Pengawasan Manajemen Mutu Pendidikan Islam”
Oleh: Abdulchalid Badarudin
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendekatan Total Quality Management adalah salah
satu upaya untuk meraih nilai atau mutu yang optimal dengan melibatkan
keseluruhan unsur organisasi di bawah satu visi bersama. Begitupun penerapannya
pada sekolah/madrasah dalam rangka menjamin mutu Pendidikan Islam. Proses kerja
yang lebih efektif dan efisien, diikuti oleh sumber daya manusia yang
berkompeten dengan loyalitas dan daya juang yang tinggi, akan menghasilkan
peningkatan kinerja yang berujung pada kepuasan konsumen atau stakeholder. Al-Qur’an
dalam surat al-Ashr, mengingatkan kepada manusia untuk menjaga dan
meningkatkan kualitas/mutu hidup dari waktu ke waktu, bahwa manajemen waktu
adalah urgen bagi manusia dalam upaya menjadi manusia yang berdayaguna dan
bermanfaat bagi orang lain.
Total Quality Mangement (TQM) berasal dari dunia
bisnis dan khususnya dalam dunia perusahaan. Oleh karena itu, untuk memahami
TQM harus merujuk pada dunia asalnya. Hal ini bukan berarti bahwa metode bisnis
lebih unggul dari pada praktek pendidikan di sekolah, atau bahwa pendidikan
akan bisa ditingkatkan hanya dengan mengadopsi bahasa komersial. Lebih dari
itu, justru dunia bisnis dapat belajar dari metode yang diterapkan di beberapa
sekolah.
Di era kontemporer, dunia pendidikan Islam dikejutkan
dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model
ini menuntut adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan Islam untuk
meningkatkan mutu berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu
dalam pendidikan Islam ini lebih populer dengan sebutan istilah "Total
Quality Education (TQE)", dan di dunia pendidikan nasional dikenal dengan
istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dasar dari
manajemen ini dikembangkan dari konsep TQM, yang pada mulanya diterapkan pada
dunia bisnis. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara
konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan
kepuasan pelanggan.
Total Quality Mangement (TQM) dalam pendidikan Islam
ini mendapatkan perhatian serius dalam National Quality Servey (1991). Hal ini
menunjukkan bahwa TQM dan isu-isu mutu secara umum mengundang perhatian publik.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu tersebut semakin meningkat. Masyarakat dari
semua sektor pendidikan sekarang telah menunjukkan minatnya. Beberapa institusi
mulai mewujudkan filosofi TQM ke dalam praktek. Perkembangan minat ini telah
memberikan stimulan pada tuntutan publikasi isu-isu TQM dalam dunia pendidikan.
Salah satu masalah penting di dalam dunia pendidikan
Islam adalah masih rendahnya mutu keluarannya. Indikator yang menjadi acuan
untuk menguatkan pernyataan tersebut adalah nilai karakter dalam prilaku
sehari-hari yang secara umum belum terlalu menggembirakan, artinya batas
minimal kualitas masih rendah bandingkan negara tetangga. Upaya meningkatkan
mutu pendidikan Islam telah lama diangkat oleh pemerintah sebagai salah satu
kebijaksanaan pembangunan pendidikan, dengan membuat empat kebijaksanaan
strategis yang terdiri atas perluasan kesempatan belajar, meningkatkan mutu
pendidikan, peningkatan relevansi, serta efisiensi, dan efektivitas
penyelenggara pendidikan. Kemudian mengadakan serangkaian kegiatan penataran
guru, pembentukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran PAI (MGMP), didirikannya Pusat
Kegiatan Guru (PKG), Lembaga Balai Penataran Guru (BPG) dan lain sebagainya.
Namun tidak serta merta persoalan tersebut bisa terselesaikan.
Lalu di manakah letak kesalahannya ? Mengapa input
yang begitu banyak dan berharga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
produk pendidikan Islam, khususnya di Indonesia? Menurut Slamet PH (2000),
sumber penyebab rendahnya kualitas pendidikan Islam tersebut adalah aspek
pengelolaan atau manajemen. Secara internal hal tersebut disebabkan oleh
penerapan pendekatan input-output yang keliru. Terlalu mengedepankan aspek
input pada penyelesaian hampir semua kasus pendidikan Islam di sekolah.
Seakan-akan mutu pendidikan Islam akan meningkat dengan sendirinya apabila
sejumlah input ditambahkan. Misalnya kekurangan guru, ditambah guru, membangun
laboratorium, dan seterusnya. Ada satu faktor yang terlupakan, yaitu bagaimana
berbagai input tersebut dipertemukan dan berinteraksi di dalam proses
belajar-mengajar.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini diuraikan sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengawasan terhadap manajemen
mutu Pendidikan Islam?
2.
Bagaimana konsep sekolah yang bermutu?
3.
Bagaimana hakikat peningkatan mutu
madrasah/sekolah?
4.
Bagaimana implementasi TQM dalam
pendidikan?
5.
Bagaimana manajemen perubahan organisasi
dalam pendidikan?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.
Untuk mendeskripsikan pengawasan
terhadap manajemen mutu Pendidikan Islam.
2.
Untuk mengetahui konsep sekolah yang bermutu.
3.
Untuk mengidentifikasi hakikat
peningkatan mutu madrasah/sekolah.
4.
Untuk mendeskripsikan implementasi TQM
dalam pendidikan.
5.
Untuk mengetahui manajemen perubahan
organisasi dalam pendidikan.
D.
Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai sebuah
harapan agar makalah ini kelak bisa berguna untuk orang banyak, selain itu ada
beberapa harapan penulis tentang kegunaan penulisan makalah ini di antaranya sebagai berikut:
1. Untuk dunia pendidikan; kiranya dapat memperluas pengetahuan pembaca tentang pengawasan
terhadap manajemen mutu Pendidikan Islam, Untuk mengetahui konsep sekolah yang
bermutu, Untuk mengidentifikasi hakikat peningkatan mutu madrasah/sekolah,
Untuk mendeskripsikan implementasi TQM dalam pendidikan, Untuk mengetahui
manajemen perubahan organisasi dalam pendidikan.
2. Untuk penulis; digunakan
untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Dosen. Selain itu penulisan makalah ini untuk memperkaya pengetahuan bagi penulis.
E. Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sumber
data dari data-data kepustakaan (penelitian literatur) yang diperoleh dari
pelbagai literatur buku dan juga sumber data dari data-data yang diambil
melalui media internet.
Sedangkan dalam
metode penulisannya, penulis menggunakan metode
induktif, yakni pembahasan yang
dimulai dengan mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dari
fakta-fakta tersebut dicari generalisasinya (kesimpulan yang bersifat
umum).
F.
Kerangka Berpikir
Kerangka
berpikir pada tulisan ilmiah ini sebagai berikut :

BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengawasan
terhadap manajemen mutu Pendidikan Islam.
Pendidikan Nasional yang berlandaskanfalsafah
Pancasila dan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut
pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, peningkatan relevansi pendidikan dan
peningkatan efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan
diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan
diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui
olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam
menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi
sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan
dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan
pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan
antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun
dan dilaksanakan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan, yaitu: standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Ketika situasi Sekolah harus menerapkan keseriusan
dalam melaksanakan 8 Standar Nasional Pendidikan tersebut diatas dan
membutuhkan para pengelola untuk mengemban tugas-tugas edukatifnya, maka
peranan Pengawas turut menentukan baik untuk peningkatan kompetensi para
pengelola maupun terhadap pengembangan program-program kependidikan
tersebut.
Dalam konteks ini, pengawasan merupakan terjemahan
langsung dari istilah controlling dan bukan terjemahan dari tema supervisi
semata, karena sesungguhnya pelaksanaan supervisi merupakan salah satu bagian
kecil dalam kegiatan controlling. Hal ini juga dikuatkan oleh PP Nomor 19 tahun
2005 pasal 23 yang menyebutkan bahwa pengawasan proses pembelajaran sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) adalah meliputi: pemantauan, supervisi,
evaluasi, pelaporan dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan.
Dalam Panduan Umum Kurikulum yang disusun BSNP
terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat Panduan Pengembangan
Kurikulum yang diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam Standar Isi (SI) dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Ketentuan Umum atau Panduan
Pengembangan Kurikulum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan
PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP.
Kedua , model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan kurikulum
dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum Kurikulum
yang dikembangkan BSNP. Sedangkan di dalam Ketentuan Umum atau Panduan
Pengembangan Kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan
kepada peserta didik, belajar untuk:
1.
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa,
2.
Memahami dan menghayati,
3.
Mampu melaksanakan dan berbuat secara
efektif,
4.
Hidup bersama dan berguna untuk orang
lain,
5.
Membangun dan
menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan.
Mengakomodasi Panduan Pengembangan Kurikulum pada
point (a) tersebut diatas, Agama memiliki peran yang amat penting dalam
kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu
kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya
peran agama bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai agama
dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang ditempuh melalui
pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Pendidikan agama dimaksud untuk peningkatan potensi
spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia.
Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari
pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman,
dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan
potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi
berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti
tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan
manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan
untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling
menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial.
Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya Standar Kompetesi sesuai dengan
jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri
antara lain:
1.
lebih menitik-beratkan pencapaian
kompetensi secara utuh selain penguasaan materi;
2.
mengakomodasi
keragaman kebutuhan dan
sumber daya pendidikan yang tersedia;
3.
memberikan kebebasan yang lebih luas
kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan
program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya
pendidikan.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan
manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa dan akhlak, serta aktif
membangun peradaban maupun keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan
peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam
menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan
masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Pendidik diharapkan mampu mengembangkan metode
pembelajaran sesuai dengan Standar kompetensi dan Kompetensi Dasar. Pencapaian
seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan dengan teratur. Peran
semua unsur; Sekolah dan Guru Pendidikan Agama Islam, Pengawas Pendidikan Agama
Islam ,Orang Tua siswa dan Masyarakat sangat penting dalam mendukung
keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam dalam semua tingkatan
baik pada satuan Pendidikan SD, SMP, SMA maupun di SMK.
Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP) , Sekolah Menengah Atas (SMA) dan di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama, yaitu:
1.
Menumbuhkembangkan akidah melalui
pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan,
pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga
menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada
Allah SWT;
2.
Mewujudkan manuasia Indonesia yang taat
beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan,
rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, disiplin,toleran
(tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan
budaya agama (religious culture) dalam komunitas sekolah.
Dari tujuan yang hendak dicapai tersebut peran semua
pelaku kependidikan terutama para Guru dan Pengawas Pendidikan Agama Islam,
harus aktif memberi dukungan satu dengan lainnya agar pelaksanaan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dapat berjalan efektif, optimal dan mencapai hasil
maksimal.
Untuk melihat suatu kegiatan kependidikan dan
pengajaran dapat berjalan dengan efektif hingga maksimal tersebut, salah
satunya dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan kepengawasan.
Guna memberi jalan kemudahan bagi para
Pengawas dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggungjawabnya maka perlu
di susun suatu Pedoman Pengawasan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Tingkat
Dasar dan Menengah (SD, SMP, SMA, dan SMK).
B.
Konsep Sekolah yang bermutu
Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara
bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas
pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk
menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik
yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan
yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya
sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berarti tenaga administrasi, pengembang
kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan
secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah
yang mempu membentuk keunggulan sekolah.
Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara
sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana
struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah
berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang
sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang
disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul
adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan
untuk mengembangkan potensinya. Menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca:
sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang
telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam
jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan
siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar.
Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak
sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada
yang memiliki karakteristik homogen (Kompas, 29-4-2002, h.4).
Syarat Sekolah yang bermutu
Sekolah
yang berkualitas tidak lahir dengan sendirinya. Juga tidak lahir semata-mata
karena fasilitas yang dimiliki. Sekolah yang berkualitas harus dibentuk dan
direncanakan dengan baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Komitmen
warga sekolah dan stake holder, adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
lahirnya sebuah sekolah yang berkualitas.
Glasser,
dalam bukunya yang kedua, The Quality School Teacher memberi pesan kepada kita
bahwa sedikitnya ada enam syarat yang harus dipenuhi sebuah sekolah agar
menjadi sekolah berkualitas. Keenam syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Harus ada lingkungan kelas yang hangat
dan mendukung. Tanpa adanya jalinan yang akrab antara semua warga sekolah
(guru, siswa, staf, dan karyawan lain) tidak bias dihasilkan tugas-tugas
sekolah yang berkualitas, dan lebih dari semua itu harus terbangun saling
percaya/kepercayaan.
b.
Siswa harus selalu diminta untuk
melakukan hal-hal yang berguna. Tidak boleh ada siswa yang diminta untuk
melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti mengingat atau menghafal
(secara berlebihan). Apa pun yang mereka kerjakan, harus ada manfaatnya secara
praktis, estetis, intelektual, atau pun sosial.
c.
Siswa selalu diminta untuk
mengerjakannya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya. Ini berarti siswa
harus diberi kesempatan yang memadai untuk dapat mengerjakan tugas-tugasnya
agar pekerjaannya berkualitas. Mereka sebenarnya sudah biasa diberi tugas,
tetapi bukan belajar, dan hampir tidak pernah berusaha melakukan pekerjaan yang
berkualitas.
d.
Siswa diajari dan diberi kesempatan
mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri, kemudian diminta untuk meningkatkannya. Mengevaluasi
sendiri adalah hal yang paling sulit diterapkan, tetapi penting dilakukan untuk
mencapai perbaikan yang konstan dalam usaha siswa menghasilkan pekerjaan
berkualitas.
e.
Pekerjaan yang berkualitas selalu terasa
menyenangkan. Sungguh menyedihkan melihat sangat sedikit siswa yang merasa
nyaman dalam pelajaran-pelajaran mereka sekarang. Bukan hanya siswa yang merasa
senang jika mereka berhasil mengerjakan sesuatu dengan berkualitas, guru dan
orangtua pun merasa senang memerhatikan proses itu.
f.
Pekerjaan berkualitas tidak pernah
bersifat merusak. Tidak berkualitas namanya, jika meraih perasaan senang dengan
cara memakai obat adiktif atau merugikan orang lain, makhluk hidup, benda milik
orang lain, atau lingkungan.
Ciri-ciri sekolah yang bermutu
1.
Visi dan misi sekolah yang jelas.
Mayoritas sekolah kita belum mampu dan memang tidak diberdayakan untuk
mampu–mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah
diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit.
Misalnya, “SMA berbasis komputer”, “SD berbasis kelas kecil”, “SMP berbasis IST
(information system technology),” “SMK bersistem asrama,” “Aliyah dengan
pengantar tiga bahasa,” dan sebagainya.Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga
maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional.
Misi adalah dua atau tiga
pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya “membangun siswa yang
kreatif dan disiplin,” dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang
diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan
eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.Untuk mengimplementasikan visi
dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur
sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4)
perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak
terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk
memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking)
seluas mungkin.
2.
Komitmen tinggi untuk unggul. Staf
administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk
menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua
siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi
untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk
mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
3. Kepemimpinan
yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “pemimpin dari pemimpin” bukan “pemimpin
dari pengikut.” Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup
kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared
decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan
para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi
sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati
sendiri.
Guru
juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan
model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam
merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3)
sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan
(5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi
pembelajaran siswa.
4. Kesempatan
untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang
mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat
berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia
semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu
dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci
keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan
siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai
berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3)
pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan
fleksibel.
5. Lingkungan
yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan
terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk
belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui
belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta
apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa
suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat
kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
6. Hubungan
yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi
sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya
visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa,
tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan
dilibatkan. Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra
school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan
pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah
contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara
yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra
sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun
“kepercayaan” dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi
untuk melejitkan prestasi.
7. Monitoring
kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan
hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi
siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi,
khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus-
menerus.
Evaluasi
penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku
(standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum
dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain,
evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa
sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya
untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua. Sekolah sebagai
sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya
terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya
sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external
evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas
publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada
sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.
Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas
akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh
sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani
masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan
dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang
dapat disumbangkan pada sekolah. Dalam era reformasi tetapi juga dalam
keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan
menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah,
akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang
tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan
sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.
Restrukturisasi Sekolah bermutu.
Sekarang
ini masih banyak sekolah yang mengaku seklah yang bermutu namun masih
menerapkan konsep sekolah yang tidak bermutu. Maka konsep sekolah bermutu yang
tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukturisasi sekolah
bermutu yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
1.
Program sekolah unggulan tidak perlu
memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak
memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang
memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang
dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan
pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki
bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak
yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat
keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan
pelajaran seni.
2.
Dasar pemilihan keunggulan tidak hanya
didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan
logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang
dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini dikenal
adanya 8 macam.
3.
Sekolah unggulan jangan hanya menjaring
anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan
dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika
justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang
dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah
untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan
anak kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan
oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang
berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry
Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang
tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang
diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan siswa kurang mampu.
4.
Sekolah unggulan harus memiliki model
manajemen sekolah yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua
stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah
yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa
berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai
pihak terkait dengan memuaskan. Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan
sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri bukan ditentukan oleh
birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah
unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu
bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara
sekolah dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap
pengembangan sekolah unggulan semakin serius.
5.
Adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa salah
satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah
adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan
berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh
dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila
diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi tanggung jawab penuh. Selama sekolah-sekolah
hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka
sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah
menjadi sekolah unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan
warganya. Apabila semua sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit
bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya.
Kerangka Kerja dalam Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Dalam
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat
bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut :
1.
Sumber daya; sekolah harus mempunyai
fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan
setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan
harus ditujukan untuk :
Memperkuat
sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas
yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, Pemisahan antara biaya
yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan Pengurangan kebutuhan
birokrasi pusat.
2.
Pertanggung-jawaban (accountability);
sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun
pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar
keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban ini
bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan
kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan
dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan.
Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan
mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan
melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program
prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
3.
Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar
yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk
mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses
penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan
relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan
tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai
ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan
memiliki kematangan emosional. Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa
harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional
dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek
psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif
kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang
bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan
dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
4.
Personil sekolah; sekolah bertanggung
jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang
diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala
sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam
rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan
keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan
lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu
birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen
pendukung. Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai
dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem
pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan
menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar
minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otoritas pendiidikan lainnya
memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan
pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk
bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah
dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan
pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
C. Hakekat
Peningkatan Mutu Madrasah/Sekokah
Hampir semua bangsa-bangsa negara di dunia ini terus
melakukan proses untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam di negara
masing-masing. Sebab kunci masa depan suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan
sistem pendidikan yang berkualitas, yang ditunjukkan oleh keberadaan
sekolah-sekolah yang berkualitas pula. Sebagaimana dikatakan Khursid Khan
(dalam Muhaimin dkk) bahwa: of all the
problem that confront the muslim world today the educational problem is the
most challenging. The future of the muslim world will depend upon the way it
responds to this challenge. Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan
tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan Islam
merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung
kepada cara bagaimana dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan itu.
Peningkatan mutu pendidikan Islam yang berpusat pada
peningkatan mutu sekolah/madarsah merupakan suatu proses yang dinamis,
berjangka panjang yang musti dilakukan secara sistematis lagi konsisten untuk
diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Peningkatan mutu sekolah tidak bersifat
instan, melainkan suatu proses yang harus dilalui dengan sabar, tahap demi
tahap, yang terukur dengan arah yang jelas dan pasti. Dalam peningkatan mutu
sekolah tidak dikenal sesuatu yang gampang segampang teori, seperti yang
disitir oleh Kurt Lewin: “There is
nothing to practical as good as a theory”. Pendapat ini berarti pula, bahwa
tidak mungkin ada peningkatan mutu sekolah tanpa didasari oleh suatu teori.
Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan
bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis
yang amat terkait dengan berbagai faktor atau variabel yang tidak semua dapat
dikendalikan oleh sekolah.
Peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai
suatu perpaduan antara knowledge-skill, art, dan entrepreneurship. Suatu
perpaduan yang diperlukan untuk membangun keseimbangan antara berbagai tekanan,
tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan
tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan
sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua upaya peningkatan
mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses pembelajaran merupakan faktor
yang langsung menentukan kualitas sekolah.
Pembelajaran adalah proses yang kompleks rumit
dimana berbagai variable saling berinteraksi. Banyak variable dalam proses
interaksi antara guru dan siswa berkaitan dengan suatu materi tertentu yang
tidak dapat dikendalikan secara pasti. Terdapat keterkaitan berbagai yang sulit
untuk diindentifikasi mana yang mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi. Hasil
pembelajaran tidak bisa diestimasi secara matematis, pasti. Anak yang kecapekan
atau kurang gizi atau memiliki persoalan pribadi jelas akan mempengaruhi proses
dan hasil pembelajaran. Demikian pula kemiskinan dan kondisi keluarga akan
berpengaruh. Siswa yang memiliki motivasi dan yang tidaki memiliki akan berbeda
dalam kaitan dengan proses dan hasil pembelajaran. Dengan singkat, apa pengaruh
eksternal dan internal dalam diri siswa yang akan mempengaruhi proses dan hasil
pembelajaran, tidak semua pengaruh tersebut dapat dikendalikan oleh kepala
sekolah dan guru.
Sebagai suatu proses interaksi antara siswa dan guru
berkaitan dengan materi tertentu, maka tidak hanya kondisi siswa yang
berpengaruh, tetapi juga kondisi guru tidak kalah pentingnya mempengaruhi
kualitas pembelajaran. Pepatah mengatakan, “kalau ingin melihat prestasi siswa
lihatlah kualitas gurunya”. Kondisi guru yang bervariasi berarti kualitas dan
hasil pembelajaran juga akan bervariasi. Semakin tinggi kesenjangan kualitas
guru, semakin tinggi kesenjangan prestasi siswa. Kualitas interaksi juga
dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas fasilitas, termasuk kurikulum yang dipergunakan.
Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran
merupakan inti dari reformasi pendidikan di negara manapun. Hal disebabkan oleh
asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah yang memiliki peran penting dalam
peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung pada kualitas pembelajaran.
Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual, sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya.
Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan
sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam penelitian tentang
sekolah efektif, kerja guru dan pembelajaran, retrukturisasi sekolah dan
kinerja organisasi yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan, “apabila
ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas sekolah sebagai satu
kesatuan dimana pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan”.
Dalam kaitan dengan peningkatan mutu, pengalaman
menunjukan terdapat berbagai model yang dilaksanakan yang mencakup berbagai
kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu. Seperti model UNESCO, Model Bank
Dunia, Model Orde Baru dan Model Orde Reformasi. Sebagai lembaga internasional
yang bergerak di bidang budaya dan pendidikan, UNESCO banyak memberikan
perhatian dan berupaya mendorong peningkatan mutu sekolah di banyak negara,
khususnya negara-negara sedang berkembang. Setiap tahun UNESCO kantor Asia
& Pasifik bekerjasama pemerintah China dan Thailand secara bergantian
menyelenggarakan seminar innovasi pendidikan yang difokuskan pada peningkatan
mutu sekolah. UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas sekolah
diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain:
1. Sekolah
harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan
“problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju
“change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things
differently”.
2. Pilar
kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be,
dan learning to live together.
3. Menetapkan
standar pendidikan dengan indikator yang jelas.
4. Memperbaharui
dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5. Meningkatkan
pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah.
6. Menekankan
pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru.
7. Mengembangkan
kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8. Meningkatkan
partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9. Melaksanakan
Quality Assurance.
Sedangkan untuk meningkatkan mutu sekolah seperti
dapat menggunakan yang sebagaimana disarankan oleh Sudarwan Danim yaitu dengan
melibatkan lima faktor yang dominan :
1. Kepemimpinan
Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara
jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun
dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang
kuat.
2. Siswa;
pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga
kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat
menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa.
3. Guru;
pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi
kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga
hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
4. Kurikulum;
adanya kurikulum yang tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan
standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara
maksimal;
5. Jaringan
Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan
masyarakat semata (orang tua dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain,
seperti perusahaan / instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap
didalam dunia kerja.
Berdasarkan pendapat di atas, perubahan paradigma
harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga
mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu
dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan
harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork) yangn saling membutuhkan dan saling
mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals ) akan tercipta dengan baik.
Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh
mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga
kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan
dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga
pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang
berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya
mengarah pencapaian pada mutu.
Gerakan mutu terpadu dalam pendidikan masih
tergolong baru, hanya ada sedikit literatur yang memuat referensi tentang hal
ini sebelum tahun 1980-an. Inisiatif untuk menerapkan metode ini berkembang lebih
dahulu di Amerika baru kemudian di Inggris, namun baru di awal 1990-an kedua
negara tersebut betul-betul dilanda gelombang metode ini. Ada banyak gagasan
yang dihubungkan dengan mutu juga dikembangkan dengan baik oleh
institusi-institusi pendidikan tinggi dan gagasan-gagasan mutu tersebut terus
menerus diteliti dan diimplementasikan di sekolah-sekolah.
Peningkatan mutu menjadi semakin penting bagi
institusi yang digunakan untuk memperoleh kontrol yang lebih baik melalui
usahanya sendiri. Institusi-institusi harus mendemonstrasikan bahwa mereka
mampu memberikan pendidikan yang bermutu pada peserta didik. Bagi setiap
institusi, mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang
paling penting. Walaupun demikian, sebagian orang ada yang menganggap mutu
sebagai sebuah konsep yang penuh dengan teka-teki. Mutu dianggap sebagai suatu
hal yang membingungkan dan sulit untuk diukur. Mutu dalam pandangan seseorang
terkadang berbeda dengan mutu dalam pandangan orang lain. Sehingga tidak aneh
jika ada dua pakar yang tidak memiliki kesimpulan yang sama tentang bagaimana
cara menciptakan institusi yang baik.
Seseorang bisa mengetahui mutu ketika mengalaminya,
tetapi tetap merasa kesulitan ketika ia mencoba mendeskripsikan dan
menjelaskannya. Satu hal yang bisa diyakini adalah mutu merupakan suatu hal
yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan
tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya merupakan hal yang membedakan antara
kesuksesan dan kegagalan. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok
yang akan menjamin perkembangan sekolah dan meraih status di tengah-tengah
persaingan dunia pendidikan yang kian keras.
Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan
manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan adalah; institusi pendidikan
memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi
industri jasa, yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (Customer). Jasa atau pelayanan yang
diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang bermutu dan
memberikan kepuasan kepada mereka. Maka pada saat itulah dibutuhkan suatu
sistem manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan agar lebih
bermutu.
Manajemen pendidikan mutu terpadu berlandaskan pada
kepuasan pelanggan sebagai sasran utama, baik pelanggan dalam (Internal
Customer) maupun pelanggan luar (External Customer). Dalam dunia pendidikan,
yang termasuk pelanggan dalam adalah penglola institusi pendidikan, guru,
staff, dan penyelenggara institusi. Sedangkan pelanggan luar adalah masyarakat,
pemerintah dan dunia industri. Jadi suatu institusi pendidikan disebut bermutu
apabila antara pelanggan internal dan eksternal telah terjalin kupuasan atas
jasa yang diberikan.
D. Implementasi
TQM Dalam Pendidikan
Sesuai dengan tujuan TQM dalam pendidikan yaitu
merubah institusi yang mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa
konflik dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu
memuaskan pelanggan. Beranjak dari pembahasan tersebut, dalam operasi TQM dalam
pendidikan ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan:
1. Perbaikan
Secara Terus Menerus (Continuous Improvement).
Konsep
ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola senantiasa melakukan berbagai
perbaikan dan peningkatan secara terus menerus untuk menjamin semua komponen
penyelenggara pendidikan telah mencapai standar mutu yang diterapkan.
2. Menentukan
Standar Mutu (Quality Assurance)
Paham
ini digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja
dalam proses produksi atau transformasi lulusan institusi pendidikan.
3. Perubahan
Kultur (Change Of Culture)
Konsep
ini bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan
mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional.
4. Perubahan
Organisasi (Upside- Down Organization)
Jika
visi dan misi, serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami
perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi.
Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan
sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja dan
kepegawaian dalam organisasi, yang menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas
dan tanggung jawab.
5.
Mempertahankan Hubungan Dengan
Pelanggan (Keeping Close To The Customer).
Karena organisasi pendidikan menghendaki kepuasan
pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi
sangat penting. Dan inilah yang dikembangkan dalam unit Public Relation. Keberhasilan
penerapan manajemen mutu terpadu tersebut memang tidak mudah, diperlukan
komitmen dan kerja sama yang baik antara departemen terkait, antara departemen
pusat dengan departemen daerah serta institusi pendidikan setempat sebagai
pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, perlu
adanya kejelasan secara sistemik dalam memberi kewenangan antar institusi
terkait. Jika manajemen ini diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan
segala dinamika dan fleksibelitasnya, maka akan menjadi perubahan yang cukup
efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu dan mutu pendidikan nasional.
Mutu terpadu (Total Quality) membutuhkan manajer
yang mampu mengesampingkan sejenak keuntungan jangka pendek dan menetapkan
tujuan keberhasilan jangka panjang. Untuk tetap terdepan dalam kompetisi,
sebuah organisasi harus mengetahui kebutuhan pelanggan, kemudian menyatukan
pikiran untuk bertindak memenuhi kebutuhan mereka.
E. Manajemen
Perubahan Organisasi Dalam Pendidikan
Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael
Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3C,
yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing
makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka
akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus
dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen
perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik
positif.
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan
akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas
perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah
resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak
selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan
tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul
dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan
(eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok,
demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat
laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun,
kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya.
Whiteside (1978), Schermerhorn, Hunt, Osborn (1982),
Bennis, Benne, Chin, dan Corey (1969) membagi strategi perubahan berbasis
sekolah menjadi 3 strategi yaitu:
1. Strategi
kekuatan paksaan
Strategi
ini menggunakan kekuatan, penghargaan, dan hukuman sebagai kekuatan perubahan
berbasis sekolah. Asumsi ini menganggap bahwa sifat masyarakat sekolah adalah
sebagai orang ekonomi. Fokus dari perubahan ini adalah keterbukaan sikap
masyarakat sekolah. Manajemen perubahan mengutamakan pendekatan atas ke bawah
yang tergantung pada kewenangan atau perintah agen perubah. Pengaruh hasil dari
perubahan ini hanya berlangsung jangka pendek. Hal itu mungkin hanya bisa
digunakan untuk perubahan teknologi bukan untuk perubahan budaya.
2. Strategi
empiris rasional
Strategi
ini menganggap bahwa masyarakat sekolah adalah orang yang rasional. Hal itu
digunakan sebagai kekuatan perubahan berbasis sekolah dan menempatkan fokus
perubahan pada perubahan kognitif masyarakat sekolah. Manajemen perubahan menekankan
pada ajakan rasional dan empiris untuk menunjukkan nilai dari perubahan
sekolah. Jika strategi ini berhasil, pengaruh akan dipertahankan untuk jangka
panjang. Strategi ini sesuai untuk perubahan budaya dan teknologi di sekolah.
3. Strategi
normatif pendidikan
Strategi
ini menganggap bahwa masyarakat sekolah menjadi mitra kerjasama di dalam fungsi
sekolah. Dasar yang digunakan untuk perubahan berbasis sekolah mengutamakan
kekuatan dan pengaruh personal sebagai agen perubah. Fokus perubahan ini adalah
perubahan afektif masyarakat sekolah. Norma, misi sekolah, nilai dan
kepercayaan terhadap sekolah menjadi peran penting untuk mendukung perubahan.
Manajemen perubahan mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan dan
perencanaan perubahan. Karena para anggota sekolah benar-benar terlibat dan
berkomitmen dalam perubahan, efek perubahan atau hasil dapat diinternalisasikan
dan diabadikan secara jangka panjang. Strategi ini sesuai digunakan untuk
perubahan budaya.
Pembaharuan terjadi dimana-mana. Pembaharuan dan
kata sejenis seperti kata “perkembangan”, “perbaikan”, “evolusi” dan
“pengembangan” merupakan beberapa bentuk konsep modern. Beberapa teori
percaya bahwa maksud dari pembaharuan telah kehilangan makna pentingnya
pada akhir-akhir ini. Akan tetapi hasil analisis lebih lanjut, membantah
dan dilihat sebagai intensifikasi, percepatan dan peningkatan kompleksitas
proses pembaharuan. Pada tahun 1990-an gagasan pembaharuan, inovasi, reform,
pengembangan, perbaikan dan sebagainya kembali diperbincangkan dalam pendidikan,
Perbincangan tersebut terjadi pada sekolah negeri, pendidikan guru, metode
pengajaran, penilik sekolah, dan evaluasi keuangan sekolah.
Dan berkaitan dengan perubahan organisasi dalam
sekolah/pendidikan paling tidak ada beberapa alasan pokok yang menuntut
terjadinya perubahan kebijakan dalam pengelolaan sekolah tersebut, antara lain:
1. Tuntutan
masyarakat terhadap sekolah
Semakin
tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan tersebut
bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu
menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan
salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat
berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan dating. Pendidikan
perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam
pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
2. Perkembangan
kebijakan politik sentralisasi dan desentralisasi
Perubahan
suasana sosial politik di Indonesia yang muncul dari adanya krisis ekonomi
kemudian berkembang menjadi krisis sosial politik berimplikasi kepada perubahan
dalalm berbagai bidang antara lain bidang pendidikan. Isu sentralisasi dan
desentralisasi yang sebelumnya telah dimunculkan sebagai upaya pemberdayaan
daerah telah semakin menguat terdorong oleh suasana perubahan politik
kenegaraan semakin diyakini bahwa salah satu upaya penting yang harus dilakukan
dalam peningkatan kualitas pendidikan, adalah dengan pemberdayaan sekolah
melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang intinya memberikan kewenangan
(delegation of outhority) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan
peningkatan kualitas secara berkelanjutan (Quality continous improvement).
Untuk mengembangkan manajemen/perubahan organisasi
suatu lembaga pendidikan yang berkualitas subtansi manajemen pengembangan
lembaga pendidikan yang harus diperhatikan dan bidang yang harus dirubah,
antara lain:
1. Kurikulum
dan Pembelajaran
Kurikulum
dan pembelajaran merupakan salah satu elemen yang terdapat dalam pendidikan.
Keduanya saling mendukung satu sama lainnya. Di dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Islam Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dalam
kurikulum terdapat prinsip kolektivitas tim, yang mana ini menuntut kerjasama
satu sama lainnya. Selain itu, kurikulum pula tempat mengejewatahkan nilai, ide
dan pembelajaran serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dari kurikulum inilah
akan diketahui arah pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari
aktivitas pendidikan. Sedangkan pembelajaran menjadi tiang dalam kurikulum.
Pembelajaran yang diterapkan dalam lembaga pendidikan itu sangat berpengaruh
bagi psikis siswa. Dalam teori ilmu pendidikan modern ataupun ilmu pendidikan
Islam berbagai macam model pembelajaran pilihan yang harus diterapkan oleh
pendidik. Seperti model pembelajaran kooperatif, kuantum, pembelajaran dengan
membacakan kisah-kisah, tematik dan lain sebagainya. Kesemuanya itu bermuara
pada satu tujuan yakni bagaimana membuat murid itu senang, nyaman dan menikmati
pembelajaran yang disajikan. Dengan begitu dalam pembelajran semakin mudah
dimengerti dengan materi yang diajarkan.
2. Personalia
Dalam
lembaga pendidikan, personalia (sumber daya manusia) terlebih kepala
sekolah/madrah memiliki peran vital. Sebagai puncak pimpinan tertinggi dan
penanggung jawab pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah/madrasah, ia
memiliki peran sentral dalam pengelolaan personalia. Beberapa prinsip dasar
manajemen personalia, yang dijadikan pedoman kepala sekolah/madrasah adalah:
a. Dalam
mengembangkan sekolah/madrasah, sumber daya manusia adalah komponen paling
berharga;
b. Sumber
daya manusia akan berperan secara optimal, jika dikelola dengan baik, sehingga
mendukung tercapainya tujuan institusi;
c. Kultur
dan suasana organisai/sekolah, serta perilaku manajerialnya sangat berpengaruh
pada pencapaian tujuan pengembangan madrasah.
d. Manajemen
personalia di sekolah/madrasah pada prinsipnya mengupaya kan agar setiap warga
(guru, staf administrasi, peserta didik, serta orang tua, dan stakeholders)
dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah.
3. Peserta
didik
Suryasubrata
memberi batasan defenisi manajemen peserta didik, sebagai berikut: Manajemen
peserta didik menunjuk pada pekerjaan-pekerjaan atau kegiatan-kegiatan pencatan
murid, semenjak dari proses penerimaan sampai saat murid meninggalkan
sekolah/madrasah, karena sudah tamat mengiktui pendidikan pada sekolah/madrasah
itu.
Dari
definisi di atas, dapat dipahami bahwa manajemen peserta didik adalah upaya
penataan peserta didik. Mulai dari mereka masuk hingga lulus. Manajemen peserta
didik termasuk salah satu bagian dari manajemen pendidikan secara keseluruhan.
Manajemen peserta didik menempati posisi yang sangat penting, karena yang
sentral di sekolah adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah
adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah, diarahkan agar
peserta didik mendapat layanan pendidikan yang baik dan tercipta suasana
belajar yang kondusif.
4. Administrasi
Sekolah/Madrasah
Secara
terminologis adalah suatu kegiatan atau proses, terutama mengenai cara-cara
(alat-alat) sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Administrasi
dalam perspektif manajemen, dipandang mempunyai peran penting sebagai
“prevoyange” atau kemampuan melihat masa depan. Hal ini berarti administrasi
dinilai mampu melihat keadaan masa yang akan datang dan mempunyai kesiapan
untuk menghadapinya. Dalam manajemen administrasi terdapat yang Tata Usaha,
adapun pekerjaan mereka ke dalam tiga kelompok, antara lain: pembukuan,
surat-menyurat dan sarana dan prasarana.
5. Sarana
dan Prasarana
Manajemen
sarana prasarana adalah suatu kegiatan bagaimana mengatur dan mengelola sarana
dan prasarana pendidikan secara efesien dan efektif dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Tim Pakar Manajemen Universitas Negeri
Malang, manajemen sarana prasarana pendidikan adalah proses kerjasama
pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efesien.
Manajemen
sarana dan prasarana pendidikan pada dasarnya bertujuan:
a. meciptakan
sekolah/madrasah yang rapi, bersih, indah sehingga menyenangkan bagi masyarakat
sekolah/madrasah,
b. tersedianya
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, baik secara kualitatif maupun
kualitatif dan relevan dengan kepentingan pendidikan.
6. Keuangan
Manajemen
keuangan atau pembiayaan merupakan serangkaian kegiatan perencanaan,
melaksanakan, mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana
secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam
manajemen pendidikan, masalah dana merupakan potensi yang sangat menentukan dan
tidak bisa dipisahkan dari kajian manajemen pendidikan. Adapun biaya adalah
keseluruhan dana baik secara langsung maupun tidak langsung yang diperoleh dari
berbagai sumber.
7. Hubungan
Masyrakat
Berfungsi
sebagai pencitraan sekolah atau lembaga pendidikan. Humas itu sendiri merupakan
fungsi manajemen yang diadakan untuk menilai dan menyimpulkan sikap-sikap
publik, menyesuaikan kebijakan dan prosedur instansi atau organisasi untuk
mendapatkan pengertian dan dukungan dari masyarakat. Setiap perubahan akan
memengaruhi siapapun, apakah dia pihak manajemen ataukah anggota organisasi.
Perubahan bisa ditanggapi secara positif ataukah negatif bergantung pada jenis
dan derajat perubahan itu sendiri. Ditanggapi secara negatif atau dalam bentuk
penolakan kalau perubahan yang terjadi dinilai merugikan diri manajemen dan
anggota organisasi. Sementara kalau perubahan itu terjadi pada inovasi proses
perbaikan mutu maka perubahan yang timbul pada manajemen dan anggota organisasi
adalah dalam hal pengetahuan, sikap dan ketrampilan mengoperasikan teknologi
baru. Kalau itu terjadi pada perubahan motivasi anggota organisasi staf dalam
suatu tim kerja maka perubahan yang semestinya terjadi adalah terjadinya
perubahan manajemen mutu sumberdaya manusia. Itu semua tanggapan positif atas
terjadinya perubahan.
Untuk mencapai keberhasilan suatu program perubahan
maka setiap orang harus siap dan mampu merubah perilakunya. Hal ini sangat
bergantung pada apa yang mempengaruhi perilaku dan apa pula yang mendorong
seseorang untuk berubah. Faktor-faktor internal yang diduga mempengaruhi
perilaku meliputi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan/keyakinan, lingkungan
dan visi organisasi. Sementara faktor-faktor pendorong seseorang untuk
berubah adalah kesempatan memperoleh keuntungan nyata atau menghindari
terjadinya kerugian pribadi.
Beragam Faktor Mempengaruhi Perubahan perilaku
dimaksud diuraikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan
Pengetahuan
merupakan unsur pokok bagi setiap anggota organisasi untuk merubah perilakunya
dalam mengerjakan sesuatu. Semakin tinggi tingkat pengetahuan anggota
organisasi semakin mudah dia untuk mengikuti perubahan sesuai dengan tugasnya.
Karena itu pengetahuan ditempatkan secara strategis sebagai salah satu syarat
penting bagi kemajuan perilaku anggota organisasi. Anggota organisasi yang
hanya menggunakan pengetahuan yang sekedarnya akan semakin tertinggal
kinerjanya dibanding anggota organisasi yang selalu menambah pengetahuannya
yang baru.
2. Ketrampilan
Ketrampilan,
baik fisik maupun non-fisik, merupakan kemampuan seseorang yang diperlukan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan baru. Ketrampilan fisik dibutuhkan untuk
pekerjaan-pekerjaan fisik, misalnya mengoperasikan komputer, mesin produksi
dsb. Ketrampilan non-fisik dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang sudah
jadi. Misalnya kemampuan memimpin rapat, membangun komunikasi, dan mengelola
hubungan dengan para pelanggan secara efektif. Jadi disitu terdapat hubungan
antara proses dan ketrampilan komunikasi antarpersonal. Ketrampilan lebih sulit
untuk diubah atau dikembangkan ketimbang pengetahuan.
Perubahan
ketrampilan sangat terkait dengan pola perilaku naluri (instink). Proses
perubahan respon instink anggota organisasi membutuhkan waktu relatif cukup
panjang karena faktor kebiasaan apalagi budaya tidak mudah untuk diubah.
Misalnya anggota organisasi yang biasanya bertanya pada anggota organisasi dengan
ucapan “apa yang manajer inginkan” (kurang sopan) sulit untuk segera berubah
menjadi ucapan”apa yang dapat saya kerjakan untuk manajer” atau “bolehkah saya
membantu manajer” (lebih sopan).
3. Kepercayaan
Kepercayaan
anggota organisasi menentukan sikapnya dalam menggunakan pengetahuan dan
ketrampilannya untuk mengerjakan sesuatu. Boleh jadi anggota organisasi
diberikan pengetahuan dan ketrampilan baru dengan cara berbeda. Namun hal itu
dipengaruhi oleh kepercayaan yang dimilikinya apakah pengetahuan dan ketrampilan
yang diterimanya akan berguna atau tidak. Dengan kata lain suatu kepercayaan
relatif sulit untuk diubah. Jadi kalau ingin melatih anggota organisasi
harus diketahui dahulu kepercayaan yang dimiliki anggota organisasi
sekurang-kurangnya tentang aspek persepsi dari kegunaan suatu pelatihan.
4. Lingkungan
Suatu
lingkungan organisasi mempengaruhi perilaku anggota organisasi apakah melalui
pemberian penghargaan atas perilaku yang diinginkan ataukah dengan mengoreksi
perilaku yang tidak diinginkan. Lingkungan organisasi seperti keteladanan
pimpinan dan model kepemimpinan serta masa depan organisasi yang cerah akan
berpengaruh pada derajat dan mutu perubahan perilaku anggota organisasi. “Apa
yang organisasi berikan pada anggota organisasi dan apa pula yang organisasi
dapatkan”. Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh apa yang bisa
diberikan organisasi kepada anggota organisasinya. Semakin tinggi kadar
insentif yang diberikan semakin efektif terjadinya perubahan perilaku anggota
organisasinya. Sebaliknya organisasi yang tidak efektif atau gagal
cenderung akan menciptakan perubahan perilaku yang juga tidak efektif.
5. Tujuan
organisasi
Tujuan
organisasi ditentukan oleh kepercayan kolektif dari para pimpinan organisasi
dan ini menciptakan lingkungan tertentu. Selain itu tujuan merupakan turunan
dari visi masa depan dan sistem nilai organisasi. Pemimpin organisasi yang
memiliki visi dan tujuan yang jelas akan menciptakan lingkungan yang mendorong
perilaku produktif. Sebaliknya hanya akan menciptakan kebingungan di kalangan
anggota organisasi.
Kombinasi dari lima faktor di atas menentukan
keefektifan suatu perubahan perilaku anggota organisasi. Dengan pengembangan
pengetahuan yang ada anggota organisasi semakin mengetahui atau memahami apa
yang dibutuhkan untuk mampu mengerjakan pekerjaannya. Ketrampilan dalam bentuk
kemampuan fisik dan non-fisik dibutuhkan agar anggota organisasi mampu
mengerjakan pekerjaan yang baru. Kepercayaan menentukan apakah anggota
organisasi akan menggunakan ketrampilan dan teknik barunya dalam praktek.
Sementara lingkungan organisasi akan menciptakan tujuan organisasi dalam
merumuskan standar apa yang bisa diterimanya. Tujuan organisasi itu sendiri
ditentukan oleh visi organisasi dan dapat menciptakan lingkungan baru. Selain
itu bisa jadi faktor pengaruh menguatnya kecerdasan emosional dan spiritual
dari anggota organisasi akan membantu organisasi lebih siap dalam mengelola
perubahan.
BAB
III
KESIMPULAN
1. Semua
pelaku kependidikan terutama para Guru dan Pengawas Pendidikan Agama Islam,
harus aktif memberi dukungan satu dengan lainnya agar pelaksanaan pembelajaran
Pendidikan Agama Islam dapat berjalan efektif, optimal dan mencapai hasil
maksimal. Untuk melihat suatu kegiatan kependidikan dan pengajaran dapat berjalan
dengan efektif hingga maksimal tersebut, salah satunya dapat dilakukan dengan
melaksanakan kegiatan kepengawasan. Guna memberi
jalan kemudahan bagi para Pengawas dalam melaksanakan tugas pokok,
fungsi dan tanggungjawabnya maka perlu di susun suatu Pedoman Pengawasan
Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Tingkat Dasar dan Menengah (SD, SMP, SMA,
dan SMK).
2.
Sekolah unggulan yang sebenarnya
dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh
pemegang otoritas pendidikan. keunggulan
akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara
optimal. Keunggulan sekolah terletak
pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas
menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di
masyarakat. Harus ada lingkungan kelas
yang hangat dan mendukung, Siswa harus selalu diminta untuk melakukan hal-hal
yang berguna, Siswa selalu diminta untuk mengerjakannya sebaik mungkin sesuai
dengan kemampuannya, Siswa diajari dan diberi kesempatan mengevaluasi pekerjaan
mereka sendiri, kemudian diminta untuk meningkatkannya, Pekerjaan yang
berkualitas selalu terasa menyenangkan, Pekerjaan berkualitas tidak pernah
bersifat merusak, Visi dan misi sekolah yang jelas, Komitmen tinggi untuk
unggul, Kepemimpinan yang mumpuni, Kesempatan untuk belajar dan pengaturan
waktu yang jelas, Lingkungan yang aman dan teratur, Hubungan yang baik antara
rumah dan sekolah, Monitoring kemajuan siswa secara berkala.
3.
Peningkatan mutu pendidikan Islam yang
berpusat pada peningkatan mutu sekolah/madarsah merupakan suatu proses yang
dinamis, berjangka panjang yang musti dilakukan secara sistematis lagi
konsisten untuk diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Peningkatan mutu
sekolah tidak bersifat instan, melainkan suatu proses yang harus dilalui dengan
sabar, tahap demi tahap, yang terukur dengan arah yang jelas dan pasti.
Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan
bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis
yang amat terkait dengan berbagai faktor atau variabel yang tidak semua dapat
dikendalikan oleh sekolah. Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran
merupakan inti dari reformasi pendidikan di negara manapun Gerakan mutu terpadu
dalam pendidikan masih tergolong baru, hanya ada sedikit literatur yang memuat
referensi tentang hal ini sebelum tahun 1980-an. Peningkatan mutu menjadi
semakin penting bagi institusi yang digunakan untuk memperoleh kontrol yang lebih
baik melalui usahanya sendiri. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan
manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan adalah; institusi pendidikan
memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi
industri jasa, yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (Customer). Manajemen pendidikan mutu
terpadu berlandaskan pada kepuasan pelanggan sebagai sasran utama, baik
pelanggan dalam (Internal Customer) maupun pelanggan luar (External Customer).
4.
TQM dalam pendidikan yaitu merubah
institusi yang mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik
dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu memuaskan
pelanggan. Beranjak dari pembahasan tersebut, dalam operasi TQM dalam
pendidikan ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan: Perbaikan Secara
Terus Menerus (Continuous Improvement),
Menentukan Standar Mutu (Quality Assurance), Perubahan Kultur (Change Of
Culture), Perubahan Organisasi (Upside- Down Organization), Mempertahankan
Hubungan Dengan Pelanggan (Keeping Close
To The Customer).
5. Banyak
masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul
dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan
(eksplisit) dan segera, strategi perubahan berbasis sekolah menjadi 3 strategi
yaitu: strategi kekuatan paksaan, dan strategi empiris rasional strategi
normatif pendidikan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Cheng,
Yin Cheong. (1996). School Effectiveness and School-Based Management.
London: Falmer Press.
Danim,
Sudarwan. (2007). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara
Ety
Rochaety, Pontjorini, dkk. (2006). Sistem Informasi Manajemen Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara
Everard
K.B, Morris, (2004) Wilson. Effective School Management. London:
Paul Chapman Pub.
Fadjar,
Malik. (1999). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Cet. 2
Hardjosoedarmo,
Soerwarso. (1999). Total Quality Management. cetakan ke 10, Yogyakarta: Andi
http://taufiknurohman25.blogspot.com,
diunduh pada Kamis, 28 Juni 2012, jam. 19.45
McLaughlin,
M.W, & Talbert, J.E.(1993, March). Contexts that matter for teaching and
learning: Strategic opportunities for meeting the nation's educational goals.
Stanford, CA: Stanford University, Center for Research On The Context of
Secondary School Teaching
Michael
Hammer dan James Champy. (1994). Reengineering the Corporation : A
Manifesto for Business Revolution.
Muhaimin
dkk. (2010). Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kecana
Mulyasa,
E. (2005). MBS: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya
Nata,
Abudin. (2008). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Edisi II. Jakarta: Prenada Media Group
Nurkholis.
(2006). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo
Poerwanegara,
Suryadi. (2002). Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT.Bumi
Aksara.
Purkey,S.
and Smith, M. (1983). Effective schools: a review. The Elementary School
Journal 83, 42
Sallis,
Edward. (2006). Total Quality Management In Education: Manajemen Mutu
Pendidikan. (Penerjemah: Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi), Cet. V, Yogyakarta:
IRCISoD
Subrata,
Surya. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta. PT.Rineka Cipta
Suyanto
dan MS. Abbas. (2001). Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. edisi
pertama, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa
Tjiptono,
Fandy dan Anastasia Diana. (2003). Total Quality Management. cet. 10, Yogyakarta:
Andi Ofset.
UNESCO
(2001) Final Report [of the] Second International Forum on Quality Improvement
in Education: Policy, Research and Innovative Practices in Improving Quality of
Education. Beijing, China, 12-15 June 2001. Bangkok: UNESCO. University Press.
Winardi.
(2006). Manajemen Perubahan. Jakarta: Kencana
Yin
Cheong Cheng. (1996). School Effectiveness and School-Based Management. London:
Falmer Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar