Rabu, 06 April 2016

Pengawasan Manajemen Mutu Pendidikan Islam”



Pengawasan Manajemen Mutu Pendidikan Islam

Oleh:  Abdulchalid Badarudin

UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
 


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pendekatan Total Quality Management adalah salah satu upaya untuk meraih nilai atau mutu yang optimal dengan melibatkan keseluruhan unsur organisasi di bawah satu visi bersama. Begitupun penerapannya pada sekolah/madrasah dalam rangka menjamin mutu Pendidikan Islam. Proses kerja yang lebih efektif dan efisien, diikuti oleh sumber daya manusia yang berkompeten dengan loyalitas dan daya juang yang tinggi, akan menghasilkan peningkatan kinerja yang berujung pada kepuasan konsumen atau stakeholder. Al-Qur’an dalam surat al-Ashr, mengingatkan kepada manusia untuk menjaga dan meningkatkan kualitas/mutu hidup dari waktu ke waktu, bahwa manajemen waktu adalah urgen bagi manusia dalam upaya menjadi manusia yang berdayaguna dan bermanfaat bagi orang lain.
Total Quality Mangement (TQM) berasal dari dunia bisnis dan khususnya dalam dunia perusahaan. Oleh karena itu, untuk memahami TQM harus merujuk pada dunia asalnya. Hal ini bukan berarti bahwa metode bisnis lebih unggul dari pada praktek pendidikan di sekolah, atau bahwa pendidikan akan bisa ditingkatkan hanya dengan mengadopsi bahasa komersial. Lebih dari itu, justru dunia bisnis dapat belajar dari metode yang diterapkan di beberapa sekolah.
Di era kontemporer, dunia pendidikan Islam dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini menuntut adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan Islam untuk meningkatkan mutu berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan Islam ini lebih populer dengan sebutan istilah "Total Quality Education (TQE)", dan di dunia pendidikan nasional dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep TQM, yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Total Quality Mangement (TQM) dalam pendidikan Islam ini mendapatkan perhatian serius dalam National Quality Servey (1991). Hal ini menunjukkan bahwa TQM dan isu-isu mutu secara umum mengundang perhatian publik. Dalam beberapa tahun terakhir, isu tersebut semakin meningkat. Masyarakat dari semua sektor pendidikan sekarang telah menunjukkan minatnya. Beberapa institusi mulai mewujudkan filosofi TQM ke dalam praktek. Perkembangan minat ini telah memberikan stimulan pada tuntutan publikasi isu-isu TQM dalam dunia pendidikan.
Salah satu masalah penting di dalam dunia pendidikan Islam adalah masih rendahnya mutu keluarannya. Indikator yang menjadi acuan untuk menguatkan pernyataan tersebut adalah nilai karakter dalam prilaku sehari-hari yang secara umum belum terlalu menggembirakan, artinya batas minimal kualitas masih rendah bandingkan negara tetangga. Upaya meningkatkan mutu pendidikan Islam telah lama diangkat oleh pemerintah sebagai salah satu kebijaksanaan pembangunan pendidikan, dengan membuat empat kebijaksanaan strategis yang terdiri atas perluasan kesempatan belajar, meningkatkan mutu pendidikan, peningkatan relevansi, serta efisiensi, dan efektivitas penyelenggara pendidikan. Kemudian mengadakan serangkaian kegiatan penataran guru, pembentukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran PAI (MGMP), didirikannya Pusat Kegiatan Guru (PKG), Lembaga Balai Penataran Guru (BPG) dan lain sebagainya. Namun tidak serta merta persoalan tersebut bisa terselesaikan.
Lalu di manakah letak kesalahannya ? Mengapa input yang begitu banyak dan berharga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produk pendidikan Islam, khususnya di Indonesia? Menurut Slamet PH (2000), sumber penyebab rendahnya kualitas pendidikan Islam tersebut adalah aspek pengelolaan atau manajemen. Secara internal hal tersebut disebabkan oleh penerapan pendekatan input-output yang keliru. Terlalu mengedepankan aspek input pada penyelesaian hampir semua kasus pendidikan Islam di sekolah. Seakan-akan mutu pendidikan Islam akan meningkat dengan sendirinya apabila sejumlah input ditambahkan. Misalnya kekurangan guru, ditambah guru, membangun laboratorium, dan seterusnya. Ada satu faktor yang terlupakan, yaitu bagaimana berbagai input tersebut dipertemukan dan berinteraksi di dalam proses belajar-mengajar.

B. Rumusan Masalah 
Rumusan masalah dalam makalah ini diuraikan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengawasan terhadap manajemen mutu Pendidikan Islam?
2.      Bagaimana konsep sekolah yang bermutu?
3.      Bagaimana hakikat peningkatan mutu madrasah/sekolah?
4.      Bagaimana implementasi TQM dalam pendidikan?
5.      Bagaimana manajemen perubahan organisasi dalam pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.      Untuk mendeskripsikan pengawasan terhadap manajemen mutu Pendidikan Islam.
2.      Untuk mengetahui konsep sekolah yang bermutu.
3.      Untuk mengidentifikasi hakikat peningkatan mutu madrasah/sekolah.
4.      Untuk mendeskripsikan implementasi TQM dalam pendidikan.
5.      Untuk mengetahui manajemen perubahan organisasi dalam pendidikan.

D. Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai sebuah harapan agar makalah ini kelak bisa berguna untuk orang banyak, selain itu ada beberapa harapan penulis tentang kegunaan penulisan makalah ini di antaranya sebagai berikut:
1.     Untuk dunia pendidikan; kiranya dapat memperluas pengetahuan pembaca tentang pengawasan terhadap manajemen mutu Pendidikan Islam, Untuk mengetahui konsep sekolah yang bermutu, Untuk mengidentifikasi hakikat peningkatan mutu madrasah/sekolah, Untuk mendeskripsikan implementasi TQM dalam pendidikan, Untuk mengetahui manajemen perubahan organisasi dalam pendidikan.
2.     Untuk penulis; digunakan untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Dosen. Selain itu penulisan makalah ini untuk memperkaya pengetahuan bagi penulis.

E.  Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sumber data dari data-data kepustakaan (penelitian literatur) yang diperoleh dari pelbagai literatur buku dan juga sumber data dari data-data yang diambil melalui media internet. Sedangkan dalam metode penulisannya, penulis menggunakan metode induktif, yakni pembahasan yang dimulai dengan mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dari fakta-fakta tersebut dicari generalisasinya (kesimpulan yang bersifat umum).

F. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir pada tulisan ilmiah ini sebagai berikut :
 

















BAB II
PEMBAHASAN


A.   Pengawasan terhadap manajemen mutu Pendidikan Islam.
Pendidikan  Nasional  yang berlandaskanfalsafah   Pancasila   dan  UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan  dan    membentuk  watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, peningkatan relevansi pendidikan dan peningkatan efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Ketika situasi Sekolah harus menerapkan keseriusan dalam melaksanakan 8 Standar Nasional Pendidikan tersebut diatas dan membutuhkan para pengelola untuk mengemban tugas-tugas edukatifnya, maka peranan Pengawas turut menentukan baik untuk peningkatan kompetensi para pengelola maupun  terhadap pengembangan program-program kependidikan tersebut.
Dalam konteks ini, pengawasan merupakan terjemahan langsung dari istilah controlling dan bukan terjemahan dari tema supervisi semata, karena sesungguhnya pelaksanaan supervisi merupakan salah satu bagian kecil dalam kegiatan controlling. Hal ini juga dikuatkan oleh PP Nomor 19 tahun 2005 pasal 23 yang menyebutkan bahwa pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) adalah meliputi: pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan.
Dalam Panduan Umum Kurikulum yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat Panduan Pengembangan Kurikulum yang diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam Standar Isi (SI)  dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Ketentuan Umum atau Panduan  Pengembangan Kurikulum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua , model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan kurikulum dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum Kurikulum yang dikembangkan BSNP. Sedangkan di dalam Ketentuan Umum atau Panduan Pengembangan Kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan kepada  peserta didik, belajar untuk:
1.        Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2.        Memahami dan menghayati,
3.        Mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
4.        Hidup bersama dan berguna untuk orang lain, 
5.        Membangun  dan   menemukan  jati  diri  melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Mengakomodasi Panduan Pengembangan Kurikulum pada point (a) tersebut diatas, Agama  memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Pendidikan agama dimaksud untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa  dan berakhlak  mulia.  Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan  dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual  ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi  yang dimiliki manusia  yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya Standar Kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan  yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri antara lain:
1.         lebih menitik-beratkan pencapaian kompetensi secara utuh selain penguasaan materi;
2.         mengakomodasi   keragaman    kebutuhan    dan    sumber  daya pendidikan yang tersedia;
3.         memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk    mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa dan akhlak, serta aktif membangun peradaban maupun keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul  dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Pendidik diharapkan mampu mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan Standar kompetensi dan Kompetensi Dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan dengan teratur. Peran semua unsur; Sekolah dan Guru Pendidikan Agama Islam, Pengawas Pendidikan Agama Islam ,Orang Tua siswa dan Masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam dalam semua tingkatan baik pada satuan Pendidikan SD, SMP, SMA maupun di SMK.
Tujuan Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) , Sekolah Menengah Atas (SMA) dan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama, yaitu:
1.         Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang  Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT;
2.         Mewujudkan manuasia Indonesia yang taat beragama  dan berakhlak mulia  yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, disiplin,toleran (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama (religious culture) dalam komunitas sekolah.
Dari tujuan yang hendak dicapai tersebut peran semua pelaku kependidikan terutama para Guru dan Pengawas Pendidikan Agama Islam, harus aktif memberi dukungan satu dengan lainnya agar pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat berjalan efektif, optimal dan mencapai hasil maksimal.
Untuk melihat suatu kegiatan kependidikan dan pengajaran dapat berjalan dengan efektif hingga maksimal tersebut, salah satunya dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan kepengawasan. Guna   memberi   jalan   kemudahan bagi para Pengawas dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggungjawabnya maka perlu di susun suatu Pedoman Pengawasan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Tingkat Dasar dan Menengah (SD, SMP, SMA, dan SMK).

B. Konsep Sekolah yang bermutu
Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan. Dalam konsep sekolah unggulan yang saat ini diterapkan, untuk menciptakan prestasi siswa yang tinggi maka harus dirancang kurikulum yang baik yang diajarkan oleh guru-guru yang berkualitas tinggi. Padahal sekolah unggulan yang sebenarnya, keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal. Berarti tenaga administrasi, pengembang kurikulum di sekolah, kepala sekolah, dan penjaga sekolah pun harus dilibatkan secara aktif. Karena semua sumber daya tersebut akan menciptakan iklim sekolah yang mempu membentuk keunggulan sekolah.
Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi. Maksudnya adalah bagaimana struktur organisasi pada sekolah itu disusun, bagaimana warga sekolah berpartisipasi, bagaimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dan bagaimana terjadinya pelimpahan dan pendelegasian wewenang yang disertai tangung jawab. Semua itu bermuara kepada kunci utama sekolah unggul adalah keunggulan dalam pelayanan kepada siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Profesor Suyanto, program kelas (baca: sekolah) unggulan di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat. Kehidupan di masyarakat tak ada yang memiliki karakteristik homogen (Kompas, 29-4-2002, h.4).

Syarat Sekolah yang bermutu
Sekolah yang berkualitas tidak lahir dengan sendirinya. Juga tidak lahir semata-mata karena fasilitas yang dimiliki. Sekolah yang berkualitas harus dibentuk dan direncanakan dengan baik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Komitmen warga sekolah dan stake holder, adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari lahirnya sebuah sekolah yang berkualitas.
Glasser, dalam bukunya yang kedua, The Quality School Teacher memberi pesan kepada kita bahwa sedikitnya ada enam syarat yang harus dipenuhi sebuah sekolah agar menjadi sekolah berkualitas. Keenam syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Harus ada lingkungan kelas yang hangat dan mendukung. Tanpa adanya jalinan yang akrab antara semua warga sekolah (guru, siswa, staf, dan karyawan lain) tidak bias dihasilkan tugas-tugas sekolah yang berkualitas, dan lebih dari semua itu harus terbangun saling percaya/kepercayaan.
b.      Siswa harus selalu diminta untuk melakukan hal-hal yang berguna. Tidak boleh ada siswa yang diminta untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal, seperti mengingat atau menghafal (secara berlebihan). Apa pun yang mereka kerjakan, harus ada manfaatnya secara praktis, estetis, intelektual, atau pun sosial.
c.       Siswa selalu diminta untuk mengerjakannya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya. Ini berarti siswa harus diberi kesempatan yang memadai untuk dapat mengerjakan tugas-tugasnya agar pekerjaannya berkualitas. Mereka sebenarnya sudah biasa diberi tugas, tetapi bukan belajar, dan hampir tidak pernah berusaha melakukan pekerjaan yang berkualitas.
d.      Siswa diajari dan diberi kesempatan mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri, kemudian diminta untuk meningkatkannya. Mengevaluasi sendiri adalah hal yang paling sulit diterapkan, tetapi penting dilakukan untuk mencapai perbaikan yang konstan dalam usaha siswa menghasilkan pekerjaan berkualitas.
e.       Pekerjaan yang berkualitas selalu terasa menyenangkan. Sungguh menyedihkan melihat sangat sedikit siswa yang merasa nyaman dalam pelajaran-pelajaran mereka sekarang. Bukan hanya siswa yang merasa senang jika mereka berhasil mengerjakan sesuatu dengan berkualitas, guru dan orangtua pun merasa senang memerhatikan proses itu.
f.       Pekerjaan berkualitas tidak pernah bersifat merusak. Tidak berkualitas namanya, jika meraih perasaan senang dengan cara memakai obat adiktif atau merugikan orang lain, makhluk hidup, benda milik orang lain, atau lingkungan.

Ciri-ciri sekolah yang bermutu
1.        Visi dan misi sekolah yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu dan memang tidak diberdayakan untuk mampu–mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan obor penerang jalan untuk maju melejit. Misalnya, “SMA berbasis komputer”, “SD berbasis kelas kecil”, “SMP berbasis IST (information system technology),” “SMK bersistem asrama,” “Aliyah dengan pengantar tiga bahasa,” dan sebagainya.Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, mengawang-awang, filosofis, dan tidak operasional.
Misi adalah dua atau tiga pernyataan sebagai operasionalisasi visi, misalnya “membangun siswa yang kreatif dan disiplin,” dan sebagainya. Walau begitu, ada prioritas yang diunggulkan dalam rentang zaman secara terencana. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.Untuk mengimplementasikan visi dan misi sekolah ada sejumlah langkah yang mesti ditempuh: (1) pahami kultur sekolah, (2) hargai profesi guru, (3) nyatakan apa yang Anda hargai, (4) perbanyak unsur yang Anda hargai, (5) lakukan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, (6) buat menu kegiatan bukan mandat, (7) gunakan birokrasi untuk memudahkan bukan untuk mempersulit, dan (8) buatlah jejaring (networking) seluas mungkin.
2.        Komitmen tinggi untuk unggul. Staf administrasi, guru, dan kepala sekolah memiliki tekad yang mendidih untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah unggul dalam segala aspek, sehingga semua siswa dapat menguasai materi pokok dalam kurikulum. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Komitmen ini adalah energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul.
3.      Kepemimpinan yang mumpuni. Kepala sekolah adalah “pemimpin dari pemimpin” bukan “pemimpin dari pengikut.” Artinya selain kepala sekolah ada pemimpin dalam lingkup kewenangannya sehingga tercipta proses pengambilan keputusan bersama (shared decision making). Komunikasi terus-menerus dilkukan antara kepala sekolah dan para guru untuk memahami budaya dan etos sekolah yang yang diimpikan lewat visi sekolah itu. Bila tidak dikomunikasikan terus-menerus, visi itu akan mati sendiri.
Guru juga adalah pemimpin dengan kualitas sebagai berikut: (1) terampil menggunakan model mengajar berdasarkan penelitian, (2) bekerja secara tim dalam merencanakan pelajaran, menilai siswa, dan dalam memecahkan masalah, (3) sebagai mentor bagi koleganya, (4) mengupayakan pembelajaran yang efisien, dan (5) berkolaborasi dengan orang tua, keluarga, dan anggota masyarakat lain demi pembelajaran siswa.
4.      Kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas. Semua guru mengetahui apa yang mesti diajarkan. Alokasi waktu yang memadai dan penjadwalan yang tepat sangat berpengaruh bagi kualitas pengajaran. Guru memanfaatkan waktu yang tersedia semaksimal mungkin demi penguasaan keterampilan azasi. Dalam hal ini perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan kurikulum dengan ketersediaan waktu. Kunci keberhasilan dalam hal ini adalah mengajar dengan niat akademik yang jelas dan siswa pun mengetahui niat itu. Mengajar yang berkualitas memiliki ciri sebagai berikut: (1) organisasi pembelajaran yang efisien, (2) tujuan yang jelas, (3) pelajaran yang terstruktur, dan (4) praktik mengajar yang adaptif dan fleksibel.
5.      Lingkungan yang aman dan teratur. Sekolah unggul bersuasana tertib, bertujuan, serius, dan terbebas dari ancaman fisik atau psikis, tidak opresif tetapi kondusif untuk belajar dan mengajar. Siswa diajari agar berperilaku aman dan tertib melalui belajar bersama (cooperative learning), menghargai kebinekaan manusiawi, serta apresiasi terhadap nilai-nilai demokratis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa suasana sekolah yang sehat berpengaruh positif terhadap produktivitas, semangat kerja, dan kepuasan guru dan siswa.
6.      Hubungan yang baik antara rumah dan sekolah. Para orang tua memahami misi dan visi sekolah. Mereka diberi kesempatan untuk berperan dalam program demi tercapainya visi dan misi tersebut. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mendidik siswa, tetapi juga orang tua sebagai anggota keluarga sekolah yang dihargai dan dilibatkan. Dengan melibatkan mereka pada kegiatan ekstra di akhir pekan (extra school) misalnya, siswa sadar bahwa orang tuanya menghargai kegiatan pendidikan, sehingga mereka pun menghargai pendidikan yang dilakoninya. Inilah contoh konkret hubungan tripatriat sekolah-siswa-orang tua. Upacara-upacara yang dihadiri orang tua sesungguhnya merupakan kesempatan untuk membangun citra sekolah dan untuk merayakan visi dan misi. Singkatnya, sekolah unggul membangun “kepercayaan” dan silaturahmi sehingga masing-masing memiliki nawaitu tinggi untuk melejitkan prestasi.
7.      Monitoring kemajuan siswa secara berkala. Kemajuan siswa dimonitor terus- menerus dan hasil monitoring itu dipergunakan untuk memperbaiki perilaku dan performansi siswa dan untuk memperbaiki kurikulum secara keseluruhan. Penggunaan teknologi, khususnya komputer memudahkan dokumentasi hasil monitoring secara terus- menerus.
Evaluasi penguasaan materi pelajaran secara perlahan bergeser dari tes baku (standardized norm-referenced paper-pencil test) menuju tes berdasar kurikulum dan berdasar kriteria (curricular-based, criterion-referenced). Dengan kata lain, evaluasi akan lebih berfokus pada performansi dan dokumentasi prestasi siswa sebagaimana terakumulasi dalam portofolio. Dokumentasi prestasi ini bukan hanya untuk guru, tetapi juga untuk dikomunikasikan kepada orang tua. Sekolah sebagai sistem juga dimonitor secara berkelanjutan. Artinya sekolah tidak hanya terampil memonitor kemajuan siswa, tetapi juga siap mengevaluasi dirinya sendiri. Hasil evaluasi diri ini merupakan bahan bagi pihak lain (external evaluators) untuk mengevaluasi kinerja sekolah itu. Inilah makna akuntabilitas publik. Sekolah harus mengagendakan program rujuk mutu (benchmarking) kepada sekolah lain, sehingga sadar akan kelebihan dan kekurangan sendiri.

Model sekolah unggul seperti digambarkan di atas akan berwujud bila sekolah tidak eksklusif bak menara gading, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat disumbangkan pada sekolah. Dalam era reformasi tetapi juga dalam keterpurukan ekonomi sekarang ini, kita merasakan keterbatasan dana dan menyaksikan tuntutan yang semakin tinggi akan adanya otonomi sekolah, akuntabilitas publik dan tranparansi, serta adanya harapan besar dari orang tua. Bila ketujuh ayat di atas dilaksanakan, pendidikan yang diselenggarakan sekolah akan berdampak dahsyat pada pembentukan manusia kapital di tanah air.

Restrukturisasi Sekolah bermutu.
Sekarang ini masih banyak sekolah yang mengaku seklah yang bermutu namun masih menerapkan konsep sekolah yang tidak bermutu. Maka konsep sekolah bermutu yang tidak unggul ini harus segera direstrukturisasi. Restrukturisasi sekolah bermutu yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
1.         Program sekolah unggulan tidak perlu memisahkan antara anak yang memiliki bakat keunggulan dengan anak yang tidak memiliki bakat keunggulan. Kelas harus dibuat heterogen sehingga anak yang memiliki bakat keunggulan bisa bergaul dan bersosialisasi dengan semua orang dari tingkatan dan latar berlakang yang beraneka ragam. Pelaksanaan pembelajaran harus menyatu dengan kelas biasa, hanya saja siswa yang memiliki bakat keunggulan tertentu disalurkan dan dikembangkan bersama-sama dengan anak yang memiliki bakat keunggulan serupa. Misalnya anak yang memiliki bakat keunggulan seni tetap masuk dalam kelas reguler, namun diberi pengayaan pelajaran seni.
2.         Dasar pemilihan keunggulan tidak hanya didasarkan pada kemampuan intelegensi dalam lingkup sempit yang berupa kemampuan logika-matematika seperti yang diwujudkan dalam test IQ. Keunggulan seseorang dapat dijaring melalui berbagai keberbakatan seperti yanag hingga kini dikenal adanya 8 macam.
3.         Sekolah unggulan jangan hanya menjaring anak yang kaya saja tetapi menjaring semua anak yang memiliki bakat keunggulan dari semua kalangan. Berbagai sekolah unggulan yang dikembangkan di Amerika justru untuk membela kalangan miskin. Misalnya Effectif School yang dikembangkan awal 1980-an oleh Ronald Edmonds di Harvard University adalah untuk membela anak dari kalangan miskin karena prestasinya tak kalah dengan anak kaya. Demikian pula dengan School Development Program yang dikembangkan oleh James Comer ditujukan untuk meningkatkan pendidikan bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin. Accellerated School yang diciptakan oleh Henry Levin dari Standford University juga memfokuskan untuk memacu prestasi yang tinggi pada siswa kurang beruntung atau siswa beresiko. Essential school yang diciptakan oleh Theodore Sizer dari Brown University, ditujukan untuk memenuhi kebutuhan siswa kurang mampu.
4.         Sekolah unggulan harus memiliki model manajemen sekolah yang unggul yaitu yang melibatkan partisipasi semua stakeholder sekolah, memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki budaya sekolah yang kuat, mengutamakan pelayanan pada siswa, menghargasi prestasi setiap siswa berdasar kondisinya masing-masing, terpenuhinya harapan siswa dan berbagai pihak terkait dengan memuaskan. Itu semua akan tercapai apabila pengelolaan sekolah telah mandiri di atas pundak sekolah sendiri bukan ditentukan oleh birokrasi yang lebih tinggi. Saat ini amat tepat untuk mengembangkan sekolah unggulan karena terdapat dua suprastruktur yang mendukung. Pertama, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana pendidikan termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Dengan adanya kedekatan birokrasi antara sekolah dengan Kabupaten/Kota diharapkan perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan sekolah unggulan semakin serius.
5.      Adanya UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 yang didalamnya memuat bahwa salah satu program pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah terwujudnya pendidikan berbasis masyarakat/sekolah. Melalui pendidikan berbasis masyarakat/sekolah inilah warga sekolah akan memiliki kekuasaan penuh dalam mengelola sekolah. Setiap sekolah akan menjadi sekolah unggulan apabila diberi wewenang untuk mengelola dirinya sendiri dan diberi  tanggung jawab penuh. Selama sekolah-sekolah hanya dijadikan alat oleh birokrasi di atasnya (baca: dinas pendidikan) maka sekolah tidak akan pernah menjadi sekolah unggulan. Bisa saja semua sekolah menjadi sekolah unggulan yang berbeda-beda berdasarkan pontensi dan kebutuhan warganya. Apabila semua sekolah telah menjadi sekolah unggulan maka tidak sulit bagi negeri ini untuk bangkit dari keterpurukannya.

Kerangka Kerja dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut :
1.         Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk :
Memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, Pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan Pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
2.         Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
3.         Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
4.         Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otoritas pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.

C. Hakekat Peningkatan Mutu Madrasah/Sekokah
Hampir semua bangsa-bangsa negara di dunia ini terus melakukan proses untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam di negara masing-masing. Sebab kunci masa depan suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan sistem pendidikan yang berkualitas, yang ditunjukkan oleh keberadaan sekolah-sekolah yang berkualitas pula. Sebagaimana dikatakan Khursid Khan (dalam Muhaimin dkk) bahwa: of all the problem that confront the muslim world today the educational problem is the most challenging. The future of the muslim world will depend upon the way it responds to this challenge. Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan itu.
Peningkatan mutu pendidikan Islam yang berpusat pada peningkatan mutu sekolah/madarsah merupakan suatu proses yang dinamis, berjangka panjang yang musti dilakukan secara sistematis lagi konsisten untuk diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Peningkatan mutu sekolah tidak bersifat instan, melainkan suatu proses yang harus dilalui dengan sabar, tahap demi tahap, yang terukur dengan arah yang jelas dan pasti. Dalam peningkatan mutu sekolah tidak dikenal sesuatu yang gampang segampang teori, seperti yang disitir oleh Kurt Lewin: “There is nothing to practical as good as a theory”. Pendapat ini berarti pula, bahwa tidak mungkin ada peningkatan mutu sekolah tanpa didasari oleh suatu teori. Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis yang amat terkait dengan berbagai faktor atau variabel yang tidak semua dapat dikendalikan oleh sekolah.
Peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-skill, art, dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah.
Pembelajaran adalah proses yang kompleks rumit dimana berbagai variable saling berinteraksi. Banyak variable dalam proses interaksi antara guru dan siswa berkaitan dengan suatu materi tertentu yang tidak dapat dikendalikan secara pasti. Terdapat keterkaitan berbagai yang sulit untuk diindentifikasi mana yang mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi. Hasil pembelajaran tidak bisa diestimasi secara matematis, pasti. Anak yang kecapekan atau kurang gizi atau memiliki persoalan pribadi jelas akan mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Demikian pula kemiskinan dan kondisi keluarga akan berpengaruh. Siswa yang memiliki motivasi dan yang tidaki memiliki akan berbeda dalam kaitan dengan proses dan hasil pembelajaran. Dengan singkat, apa pengaruh eksternal dan internal dalam diri siswa yang akan mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran, tidak semua pengaruh tersebut dapat dikendalikan oleh kepala sekolah dan guru.
Sebagai suatu proses interaksi antara siswa dan guru berkaitan dengan materi tertentu, maka tidak hanya kondisi siswa yang berpengaruh, tetapi juga kondisi guru tidak kalah pentingnya mempengaruhi kualitas pembelajaran. Pepatah mengatakan, “kalau ingin melihat prestasi siswa lihatlah kualitas gurunya”. Kondisi guru yang bervariasi berarti kualitas dan hasil pembelajaran juga akan bervariasi. Semakin tinggi kesenjangan kualitas guru, semakin tinggi kesenjangan prestasi siswa. Kualitas interaksi juga dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas fasilitas, termasuk kurikulum yang dipergunakan.
Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di negara manapun. Hal disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah yang memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung pada kualitas pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam penelitian tentang sekolah efektif, kerja guru dan pembelajaran, retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan, “apabila ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas sekolah sebagai satu kesatuan dimana pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan”.
Dalam kaitan dengan peningkatan mutu, pengalaman menunjukan terdapat berbagai model yang dilaksanakan yang mencakup berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu. Seperti model UNESCO, Model Bank Dunia, Model Orde Baru dan Model Orde Reformasi. Sebagai lembaga internasional yang bergerak di bidang budaya dan pendidikan, UNESCO banyak memberikan perhatian dan berupaya mendorong peningkatan mutu sekolah di banyak negara, khususnya negara-negara sedang berkembang. Setiap tahun UNESCO kantor Asia & Pasifik bekerjasama pemerintah China dan Thailand secara bergantian menyelenggarakan seminar innovasi pendidikan yang difokuskan pada peningkatan mutu sekolah. UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain:
1.       Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”.
2.       Pilar kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
3.       Menetapkan standar pendidikan dengan indikator yang jelas.
4.       Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5.       Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah.
6.       Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru.
7.       Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8.       Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9.       Melaksanakan Quality Assurance.
Sedangkan untuk meningkatkan mutu sekolah seperti dapat menggunakan yang sebagaimana disarankan oleh Sudarwan Danim yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan :
1.       Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
2.       Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa.
3.       Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
4.       Kurikulum; adanya kurikulum yang tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara maksimal;
5.       Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan / instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja.
Berdasarkan pendapat di atas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork) yangn saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals ) akan tercipta dengan baik.
Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu.
Gerakan mutu terpadu dalam pendidikan masih tergolong baru, hanya ada sedikit literatur yang memuat referensi tentang hal ini sebelum tahun 1980-an. Inisiatif untuk menerapkan metode ini berkembang lebih dahulu di Amerika baru kemudian di Inggris, namun baru di awal 1990-an kedua negara tersebut betul-betul dilanda gelombang metode ini. Ada banyak gagasan yang dihubungkan dengan mutu juga dikembangkan dengan baik oleh institusi-institusi pendidikan tinggi dan gagasan-gagasan mutu tersebut terus menerus diteliti dan diimplementasikan di sekolah-sekolah.
Peningkatan mutu menjadi semakin penting bagi institusi yang digunakan untuk memperoleh kontrol yang lebih baik melalui usahanya sendiri. Institusi-institusi harus mendemonstrasikan bahwa mereka mampu memberikan pendidikan yang bermutu pada peserta didik. Bagi setiap institusi, mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang paling penting. Walaupun demikian, sebagian orang ada yang menganggap mutu sebagai sebuah konsep yang penuh dengan teka-teki. Mutu dianggap sebagai suatu hal yang membingungkan dan sulit untuk diukur. Mutu dalam pandangan seseorang terkadang berbeda dengan mutu dalam pandangan orang lain. Sehingga tidak aneh jika ada dua pakar yang tidak memiliki kesimpulan yang sama tentang bagaimana cara menciptakan institusi yang baik.
Seseorang bisa mengetahui mutu ketika mengalaminya, tetapi tetap merasa kesulitan ketika ia mencoba mendeskripsikan dan menjelaskannya. Satu hal yang bisa diyakini adalah mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin perkembangan sekolah dan meraih status di tengah-tengah persaingan dunia pendidikan yang kian keras.
Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan adalah; institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa, yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (Customer). Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang bermutu dan memberikan kepuasan kepada mereka. Maka pada saat itulah dibutuhkan suatu sistem manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan agar lebih bermutu.
Manajemen pendidikan mutu terpadu berlandaskan pada kepuasan pelanggan sebagai sasran utama, baik pelanggan dalam (Internal Customer) maupun pelanggan luar (External Customer). Dalam dunia pendidikan, yang termasuk pelanggan dalam adalah penglola institusi pendidikan, guru, staff, dan penyelenggara institusi. Sedangkan pelanggan luar adalah masyarakat, pemerintah dan dunia industri. Jadi suatu institusi pendidikan disebut bermutu apabila antara pelanggan internal dan eksternal telah terjalin kupuasan atas jasa yang diberikan.

D. Implementasi TQM Dalam Pendidikan
Sesuai dengan tujuan TQM dalam pendidikan yaitu merubah institusi yang mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu memuaskan pelanggan. Beranjak dari pembahasan tersebut, dalam operasi TQM dalam pendidikan ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan:
1.     Perbaikan Secara Terus Menerus (Continuous Improvement).
Konsep ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan secara terus menerus untuk menjamin semua komponen penyelenggara pendidikan telah mencapai standar mutu yang diterapkan.

2.     Menentukan Standar Mutu (Quality Assurance)
Paham ini digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan institusi pendidikan.
3.     Perubahan Kultur (Change Of Culture)
Konsep ini bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional.
4.     Perubahan Organisasi (Upside- Down Organization)
Jika visi dan misi, serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi. Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja dan kepegawaian dalam organisasi, yang menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggung jawab.
5.     Mempertahankan Hubungan Dengan Pelanggan (Keeping Close To The Customer).
Karena organisasi pendidikan menghendaki kepuasan pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat penting. Dan inilah yang dikembangkan dalam unit Public Relation. Keberhasilan penerapan manajemen mutu terpadu tersebut memang tidak mudah, diperlukan komitmen dan kerja sama yang baik antara departemen terkait, antara departemen pusat dengan departemen daerah serta institusi pendidikan setempat sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya kejelasan secara sistemik dalam memberi kewenangan antar institusi terkait. Jika manajemen ini diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan segala dinamika dan fleksibelitasnya, maka akan menjadi perubahan yang cukup efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu dan mutu pendidikan nasional.
Mutu terpadu (Total Quality) membutuhkan manajer yang mampu mengesampingkan sejenak keuntungan jangka pendek dan menetapkan tujuan keberhasilan jangka panjang. Untuk tetap terdepan dalam kompetisi, sebuah organisasi harus mengetahui kebutuhan pelanggan, kemudian menyatukan pikiran untuk bertindak memenuhi kebutuhan mereka.
E. Manajemen Perubahan Organisasi Dalam Pendidikan
Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan.  Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya.
Whiteside (1978), Schermerhorn, Hunt, Osborn (1982), Bennis, Benne, Chin, dan Corey (1969) membagi strategi perubahan berbasis sekolah menjadi 3 strategi yaitu:
1.     Strategi kekuatan paksaan
Strategi ini menggunakan kekuatan, penghargaan, dan hukuman sebagai kekuatan perubahan berbasis sekolah. Asumsi ini menganggap bahwa sifat masyarakat sekolah adalah sebagai orang ekonomi. Fokus dari perubahan ini adalah keterbukaan sikap masyarakat sekolah. Manajemen perubahan mengutamakan pendekatan atas ke bawah yang tergantung pada kewenangan atau perintah agen perubah. Pengaruh hasil dari perubahan ini hanya berlangsung jangka pendek. Hal itu mungkin hanya bisa digunakan untuk perubahan teknologi bukan untuk perubahan budaya. 
2.     Strategi empiris rasional
Strategi ini menganggap bahwa masyarakat sekolah adalah orang yang rasional. Hal itu digunakan sebagai kekuatan perubahan berbasis sekolah dan menempatkan fokus perubahan pada perubahan kognitif masyarakat sekolah. Manajemen perubahan menekankan pada ajakan rasional dan empiris untuk menunjukkan nilai dari perubahan sekolah. Jika strategi ini berhasil, pengaruh akan dipertahankan untuk jangka panjang. Strategi ini sesuai untuk perubahan budaya dan teknologi di sekolah.
3.     Strategi normatif pendidikan
Strategi ini menganggap bahwa masyarakat sekolah menjadi mitra kerjasama di dalam fungsi sekolah. Dasar yang digunakan untuk perubahan berbasis sekolah mengutamakan kekuatan dan pengaruh personal sebagai agen perubah. Fokus perubahan ini adalah perubahan afektif masyarakat sekolah. Norma, misi sekolah, nilai dan kepercayaan terhadap sekolah menjadi peran penting untuk mendukung perubahan. Manajemen perubahan mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan perubahan. Karena para anggota sekolah benar-benar terlibat dan berkomitmen dalam perubahan, efek perubahan atau hasil dapat diinternalisasikan dan diabadikan secara jangka panjang. Strategi ini sesuai digunakan untuk perubahan budaya.
Pembaharuan terjadi dimana-mana. Pembaharuan dan kata sejenis seperti kata “perkembangan”, “perbaikan”, “evolusi” dan “pengembangan” merupakan beberapa bentuk  konsep modern. Beberapa teori percaya bahwa maksud dari pembaharuan telah  kehilangan makna pentingnya pada akhir-akhir ini. Akan tetapi hasil analisis lebih  lanjut, membantah dan dilihat sebagai intensifikasi, percepatan dan peningkatan kompleksitas proses pembaharuan. Pada tahun 1990-an gagasan pembaharuan, inovasi, reform, pengembangan, perbaikan dan sebagainya kembali diperbincangkan dalam pendidikan, Perbincangan tersebut terjadi pada sekolah negeri, pendidikan guru, metode pengajaran, penilik sekolah, dan evaluasi keuangan sekolah.
Dan berkaitan dengan perubahan organisasi dalam sekolah/pendidikan paling tidak ada beberapa alasan pokok yang menuntut terjadinya perubahan kebijakan dalam pengelolaan sekolah tersebut, antara lain:
1.      Tuntutan masyarakat terhadap sekolah
Semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan dating. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
2.      Perkembangan kebijakan politik sentralisasi dan desentralisasi
Perubahan suasana sosial politik di Indonesia yang muncul dari adanya krisis ekonomi kemudian berkembang menjadi krisis sosial politik berimplikasi kepada perubahan dalalm berbagai bidang antara lain bidang pendidikan. Isu sentralisasi dan desentralisasi yang sebelumnya telah dimunculkan sebagai upaya pemberdayaan daerah telah semakin menguat  terdorong oleh suasana perubahan politik kenegaraan semakin diyakini bahwa salah satu upaya penting yang harus dilakukan dalam peningkatan kualitas pendidikan, adalah dengan pemberdayaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang intinya memberikan kewenangan (delegation of outhority) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan (Quality continous improvement).
Untuk mengembangkan manajemen/perubahan organisasi suatu lembaga pendidikan yang berkualitas subtansi manajemen pengembangan lembaga pendidikan yang harus diperhatikan dan bidang yang harus dirubah, antara lain:
1.     Kurikulum dan Pembelajaran
Kurikulum dan pembelajaran merupakan salah satu elemen yang terdapat dalam pendidikan. Keduanya saling mendukung satu sama lainnya. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Islam Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dalam kurikulum terdapat prinsip kolektivitas tim, yang mana ini menuntut kerjasama satu sama lainnya. Selain itu, kurikulum pula tempat mengejewatahkan nilai, ide dan pembelajaran serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dari kurikulum inilah akan diketahui arah pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan. Sedangkan pembelajaran menjadi tiang dalam kurikulum. Pembelajaran yang diterapkan dalam lembaga pendidikan itu sangat berpengaruh bagi psikis siswa. Dalam teori ilmu pendidikan modern ataupun ilmu pendidikan Islam berbagai macam model pembelajaran pilihan yang harus diterapkan oleh pendidik. Seperti model pembelajaran kooperatif, kuantum, pembelajaran dengan membacakan kisah-kisah, tematik dan lain sebagainya. Kesemuanya itu bermuara pada satu tujuan yakni bagaimana membuat murid itu senang, nyaman dan menikmati pembelajaran yang disajikan. Dengan begitu dalam pembelajran semakin mudah dimengerti dengan materi yang diajarkan.
2.     Personalia
Dalam lembaga pendidikan, personalia (sumber daya manusia) terlebih kepala sekolah/madrah memiliki peran vital. Sebagai puncak pimpinan tertinggi dan penanggung jawab pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah/madrasah, ia memiliki peran sentral dalam pengelolaan personalia. Beberapa prinsip dasar manajemen personalia, yang dijadikan pedoman kepala sekolah/madrasah adalah:
a.       Dalam mengembangkan sekolah/madrasah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga;
b.      Sumber daya manusia akan berperan secara optimal, jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tercapainya tujuan institusi;
c.       Kultur dan suasana organisai/sekolah, serta perilaku manajerialnya sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan pengembangan madrasah.
d.      Manajemen personalia di sekolah/madrasah pada prinsipnya mengupaya kan agar setiap warga (guru, staf administrasi, peserta didik, serta orang tua, dan stakeholders) dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah.
3.     Peserta didik
Suryasubrata memberi batasan defenisi manajemen peserta didik, sebagai berikut: Manajemen peserta didik menunjuk pada pekerjaan-pekerjaan atau kegiatan-kegiatan pencatan murid, semenjak dari proses penerimaan sampai saat murid meninggalkan sekolah/madrasah, karena sudah tamat mengiktui pendidikan pada sekolah/madrasah itu.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa manajemen peserta didik adalah upaya penataan peserta didik. Mulai dari mereka masuk hingga lulus. Manajemen peserta didik termasuk salah satu bagian dari manajemen pendidikan secara keseluruhan. Manajemen peserta didik menempati posisi yang sangat penting, karena yang sentral di sekolah adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah, diarahkan agar peserta didik mendapat layanan pendidikan yang baik dan tercipta suasana belajar yang kondusif.
4.     Administrasi Sekolah/Madrasah
Secara terminologis adalah suatu kegiatan atau proses, terutama mengenai cara-cara (alat-alat) sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Administrasi dalam perspektif manajemen, dipandang mempunyai peran penting sebagai “prevoyange” atau kemampuan melihat masa depan. Hal ini berarti administrasi dinilai mampu melihat keadaan masa yang akan datang dan mempunyai kesiapan untuk menghadapinya. Dalam manajemen administrasi terdapat yang Tata Usaha, adapun pekerjaan mereka ke dalam tiga kelompok, antara lain: pembukuan, surat-menyurat dan sarana dan prasarana.
5.     Sarana dan Prasarana
Manajemen sarana prasarana adalah suatu kegiatan bagaimana mengatur dan mengelola sarana dan prasarana pendidikan secara efesien dan efektif dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Tim Pakar Manajemen Universitas Negeri Malang, manajemen sarana prasarana pendidikan adalah proses kerjasama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efesien.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan pada dasarnya bertujuan:
a.       meciptakan sekolah/madrasah yang rapi, bersih, indah sehingga menyenangkan bagi masyarakat sekolah/madrasah,
b.       tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, baik secara kualitatif maupun kualitatif dan relevan dengan kepentingan pendidikan.
6.     Keuangan
Manajemen keuangan atau pembiayaan merupakan serangkaian kegiatan perencanaan, melaksanakan, mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam manajemen pendidikan, masalah dana merupakan potensi yang sangat menentukan dan tidak bisa dipisahkan dari kajian manajemen pendidikan. Adapun biaya adalah keseluruhan dana baik secara langsung maupun tidak langsung yang diperoleh dari berbagai sumber.
7.     Hubungan Masyrakat
Berfungsi sebagai pencitraan sekolah atau lembaga pendidikan. Humas itu sendiri merupakan fungsi manajemen yang diadakan untuk menilai dan menyimpulkan sikap-sikap publik, menyesuaikan kebijakan dan prosedur instansi atau organisasi untuk mendapatkan pengertian dan dukungan dari masyarakat. Setiap perubahan akan memengaruhi siapapun, apakah dia pihak manajemen ataukah anggota organisasi. Perubahan bisa ditanggapi secara positif ataukah negatif bergantung pada jenis dan derajat perubahan itu sendiri. Ditanggapi secara negatif atau dalam bentuk penolakan kalau perubahan yang terjadi dinilai merugikan diri manajemen dan anggota organisasi. Sementara kalau perubahan itu terjadi pada inovasi proses perbaikan mutu maka perubahan yang timbul pada manajemen dan anggota organisasi adalah dalam hal pengetahuan, sikap dan ketrampilan mengoperasikan teknologi baru. Kalau itu terjadi pada perubahan motivasi anggota organisasi staf dalam suatu tim kerja maka perubahan yang semestinya terjadi adalah terjadinya perubahan manajemen mutu sumberdaya manusia. Itu semua tanggapan positif atas terjadinya perubahan.
Untuk mencapai keberhasilan suatu program perubahan maka setiap orang harus siap dan mampu merubah perilakunya. Hal ini sangat bergantung pada apa yang mempengaruhi perilaku dan apa pula yang mendorong seseorang untuk berubah. Faktor-faktor internal yang diduga mempengaruhi perilaku meliputi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan/keyakinan, lingkungan dan visi organisasi. Sementara faktor-faktor  pendorong seseorang untuk berubah adalah kesempatan memperoleh keuntungan nyata atau menghindari terjadinya kerugian pribadi.
Beragam Faktor Mempengaruhi Perubahan perilaku  dimaksud diuraikan sebagai berikut.
1.    Pengetahuan
Pengetahuan merupakan unsur pokok bagi setiap anggota organisasi untuk merubah perilakunya dalam mengerjakan sesuatu. Semakin tinggi tingkat pengetahuan anggota organisasi semakin mudah dia untuk mengikuti perubahan sesuai dengan tugasnya. Karena itu pengetahuan ditempatkan secara strategis sebagai salah satu syarat penting bagi kemajuan perilaku anggota organisasi. Anggota organisasi yang hanya menggunakan pengetahuan yang sekedarnya akan semakin tertinggal kinerjanya dibanding anggota organisasi yang selalu menambah pengetahuannya yang baru.
2.    Ketrampilan
Ketrampilan, baik fisik maupun non-fisik, merupakan kemampuan seseorang yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan baru. Ketrampilan fisik dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan fisik, misalnya mengoperasikan komputer, mesin produksi dsb. Ketrampilan non-fisik dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang sudah jadi. Misalnya kemampuan memimpin rapat, membangun komunikasi, dan mengelola hubungan dengan para pelanggan secara efektif. Jadi disitu terdapat hubungan antara proses dan ketrampilan komunikasi antarpersonal. Ketrampilan lebih sulit untuk diubah atau dikembangkan ketimbang pengetahuan.
Perubahan ketrampilan sangat terkait dengan pola perilaku naluri (instink). Proses perubahan respon instink anggota organisasi membutuhkan waktu relatif cukup panjang karena faktor kebiasaan apalagi budaya tidak mudah untuk diubah. Misalnya anggota organisasi yang biasanya bertanya pada anggota organisasi dengan ucapan “apa yang manajer inginkan” (kurang sopan) sulit untuk segera berubah menjadi ucapan”apa yang dapat saya kerjakan untuk manajer” atau “bolehkah saya membantu manajer” (lebih sopan).
3.    Kepercayaan
Kepercayaan anggota organisasi menentukan sikapnya dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk mengerjakan sesuatu. Boleh jadi anggota organisasi diberikan pengetahuan dan ketrampilan baru dengan cara berbeda. Namun hal itu dipengaruhi oleh kepercayaan yang dimilikinya apakah pengetahuan dan ketrampilan yang diterimanya akan berguna atau tidak. Dengan kata lain suatu kepercayaan relatif sulit untuk diubah. Jadi kalau  ingin melatih anggota organisasi harus diketahui dahulu kepercayaan yang dimiliki anggota organisasi sekurang-kurangnya tentang aspek persepsi dari kegunaan suatu pelatihan.
4.    Lingkungan
Suatu lingkungan organisasi mempengaruhi perilaku anggota organisasi apakah melalui pemberian penghargaan atas perilaku yang diinginkan ataukah dengan mengoreksi perilaku yang tidak diinginkan. Lingkungan organisasi seperti keteladanan pimpinan dan model kepemimpinan serta masa depan organisasi yang cerah akan berpengaruh pada derajat dan mutu perubahan perilaku anggota organisasi. “Apa yang organisasi berikan pada anggota organisasi dan apa pula yang organisasi dapatkan”. Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh apa yang bisa diberikan organisasi kepada anggota organisasinya. Semakin tinggi kadar insentif yang diberikan semakin efektif terjadinya perubahan perilaku anggota organisasinya. Sebaliknya organisasi yang tidak efektif  atau gagal  cenderung akan menciptakan perubahan perilaku yang juga tidak efektif.
5.    Tujuan organisasi
Tujuan organisasi ditentukan oleh kepercayan kolektif dari para pimpinan organisasi dan ini menciptakan lingkungan tertentu. Selain itu tujuan merupakan turunan dari visi masa depan dan sistem nilai organisasi. Pemimpin organisasi yang memiliki visi dan tujuan yang jelas akan menciptakan lingkungan yang mendorong perilaku produktif. Sebaliknya hanya akan menciptakan kebingungan di kalangan anggota organisasi.

Kombinasi dari lima faktor di atas menentukan keefektifan suatu perubahan perilaku anggota organisasi. Dengan pengembangan pengetahuan yang ada anggota organisasi semakin mengetahui atau memahami apa yang dibutuhkan untuk mampu mengerjakan pekerjaannya. Ketrampilan dalam bentuk kemampuan fisik dan non-fisik dibutuhkan agar anggota organisasi mampu mengerjakan pekerjaan yang baru. Kepercayaan menentukan apakah anggota organisasi akan menggunakan ketrampilan dan teknik barunya dalam praktek. Sementara lingkungan organisasi akan menciptakan tujuan organisasi dalam merumuskan standar apa yang bisa diterimanya. Tujuan organisasi itu sendiri ditentukan oleh visi organisasi dan dapat menciptakan lingkungan baru. Selain itu bisa jadi faktor pengaruh menguatnya kecerdasan emosional dan spiritual dari anggota organisasi akan membantu organisasi lebih siap dalam mengelola perubahan.
















BAB III
KESIMPULAN


1.    Semua pelaku kependidikan terutama para Guru dan Pengawas Pendidikan Agama Islam, harus aktif memberi dukungan satu dengan lainnya agar pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat berjalan efektif, optimal dan mencapai hasil maksimal. Untuk melihat suatu kegiatan kependidikan dan pengajaran dapat berjalan dengan efektif hingga maksimal tersebut, salah satunya dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan kepengawasan. Guna   memberi   jalan   kemudahan bagi para Pengawas dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggungjawabnya maka perlu di susun suatu Pedoman Pengawasan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Tingkat Dasar dan Menengah (SD, SMP, SMA, dan SMK).
2.    Sekolah unggulan yang sebenarnya dibangun secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah, bukan hanya oleh pemegang otoritas pendidikan.  keunggulan akan dapat dicapai apabila seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan secara optimal.  Keunggulan sekolah terletak pada bagaimana cara sekolah merancang-bangun sekolah sebagai organisasi.  Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat.  Harus ada lingkungan kelas yang hangat dan mendukung, Siswa harus selalu diminta untuk melakukan hal-hal yang berguna, Siswa selalu diminta untuk mengerjakannya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya, Siswa diajari dan diberi kesempatan mengevaluasi pekerjaan mereka sendiri, kemudian diminta untuk meningkatkannya, Pekerjaan yang berkualitas selalu terasa menyenangkan, Pekerjaan berkualitas tidak pernah bersifat merusak, Visi dan misi sekolah yang jelas, Komitmen tinggi untuk unggul, Kepemimpinan yang mumpuni, Kesempatan untuk belajar dan pengaturan waktu yang jelas, Lingkungan yang aman dan teratur, Hubungan yang baik antara rumah dan sekolah, Monitoring kemajuan siswa secara berkala.
3.    Peningkatan mutu pendidikan Islam yang berpusat pada peningkatan mutu sekolah/madarsah merupakan suatu proses yang dinamis, berjangka panjang yang musti dilakukan secara sistematis lagi konsisten untuk diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Peningkatan mutu sekolah tidak bersifat instan, melainkan suatu proses yang harus dilalui dengan sabar, tahap demi tahap, yang terukur dengan arah yang jelas dan pasti. Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis yang amat terkait dengan berbagai faktor atau variabel yang tidak semua dapat dikendalikan oleh sekolah. Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di negara manapun Gerakan mutu terpadu dalam pendidikan masih tergolong baru, hanya ada sedikit literatur yang memuat referensi tentang hal ini sebelum tahun 1980-an. Peningkatan mutu menjadi semakin penting bagi institusi yang digunakan untuk memperoleh kontrol yang lebih baik melalui usahanya sendiri. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan adalah; institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa, yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (Customer). Manajemen pendidikan mutu terpadu berlandaskan pada kepuasan pelanggan sebagai sasran utama, baik pelanggan dalam (Internal Customer) maupun pelanggan luar (External Customer).
4.    TQM dalam pendidikan yaitu merubah institusi yang mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu memuaskan pelanggan. Beranjak dari pembahasan tersebut, dalam operasi TQM dalam pendidikan ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan: Perbaikan Secara Terus Menerus (Continuous Improvement),  Menentukan Standar Mutu (Quality Assurance), Perubahan Kultur (Change Of Culture), Perubahan Organisasi (Upside- Down Organization), Mempertahankan Hubungan Dengan Pelanggan (Keeping Close To The Customer).
5.    Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan.  Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, strategi perubahan berbasis sekolah menjadi 3 strategi yaitu: strategi kekuatan paksaan, dan strategi empiris rasional strategi normatif pendidikan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN



Cheng, Yin Cheong. (1996).  School Effectiveness and School-Based Management. London: Falmer Press.

Danim, Sudarwan. (2007). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara

Ety Rochaety, Pontjorini, dkk. (2006). Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Everard K.B, Morris, (2004) Wilson. Effective School Management. London: Paul   Chapman Pub.

Fadjar, Malik. (1999). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Cet. 2

Hardjosoedarmo, Soerwarso. (1999). Total Quality Management. cetakan ke 10, Yogyakarta: Andi

http://taufiknurohman25.blogspot.com, diunduh pada Kamis, 28 Juni 2012, jam. 19.45

McLaughlin, M.W, & Talbert, J.E.(1993, March). Contexts that matter for teaching and learning: Strategic opportunities for meeting the nation's educational goals. Stanford, CA: Stanford University, Center for Research On The Context of Secondary School Teaching

Michael Hammer dan James Champy. (1994).  Reengineering the Corporation : A Manifesto for Business Revolution.

Muhaimin dkk. (2010). Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kecana

Mulyasa, E. (2005).  MBS: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya

Nata, Abudin. (2008). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Edisi II. Jakarta: Prenada Media Group

Nurkholis. (2006). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo

Poerwanegara, Suryadi. (2002). Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Purkey,S. and Smith, M. (1983). Effective schools: a review. The Elementary School Journal 83, 42

Sallis, Edward. (2006). Total Quality Management In Education: Manajemen Mutu Pendidikan. (Penerjemah: Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi), Cet. V, Yogyakarta: IRCISoD

Subrata, Surya. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta. PT.Rineka Cipta

Suyanto dan MS. Abbas. (2001). Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. edisi pertama, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa

Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. (2003). Total Quality Management. cet. 10, Yogyakarta: Andi Ofset.

UNESCO (2001) Final Report [of the] Second International Forum on Quality Improvement in Education: Policy, Research and Innovative Practices in Improving Quality of Education. Beijing, China, 12-15 June 2001. Bangkok: UNESCO. University Press.

Winardi. (2006). Manajemen Perubahan. Jakarta: Kencana

Yin Cheong Cheng. (1996). School Effectiveness and School-Based Management. London: Falmer Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar