته وهومسؤل عنهم، والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهى
مسؤلة عنهم، والعبد راع على مال سيّده وهو مسؤل عنه، ألا فكلّكم راع وكلّكم مسؤل
عن رعيّته، (أخرجه البخارى).
Artinya: “Setiap
orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan tentang
hal yang dipimpinnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan
bertanggung jawab atasnya, seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah suami
dan anaknya dan bertanggung jawab terhadapnya dan seorang budak adalah pemimpin
atas rumah tuannya dan bertanggung jawab atasnya, perhatikanlah bahwa kamu
sekalian adalah pemimpin dan kamu akan dimintai pertanggung jawabannya atas apa
yang dipimpinnya(HR. Bukhari).https://nazhroul.wordpress.com/2010/05/21/beberapa-hadits-tentang-kepemimpinan-dalam-kitab-riyadhus-shalihin) diakses,7 November 2015.
Manajemen
kepemimpinan Islam membutuhkan kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan
kecerdasan spiritual centre secara transendental atau God Spot (Ginanjar,
2001:102). Seorang pemimpin harus mampu berhubungan baik dengan orang lain,
menunjukkan prestasi kerjanya, menghargai dan mengerti setiap individu serta
mempunyai sikap rahman (pengasih) dan rahim (penyayang) terhadap yang
dipimpinnya. Sikap jujur atau dipercaya menjadi dasar efektif untuk membangun
suatu pengaruh dan menjadi pemimpin yang diikuti oleh pengikutnya. Karakteristik
kepemimpinan spiritual yang berbasis etika religius diantaranya adalah
kejujuran sejati, fairness pengenalan diri sendiri, fokus pada amal shaleh,
spiritualisme yang tidak dogmatis, bekerja lebih efisien, mengembangkan potensi
diri, keterbukaan menerima perubahan (visioner), doing the right thing,
disiplin tetapi tetap fleksibel, cerdas dalam bertindak dan rendah hati.
(Tobroni, 2005: 21).
Dengan
demikian seorang pemimpin dalam perspektif Islam dituntut untuk bekerja keras
secara optimal, komunikatif, cerdas, amanah, jujur dan dapat mempengaruhi
bawahannya sehingga akan menciptakan pemimpin yang berwibawa, tegas, adil dan
bijaksana serta dicintai oleh pengikutnya. Dari berbagai pendapat mengenai
pengertian kepemimpinan di atas memberikan gambaran bahwa kepemimpinan
mempunyai sifat universal dan merupakan suatu gejala sosial. Beragamnya
pendapat para ahli seperti diuraikan di atas tentang pengertian kepemimpinan,
disebabkan karena keingintahuan para ahli dengan cara meneliti mengapa atau
mencari sebab-sebab mengapa seorang pemimpin berhasil mempengaruhi atau
menggerakkan orang lain untuk melaksanakan keinginannya dalam mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.
Pemimpin
di sebuah lembaga pendidikan dikenal dengan sebutan kepala sekolah.Sedangkan bawahannya
para guru, karyawan, staf dan pegawai lainnya. (Malayu,,2001:53).,,Pemimpin,,adalah,,seseorang,,dengan,,wewenang,,kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian
dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Menurut Robert Tanembaun (2001:76), “pemimpin
adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasi,
mengarahkan dan mengontrol bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian
pekerjaan dikoordinasikan demi mencapai tujuan”.
Robbins
(1996:334) mendefinisikan “kepemimpinan
sebagai kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan”.
Setidaknya mengandung empat implikasi penting tentang kepemimpinan, yaitu:
pertama, kepemimpinan melibatkan orang lain. Kepemimpinan tidak bisa berdiri
sendiri tapi harus ada orang lain yang terlibat di dalamnya, baik sebagai
karyawan atau pengikut yang akan menerima pengarahan dari pimpinan; kedua,
kepemimpinan mengharuskan distribusi kekuasaan. Dalam kepemimpinan, seorang
pemimpin tidak seharusnya memegang kekuasaan secara penuh, tetapi ia harus
membagi bagi kekuasaannya dengan anggota kelompok di bawahnya. Sekalipun
demikian, ia tetap mempunyai kekuasaan lebih besar dari pada yang lainnya;
ketiga, kepemimpinan harus mempunyai pengaruh. Tanpa pengaruh, kepemimpinan tidak
akan berarti apa-apa. Pemimpin yang memiliki kemampuan mempengaruhi anggota
kelompoknya akan lebih mudah mengarahkan mereka ke arah tujuan yang ingin
dicapai; keempat, kepemimpinan berkaitan dengan nilai. Dengan kata lain bahwa
seorang pemimpin haruslah bermoral, pemimpin yang mengenyampingkan aspek moral
dalam kepemimpinannya cenderung akan bersikap melanggar aturan dan etika-etika
yang ada.
2.
Model Kepemimpinan
Model
kepemimpinan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada
konsep model kepemimpinan yang menjadi dasar berpijaknya. Model yang beraneka
ragam akan menghasilkan serta menunjukkan berbagai teori maupun
pendekatan-pendekatan yang bermacam-macam. Dengan kondisi yang demikian ini,
maka efektifitas sebuah kepemimpinan dapat teridentifikasi dengan berbagai
kriterianya dengan model kepemimpinan yang diterapkan. Sebuah kepemimpinan
kepala sekolah akan efektif sangat dipengaruhi oleh model kepemimpinan terhadap
para bawahan (guru dan karyawan).
Harsey
dan Blanchad (dalam Sugeng 2005:39) menjelaskan :”The Style of leader is the consistent behavior
pattens that they use when they are working with and trhough other people as
perceived by those people. Artinya bahwa model kepemimpinan adalah pola
prilaku para pemimpin yang konsisten mereka gunakan ketika mereka bekerja
dengan dan melalui orang lain seperti yang dipersepsikan orang-orang itu.
Siagian, (1996: 104)
mengatakan bahwa suatu model kepemimpinan yang efektif jika mengandung
unsur-unsur mempengaruhi, mendorong (memotivasi) mengarahkan serta menggerakkan
para bawahannya sesuai dengan kondisi agar mereka mau bekerja dengan penuh
semangat dan dedikasi yang tinggi dalam mencapai tujuan.Dalam hal ini ada 2
pendekatan yang perlu ada yaitu pendekatan rasional dan inisiatif. Adapun model
kepemimpinan yang efektif dengan pendekatan rasional dapat diidentifikasi
dengan indikator sebagai berikut: (1) Melihat pengambilan keputusan sebagai
suatu proses dan bukan tindakan sekali jadi, (2) Menyadari pentingnya model,
teknik dan metode pengambilan keputusan (3) Membenarkan jalan keluar yang ditempuh berdasarkan metode yang
dipilih (4) Mendefinisikan
kendala-kendala pada permulaan proses pengambilan keputusan berlangsung (5) Menjatuhkan pilihan atas satu alternatif tertentu dengan cepat (6) Terus berusaha memperjelas situasi problematik yang dihadapi(7)
Terus berusaha mencari informasi baru (8) Terus berusaha untuk mengembangkan
diri dan menambah wawasan pengetahuan. Menuntaskan tindakan yang telah mulai
diambil.Sementara model kepemimpinan efektif dengan pendekatan inisiatif
merupakan kebalikan dari pendekatan rasional, yang diantaranya seperti di bawah
ini: (a) Selalu memperhatikan keseluruhan situasi
problematik yang dihadapinya. (b)Terus menerus mempertajam rumusan permasalahan
yang dihadapi dalam pikirannya (c) Membenarkan keputusan yang diambilnya berdasarkan
hasil akhir yang dicap (d) Mempertimbangkan berbagai alternatif dan pilihannya
secara serentak (d) Bergerak dari satu langkah dalam proses analisis ke
langkah yang lain dan kembali lagi ke langkah semula (e) Menjajaki dan mengembalikan berbagai
alternatif dengan cepat,
Hersey
dan Blanchard (2004:1-10) mengatakan
bahwa “seseorang pemimpin harus menyesuaikan gaya kepemimpinannya (leadership
style) dengan tahap pengembangan para bawahannya (follower development
level) yakni berdasarkan sejauh mana kesiapan dari para
bawahan tersebut untuk melaksanakan suatu tugas yang akan mencakup di dalamnya
kebutuhan akan kompetensi dan motivasi”. Lebih lanjut Harsey dan Blanchard,
mengemukakan “terdapat empat model kepemimpinanyang akan diterapkan oleh
seorang pemimpin dalam menentukan
keberhasilan tugas. Empat model kepemimpinan tersebut yaitu (a) model instruktif, (b) model konsultatif, (c) model partisipatif,(d) model delegatif”.
Dari pendapat di atas dapat diuraikan
sebagai berikut:
a.
Model Instruktif
Model ini terjadi pada saat bawahan tidak
mampu menjalankan tugas dan tidak mau atau takut mencoba sesuatu yang baru
sehingga harus menjalankan peran mengarahkan yang sangat besar dan
memerintahkan apa yang harus dilakukan para bawahan. Ini biasanya terjadi pada
karyawan baru yang belum mengetahui seperti apa sebuah pekerjaan dilakukan.
Pada tahap ini perhatian masih ditujukan untuk mengembangkan kompetensi bawahan
yang praktis belum terbangun dengan baik. Atasan juga akan mengembangkan
struktur pekerjaan tentang bagaimana suatu pekerjaan dilakukan dan bagaimana
pengendalian dilakukan dengan baik. Pada intinya pada situasi seperti ini
bawahan hanya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasan.
Di dalam model instruktif ini terdapat
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memberi
pengarahan secara spesifik tentang apa, bagaimana, dan kapan kegiatan
dilakukan.
2. Kegiatan
lebih banyak diawasi secara ketat.
3. Kadar
direktif tinggi.
4. Kadar
suportif rendah.
5. Kurang dapat
meningkatkan kemampuan pegawai.
6. Kemampuan
motivasi pegawai rendah, dan
7. Tingkat
kematangan bawah rendah. (Ginanjar, 2001:109).
b. Model Konsultatif
Model ini terjadi pada saat bawahan memiliki
kompetensi yang kurang namun mereka memiliki keinginan untuk bekerja yang kuat
dan mau mencoba hal-hal yang baru. Pada situasi ini pemimpin lebih berperan
memberikan saran mengenai pelaksanaan berbagai pekerjaan daripada memerintah
bawahan untuk mengerjakan pekerjaan secara detail. Dengan demikian pemimpin
harus mencoba “menjual” berbagai ide mengenai cara melaksanakan pekerjaan yang
lebih efektif dan efisien agar motivasi yang sudah dimiliki oleh bawahan yang
dipimpinnya dapat lebih ditingkatkan lagi agar pekerjaan yang diberikan
kepadanya dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
Untuk mengetahui lebih spesifik tentang
gambaran model kepemimpinan yang dimaksud, maka dapat dilihat pada ciri-ciri di
bawah ini:
1. Kadar
direktif rendah.
2. Kadar suportif tertinggi.
3. Komunikasi dilakukan secara timbal balik.
4. Masih memberikan pengarahan yang spesifik.
5.
Pimpinan secara bertahap memberikan
tangung jawab kepada bawahan/pegawai walaupun bawahan masih dianggap belum
mampu dan tingkat kematangan bawahan rendah ke sedang.(Ginanjar, 2001:203).
c. Model Partisipatif
Pada model ini, bawahan memiliki kompetensi
yang tinggi tetapi mereka enggan atau memiliki perasaan tidak aman untuk
melakukan pekerjaan tersebut. Dalam situasi seperti ini pemimpin harus
menunjukkan apa yang harus dikerjakan oleh para bawahan dan meminta para
bawahan untuk bekerja sama melaksanakan pekerjaan yang telah menjadi kewajiban
para bawahan karena para bawahan memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan
tersebut. Dalam situasi ini, pemimpin juga harus memberikan motivasi/mendorong
karyawan dengan tujuan meningkatkan percaya diri yang mereka miliki bahwa
mereka mampu melaksanakan tugasnya. Model kepemimpinan yang cenderung sebagaimana
yang dimaksud di atas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Pimpinan melakukan komunikasi dua
arah.
2. Secara aktif mendengar
dan respon semua kesukaran bawahan.
3.
Mendorong bawahan untuk menggunakan
kemampuan secara operasional.
4. Melibatkan
bawahan dalam pengambilan keputusan. Mendorong bawahan untuk berpartisipasi dan tingkat kematangan bawahan dari
sedang ke tinggi; kepemimpinan ini juga dikenal dengan istilah kepemimpinan
terbuka, bebas atau non directive. (Ginanjar, 2001: 205).
Pemimpin dengan pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam
proses pengambilan keputusan. Sebab hanya menyajikan informasi mengenai suatu
permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembangkan
strategi dan jalan keluarnya. Tugas pemimpin adalah mengarahkan team untuk
tercapainya konsensus.
Asumsi model atau model kepemimpinan sejati ini adalah bahwa para
karyawan akan lebih siap menerima tanggung jawab terhadap solusi tujuan dan
strategi di mana mereka diberdayakan untuk mengembangkan. Kelemahannya adalah
pembentukan konsensus banyak membuang waktu dan hanya berjalan bila semua orang
yang terlibat memiliki komitmen terhadap kepentingan utama organisasi.
e. Model Delegatif
Pada model ini karyawan memiliki kompetensi
dan juga komitmen yang tinggi untuk menyelesaikan tugas sehingga pemimpin dapat
melakukan pendelegasian pekerjaan kepada para bawahan. Akibatnya para pemimpin
dalam situasi ini memiliki fokus terhadap pekerjaan dan hubungan kerja yang
rendah dengan bawahannya.Para bawahan dalam situasi ini memerlukan dukungan
yang kecil dari para pemimpin karena mereka dapat mengerjakan pekerjaan secara
mandiri.
Model kepemimpinan sebagaimana yang dimaksud
di atas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Memberikan pengarahan bila
diperlukan saja.
2.
Memberikan suport dianggap tidak
perlu lagi.
3.
Penyerahan tanggung jawab kepada
bawahan untuk mengatasi dan menyelesaikan tugas.
4.
Tidak perlu memberikan motivasi tingkat
kematangan bawahan sangat tinggi. Secara umum baik diketahui maupun pengamatan
para ahli seorang pemimpin dalam melakukan proses.(Ginanjar, 2001: 208).
B.
Konsep Keharmonisan
1.
Pengertian Keharmonisan
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 229), keharmonisan
berasal dari kata harmonis yang mempunyai arti selaras atau serasi. Keharmonisan
lebih menitikberatkan pada suatu keadaan. Keharmonisan adalah sebuah situasi
yang tercipta saling memahami saling pengertaian dalam mencapai suatu tujuan. Dalam
konteks lembaga pendidikan keselarasan dan keserasian sangat diperlukan untuk mencapai
suasana kerja yang yang baik demi ketercapaian tujuan lembaga pendidikan
tersebut. Yang dimaksud dengan hubungan harmonis dalam hal ini dapat berupa
hubungan antara sesama guru ataupun antara guru dengan kepala sekolah. Pada
sisi lain, keharmonisan juga dapat berarti ada hubungan yang terarah, teratur
dan berlangsung begitu indah .
Jadi,
dalam penelitian ini yaitu keharmonisan yang dimaksud adalah keharmonisan guru.
Dari beberapa gambaran di atas tentang makna keharmonian sendiri secara umum,
dapat ditarik pengertian bahwa yang dimaksud dengan keharmonisan guru ialah
suatu hubungan yang terjalin secara selaras, baik, teratur dan terarah sehingga
dirasakan begitu indah antara sesama guru ataupun antara kepala sekolah dengan
para guru dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan
Dalam
upaya mewujudkan hubungan yang baik antara sesama guru ataupun dengan pimpinan
lembaga, maka kepala sekolah sebagai tonggak kemajuan lembaga seyogyanya
senantiasa memperhatikan hal-hal yang berpengaruh terhadap kelestarian ataupun
yang dapat merusak keharmonisan di dalam sekolah. Menurut Florence Issac (dalam Bastaman,
1995:202-203) faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan adalah komitmen,
harapan-harapan realistis, keluwesan, komunikasi, silang sengketa dan kompromi,
menyisihkan waktu untuk bersama,Kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan.
Dari
beberapa faktor yang mempengaruhi keharmonisan guru di atas, penjelasan akan
hal itu secara rinci sebagai berikut:
a.
Komitmen
Niat dan i’tikad dari unsur-unsur sekolah yang dalam hal ini adalah
para guru dan kepala sekolah untuk senantiasa menepati dan memelihara
kesepakatan yang telah dirumuskan bersama untuk mencapai tujuan visi-misi
sekolah yang selalu didamba-dambakan ketercapaiannya.
b.
Harapan-harapan realistis
Setiap pendidik dengan berbagai karakter dan sikap yang beragam,
tentu mempunyai keinginan dan harapan yang beragam pula dalam perjalanan atau
menjalankan tugasnya sehari-hari sebagai pengajar dan pendidik. Oleh karena
itu, seorang kepala sekolah harus dapat mengakomodir segala kepentingan,
harapan dan kemauan yang keluar dari para guru. Sejauh keinginan dan kemauan
tersebut tidak di luar kemampuan lembaga. Dalam artian, hal itu masih dalam
batas yang wajar dan realistis.
c.
Keluwesan
Faktor keluwesan ini sebenarnya hampir sama dengan faktor
sebelumnya. Untuk mewujudkan sebuah hubungan harmonis, seorang kepala sekolah
harusdapat menyesuaikan diri dan meningkatkan toleransi terhadap hal-hal yang
berbeda dari para guru, baik dalam sikap, minat, sifat dan kebiasaan.
d.
Komunikasi
Kesediaan dan
keberhasilan kepala sekolah untuk memberikan dan menerima pendapat, tanggapan,
ungkapan, keinginan, saran, umpan balik dari guru yang satu kepada guru yang
lain secara baik, yang dilakukan tanpa menyakitkan hati salah satu pihak. Komunikasi
ini hendaknya bersifat terbuka, demokratis dan dua arah. (Hawari, 2004: 332).
e.
Silang sengketa dan kompromi
Sengketa adalah hal yang tak dapat dihindari dalam hubungan antara
kepala sekolah dengan guru, betapapun bagusnya hubungan yang terjalin secara
lama. Untuk itu masing-masing pihak perlu mempelajari seni bersengketa supaya
perbedaan-perbedaan berpendapat tidak sampai menimbulkan perpecahan dan merusak
hubungan baik antara kepala sekolah dan guru yang telah terjalin lama. Termasuk
dalam seni bersengketa adalah menemukan cara-cara efektif mencapai kesepakatan
dan meredahkan kemarahan.
f. Menyisihkan waktu untuk bersama
Dalam sela-sela
kesibukannya, kepala sekolah sebagai pemimpin dalam sebuah lembaga pendidikan
hendaknya dapat menyisipkan waktu seefektif mungkin untuk mengajak bawahannya
yakni para guru untuk berlibur, atau minimal pergi bersama-sama untuk
menghilangkan kepenatan selama bekerja. Kegiatan tersebut sangat penting untuk
selalu dilakukan agar hubungan atau ikatan emosional yang terbentuk antara
kepala sekolah dengan para guru, senantiasa terpelihara bahkan mungkin tambah
kuat. Kebersamaan yang dikemas dengan hiburan tersebut juga akan membantu
merefresh semangat dan motivasi bawahan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya
sebagai tenaga pendidik. Dengan demikian, kepenatan, kebosanan, dan keletihan
selama mengajar dan beraktivitas di sekolah akan terobati dengan melakukan
liburan bersama. (Hawari, 2004: 332).
g.
Kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan
Keterampilan dan kreativitas mengatasi problematika yang muncul
juga harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah. Dalam melaksanakan perjuangan,
tidak terkecuali dalam melaksanakan amanah untuk melahirkan output pendidikan
yang berkualitas tentu tidak akan luput dari masalah. Masalah-malasah akan
muncul mengiringi aktivitas di sekolah. Kepala sekolah ynag juga mempunyai
fungsi sebagai supervisor harus peka terhadap permasalah yang datang dan pergi.
Lebih khusus lagi permasalah yang langsung menghinggapi para guru. Dalam konteks
ini, pimpinan sekolah hendaknya dapat membangun kesadaran bawahannya bahwa
masalah yang dihadapi merupakan batu loncatan yang diharus dihadapi
bersama-sama untuk meraih tingkat atau kebaikan yang lebih tinggi.
3.
Indikator keharmonisan antara kepala sekolah
dengan para guru
Untuk dapat mengetahui ciri-ciri atau atau tanda-tanda suatu
hubungan harmonis itu lahir dan senatiasa terpelihara di dalam sekolah, maka
menurut Mushoffa dapat dilihat pada indikasi-indikasi sebagai berikut:
a.
Kehidupan keberagamaan dalam lingkungan sekolah
Jiwa keberagaamaan atau ketaatan dan moralitas para guru dalam
sebeuah lembaga pendidikan dapat menjadi indikasi adanya hubungan harmonis
antara kepala sekolah dengan bawahannya. Kepala sekolah yang baik, secara
idealitas tentu harus menjadi uswah atau teladan bagi bawahannya, baik dalam
sikap, tindakan dan ketaatan dalam melaksanakan ibadah kepada Tuhannya. Sangat
tidak mungkin, ketika ada permusuhan diantara kedua belah pihak, ataupun adanya
kesenjangan antara kepala sekolah dengan guru akan lahir ketaatan dalam
meneladani pimpinannya. Meneladani kaitaannya dengan ibadah ataupun sikap dan
tindakan dalam keseharian.
Hubungan harmonis para guru akan mengantarkan kepada suasana
ketentraman dan kedamaian di lingkungan sekolah. Ibarat sebuah keluarga,
sekolah akan menjadi surga bagi para penghuninya jika keharmonisan dapat
diraih. Dengan demikian, para guru tidak akan pernah bertindak di luar tata
terti dan aturan sekolah yang telah disepakati bersama (Hawari,2004: 332).
Perasaan salingmenyayangi dan memilikipun akan lahir sebagai
konsekuensi bahwa mereka sebenarnya adalah keluarga yang mempunyai tujuan
bersama dalam mewujudkan pendidikan bermutu.
b.
Pendidikan guru
Selain keharusan bagi seorang leader untuk menjadi patronase atau
teladan dalam bersikap dan bertindak, kepala sekolah juga harus memperhatikan
dan memberikan semangat kepada para guru untuk selalu belajar. Belajar yang
dimaksud tentu dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satu diantaranya, yang
utama adalah kepala sekolah mampu memberikan motivasi dan semangat kepada para
guru untuk melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Hal itu dilakukan
sebagai bentuk upaya untuk meningkatkan taraf keilmuan para guru sebagai tenaga
pendidik yang harus berpengetahuan tinggi.
Kepala sekolah dapat memfasilitasi para guru untuk mengikuti
seminar, lokakarya, simposium dan lain sebagainya dalam rangka untuk
meningkatkan keterampilan dan kemampuan guru dalam mengajar. kemudian yang
terakhir dan paling sederhana ialah mendorong para guru untuk senantiasa
meningkatkan kedisiplinannya dalam membaca dan mengikuti diskusi-diskusi ilmiah
untuk penmodelan intelektualnya.
c.
Kesehatan guru
Kemudian, keharmonisan itu akan tetap terjaga apabila kepala
sekolah juga memberikan perhatian kepada kondisi fisik atau kesehatan
bawahannya. Paling tidak kepala sekolah memberikan masukan dan saran kepada
para guru agar menyempatkan diri untuk berolahraga sebagai upaya untuk menjaga
kebugaran jasmani. Disebabkan proses pembelajaran akan terganggu dan tidak
maksimal apabila gurunya sakit ataupun dalam keadaan badan tidak fit.
d.
Ekonomi guru
Perhatian lain juga harus diberikan kepada para guru dalam
kaitannya tentang kesejahteraan. Kesejahteraan guru harus menjadi salah satu
prioritas utama untuk senantiasa diberikan perhatian. Karena hal tersebut
berhubungan dengan keberlangsungan kehidupan para guru setiap harinya.
Kesejahteraan guru tentu dapat diraih dengan memperhatikan segala upah yang
merupakan hadiah dari kebaktian dan keikhlasannya dalam memberikan ilmu dan
membimbing para anak didiknya. Jika hal ini telah dilakukan, maka dapat dikatakan
di dalam sekolah tersebut telah terjalin hubungan harmonis.
e.
Hubungan sosial guru yang harmonis
Yang terakhir, dapat dikatakan terjalin keharmonisan apabila kepala
sekolah sebagai leader dapat medorong bawahannya untuk selalu menjalin hubungan
sosial yang baik dan luas, baik itu lingkupnya di internal sekolah maupun
lintas sekolah. Oleh karena demikian, kepala sekolah harus mampu memfasilitasi
para guru untuk menjaga tali silaturrahim dengan sesama guru, warga masyarakat
di sekitar sekolah dan mempererat hubungannya dengan wali murid agar terjalin
kerja sama yang efektif untuk membangun kejiwaan dan kecerdasan siswa.
Selain itu, jalinan sosial yang harus dibangun adalah kepala sekolah
memfasilitasi para guru untuk berkunjung ke sekolah-sekolah yang lebih maju
dalam rangka studi banding untuk meningkatkan mutu dan kualitas pembelajaran. (Mushoffa,
2001: 12-13).
4.
Upaya-upaya untuk mewujudkan keharmonisan
Jalinan hubungan harmonis dalam sekolah tentu tidak lahir dengan
sendirinya, melainkan harus ada upaya-upaya dari pihak terkait untuk
mewujudkannya. Dalam hal ini, kepala sekolah sebagai tonggak pimpinan yang
tentu mempunyai peran sentral untuk mewujudkan keharmonisan yang dimaksud. Menurut
Gunarsa (1991: 202) suatu hubungan harmonis akan lahir antara sesama guru dan
kepala sekolah apabila melakukan dan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a)
menghadapi kenyataan, (b) penyesuaian timbal balik, (c) latar belakang suasana
yang baik.
Berdasar pendapat tersebut maka dalam mewujudkan keharmonisan
antara kepala sekolah guru dan pegawai dalam sebuah lembaga pendidikandalam
aktivitas harus terbuka dan berani menerimakenyataan situasi dan kondisi dalam
bentuk apapun. Sehingga hanyakepala sekolah yang tampil memberikan motivasi
untuk selalu tampil baik akan tetapi
guru juga meberikan masukan apabila kepala sekolah khilaf dalam melaksana tugas
dan fungsinya. Dengan demikian akan
tercipta suasana keharmonisan dalam dalam lembaga pendidikan tersebut.
Selain upaya di atas, pendapat lain juga mengatakan untuk menuju
gerbang hubungan harmonis di internal guru ataupun kaitannya hubungan dengan
kepala sekolah. (http://ilhamihwan.blogspot.co.id/2012/05/faktor-yang-mempengaruhi-keharmonisan.html). Menurut Qaimi (2006:32) keharmonisan dapat
ditempuh langkah-lngkah: (a) saling
mengenal, (b) kasih sayang, (c) saling
menghargai, (d) nilai pekerjaan, (c) usaha
menyenangkan pihak lain, (d) berusaha
menyelesaikan masalah bersama, (e) saling
memberikan kepuasan, (g) toleransi, (h) kejujuran, (i) menyembunyikan aib, (j) kesetiatemanan
dan keadilan.
Dari Penjelasan
dari beberapa upaya tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Usaha saling mengenal
Sebagai upaya untuk mewujudkan
kesolidan tim di dalam sebuah sekolah tergantung kepada kepala sekolah sebagai
pimpinan yang menahkodai, mau diarahkan ke mana sekolah yang dibina tersebut. Dalam
upaya untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu hal yang harus dilakukan yakni
membangun keterbukaan untuk saling mengenal dan memahami. Dengan demikian,
kedua hal tersebut akan mengurangi perbedaan di dalam tubuh sekolah karena satu
sama lain sudah mengenal karakteristik masing-masing.
b.
Kasih sayang
Upaya yang
kedua adalah membangun kasih sayang antara sesama guru maupun antara guru
dengan kepala sekolah. Kasih sayang di sini tentu bukan dalam konteks hubungan
pribadi melainkan sebatas hubungan pekerjaan. Menurut Maslow (dalam Koeswara,
1991:122), “kasih sayang ini merupakan salah satu kebutuhan manusia dalam
kehidupannya. Kasih sayang ini juga dapat mendorong individu untuk selalu
menguatkan ikatan emosionalnya, apalagi dalam sebuah lembaga pendidikan yang
mempunyai tujuan yang sama. Keharmonisan guru adalah suasana hubungan yang di
dalamnya tertanam rasa kasih sayang yang dapat menjadi kunci terbangunya
kesolidan tim untuk mewujudkan tenaga pendidika yang nantinya kan melahirkan
output berkualitas”.
c.
Saling menghargai
Hal lain yang
juga harus dilakukan adalah terkait sikap saling menghargai antar sesama guru
dan kepala sekolah. Saling menghargai dinilai dapat memelihara dan melestarikan
kemualiaan dan kelanggengan hubungan harmonis antar guru. Maslow (dalam
Koeswara, 1991:124) mengatakan bahwa “individu akan memenuhi kebutuhan rasa
harga diri apabila kebutuhan akan rasa cinta dan kasih sayang telah terpenuhi
atau terpuaskan. Terpuaskannya kebutuhan akan rasa harga diri pada individu
akan menghasilkan sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, rasa mampu dan
rasa berguna”.
d.
Nilai pekerjaan
Pelaksanaan
tugas sebagai seorang guru merupakan amanah yang tidak ringan dikarenakan tugas
tersebut pada hakikatnya adalah untuk mengangkat pada siswa dari jurang
kebodohan. Oleh karena itu, tindakan untuk saling mengoreksi dan menilai hasil
pekerjaan pekerjaan sangat dibutuhkan sebagai upaya untuk mengevaluasi dan
memperbaiki diri untuk mencapai target dan hasil yang lebih baik.
e.
Usaha menyenangkan pihak lain
Yang tidak
kalah pentingnya lagi sebagai upaya untuk mewujudkan keharmonisan guru dalam
aktivitas di sekolah adalah selalu berusaha untuk menyenangkan hati para guru
lainnya. Hal itu dapat tercapai apabila para guru mempunyai kepekaan sosial
yang terwujud dari kecerdasan emosional. Hal lain yang juga menentukan adalah
kemampuan saling keterbukaan diantara para guru. Sehingga para guru mempunyai
modal dasar untuk membahagiakan dan menyenagkan hati guru lainnya. Jika seorang
guru telah berhasil menyenangkan hati guru lainnya, maka rasa kecintaan dan
kasih sayang akan selalu terpelihara sehingga akan berdampak positif terhadap
kinerja mengajar guru dalam kesehariannya.
f.
Berusaha menyelesaikan masalah bersama
Oleh karena
para guru dan kepala sekolah adalah tim untuk tujuan bersama dalam mewujudkan
lembaga pendidikan berkualitas, maka dalam hal menghadapi masalah tentu juga
harus dihadapi dan dibicarakan secara bersama-sama dengan harapan akan lahir
solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Sebaliknya, keegoisan dan perasaan
bahwa hanya dirinyalah yang dapat menyelesaikannya, sifat seperti itu dapat
mengancam keutuhan dan kesolidan para guru dan kepala sekolah. Terancamnya
kesolidan itu akan berdampak fatal terhadap tercapainya tujuan bersama dalam
sebuah lembaga pendidikan.
g.
Saling memberi kepuasan
Upaya lain agar
tercipta keharmonisan dalam internal guru maupun antara guru dengan kepala
sekolah ialah terciptanya kepuasaan pada masing-masing guru dalam menjalankan
aktivitasnya. Agar hal tersebut terlaksana, maka seorang kepala sekolah dalam
hal ini harus menyediakan fasilitas yang lengkap terhadap segala seuatu yang
dibutuhkan oleh para guru dalam aktivitas mengajarnya. Kepuasan yang dimaksud
juga dapat bermakna dalam hal hubungan yang saling membantu diantara para guru,
sehingga para guru merasa puas dengan keberadaan mereka di sekolah. Dengan
demikian, kebetahan dan kenyamanan akan diperoleh para guru di sekolah.
h.
Toleransi
Para guru yang
terdapat dalam sebuah sekolah tentu mempunyai latar belakang budaya dan
karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, kepala sekolah harus memahami dan
melukan upaya-upaya untuk menanamkan sikap toleransi kepada seluruh guru
sehingga di dalam jiwa mereka kan tumbuh sika toleransi untuk menghargai para
guru lainnya. Begitu juga, kepala sekolah mengatakan kepada para guru bahwa hal
itu perlu dilakukan untuk kepentingan bersama bukanlah untuk kepentingan
personal.
i.
Kejujuran
Upaya yang lain yang ditumbuhkan di dalam
sekolah untuk menciptakan dan memelihara keharmonisan adalah kejujuran. Kepala
sekolah harus mampu menumbuhkan keyakinan di dalam jiwa para guru bahwa salah
satu kunci kesuksesan seseorang itu adalah kejujuran. Kejujuran menjadi modal utama
bagi siapapun tidak terkecuali par guru dalam menjalankan amanah yang
diembannya. Tentu kepala sekolah dalam hal ini tidak hanya memberikan nasehat
atau perintah secara langsung karena hal itu tidak efektif dan akan fatal jika
kepala sekolahnya yang bersikap tidak jujur. Oleh karena itu, kepala sekolah
harus memberikan teladan yang mencerminkan sikap kejujuran.
j.
Menyembunyikan aib
Ali Farkhan Tsani, Da’i Pondok
Pesantren Terpadu Al-Fatah Cileungsi, Bogor menyatakan bahwa “setiap
individu termasuk para guru yang menjadi bawahan kepala sekolah dalam sebuah
lembaga pendidikan tentunya mempunyai aib yang berbeda-beda.Sebagaimana hadis
Rasulullah :
مَنْ
سَتَرَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَشَفَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ كَشَفَ اللَّهُ
عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ بِهَا فِي بَيْتِهِ
Artinya : Barang siapa yang
menutupi aib saudaranya muslim, Allah akan menutupi aibnya
pada hari kiamat, dan barang siapa mengumbar aib saudaranya muslim, maka Allah
akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya walau ia di dalam
rumahnya.” (H.R. Ibnu Majah).
Masing-masing
individu juga tidak mau aibnya tersebar dan dibocorkan oleh orang lain karena
hal itu akan melahirkan rasa malu yang begitu besar. Oleh karena demikian,
seorang kepala sekolah harus berupaya untuk meyembunyikan serapi mungkin dari
masing-masing aib para bawahannya. Selain itu, juga menghimbau kepada
bawahannya untuk saling menjaga agar tidak saling membicarakan aib guru
lainnya.
k.
Kesetiakawanan
Sebesar dan
serumit apapun masalah yang dihadapi dalam sebuah lembaga pendidikan, tidak
boleh sampai memecah belah persatuan dan kesatuan para guru karena itu dapat
berakibat fatal terhadap eksistensi dan keberlanjutan sebuah lembaga. Oleh
karena itu, dalam keadaan apapun, suka ataupun duka para guru dengan dinahkodai
oleh seorang kepala sekolah harus tetap merapatkan barisan dalam rangka
memelihara eksistensi tujuan bersama. Di sini peran kepala sekolah yang dapat
merangkul semua golongan tentu sangat dibutuhkan untuk tetap menjaga kesolidan
dan keharmonisan hubungan para guru.
l.
Keadilan
Berbicara keadilan
tentu tidak terlepas dari peran seorang pemimpin yang dalam hal ini adalah
seorang kepala sekolah di sebuah lembaga pendidikan. Sikap untuk memperlakukan
sama pada setiap guru yang ada di sekolah merupakan kunci utama terciptanya
sebuah keadilan.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam
penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

Berdasarkan pada uraian landasan teori di atas, dan setelah
peneliti menganalisa secara seksama, maka dapat dibuat kerangka berpikir
tentang model kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun keharmonisan guru dan
pegawai sebagai berikut:
Harsey dan
Blanchard (2004:1-10),
mengemukakan empat model kepemimpinan yang akan diterapkan oleh seorang pemimpin dalam menentukan
keberhasilan tugas. Empat model kepemimpinan tersebut yaitu (a) model instruktif,
(b) model konsultatif, (c) model partisipatif, (d) model delegatif, model
instruktif bahwa pada tahap ini bawahan model instruktif. Model ini terjadi pada saat bawahan tidak
mampu menjalankan tugas sehingga harus mengarahkan apa yang harus dilakukan
bawahannya. Kemudian model konsultatif pada situasi ini pemimpin lebih berperan memberikan saran mengenai
pelaksanaan berbagai pekerjaan daripada memerintah bawahan untuk mengerjakan
pekerjaan secara detail. Kemudian model
partisipatif dalam situasi seperti ini pemimpin harus
menunjukkan apa yang harus dikerjakan oleh para bawahan dan meminta para
bawahan untuk bekerja sama melaksanakan pekerjaan yang telah menjadi kewajiban
para bawahan karena para bawahan memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan
tersebut. Kemudian model delegatif, akibatnya para pemimpin dalam situasi ini
memiliki fokus terhadap pekerjaan dan hubungan kerja yang rendah dengan
bawahannya. Para bawahan dalam situasi ini memerlukan
dukungan yang kecil dari para pemimpin karena mereka dapat mengerjakan
pekerjaan secara mandiri.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif.Menurut Moleong berdasarkan kombinasi antara pendapat
Bogdan & Biklen dengan Lincoln & Guba, (dalam Moleong, 2010:8-13) karakteristik
atau ciri penelitian kualitatif dapat dijabarkan sebagai berikut:
(1)latar alamiah (naturalistik);(2)
manusia sebagai instrumen/alat; (3)metode kualitatif (wawancara,pengamatan dan
dokumen); (4) analisis data secara induktif (umum kekhusus); (5) teori dari dasar (grounded theory) dari
bawah ke atas; (6) deskriptif (yaitu data berupa kata-kata, gambar dan
ilustrasi); (7) lebih mementingkan proses daripada hasil; (8) adanya batasan
yang ditentukan oleh fokus; (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data
(mendefinisikan validitas, reliabilitas dan objektivitas) (10) desain yang
bersifat sementara; (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
Sedangkan
penelitian dengan metode kualitatif ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis,
karena hasil dari penelitian ini berupa data deskriptif dalam bentuk kata
tertulis atau lisan dan perilaku dari orang-orang yang diamati (interview,
observasi dan dokumentasi) serta hal-hal lain yang berkaitan dan diperlukan
dalam penelitian.
Adapun
jenis penelitian ini menggunakan jenis studi situs dengan rancangan multisitus.
Penelitian studi
multi situs, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari secara intensif
mengenai unit-unit sosial tertentu, yang meliputi individu, kelompok, lembaga
dan masyarakat (Riyanto, 2002: 24).
Penelitian studi multisitus ini peneliti
gunakan dengan alasan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Sevilla ed.all (dalam Abdul Aziz 1988: 2), karena akan terlibat dalam penelitian yang lebih
mendalam dan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap model kepemimpinan dan
keharmonisan. Di samping itu studi multisitus juga dapat mengantarkan peneliti
memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan, kelompok, keluarga,
sekolah dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Studi multisitus juga berusaha
mendeskripsikan suatu latar,objek atau suatu peristiwa tertentu secara mendalam.Studi multisitus merupakan strategi yang
dipilih untuk menjawab pertanyaan how dan why, jika fokus
penelitian berusaha menela’ah fenomena kontemporer (masa kini) dalam kehidupan
nyata (Yin, 2002: 25).
Adapun alasan peneliti menggunakan studi multi
situs dalam mengkaji model kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun keharmonisan
guru dan pegawai di SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara, dikarenakan beberapa alasan antara lain: (1) Studi multisitus
dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antara dua variabel serta proses-proses yang memerlukan
penjelasan dan pemahaman yang lebih luas, (2) Studi multisitus
memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar
perilaku manusia. Dengan melalui penyelidikan peneliti dapat menemukan karakteristik
dan hubungan yang mungkin tidak diharapkan dan diduga sebelumnya, (3) Studi
multisitus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang berguna sebagai
dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih
besar dan dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
B. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti di lokasi penelitian sangat penting karena
selain validnya suatu penelitian ilmiah juga karena alasan-alasan sebagai
berikut:
1.
Fokus penelitian yang dikaji langsung diperoleh
informasi dari sumber primer. Artinya memudahkan peneliti untuk mengkolaborasi
keadaan, informasi atau data dengan kajian teori yang ada, karena peneliti
sendiri yang mengalami, mengamati dan merumuskan pengambilan data tersebut.
2.
Peneliti melacak, mengambil informasi adalah dari
informan asli Informasi yang diakses benar-benar diakses secara mendalam dan
terhindar dari informasi asal-asalan Faktor berharga bagi peneliti di lapangan
adalah menghadapi berbagai budaya, karakter, suku manusia, orang senang dan
tidak senang peneliti, memanfaatkan peneliti sebagai sumber untuk meningkatkan
keyakinan dan berusaha memanfaatkan momen tersebut sebagai ajang konflik.
Kasiram (2008:246) mengungkapkan bahwa: dalam berperan serta,
peneliti hendaknya tetap bertindak sebagai stranger, sehingga tidak tenggelam
ke dalam konteks subjek peneliti, yang dapat mengurangi ketajaman observasi
data yang dicari. Di samping itu, peneliti tetap berpegang pada fokus
penelitian, sehingga data yang diambil cukup terkontrol dan berguna untuk
dianalisis.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh
peneliti untuk mendapatkan data yang autentik, komprehensif dan akuntabel
adalah:
a.
Sebelum memasuki lapangan, peneliti terlebih dahulu
meminta izin kepada pihak kepala
kementerian pendidikan dan kebudayaan setempat sekaligus menyiapkan segala yang terkait
dengan pengambilan data seperti tape recorder, handycame, kamera dan
semacamnya.
b.
Peneliti menghadap pihak lembaga dan menyerahkan surat
izin, memperkenalkan diri, pada stakeholder, dan menyampaikan maksud serta tujuan penelitian.
c.
Mengadakan pengamatan (observasi) di lapangan untuk
memahami latar penelitian yang sebenarnya.
d.
Melaksanakan kunjungan untuk mengumpulkan data sesuai
jadwal yang telah disepakati.
Ada beberapa prinsip etika yang harus
diperhatikan peneliti adalah memperhatikan, menghargai, menjunjung tinggi hak
kepentingan informan, tidak melanggar kebebasan, menjaga privasi informan
sekaligus tidak mengekploitasinya, mengkomunikasikan dan mengkonsultasikan
hasil laporan penelitian kepada informan atau pihak-pihak yang terkait.
Moleong (2010: 172) mengungkapkan bahwa sikap toleran, sabar,
empati, pandangan yang baik, manusiawi, terbuka, jujur, objektif, penampilan
menarik, mencintai pekerjaannya dalam meneliti (wawancara), senang berbicara,
punya rasa ingin tahu, mau mendengarkan dan menghargai orang lain dalam
berbagai aspek. Sedangkan peranan peneliti sebagai pengamat
yaitu: (a) Berperanserta secara lengkap (menjadi anggota penuh di lapangan);
(b) Pemeranserta sebagai pengamat (pura-pura dan tak sepenuhnya berperanserta), (c) Pengamat sebagai pemeranserta (peran peneliti diketahui umum); (d)
Pengamat penuh (mengamati secara penuh dan subjek tidak menyadarinya, biasanya
hal ini dilakukan dengan one way screen yaitu pengamatan lewat belakang
kaca.
C. Lokasi dan waktu penelitan
Nama
Sekolah SMA Negeri 1 Tanjung Selor Terakreditasi A, Alamat SekolahJl.
Kolonel H. Soetadji No.06 Tanjung Selor Hilir Tanjung Selor Bulungan Kalimantan
Utara Kode Pos,77212, Telepon. (0552)21129, Fax : (0552)
21129, Web Site:http: //smansatase.sch.id,
E-mail:sman1.tgselor@gmail.com. Jumlah guru dan pegawai 60 orang dengan 9 orang beragama Kristen. Adapaun
Identitas Kepala Sekolah yakni Sunjono, S.Pd. M.Si, Pendidikan Terakhir S-2
Kepala SMA Negeri 1 Tanjung Selor telah menetapkan visi sekolahyang merupakan
arah tujuan jangka panjang yang hendak dicapai pada masa mendatang. Visi SMA
Negeri 1 Tanjung Selor adalah: ”Beriman, Unggul dalam Prestasi, Berbudi Pekerti
Luhur, Mandiri, dan Berwawasan Lingkungan”.
SMA
Negeri 2 Tanjung Selor Alamat Jl, Poros Selimau I, Kel. Tanjung Selor Timur
Kecamatan Tanjung Selor SK Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bulungan Tentang
Pendirian SMA Negeri 2 Tanjung Selor Terhitung Mulai Tanggal 02 Mei 2013 Nomor
SK: 422/1369/DISDIK-III/2013 Tanggal SK :02 Mei 2013 Jumlah guru dan pegawai 20
0rang 13 Beragama Islam dan 7 orang beragama Kristen. adapun visi sekolah Visi Sekolah adalah imajinasi
moral yang dijadikan dasar atau rujukan dalam menentukan tujuan atau keadaan
masa depan sekolah yang secara khusus diharapkan oleh Sekolah. Visi Sekolah
merupakan turunan dari Visi Pendidikan Nasional, yang dijadikan dasar atau
rujukan untuk merumuskan Misi, Tujuan sasaran untuk pengembangan sekolah dimasa
depan yang diimpikan dan terus terjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Lokasi
ini sengaja dipilih oleh peneliti karena memiliki unsur pluralitas, sehingga
dapat dijadikan model pendidikan pluralisme dari model-model Kepemimpinan kepala sekolah dalam memimpin.
Adapun jadwalpengambilan data di lapangan akan dimulai tanggal 10 Januari s/d
29 Pebruari 2016.
D. Sumber Data
Data
adalah keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan bahan kajian (analisis
atau kesimpulan). Data yang dikumpulkan peneliti dalam penelitian ini diperoleh
secara langsung dari informan (istilah penelitian kualitatif) informan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dapat memberikan
informasi atau keterangan yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian.
Pemilihan
informan dilakukan secara purposive
sampling menurut HB Soetopo (dalam Masykuri Bakri 2013: 124) menyatakan bahwa:
Dalam penelitian
kualitatif, proposif sampling yang
diambil lebih bersifat selektif, memilih informan yang dianggap mengetahui
informasi, masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber
data yang mantap.Peneliti mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan
keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang dihadapi.Sumber data yang
digunakan tidak sebagai yang mewakili populasinya, tetapi lebih cenderung
mewakili informasinya.Karena pengambilan sampel didasarkan atas berbagai
pertimbangan tertentu.
Rulam Ahmadi
(2014: 85) berpendapat bahwa:
Proposif
sampling
merupakan jenis sampling yang diterima untuk situasi-situasi khusus. Proposif sampling menggunakan
keputusan (judgment) ahli dalam
memilih kasus-kasus atau memilih kasus-kasus dengan tujuan khusus dalam
pikiran. Proposif samplin gcocok dalam tiga situasi. Pertama,
seorang peneliti menggunakannya untuk memilih kasus-kasus unik, khususnya yang
bersifat informative. Kedua,
seorang peneliti bisa menggunakan proposif
sampling untuk
memilih anggota-anggota yang sulit untuk dicapai, populasi khusus. Ketiga,
proposif sampling digunakan ketika
seorang peneliti ingin mengidentifikasi tahapan-tahapan khusus kasus-kasus
untuk investigasi mendalam.
Dengan
merujuk pada pendapat di atas, maka penentuan informan dalam penelitian ini
untuk melaksanakan wawancara mendalam, penulis menentukan beberapa sumber atau
informan yang dianggap paling representatif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
berkenaan dengan fokus penelitian.Penentuan informan dilakukan berdasarkan
jabatan, pengalaman dan pemahaman atas objek yang diteliti.Pemilihan informan
dilakukan secara purposive sampling dengan
memilih informan kunci yang paling tau dan faham tentang situasi, kondisi dan
gejala-gejala yang terjadi.Ini dilaksanakan pada tahap awal memasuki lapangan
memilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek
yang diteliti. Hal ini dimaksudkan untuk mampu membukakan pintu atau jalan
masuk kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data.
Berkenaan dengan penelitian ini maka yang menjadi informan yang
memiliki otoritas, antara lain:
1. Kepala
sekolah
2. Guru
3. Tata Usaha
Sebelum
dilakukan pengumpulan data penelitian, terdahulu penulis mengikuti prosedur di
bawah ini:
a.
Diberitahukan terlebih dahulu kepada informan mengenai permasalahan yang akan ditanyakan
secara garis besar yang terdapat pada fokus penelitian.
b.
Setelah ada persetujuan antara peneliti dan informan
maka peneliti mendatangi informan sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan nara sumber.
c.
Setelah peneliti bertatap muka secara langsung dengan
informan maka peneliti memulai wawancara dengan menanyakan segala persoalan
yang berkaitan dengan fokus kajian penelitian. Setiap kata yang dijawab oleh
informan maka peneliti mencatatnya atau merecordnya ke dalam nota kecil
yang telah dipersiapkan oleh peneliti sebelumnya sebagai sumber data. Hal itu akan memudahkan peneliti untuk menyalin pulang sebagai data
di dalam tesis.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur
pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam suatu
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Dalam
penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Untuk itu, penulis perlu menyampaikan teknik pengumpulan data yang digunakan.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Teknik
pengumpulan data primer
Menurut HB Soetopo (dalam Masykuri Bakri 2013:131) pengumpulan
data primer tersebut dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:
Observasi; digunakan untuk menggali data dari sumber
data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda serta rerkaman gambar.
Dapat dikatakan bahwa observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara
mengamati secara langsung terhadap objek penelitian kemudian mencatat
gejala-gejala yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data-data yang
diperlukan sebagai acuan yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian.Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
langsung kepada pihak yang berhubungan dengan penelitian.
Berangkat dari pendapat di atas
maka dalam pengumpulan data penelitian, penulis menyiapkan pedoman observasi yakni
lembaran pengamatan untuk menjaring data tentang model
kepemimpinan instuktif,konsultatif,partisipatif,dan delegatif kepala SMAN 1 dan
SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara.
Selanjutnya, penulis menggunakan
wawancara terstruktur dan tak terstruktur.Wawancara terstruktur mirip dengan
percakapan informasi.Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu
informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan
dengan ciri-ciri setiap informan.Sedangkan wawancara tak terstruktur bersifat
luwes, susunan pertanyaan dan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah
pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara.
Melalui wawancara tersebut akan diperoleh informasi tentang model kepemimpinan instuktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif
kepala SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara.
b. Teknik
pengumpulan data sekunder:
b.1 Studi kepustakaan; yaitu dengan
mengumpulkan data dan informasi melalui literatur yang relevan dengan judul
penelitian seperti buku-buku, artikel dan makalah yang memiliki relevansi
dengan masalah yang diteliti.
b.2 Studi dokumentasi; yaitu dengan
cara memperoleh data melalui pengkajian dan penelaahan terhadap catatan penulis
maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.
F.
Analisis Data
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan tekhnik
analisis data kualitatif deskriptif (berupa kata-kata bukan angka). Menurut
Milles dan Hunberman (1992:15) “dalam
analisis data kualitatif data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan
rangkaian angka-angka. Data tersebut mungkin telah dikumpulkan dalam berbagai
cara seperti observasi, wawancara, atau intisari rekaman yang kemudian ‘di
proses’ melalui perencanaan, pengetikan atau pengaturan kembali”.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode
tertentu.Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban
hasil wawancara. Bila jawaban setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka
peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi sampai diperoleh data yang kredibel. Adapun
langkah-langkah analisis dari penelitian multi situs ini adalah sebagai berikut
:
1.
Analisis Data
Tunggal
Model
analisi data menggunakan model interaktif dari Milles dan Hunberman (1992:18) dengan
langkah-langkah:
a.
Reduksi data
Mereduksi data
berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema dan polanya, serta membuang yang tidak perlu.Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas.
b.
Penyajian data
Penyajian data
dalam penelitian kualitatif berbentuk teks/kalimat yang bersifat naratif.Selain
itu bisa juga berupa grafik, matrik, network dan chart.
c.
Verifikasi / penarikan kesimpulan
Berikutnya adalah
penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara
dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat.Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang
valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Model
interaktif Miles dan Huberman (1992:22) dalam analisis data ditunjukkan pada
gambar di bawah ini:
![]() |
Bagan 2 Analisis Data Intraktif Miles dan Huberman (1992:22)
2.
Analisis Data
Lintas Situs
Dalam
analisis data lintas situs, peneliti melakukan analisis dari kasus I yaitu SMAN
1 Tanjung Selor dan kasus II yaitu SMAN 2 Tanjung Selor sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan.Adapun teknik analisa data yang digunakan adalah teknik
analisa data induktif. Analisa data induktif adalah teknik yang berangkat dari
pengetahuan yang bersifat khusus menuju yang bersifat umum. Dengan teknik ini
di maksudkan untuk membahas suatu masalah dengan cara mengumpulkan data yang
bersifat khusus kemudian diambil kesimpulan secara umum. Berfikir induktif
adalah berfikiryang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian
ditarik generalalisasi yang bersifat umum. (Hadi, 1981: 42).
Bagan
3
Analisis
data Multisitus
![]() |
G. Pengecekan Keabsahan Temuan Data
Moleong, (2010:330) menyatakan bahwa uji keabsahan
data merupakan bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dalam
penelitian kualitatif. Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan, dan dicatat dalam
kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan cara triangulasi yaitu cara yang paling
umum digunakan bagi peningkatan keabsahan dalam penelitian kualitatif. Denzim
membedakan empat macam triangulasi yaitu sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode,
penyidik, dan teori. Dalam
validitas data ini yang digunakan adalah triangulasi. Triangulasi itu sendiri
adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data yang telah diperoleh. Tehnik triangulasi yang paling banyak digunakan
ialah pemeriksaan melalui sumber lainya. Membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini bisa dicapai dengan jalan di antaranya:
a.
Membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara.
b.
Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
c.
Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d.
Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang lain.
e.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Cara
di atas dilakukan oleh penulis sebagai upaya untuk membandingkan dan mengecek
derajat keterpercayaan temuan melalui trianggulasi sumber. Trianggulasi sumber
peneliti lakukan dengan membandingkan temuan-temuan yang diperoleh dalam
penelitian ini dari berbagai sumber untuk permasalahan sejenis melalui informan
yang satu dengan informan lainnya tentang model kepemimpinan kepala sekolah dalam
membangun keharmonisan guru dan pegawai di SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor
Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara.
Adapun
teknisnya misalnya dari kepala sekolah ke wakil kepala sekolah, dari wakil
kepala sekolah ke para guru, dan sebagainya. Atau juga melalui pengecekan balik
dari metode yang berbeda seperti hasil observasi dibandingkan atau dicek dengan
hasil wawancara kemudian dicek lagi melalui dokumen mengenai model kepemimpinan kepala sekolah dalam
membangun keharmonisan guru dan pegawai di SMAN 1 Tanjung Selor dan SMAN 2
Tanjung Selor Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara.
H. Tahap-Tahap Penelitian
Sebelum
mencari data di lapangan, peneliti harus melakukan persiapan-persiapan yang
nantinya dibutuhkan di lapangan. Ada tiga
tahapan pokok dalam penelitian kualitatif, yaitu:
1.
Tahap pra lapangan
Tahap ini yaitu orientasi yang meliputi kegiatan penentuan fokus,
penyesuaian paradigma dengan teori dan disiplin ilmu, penjajakan dengan konteks
penelitian mencakup observasi awal kelapangan dalam hal ini adalah di Kantor SMAN 1 dan SMA Negeri 2 Tanjung Selor
Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara,
penyusunan usulan penelitian dan seminar proposal penelitian, kemudian
dilanjutkan dengan dengan mengurus perizinan penelitian kepada subyek
penelitian.
2.
Tahap kegiatan lapangan
Tahap ini meliputi pengumpulan data-data yang terkait dengan focus
penelitian yaitu model kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun
keharmonisan guru dan pegawai di SMAN 1 dan SMAN 2 Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan Kalimantan Utara.
3. Tahap analisis
data
Tahap ini meliputi kegiatan mengolah dan mengorganisir data yang
diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi, setelah itu
dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang
diteliti.Selanjutnya dilakukan pengecekan keabsahan data dengan cara mengecek
sumber data dan metode yang digunakan untuk memperoleh data sebagai data yang
benar-benar valid, akuntabel sebagai dasar dan bahan untuk pemberian makna atau
penafsiran data yang merupakan proses penetuan dalam memahami konteks
penelitian yang sedang diteliti.
4.
Tahap penulisan laporan
Tahap ini meliputi kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua
rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. Setelah itu
melakukan konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan
kritikan, perbaikan dan saran atau koreksi pembimbing, yang kemudian ditindak
lanjuti dengan perbaikan atas semua yang disarankan oleh dosen pembimbing
dengan menyempurnakan hasil penelitian. Langkah terakhir adalah melakukan
pengurusan kelengkapan persyaratan untuk mengadakan ujian tesis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar