Rabu, 06 April 2016

PELAKSANAAN SUPERVISI PEMBELAJARAN PENDEKATAN ARTISTIK DALAM MENINGKATKAN KINERJA GURU SMA NEGERI 1 PATIANROWO NGANJUK



PELAKSANAAN SUPERVISI PEMBELAJARAN PENDEKATAN ARTISTIK DALAM MENINGKATKAN KINERJA GURU SMA NEGERI 1 
PATIANROWO NGANJUK
 



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Konteks Penelitian
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan  merupakan  kunci utama kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang beradab dan berwibawa dimulai dari sumber daya manusia yang produktivitas, berdaya guna,  mampu bertahan dan mampu beradaptasi dalam segala keadaan. Era globalisasi yang memaksa seluruh komponen untuk berbenah dalam menjalaninya menjadi salah satu alasan utama agar sumber daya manusia yang ada di permukaan bumi ini untuk terus menambah wawasan dan ketrampilan sehingga tidak tertinggal dan tergerus oleh perubahan zaman.
Kemajuan ilmu pengetahuan  dan teknologi (iptek), yang sekarang ini sedang mendera manusia dengan seluruh aspek kehidupannya, memberikan dampak yang signifikan, terlebih bagi dunia pendidikan. Berbagai persoalan juga muncul seiring kemajuan  ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalan yang muncul antara lain, penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan masyarakat  dan dunia kerja, tuntutan bagi para guru untuk lebih kompetitif lagi, perubahan metode/ alat/ media/ sumber belajar yang berbasis pemanfaatan sains, kesejahteraan guru, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan nasional, serta persoalan faktual yang lain. Hal ini  patut diperhatikan oleh seluruh elemen bangsa terutama oleh para penggiat pendidikan di manapun berada.
Statement atau pernyataan tersebut tentunya bisa diterima, asalkan perspektif yang digunakan mengarah pada aspek dampak yang ditimbulkannya. Tanpa bisa dihindari, era kompetisi global (persaingan antara Negara/ Bangsa meraih kemajuan serta kemakmuran) masih terus terjadi. Oleh karena itu, mutlak pengembangan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia perlu terus  dilakukan.
Sesuai pasal 1 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, ditegaskan bahwa fungsi Pendidikan nasional antara lain adalah mengembangkan kemampuan  dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan dan berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam konteks ini tujuan Pendidikan adalah sebagai penuntun, pembimbing dan petunjuk arah bagi para peserta didik agar konsep mereka dapat tumbuh dewasa sesuai dengan potensi dan konsep diri yang sebenarnya. Sehingga mereka dapat tumbuh,  bersaing dan mempertahankan kehidupannya di masa  depan yang penuh tantangan dan perubahan.
Pendidikan itu tidak hanya membentuk kecerdasan, tetapi juga membekali dengan kompetensi dan nilai-nilai etik serta pembentukan watak yang membuat peserta didik mempunyai jati diri dan kepercayaan yang kuat akan kompetensinya. Dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pendidikan, baik dilihat dari aspek kuantitatif maupun kualitatif, secara nasional pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan yang berkaitan dengan Pendidikan. Seperti perubahan dan penyempurnaan organisasi Pendidikan nasional, undang-undang dan peraturan mengenai penyempurnaan kurikulum Pendidikan, peningkatan angka partisipasi belajar pada semua jenjang, pengaturan dana bantuan operasional sekolah, manajemen Pendidikan dan lain sebagainya.
Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain perbaikan kurikulum, proses belajar-mengajar, kinerja guru, sistem pendidikan, supervisi  kepala sekolah, pemberdayaan kelompok kerja guru, penyediaan sarana dan prasarana serta upaya-upaya yang lainnya. Dalam upaya-upaya tersebut, upaya perbaikan kinerja guru termasuk upaya yang sangat strategis karena merupakan komponen sumber daya manusia yang harus di bina dan dikembangkan terus menerus. Siapapun tidak akan membantah bahwa keunggulan sumber daya manusia hanya akan mungkin diperoleh melalui pendidikan yang diprogramkan secara sistematis dan terencana.
Dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus menerus. Pengembangan profesi guru dilaksanakan melalui program pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan qualified.  Potensi sumber daya guru dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.
Mutu pendidikan dapat ditinjau dari tiga  sisi yaitu input, proses dan output. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses, dalam hal ini adalah peserta didik. Proses pendidikan merupakan berubahnya  sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning) seperti bahan ajar, metodologi (sesuai dengan kemampuan guru), sarana dan prasarana pendidikan, dukungan administrasi dan berbagai sumberdaya dan upaya penciptaan suasana yang kondusif dan nyaman untuk belajar, yang akhirnya mampu mendorong motivasi dan minat belajar peserta didik. Sedangkan output pendidikan adalah hasil capaian dari input yang di proses melalui inovasi dan pengembangan pendidikan.
Masyarakat mempercayai, mengakui, dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda  dan membantu mengembangkan potensinya secara profesional. Kepercayaan, keyakinan dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya tataran normatif saja, namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, profesional maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal tersebut dikarenakan guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusioanal dan eksperiensial sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang profesional. 
Namun keberhasilan dalam dunia pendidikan tidak hanya terbebankan kepada guru sebagai pelaksana dan sekaligus subyek yang terlibat  dan berhadapan langsung  dengan sistem maupun peserta didik semata.  Setiap orang yang terlibat dalam kegiatan pendidikan pada dasarnya harus memiliki kemampuan dan kepedulian untuk melaksanakan tugas-tugas yang diembannya secara kreatif dan tanggung jawab. Tugas-tugas yang dimaksud adalah upaya pengendalian kerja sama yang berkaitan tetapi dengan berbagai kegiatan, seperti perencanaan, pengorganisasian, dan penilain (evaluasi), serta proses komunikasi, yang kesemuanya di arahkan pada upaya pencapaian tujuan bersama.
Dengan demikian, setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan pada dasarnya tidak hanya terlibat dalam kegiatan pendidikan secara profesional saja,akan  juga terlibat dalam kegiatan administrasi, evaluasi dan supervisi, yang mengharuskan  mereka memiliki pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam hal-hal tersebut. Artinya kemampuan administrasi, evaluasi dan supervisi ini pada gilirannya akan mampu menempatkan para penanggung jawab pendidikan pada posisi sebagai pemimpin (administrator), evaluator dan supervisor pendidikan, dalam upaya meningkatkan efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan pendidikan.
Jelaslah bahwa antara kegiatan administrasi pendidikan, manajemen pendidikan, kepemimpinan pendidikan, evaluasi dan supervisi pendidikan pada dasarnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya, sebagai upaya-upaya dalam menunjang profesionalitas para petugas pendidikan untuk mewujudkan tujuan di lingkungan pendidikan masing-masing.
Salah satu faktor yang sangat menentukan adalah ketrampilan kepala sekolah dalam memimpin sekolah. Seorang kepala sekolah sebagai pemimpin dapat dinilai dari kesuksesan kinerjannya. Kepala sekolah yang melakukan pekerjaan secara efektif dapat diukur dari sejauh mana dia mampu mengarahkan tenaga pengajarnya sehingga membuahkan hasil pada saat peserta didik mampu melaksanakan dan mendapatkan prestasi secara akademik maupun non akademik.
Keefektifan juga mencakup sejauh mana perhatian kepala  sekolah tersebut dalam pengelolaan manajemen yang meliputi evaluasi dan supervisi terhadap kinerja anggota dan iklim sekolah yang terbentuk. Sehingga seluruh elemen dalam pendidikan tersebut merupakan satu keesatuan yang saling melengkapi dan menopang menuju visi, misi dan tujuan  pendidikan yang diharapkan.
Kepemimpinan dalam organisasi baik profit maupun non profit merupakan spirit untuk memutar roda pemberdayaan organisasi tersebut, termasuk organisasi  sekolah. Artinya, peran sentral dalam organisasi tidak lepas dari kinerja seorang pemimpin untuk menggerakkan potensi-potensi yang ada dalam organisasi yang didalam nya ada guru dan murid sebagai pelaku utama Pendidikan.
Kepala sekolah sebagai leader yang memiliki kewajiban untuk membina seluruh potensi yang ada khususnya kemampuan para guru agar mampu melaksanakan tugasnya dengan baik serta mampu mengejawantah peserta didik, hendaknya senantiasa merancang program yang sesuai dengan visi, misi serta tujuan yang telah ditetapkan lewat tim pengembang sekolah beserta komite sekolah.
Dengan segala perangkatnya yakni kemampuan untuk melaksanakan pendekatan, pengawasan (supervisi) maupun pembinaan, merupakan jawaban yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan problematika dalam proses kegiatan belajar-mengajar antara pendidik dan peserta didik. Dan supervisi pendidikan merupakan instrumen penting dalam quality control proses pendidikan yang diaksanakan pada satuan pendidikan.
Pelaksanaan supervisi dari sebagian kalangan masih dianggap hanya tugas dari seorang supervisor yang berada di dinas tempat mereka bernaung. Dan pengawasan hanya bersifat administratif belaka, mereka hanya menginspeksi penulisan dan penyusunan perangkat pembelajaran tanpa memberikan pengarahan atau pembenahan dalam sistem pembelajaran, ketrampilan mendiagnosis untuk menganalisis penampilan guru dalam memberikan ilmu tidak mendapatkan perhatian.
Bahkan dari sebagian guru sangat apreori terhadap kalimat “supervisi”, atau bahkan tidak suka diawasi walaupun sesungguhnya itu merupakan suatu keharusan. Dan ketidak sukaan itu bukan terhadap supervisi itu sendiri, melainkan terhadap gaya supervisi yang mereka terima. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) supervisi disamakan dengan evaluasi dan berkesan tidak kekeluargaan, (2) supervisi dilakukan untuk menjalankan tugas semata bukan atas dasar kebutuhan sehingga bersifat top down, (3) supervisor kurang menguasai tugas-tugas dan tehnik-tehnik supervisi, sehingga cenderung monoton, membuat batasan waktu, hanya menyalahkan tanpa memberikan bimbingan dan terkadang bersifaf subyektif.
Peningkatan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di sekolah, merupakan tanggung jawab kepala sekolah selaku supervisor sebagai pembina dan atasan langsung. Karena itu mereka harus melaksanakan  supervisi secara baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip supervisi serta tehnik dan pendekatan yang tepat
Supervisi pembelajaran harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis bersifat terbuka, kesetiakawanan dan informal. Hubungan demikian bukan saja kepada guru dan supervisor, melainkan juga dengan pihak lain yang terkait dengan program supervisi pembelajaran. Dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat membantu, memahami, terbuka, jujur, sabar, antusias dan penuh humor dan berkesinambungan.
Kegiatan supervisi pembelajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh seorang kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan guna memberikan pembinaan kepada guru.  Hal tersebut disebabkan adanya hubungan ketergantungan atau hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif  antara guru dan  peserta didik yang merupakan inti proses pendidikan secara keseluruhan.  Oleh karena tujuan supervisi tidak sebagaimana yang mereka para guru khawatirkan, namun benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan guna meningkatkan kompetensi kepribadian guru sendiri.
Untuk mengungkap permasalahan di lembaga pendidikan, kepala sekolah bisa melaksanakan supervisi dengan berbagai pendekatan antara lain menggunakan pendekatan artistik. Yakni supervisi dengan mengunakan pendekatan yang menyandarkan pada kepekaan, persepsi dan pengetahuan supervisor sebagai saran untuk mengapresiasikan kejadian-kejadian pembelajaran yang bersifat halus, lembut dan sangat bermakna di dalam kelas dan dilihat secara ekspresif, puitis bahkan menggunakan bahasa-bahasa simbul dan kiasan.
Pendekatan ini sangat memperhatikan hubungan baik dan menyenangkan antara supervisor dan guru yang di supervisi sehingga tercipta suasana yang dialogis diantara mereka. Pendekatan artistik mengedepankan akhlak mulia dalam berprilaku, seperti ramah tamah, sopan santun, jujur, toleran, bijak, ketulusan hati dan menyukai keindahan. Sehingga guru yang di supervisi merasa nyaman dan tidak terbebani dengan kegiatan supervisi.
Pada kesempatan ini supervisor menularkan pengalaman dan pikiran kepada guru dalam menyelesaikan masalah pembelajaran dan dapat memotivasi akan perlunya meningkatkan kompetensi kepribadian guru baik didalam proses belajar-mengajar maupun dalam penciptaan iklim pendidikan di sekolah. Tujuanya adalah antara supervisor dan guru dapat berdialog membahas tentang keluhan-keluhan atau kekurangan di bidang mengajar dimana supervisor dapat memberikan jalan keluarnya, dan mendorong agar yang kurang menjadi bisa diperbaiki dan yang sudah baik untuk ditingkatkan lagi.
Mengkaji permasalahan di atas, antara kompetensi kepribadian guru, suasana pembelajaran, iklim sekolah serta relasi yang terbangun diantaranya, maka pendidikan menjadi tanggung jawab bersama yakni pemerintah selaku pembuat kebijakan, kepala sekolah selaku leader dalam lembaga pendidikan, guru sebagai garda depan proses pembelajaran, peserta didik sebagai hasil dari proses perubahan dalam pendidikan serta masyarakat sebagai pengguna atau konsumen pendidikan. Formulasi dan pendekatan yang digunakan pun harusnya tepat, agar hasil yang diinginkan mencapai pada titik harapan.
Di lapangan pendidikan banyak hal dalam proses belajar-mengajar yang sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan sebagai konteks dalam penelitian ini antara lain adalah pada saat kegiatan belajar-mengajar guru masih menggunakan cara lama atau manual,  padahal  sarana tersebut telah tersedia dan kurikulum pendidikan telah menganjurkan untuk pemanfaatan media pembelajaran berbasis teknologi, namun masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Pembelajaran yang berlangsung juga terkesan kurang persiapan atau perencanaan hal ini tampak dari metode pembelajaran yang diterapkan yang kurang pas dengan SK/ KD. Perangkat pembelajaran masih belum banyak yang terselesaikan sampai kegiatan belajar mengajar berlangsung hampir satu semester. Dan hampir semua guru membuat perangkat pembelajaran hanya copy-paste dari MGMP atau bahkan dari tahun-tahun sebelumnya, tidak disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang tentunya berbeda. Serta masih banyaknya peserta didik yang kurang disiplin dalam mengikuti pembelajaran, hal ini tampak dari keterlambatan atau ketidak seriusan mereka di dalam mengikuti transformasi ilmu. Sikap guru yang cenderung membiarkan keadaan tersebut dan adakalanya berkesan kurang familiar terhadap peserta didik bisa menambah deretan terhambatnya mutu pendidikan.
SMAN 1 Patianrowo salah satu sekolah yang dalam visi dan misi nya mengedepankan selain intelektual adalah religi dan kepekaan sosial. Maka sentuhan-sentuhan pembiasaan yang dilakukan tidak lepas dengan nuansa keagamaan. Hal ini bisa dimaklumi karena pemimpin  sekolah disana selain seorang pimpinan sebuah organisasi masyarakat keagamaan terbesar ke dua di Kabupaten Nganjuk, beliau juga seorang juru dakwah. Oleh sebab itu dalam upaya pencapaian visi, misi dan tujuan sekolah tidak lepas dengan pendekatan religius.
Hal lain yang tampak di SMAN 1 Patianrowo adalah semangat kepala sekolah yang tinggi dalam melaksanakan pembinaan terhadap kompetensi kepribadian guru melalui pelaksanaan supervisi pembelajaran dengan pendekatan artistik secara efektif dan bisa diterima oleh semua unsur penunjang pendidikan. Semangat itu tercermin dari kedisiplinan dan etos kerja yang baik dalam melaksanakan tugas dan kesadaran mendidik  kepribadian peserta didik yang santun, bermartabat dan maju dalam intelektual, serta antusiasnya guru terhadap supervisi yang dilaksanakan oleh kepala sekolah.
Fenomena lain yang dapat digali adalah bahwa kepala sekolah memiliki kemampuan mendiskripsikan dan menginterprestasikan setiap peristiwa pembelajaran yang terjadi. Begitu pula  dalam memberikan komentar, kritik dan saran terhadap tampilan guru dalam proses pembelajaran, kepala sekolah selalu menggunakan bahasa yang santun, halus dan sopan, sehingga guru tidak merasa digurui dan tersinggung. Dengan demikian hubungan baik antara kepala sekolah dan guru tetap terjaga.
Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan supervisi pembelajaran yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dengan menggunakan pendekatan artistik (artistic approach) dalam meningkatkan kompetensi kepribadian guru di SMAN 1 Parianrowo Kecamatan Patianrowo Kabupaten Nganjuk, disamping itu peneliti ingin mengungkap  tentang kompetensi kepala sekolah dalam melaksankan tugasnya sebagai seorang supervisor dalam menyusun program supervisinya guna meningkatkan mutu dan kompetensi guru dengan berbagai keberhasilan dan tantangannya.
Ada beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yang mengkaji tentang supervisi pembelajaran yang dapat peneliti pergunakan sebagai bahan perbandingan sehingga dapat menunjang dan melengkapi terhadap penelitian yang peneliti lakukan. Beberapa penelitian yang dilakukan tersebut menghasilkan beberapa temuan antara lain :
Elfi Saidah (2014) dalam Supervisi Pembelajaran berpendekatan Artistik yang dilakukan oleh kepala sekolah apabila sesuai dengan program, maka akan meningkatkan kinerja guru  di SMKplus AL-MAARIF Singosari Malang. Hal ini menunjukkan kepiawaian kepala sekolah dalam memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap guru sehingga mampu meningkatkan kinerja guru di SMKplus AL-MAARIF Singosari Malang.
Jaelani (2010) dalam Pelaksanaan Supervisi Pendidikan oleh Kepala sekolah Madrasah Dalam Pembinaan Profesionalisme Guru di MAN 1 dan MAN 2 Tulungagung, yang menyimpulkan bahwa supervisi pendidikan memerlukan perencanaan yang matang sehingga pelaksanaannya bisa berjalan dengan bagus dan penyelenggaraan pendidikan bisa tertata dengan baik.
Dari kedua penelitian terdahulu tersebut dapat dipaparkan persamaan dan perbedaan kajian tentang supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh kepala sekolah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 1.1 Persamaan dan Perbedaan Originalitas Penelitian Terdahulu
No
Penelitian Terdahulu
Persamaan
Perbedaan
Originalitas
Penelitian
1.
Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Berpendekatan Artistik Dalam Meningkatkan Kinerja Guru (Studi di SMKplus ALMAARIF Singosari Malang), Tesis Elfi Sa'ida (2014) PPs Universitas Islam Malang
Pelaksanaan Supervisi
Meningkatkan Kinerja Guru

Bagaimana kompetensi kepribadian guru dengan dilaksanakannya supervisi pembelajaran berpendekatan artistik oleh kepala sekolah
2.
Pelaksanaan Supervisi Pendidikan Oleh Kepala sekolah Madrasah Dalam Pembinaan Profesinalisme Guru Di MAN 1 Dan MAN 2 Tulungagung. Tesis Jaelani (2010) PPs Universitas Islam Malang.
Pelaksanaan Supervisi
Pembinaan profesionalisme guru


Dari tabel diatas dapat dipaparkan bahwa penelitian yang dilakukan peneliti memiliki perbedaan terhadap peneliti terdahulu, baik dari variablenya maupun metodenya.

B.  Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian, maka peneliti merumuskan fokus penelitian sebagai berikut :
1.    Bagaimana program supervisi pembelajaran artistic approach yang disusun oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk?
2.    Bagaimana pelaksanaan supervisi pembelajaran artistic approach oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk?
3.    Bagaimana kompetensi kepribadian guru dengan dilaksankannya supervisi pembelajaran artistic approach oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk?
Agar dalam penelitian ini tidak bias dan lebih terarah, maka masing-masing fokus peneliti jabarkan untuk lebih memudahkan dalam menggali dan mengumpulkan data di lapang, yaitu: masalah “program supervisi” yang dilaksanakan oleh kepala sekolah yang tercermin dalam program kerja kepala sekolah sebagai seorang supervisor; “pelaksanaan supervisi pembelajaran berpendekatan artistik” yang terkait dengan pelaksanaan supervisi akademik dalam meningkatkan mutu dan kualitas belajar-mengajar di SMAN 1 Patianrowo, gaya kepemimpinan/ kemampuan  kepala sekolah sebagai seorang supervisor dalam membina guru, serta kendala yang melingkupinya; “kompetensi kepribadian guru” tentang kepribadian seorang guru sebagai teladan bagi peserta didik serta bagaimana peran kepala sekolah sebagai seorang supervisor dalam meningkatkan kompetensi kepribadian guru di SMAN 1 Patianrowo Nganjuk.
Dari uraian diatas peneliti sekaligus memberikan batasan tentang data yang akan diungkap dalam penelitian ini, disamping juga lebih memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian, karena telah terformulasikan sedemikian rupa tentang hal-hal yang akan peneliti gali.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka tujuan penelitian di SMAN 1 Patianrowo kecamatan Patianrowo kabupaten Nganjuk ini adalah  untuk mendeskripsikan, menganalisis dan memberi interpretasi terhadap :
1.  Program supervisi pembelajaran artistik approach yang disusun oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo kecamatan Patianrowo kabupaten Nganjuk.
2.  Pelaksanaan supervisi pembelajaran artistik approach oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo kecamatan Patianrowo kabupaten Nganjuk.
3.  Kompetensi kepribadian guru dengan adanya supervisi pembelajaran artistic approach yang disusun oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo kecamatan Patianrowo kabupaten Nganjuk.
                         
D.  Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis.
1.  Kegunaan Teoritis
a. Penelitian ini diharapakan menjadi kontribusi bagi kepala sekolah maupun pengawas pendidikan dalam mengembangkan program supervisi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan artistik (artistic approach) dalam rangka peningkatan kompetensi kepribadian guru.
b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar dan pembanding bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan dengan harapan hasil penelitian ini dapat terus  dikembangkan oleh peneliti berikutnya.
2.  Kegunaan Praktis
a.  Para Guru
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi para guru untuk menyikapi secara positif supervisi pembelajaran artistic approach yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dalam upaya peningkatan kompetensi kepribadian guru.
b.  Bagi Kepala sekolah dan Pengawas Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan untuk pembinaan tenaga guru sebagai upaya meningkatkan kualitas dan kompetensi kepribadian guru agar mencapai hasil yang maksimal. Disamping itu sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah maupun pengawas pendidikan selaku supervisor sebagai umpan balik untuk bahan evaluasi terhadap program supervisi dalam rangka peningkatan kompetensi kepribadian guru.
c.  Sebagai Bahan Masukan Bagi Peneliti Lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi dan pembanding dalam meneliti kasus-kasus sejenis pada lembaga pendidikan lain.

E. Definisi Istilah
Agar dapat memberikan pemahaman kepada pembaca dan tidak bias dalam memahami penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Artistic Approach Oleh Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kompetensi Kepribadian Guru di SMAN 1 Patianrowo Nganjuk”, penting  kiranya peneliti memberikan penegasan istilah sebagai berikut :
1.        Supervisi Pembelajaran adalah adalah semua usaha/ kegiatan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah yang sifatnya membantu guru atau melayani guru agar la dapat memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan rneningkatkan proses belajar mengajarnya dengan berbagai pendekatan sehingga dapat memperbaiki kulaitas profesionalnya sebagai guru.
2.   Artistic Approach adalah berasal dari kata artistic (art = seni)  dan approach atau di dalam bahasa Indonesia bermakna pendekatan. Jadi pendekatan artistik, adalah pendekatan yang menekankan pada sensivitas (kepekaan), preceptivity (persepsi), dan pengetahuan kepala sekolah untuk mengapresiasi segala aspek yang terjadi di kelas, yang mencakup: (a) menggunakan pendekatan kasih sayang, (b) memahami karakter dan kebutuhan guru, (c)  perhatian dan banyak mendengar dari guru, (d)  suasana dialogis antara kepala sekolah dengan guru, (e) kemampuan kepala sekolah menggunakan bahasa secara santun, (f) pengamatan secara holistic, (g)  menerima balikan dari guru.
Jadi pendekatan supervisi artistik yang dimaksud disini adalah ketika supervisor melakukan kegiatan supervisi dituntut berpengetahuan, berketrampilan dan tidak kaku karena dalam kegiatan supervisi juga mengandung nilai seni (art). Pendekatan atau model supervisi ini mendasarkan diri pada bekerja untuk orang lain (working for the others), bekerja dengan orang lain (working with the others), dan bekerja melalui orang lain (working through the others).
3.  Program Supervisi : adalah serangkaian rencana kegiatan yang disusun oleh kepala sekolah selaku supervisor di lembaga pendidikan sebagai  panduan untuk melakukan pembinaan terhadap para guru di sekolah.
4. Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Artistic Approach adalah aktivitas pembinaan profesional dan pembimbingan terhadap guru yang menekankan pada kepekaan, persepsi dan pengetahuan supervisor (kepala sekolah) untuk mengapresiasi segala aspek yang berkenaan dengan kegiatan belajar-mengajar dengan cara mengamati, merasakan dan mengapresiasi segala kejadian-kejadian pembelajaran di dalam kelas yang dilihat secara ekspresif, komunikatif, penuh kerja sama dan tidak kaku karena dalam kegiatan supervisi ini juga mengandung nilai seni (art).
6.   Kompetensi Kepribadian Guru, sesuai dengan penjelasan PP. No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 Butir b, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. (1)  memiliki kepribadian mantap dan stabil yang indikatornya bertindak sesuai norma hukum, norma sosial. Bangga sebagai pendidik, dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma, (2)  memiliki kepribadian yang dewasa, dengan ciri-ciri, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik yang memiliki etos kerja, (3) memiliki kepribadian yang arif, yang ditunjukan dengan tindakan yang bermanfaat bagi peserta didik, sekolah dan masyarakat serta memajukan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak, (4) memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu perilaku yang berpengaruh positif kepada peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani, (5) memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan, dengan menampilkan yang sesuai dengan norma religius (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.

BAB II
LANDASAN TEORI


A.  Supervisi Pembelajaran
1.   Konsep Supervisi Pembelajaran
Secara etimologis, istilah supervisi diambil dari perkataan bahasa Inggris Supervision yang artinya pengawasan di bidang pendidikan. Sedangkan ditinjau dari morfologisnya supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk kata. Supervisi terdiri dari dua kata yaitu super berarti atas, lebih, visi berarti lihat, tilik, awasi. Orang yang melakukan supervisi disebut dengan supervisor, dan seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas utau kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya.
Secara Istilah, dalam Carter Good’s Dictionary Education, dinyatakan bahwa supervisi adalah segala usaha pejabat sekolah dalam memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk memperbaiki pembelajaran. Termasuk didalamnya adalah menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pembelajaran dan metode-metode mengajar, serta mengevaluasi pembelajaran (E. Mulyasa: 2011:2239).
Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Willes dalam Jasmani (2013: 26) sebagai berikut : “Supervision is assistence in the development of better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student and environment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui kegiatan supervisi. Dengan demikian, layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran.
Menurut H. Mukhtar dan Iskandar (2009: 41), supervisi  adalah mengamati, mengawasi atau membimbing  dan memberikan stimulus kegiatan-kegiataan yang dilakukan oleh orang lain dengan maksud mengadakan perbaikan. Konsep supervisi didasarkan pada keyakinan bahwa perbaikan merupakan suatu usaha yang kooperatif dari semua orang yang berpartisipasi dan supervisor sebagai pemimpin, yang bertindak sebagai stimulator, pembimbing dan konsultan bagi para  bawahannya  dalam rangka perbaikan tersebut. Supervisi pendidikan adalah usaha mengoordinasi dan membimbing pertumbuhan guru-guru sekolah secara kontinu, baik secara individu maupun kelompok. Bantuan apapun ditujukan demi terwujudnya perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran.
Menurut Neagley dalam Jasmani (2013: 26)), menyebutkan bahwa supervisi adalah layanan kepada guru-guru di sekolah yang bertujuan untuk menghasilkan perbaikan instruksional, belajar dan kurikulum. Sedangkan Ngalim Purwanto, menyatakan supervisi adalah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan secara efektif.
Menurut Ary H. Gunawan (2002) supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar-mengajar yang lebih baik (Kimall Wiles), pelayanan/ layanan khusus dibidang pembelajaran dan perbaikannya mengenai proses belajar-mengajar, termasuk segala faktor dalam situasinya (Harold P. Adams dan Frank G. Dickey) ; usaha sistematis dan terus menerus untuk mendorong dan mengarahkan pertumbuhan diri guru yang berkembang secara lebih efektif dalam membantu tercapainya tujuan pendidikan dengan murid-murid di bawah tanggung jawabnya (Thomas H. Briggs dan Josep Justman); pembinaan kearah perbaikan (termasuk pembelajaran ) pada umumnya dan peningkatan mutu pada khususnya (N.A. Ametembun) dan lai-lain.
Dikatakan pula oleh Good Carter dalam bukunya Dictionary of Education (Mukhtar, 2009: 42) bahwa supervisi adalah segala usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas pendidikan lainya dalam memperbaiki pembelajaran, termasuk memperkembangkan pertumbuhan guru-guru, menyelesaikan dan merevisi tujuan pendidikan, bahan-bahan pengajaran dan metode mengajar dan penilaian pengajaran. Dengan adanya supervisi membuka peluang bagi kita sebagai tenaga pendidik untuk mengadakan perbaikan-perbaikan atau pembenahan tentang apa yang telah kita kerjakan.
Supervisi Pembelajaran menurut Mantja (2000: 6) adalah adalah semua usaha yang sifatnya membantu guru atau melayani guru agar la dapat memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan rneningkatkan pembelajarannya, serta dapat pula menyediakan kondisi belajar peserta didik yang efektif dan efisien demi pertumbuhan jabatannya untuk mencapai tujuan pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan.
Supervisi pembelajaran menurut Ngalim Purwanto  (2014: 76) ialah kegiatan-kegiatan yang kepengawasan yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi-kondisi  baik -personal maupun material- yang memungkinkan terciptanya situasi belajar-mengajar yang lebih baik demi tercapainya tujuan pendidikan.
Menurut Boardman dalam Sahertian (2010: 17) mengemukakan supervisi adalah usaha untuk menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran.
Sergiovani dalam Mukhtar (2009: 42) mengemukakan pernyataan yang berhubungan dengan supervisi sebagai berikut: (1) Supervisi lebih bersifat proses daripada peranan, (2) supervisi adalah suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para personalia lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu.
Glickman dalam Fathurrahman (2011: 41), menyatakan bahwa semua supervisi yang diarahkan untuk meningkatkan proses belajar mengajar dengan variasi pendekatan sedemikian rupa sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkan kualitas profesional para guru disebut supervisi pembelajaran yang bersifat mengembangkan.
Menurut Harris masih dalam Fathurrahman (2011: 41), juga mengatakan bahwa supervisi pembelajaran adalah apa yang dilakukan oleh petugas sekolah terhadap stafnya untuk memelihahara atau mengubah pelaksanaan kegiatan di sekolah yang langsung berpengaruh terhadap proses belajar mengajar guru dalam usaha meningkatkan proses belajar mengajar peserta didik.
Kegiatan-kegiatan di atas juga tidak bisa terlepas dari tujuan akhir setiap sekolah, yaitu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Mantja (2000:6) menyatakan, “supervisi pembelajaran adalah semua usaha yang sifatnya membantu guru atau melayani guru agar la dapat memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan rneningkatkan pembelajarannya, serta dapat pula menyediakan kondisi belajar murid yang efektif dan efisien demi pertumbuhan jabatannya untuk mencapai tujuan pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan”.
Berdasarkan batasan-batasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa supervisi pembelajaran merupakan pelayanan supervisi dan bimbingan profesional kepada guru sebagai usaha meningkatkan profesionalisme guru. Dengan bimbingan dan sepervisi  kinerja guru yang efektif, kemampuan dan ketrampilan guru akan meningkat yang pada gilirannya kualitas proses belajar mengajar sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan akakn meningkat pula.
Sedangkan di dalam pandangan Islam, supervisi merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam rangka menjamin terlaksananya kegiatan dengan konsisten. Supervisi dilakukan baik secara material maupun spiritual, artinya supervisi tidak hanya mnegedepankan hal-hal yang bersifat materiil (pembelajaran) saja, tetapi juga mementingkan hal-hal yang bersifat spiritual (pendidikan dan kepribadian). Hal ini yang secara signifikan membedakan antara supervsi dalam konsep Islam dengan konsep sekuler yang hanya melakukan supervisi bersifat materiil tanpa tanpa melibatkan Allah SWT sebagai pengawas (supervisor) utama. Dimana monitoring bukan hanya pimpinan sekolah atau pengawas pendidikan tetapi juga Allah SWT.
Karakteristik yang juga membedakan adalah menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia dengan pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keislaman. Dengan karakteristik tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan berbagai perencanaan yang telah disepakati akan dipertanggungjawabkan kepada pimpinannya dan kepada Allah sebagai supervisor (pengawas) yang Maha Mengetahui.
Allah berfirman dalam  Q.S. al-Hasyr ayat 18:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan kandungan ayat tersebut supervisi merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam rangka perbaikan bagi yang di supervisi maupun bagi lembaga pendidikan. Bila kita kaitkan dengan supervisi pembelajaran, maka kata kunci dalam supervisi pembelajaran bukanlah pengawasan, namun bantuan pada guru untuk meningkatkan pembelajaran.
Kepala sekolah harus mampu menjadi sahabat bagi guru, menjadi atasan yang siap menampung aspirasi guru, harus mampu memberikan stimulus dan motivasi agar guru lebih memiliki kepribadian yang hebat sehingga memberikan pelayanan kepada peserta didik dengan maksimal. Persiapan yang dilaksanakan  tidak hanya secara administratif, tidak hanya sebatas perangkat pembelajaran yang kemungkinan masih bersifat copy paste, tapi bagaimana mampu mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran di dalam ruangan.
 
2.  Tujuan Supervisi Pembelajaran
Supervisi merupakan salah satu dari fungsi manajemen. Ilmu manajemen diperlukan agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan efektif serta efisien. Dalam pandangan Islam, fungsi supervisi dapat terungkap pada ayat dalam al-Qur'an, sebagaimana firman Allah dalam Q.S.As-Shaf:                  
Artinya : Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
Dalam pandangan Islam suatu kegiatan  hendaknya direncanakan, dilaksanakan sebagaimana program yang ditetapkan dan dilakukan pengawasan agar program tersebut mencapai tujuan yang diharapkan. Demikian juga dengan supervisi dalam pembelajaran, mulai dari perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran hendaknya menjadi satu kesatuan yang harus dipantau untuk dilakukan pembenahan dan perbaikan.
Para ahli pendidikan sering menggunakan istilah yang berbeda-beda, seperti supervisi pendidikan, supervisi pembelajaran dan pengawasan, namun terkait dengan tujuan supervisi yang dimaksud pada hakekatnya mereka sepakat bahwa supervisi itu bukan saja berkenaan dengan aspek kognitif dan psikimotorik melainkan juga aspek afektifnya.
Tujuan supervisi pembelajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan profesoional guru dalam meningkatkan proses hasil belajar melalui pemberian bantuan yang terutama bercorak layanan profesional kepada guru. Jika proses belajar meningkat, maka hasil belajar diharapkan juga meningkat. Dengan demikian, rangkaian usaha supervisi akan memperlancar pencapaian tujuan kegiatan belajar mengajar (Depdikbud, 1986).
Sutisna (1982:58) mengungkapkan bahwa; "supervisi hadir karena satu alasan untuk memperbaiki mengajar dan belajar". Sementara Mantja (2010:138) mengungkapkan bahwa "supervisi atau pembinaan profesional adalah bantuan atau layanan yang diberikan kepada guru agar guru belajar bagaimana mengembangkan kemampuannya untuk meningkatkan proses belajar mengajar di kelas".
Menurut Purwanto dalam Jasmani (2013: 32) tujuan supervisi adalah “(1) membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam menjalankan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya, (2) berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media instruksional yang diperlukan bagi kelancaran jalannya proses belajar mengajar yang baik, bersama guru mengembangkan, mencari dan menggunakan metode-metode baru dalam proses belajar mengajar yang baik, (3) membina kerjasama yang baik dan harmonis antara guru, peserta didik dan pegawai sekolah lainnya, dan (4) berusaha mempertinggi mutu dan pengetahuan guru-guru dan pegawai sekolah antara lain dengan mengadakan workshop, seminar, inservice-training, atau up-grading”.
Sementara Soetopo dalam Jasmani (2013: 33), menyebutkan, tujuan pengawasan adalah “(1) agar pelaksaanaan tugas sesuai dengan ketentuan, prosedur  serta perintah yang ditetapkan, (2) agar hasil yang dicapai sesuia dengan tujuan yang telah ditetapkan, (3) agar sarana yang ada dapat didaya gunakan secara efektif dan efisien, dan (4) agar diketahui kelemahan dan kesulitan organisasi kemudian dicari jalan perbaikan”.
Sedangkan menurut Bafadal dalam Jasmani (2013: 33), tujuan supervisi pembelajaran adalah sebagai berikut :
a.   Pengawasan kualitas, yaitu supervisor bisa memonitor kegiatan proses belajar mengajar di sekolah. Kegiatan memonitor ini bisa dilakukan melalui kunjungan supervisor ke kelas-kelas pada saat guru sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya maupun dengan sebagian peserta didiknya.
b. Pengembangan profesional, yaitu supervisor bisa membantu guru mengembangkan kemampuannya dalam memahami pembelajaran dan menggunakan kemampuannya melalaui teknik-teknik tertentu. Teknik-teknik tersebut bukan saja bersifat individu, melainkan juga bersifat kelompok.
c. Memotivasi guru, yaitu supervisor bisa mendorong guru menerapkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas mengajarnya, mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri serta mendorong guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Atau dengan kalimat sederhananya bahwa supervisor bisa menambahkan motivasi  kerja guru.
Selanjutnya rumusan maksud dan tujuan supervisi pembelajaran dapat dilihat dari Buku Pedoman Supervisi dan Supervisi Profesional Guru (Depdikbud, 1989/ 1990 : 4) sebagai berikut, “supervisi atau supervisi profesional guru dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari, yaitu mengelola proses belajar mengajar dengan segala aspek pendukungnya sehingga berjalan dengan baik supaya tujuan PBM khuusunya dan tujuan pendidikan menengah umumnya tercapai secara optimal”.,
Kemampuan dan ketrampilan yang dimaksud adalah meliputi kemampuan merencanakan kegiatan belajar mengajar, menilai proses dan hasil belajar, memberikan umpan balik, menggunakan dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber dan media pembelajaran, membimbing dan melayani peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar, serta kegiatan pendidikan lainnya.
Dari pendapat beberapa ahli pendidikan serta rumusan tersebut dapat kita simpulkan bahwa supervisi pembelajaran hadir untuk membimbing pertumbuhan kemampuan dan kecakapan profesional guru. Bilamana guru memperoleh pembinaan dan kemudian menyadari pentingnya meningkatkan kemampuan diri, guru tumbuh dan semakin bertambah mampu dalam menjalankan tugasnya. Proses belajar peserta didik akan lebih baik karena kecakapan guru mengolah pembelajaran semakin sempurna, peserta didik juga akan belajar dan berkembang lebih pesat.
Tujuan akhir supervisi pembelajaran adalah meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik melalui pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Glickman (1998) yang menyebutkan bahwa ada enam tujuan supervisi pendidikan, yaitu : (1) to strengthen  teacher beliefs in causes beyond themselves ; (2) to respond to principles of adults learning by recognizing different phases of teacher life cycles ;  (3) to promote teacher efficacy ; (4) to make teacher aware of  how they complement one another, (5) to encourage teacher to reflect in order to adapt instruction ; and (6)  to challenge teacher to think more abstractly. 
Berdasarkan pendapat tersebut, supervisi pembelajaran merupakan aktivitas yang bertujuan untuk menguatkan keyakinan guru, merespons prinsip pembelajaran orang dewasa dengan memperhatikan siklus belajar mereka, meningkatkan keahlian guru, membuat para guru menyadari bahwa mereka satu sama lain adalah saling melengkapi, mendorong guru untuk saling melakukan refleksi dalam rangka penyesuaian pembelajaran dan memberikan tantangan kepada guru untuk berfikir lebih abstrak.
Dengan melihat tujuan supervisi pendidikan sebagaima diuraikan diatas, maka supervisi bukanlah suatu hal seperti yang dibayangkan banyak orang yang hanya mengedepankan kepengawasan semata, yang bersifat top-down namun juga kearah perbaikan yang bersifat humanisme secara menyeluruh dari proses hingga hasilnya, sehingga tujuan dalam lembaga pendidikan tersebut dapat diraih secara  maksimal.

3.  Prinsip-prinsip Supervisi Pembelajaran
Supervisi pembelajaran dilaksanakan dengan prinsip-prinsip tertentu. Depdikbud (1986) mengemukakan prinsip-prinsip supervisi pembelajaran sebagai berikut, “ (1) dilakukan sesuai dengan kebutuhan guru, (2) hubungan antara guru dengan supervisor didasari atas hubungan kerabat kerja, (3) supervisor ditunjang dengan sifat keteladanan  dan terbuka, (4) dilakukakan secara terus menerus, (5) dilakukan melalui berbagai wadah yang ada, dan (6) diperlancar melalui peningkatan koordinasi dan singkronisaso horizontal dan vertikal baik ditingkat pusat maupun daerah.
Sahertian (1981: 19) mengemukakan prinsip-prinsip supervisi pendidikan sebagai berikut ; (1) Prinsip ilmiah (scientific), prinsip ini mengandung ciri-ciri antara lain : (a) kegiatan supervisi dilaksanakan berdasarkan data obyektif yang diperoleh dalam kenyataan proses belajar mengajar, (b) untuk memperoleh data perlu direkan alat perekam data, (c) setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara sistematis, terencana dan kontinu, (2) prinsip demokratis, servis dan bantuan yang akan diberikan kepada guru berdasarkan hubungan kemanusiaan yang akrab dan penuh kehangatan, sehingga guru-guru merasa aman untuk  mengembangkan tugasnya, (3) prinsip kerjasama, mengembangkan usaha bersama atau menurut istilah supervisi sharing of idea, sharing of experience, memberi support atau mendorong, menstimulasi guru, sehingga mereka merasa  tumbuh bersam, (4) prinsip konstruktif dan kreatif, setiap guru akan merasa termotivasi dalam mengembangkan potensi kreativitas kalau supervisi mampu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan bukan melalui cara-cara yang menakutkan.
Sedangkan prinsip-prinsip supervisi menurut Soetopo  dalam Jasmani (2013:44 ), ada tujuh prinsip supervisi, yaitu: (1) prinsip organisasional, artinya pengawasan dapat dilakukan dalam kerangka struktur organisasi yang melingkupinya, (2) prinsip perbaikakan, artinya pengawasan berusaha mengetahui kelemahan atau kekurangan, kemudian dicari jalan pemecahan agar manajemen dapat berjalan sesuai dengan standar dan organisasi dapat mencapai tujuan, (3) prinsip komunikasi, artinya pengawasan dilakukan untuk membina sistem kerjasama antara atasan dan bawahan, membina hubungan baik dalam proses pelaksanaan pengelolaan organisasi, (4) prinsip pencegahan, artinya pengawasan dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan dalam mengelola komponen-komponen organisasi, (5) prinsip pengendaliaan, artinya pengawasan dilakukan agar semua proses manajemen berada pada rel yang telah digariskan, (6) prinsip Obyektif, artinya pengawasan dilakukan berdasarkan data nyata dilapangan tanpa menggunakan penelitian dan tafsiran subyektif pengawas, (7) prinsip kontinuitas, artinya pengawasan dilakukan secara terus menerus, baik selama berlangsung proses pelaksanaan maupun setelah pelaksanaan kerja.
Lebih khusus Bafadal dalam Jasmani (2013: 45) menyebutkan prinsip-prinsip supervisi pembelajaran sebagai berikut :
a.         Supervisi pembelajaran harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang dimaksud harus bersifat terbuka, kesetiakawanan dan informal. Hubungan demikian bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga antara pihak lain yang terkait dengan supervisi pembelajaran. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat membantu, memahami, terbuka, jujur, sabar, antusias dan penuh humor.
b.        Supervisi pembelajaran harus  dilakukan secara berkesinambungan. Supervisi bukan tugas sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami  bahwa supervisi pembelajaran merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan program sekolah.
c.         Supervisi pembelajaran harus demokratis. Supervisor boleh mendominasi dalam pelaksanaan supervisi pembelajarannya. Titik tekan supervisi pembelajaran yang demokratis adalah aktif dan komparatif. Supervisi harus melibatkan secara aktif guru yang dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program bukan hanya pada supervisor, melainkan juga pada guru. Program supervisi pembelajaran harus integral dengan program pendidikan. Dalam setiap orgainisasi pendidikan terdapat bermacam-macam sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan administrasi, sistem perilaku pembelajaran, sistem pengembangan konseling, dan sistem perilaku supervis pembelajaran.
d.        Supervisi pembelajaran harus komparatif.  Program supervisi harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan pembelajaran, walaupun ada saja penekanan pada aspek-aspek tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan pengembangan pembelajaran sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah memenuhi tuntutan multi tujuan supervisi pembelajaran, berupa pengawasan kualitas, pengembangan profesional dan motivasi guru.
e.         Supervisi pembelajaran harus konstruktif. Supervisi pembelajaran bukanlah berkali-kali mencari kesalahan-kesalahan guru. Tetapi untuk mengembangkan pertumbuhan dan aktivitas guru dalam memahami dan memecahkan problem pembelajaran yang dihadapi.
f.         Supervisi pembelajaran harus obyekif. Dalam menyusun, melaksanakan  dan mengevaluasi keberhasilan program, supervisi pembelajaran harus dilaksanakan secara obyektif. Obyekyifitas dalam penyusunan program berarti bahwa program supervisi pembelajaran harus disusun berdasarkan kebutuhan nyata pengembangan profesional guru. Begitu pula dalam mengevaluasi keberhasilan program supervisi pembelajaran. Disinilah letak pentingnya instrumen pengukuran yang memiliki validitas dan  yang tinggi untuk mengukur seberapa kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar.
Supervisi pembelajaran mempunyai prinsip-prinsip penting yang perlu diketahui, dipahami dan dijalankan oleh pelaku supervisi. Supervisor dalam beberapa supervisi diarahkan untuk senantiasa ilmiah, demokratis, membangun kerja sama, konstruktif  dan kreatif sebagaimana dikemukakan oleh Sahertian dalam bukunya Supervisi Pendidikan (2010: 20).
Supervisor ketika memberikan bantuan pemecahan masalah dalam upaya memperbaiki kekurangan dan kelemahan guru tidak bisa melakukan seorang diri, sehingga perlu sharing, kolaborasi, keterlibatan semua pihak, dilaksanakan secara demokratis dan mengedepankan musyawarah untuk menyepakati hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan perbaikan mutu pembelajaran.

4. Peranan Supervisor Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan, supervisi selalu mengacu kepada kegiatan memperbaiki proses pembelajaran. Proses pembelajaran ini sudah tentu berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang lain, seperti upaya meningkatkan pribadi guru, meningkatkan profesinya, kemampuan berkomunikasi dan bergaul, baik dengan warga sekolah maupun dengan masyarakat, dan upaya membantu meningkatkan kesejahteraan mereka.
Supervisor pembelajaran, tentu memiliki peran berbeda dengan "pengawas". Kepala sekolah atau Supervisor lebih berperan sebagai "gurunya guru" yang siap membantu kesulitan guru dalam mengajar. Supervisor pembelajaran bukanlah seorang pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan guru.
Olivia dalam sahertian (2010: 25), mengemukakan peran supervisor yang utama, ada empat hal yaitu: (a) sebagai koordinator, berperan mengkoordinasikan program-program dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan'kinerja guru dalam pembelajaran dan harus membuat laporan mengenai pelaksanaan program; (b) sebagai konsultan, supervisor harus memiliki kemampuan sebagai spesialis dalam masalah kurikulum, metodologi pembelajaran, dan pengembangan staf, sehingga supervisor dapat membantu guru baik secara individual maupun kelompok; (c) sebagai pemimpin kelompok (group leader), supervisor harus memiliki kemampuan memimpin, memahami dinamika kelompok, dan menciptakan berbagai bentuk kegiatan kelompok serta mampu mengembangkan ketrampilan dan kiat-kiat bekerja untuk kelompok (working for the group), bekerja dengan kelompok (working with the group), dan bekerja melalui kelompok (working trought the group); dan (d) sebagai evaluator, supervisor harus dapat memberikan bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasipelaksanaan pembelajaran dan kurikulum, serta harus rnampu membantu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan pengembangan dalam pembelajaran dan sebagainya.
Sahertian dan Frans Mahameru dalam Jasmani (2013: 134) menyatakan sesuai dengan pengertian hakiki dari supervisi itu sendiri, peranan supervisor ialah memberikan support (supporting), membantu (assisting), dan mengikutsertakan (sharing). Artinya, memberikan support berarti seorang supervisor dengan segala kemampan memberikan kiat-kiat yang menjadi dorongan (motivasi) kepada seseorang agar mau berbuat  sesuatu, memberikan bantuan berarti pengetahuan, pengalaman, ide, atau ketrampilan yang dimiliki supervisor mampu mengarahkan, menuntun, membina maupun membimbing seseorang untuk bisa berbuat sendiri,  sedangkan mengikutsertakan berarti supervisor turut serta terlibat langsung dalam menyelesaikan sesuatu. Dengan demikian, memang peranan supervisor ialah menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga guru-guru merasa aman dan bebas dalam mengembangkan potensi dan daya kreasi mereka dengan penuh tanggung jawab.
Sedangkan menurut Depag dalam Jasmani (2013: 132) peran supervisor adalah sebagai : (a) peneliti, dituntut untuk mengenal dan memahami masalah-masalah pembelajaran, (b) konsultan atau penasehat, hendaknya mampu membantu guru untuk mencari cara-cara yang lebih baik dalam mengelola proses belajar mengajar, (c) fasilitator, yakni menyediakan kemudahan-kemudahan bagi guru dalam melaksanakan tugas profesional, (d) motivator, mampu membangkitkan dan memelihara gairah kerja guru untuk mencapai prestasi kerja yang semakin membaik.
Pada dasarnya kegiatan pembinaan menyangkut dua belah pihak yaitu pihak yang dilayani atau pihak yang dibina dan pihak yang melayani atau pihak yang membina. Baik yang dibina maupun pembina harus sama-sama memiiiki kemampuan yang berkembang secara serasi sesuai kedudukan dan peran masing-masing. Oleh sebab itu sasaran pembinaan profesional ini adalah kedua belah pihak yaitu guru sebagai pihak yang dibina dan kepala sekolah, pengawas sekolah dan pembina lainnya sebagai pihak yang membina.
Soewono (1992:67) menyebutkan agar pembinaan dapat berhasil maka para pembina dalam melaksanakan pembinaan profesional terhadap para guru harus mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) pembina harus memiliki kepercayaan bahwa guru-guru memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya; (2) hubungan antara guru-guru dengan para pembina hendaknya didasarkan atas hubungan kerabat kerja, (3) pelayanan profesional hendaknya didasarkan pada pandangan yang objektif, (4) pelayanan profesional hendaknya didasarkan atas hubungan manusiawi yang sehat.

5.    Tugas  Supervisor Pendidikan
Menurut Permen PAN dan RB No. 21 Tahun 2010 pasal 5, tugas pokok supervisor adalah melaksanakan tugas supervisi akademik dan manajerial pada satuan pendidikan yang meliputi penyusunan program pengawasan, pelaksanaan pembinaan, pemantauan pelaksanaan  delapan Standar Nasional Pendidikan, penilaian, pembimbingan dan pelatihan profesional guru, evaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, dan pelaksanaan tugas kepengawasan di daerah khusus.
Ofsted dalam Sudjana dkk, (dalam Barnawi, 2014: 28) melihat bahwa tugas supervisor mencakup (1)  inspecting (mensupervisi), (2) advising (memberi nasehat), (3) monitoring (memantau), (4) reporting (memberi laporan), (5) coordinating (mengoordinasi), (6) performing leadership dalam arti memimpin dalam melaksanakan tugas pokok tersebut.
Tugas supervisor menurut Jasmani (2013: 106) terkait dengan bantuan dan bimbingan terhadap guru di sekolah, antara lain: (1) membantu guru menngerti dan memahami peserta didik, (2) membantu mengembangkan dan memperbaiki, baik individual maupun bersama-sama, (3) membantu seluruh staf agar lebih efektif dalam melaksanakan proses pembelajaran, (4) membantu guru meningkatkan cara mengajar yang efektif, (5) membantu guru secara individual, (6) membantu guru menilai peserta didik lebih baik, (7) menstimulus guru agar dapat menilai diri dan pekerjaannya, (8) membantu guru agar merasa bergairah dalam pekerjaaannya dengan penuh rasa aman, (9) membantu guru dalam melaksanakan kurikulum di sekolah, dan (10) membantu guru dapat memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang kemajuan sekolahnya.

6.    Kompetensi Kepala sekolah Sebagai Supervisor
Kepemimpinan dalam organisasi maupun lembaga merupakan spirit untuk memutar roda pemberdayaan organisasi maupun lembaga  tersebut, termasuk organisasi  sekolah. Artinya, peran sentral dalam organisasi tidak lepas dari kinerja seorang pemimpin untuk menggerakkan potensi-potensi yang ada dalam organisasi yang didalamnya ada guru dan murid sebagai pelaku utama pendidikan. Seorang pemimpin akan bertanggung jawab kepada bawahannya dan ini merupakan sebuah keharusan bagi seorang pemimpin memiliki kecakapan dalam merencana, melaksanakan dan mengevaluasi program organisasi atau lembaga yang dinahkodainya.
Rasulullah SAW dalam haditsnya bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya : Ibnu Umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala sekolah negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. (Buchary- Muslim).
Pada dasarnya, hadits di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Demikian juga dengan seorang kepala sekolah maka ia bertanggung jawab terhadap guru dan karyawan yang dipimpinnya. Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan, kenyamanan dan perbaikan  bagi pihak yang dipimpin.
Moqvist dalam Jasmani (2013: 143),  mengemukakan bahwa “competency has  been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work”. Sementara itu, dari Training Agency sebagaimana disampaiakan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa a competency is a description of something which a person who works in a given occupantional area should be able to do. It is a description of an action, behavior or outcome wich a person should be able to demonstrare”.
Dari kedua pendapat diatas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku, dan hasil yang seyogyanya  dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan ketrampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. Kepala sekolah sebagai supervisor berfungsi sebagai pengawas, pengendali, pembina, pengarah dan pemberi contoh bagi para guru dan karyawannya di sekolah. Kepala sekolah harus memahami tugas dan kedudukan guru dan karyawannya sehingga pembinaan yang dilakukan berjalan dengan baik.
Oleh sebab itu seorang kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi yang dibutuhkan dalam menunaikan tugasnya. Kompetensi supervisor adalah kemampuan yang merupakan akumulasi dari sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dituntut dalam jabatannya sebagai pengawas/ supervisor. Kompetensi yang harus dimiliki oleh supervisor mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial,  kompetensi supervisi akademik,  kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial (Jasmani, 2013: 15).
Mengenai kompetensi supervisor dalam praktek pelaksanaannya, seorang kepala sekolah harus mampu : (1) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme dan kompetensi guru, (2) melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan tehnik supervisi yang tepat, (3) menindak lanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme dan kompetensi guru.
Dalam hal ini kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor di lembaga pendidikan yang ia pimpin, harus mampu memilih strategi yang tepat dalam mengatasi dan menjembantani berbagai kendala demi tercapainya suasana belajar-mengajar yang kondusif, yang menyangkut masalah kegiatan di dalam kelas maupun yang dirasakan oleh guru sebagai individu dalam melaksakan kewajibannya. Hal ini bertujuan agar kedua pelaku kegiatan belajar-mengajar yakni pendidik dan peserta didik merasakan kenyamanan dan kesatuan dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Untuk dapat melaksanakan peran-peran di atas, kepala sekolah atau supervisor harus memiliki beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu yang pertama berkaitan dengan substantive aspectsof professional development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pembelajaran, persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas, yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerjakan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerjakan (will do) serta mau mengembangkan profesionalnya (will grow) (Bafadal, 1992:10-11).
Terkait dengan standar kompetensi pengawas sekolah dalam hal ini kepala sekolah sebagai supervisor akademik sesuai lampiran PP. Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/ Madrasah, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.        Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.
2.        Memahami konsep, prinsip, teori/ teknologi, karakteristik,dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/ bimbingan tiap mata pelajaran yang relevan.
3.        Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis dalam pengembangan berlandaskan standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
4.        Membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/ metode/ teknik pembelajaran/ bimbingan yang dapat mengembangkan berbagai potensi peserta didik melalui mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.
5.        Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.
6.    Membimbing guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan (di kelas, laboratorium dan atau di lapangan) untuk itu tiap mata pelajaran
Berkaitan dengan hakekat pembelajaran, kepala sekolah atau supervisor harus memahami keterkaitan berbagai variable yang berpengaruh. Pertama adalah faktor organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga professional lainnya dalam lembaga pendidikan. Kedua, berkaitan dengan pribadi guru, menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil keputusan, motivasi kerja, tahapan perkembangan atau kematangan, dan   keterampilan   guru.   Ketiga,   berkaitan   dengan  support  system   dalam pembelajaran, yaitu kurikulum, berbagai buku teks, serta ujian-ujian. Keempat, adalah peserta didik sendiri yang keberadaannya di dalam kelas sangat bervariasi. Kelima, supervisor harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan sebuahsekolah. Hal ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan bersama para guru dan kepala sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas. Dalam hal adult development, supervisor harus mengetahui tahapan perkembangan dan kematangan kerja seorang guru, tahapan perkembangan moral, tahapan perkembangan professional, serta berbagai prinsip dan teknik pembelajaran orang dewasa.
Seorang supervisor dalam hal ini adalah kepala sekolah adalah seorang yang profesional ketika menjalankan tugasnya, ia bertindak atas dasar kaidah-kaidah ilmiah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk menjalankan supervisi diperlukan kelebihan yang dapat melihat dengan tajam terhadap permasalahan peningkatan mutu pendidikan, menggunakan kepekaan untuk memahaminya dan tidak sekedar menggunakan penglihatan mata biasa, sebab yang diamatinya bukan masalah konkrit yang tampak, melainkan memerlukan insight dan kepekaan mata batin. Ia membina peningkatan mutu akademik yang berhubungan dengan usaha-usaha menciptakan kondisi belajar yang lebih baik, yang berupa aspek akademik.
Selain itu, kepala sekolah harus mempunyai kecakapan operasional yang mumpuni untuk mengendalikan organisasi, kecakapan operasional, menurut Sudarwan Danim dan Suparno terdiri atas beberapa hal antara lain : (a) menjadi komunikator guru yang baik, (b) mempunyai kecakapan teknis, (c) terampil berhubungan secara  manusiawi, (d) mampu dan terampil secara konseptual, (e) mengendalikan rapat dengan baik, (f) menjadi motivator, (g) sering tampil di tengah komunitas, (h) memiliki rasa humor, (i) membina integrasi.

5.  Orientasi Supervisi
Pembinaan guru adalah bantuan profesional yang diberikan oleh supervisor sebagai pembina kepada guru dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalismenya, terutama kemampun mengajar. Proses belajar mengajar tidak lepas dari interaksi aktif antara guru dan peserta didik dan hal ini menjadi sentral layanan pembinaan guru. Karena itu orientasi pandangan pembinaan guru sebenarnya juga berangkat dari orientasi pandangan mengenai belajar. Menurut Glickman dalam Imron (2012:70), ada tiga pandangan mengenai belajar yaitu: (a) berasal dari psikologi behavioristik, (b) berasal dari psikologi humanistik, dan (c) berasal dari psikologi kognitif.
Menurut psikologi behavioristik belajar dilaksanakan dengan instrumental dari lingkungan Guru mengkondisikan sedernikian rupa sehingga peserta didik  mau belajar. Dengan demikian mengajar dilaksanakan dengan kondisioning, pembiasaan, peniruan, perananan guru relative tinggi.  Hadiah dan hukuman sering ditawarkan dalam belajar dan mengajar. Kedaulatan guru tinggi sedangkan kedaulatan peserta didik rendah.
Pandangan kedua yang berasal dari psikologi humanistik ini merupakan antitesa pandangan behavioristik. Dalam pandangan demikian, belajar dapat dilakukan sendiri oleh peserta didik. Dalam belajar demikian peserta didik senantiasa menemukan sendiri menganai sesuatu tanpa banyak campur tangnan dari guru. Jadi peranan guru dalam belajar dan mengajar relatif rendah, sedangkan kedaulatan peserta didik dalam belajar relatif tinggi.
Psikologi kogntif berpandangan bahwa belajar merupakan perpaduan dari usaha pribadi dengan control instrumental yang berasal dari lingkungan, sehingga tanggung jawab antara peserta didik dengan guru sama-sama seimbang. Berdasarkan pandangan psikologis tentang belajar dan mengajar, Glickman dalam Masaong (2012:34) mengidentifikasi orientasi supervisi menjadi tiga, yaitu orientasi direktif, orientasi non direktif dan orietasi kolaboratif.
a.  Orientasi Direktif
Orientasi direktif didasarkan pada psikoiogi behavioristik tentang belajarr Jika tanggung jawab guru dalam mengembangkan dirinya sangat rendah, maka dibutuhkan keterlibatan yang tinggi dari pembina. Dengan demikian guru akan dapat dikondisikan sedemkian rupa sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya dengan baik. Supervisi pembelajaran yang berorientasi direktif menampilkan perilaku-perilaku:   klarifikasi,  presentasi,  demonstrasi,   penegasan,  standardisasi,   dan penguatan. Hasil akhir dari pembinaan dengan orientasi ini berupa tugas guru, Pengkondisian guru melalui lingkungan yang dibangun oleh pembina diharapkan memunculkan perilaku guru sebagaimana yang diharapkan.
Menurut Glikman dalam Imron (2011: 76) ada enam hal yang harus dilakuakan an oleh supervisor dalam melaksanakan supervisi pembelajaran, yaitu: (1) mengklarifikasi permasalahan, (2) mempresentatsikan gagasan mengenai  apa dan bagaimana informasi akan dikumpulkan, (3) mengarahkan guru apa yang akan dilakukan oleh guru, (4) mendemonstrasikan perilaku guru, (5) menetapkan patokan atau standar tingkah laku mengajar yang dikehendaki, (6) menggunakan insentif sosial dan material.
b.  Orientasi Nondirektif        
Orientasi nondirektif dibangun dari psikologi humanistik tentang belajar dan mengajar, bahwa beiajar haruslah dilakukan dengan penemuan sendiri oleh peserta didik. Dengan demikian tingkat tanggung jawab guru rendah, sementara tingkattanggung jawab peserta didik tinggi. Dalam orientasi nondirektif, tanggung jawab guru dalam mengembangkan dan membina dirinya sendiri adalah. tinggi, sedangkan tanggung jawab pembina dalam membina guru adalah rendah. Dengan demikian kedaulatan lebih banyak di tangan guru dan pembina sekedar sebagai fasilitator saja. Perilaku pokok pembina dalam orientasi nondirektif ini adalah: mendengarkan, mengklarifikasi, mendorong, mempresentasikan, dan bernegosiasi. Sedangkan target akhir yang diinginkan adalah perencanaan oleh guru itu sendiri.
 c.   Orientasi Kolaboratif
Orientasi kolaboratif mendasarkan asumsi-asumsi yang digunakan psikologi kognitif. Menurut psikologi kognitif belajar merupakan konvergensi antara control instrument lingkungan dan usaha penemuan oleh diri sendiri. Karena itu tanggung jawab antara guru dengan peserta didik sama-sama seimbang dan pada tingkat sedang. Pandangan kolaboratif dalam pembinaan guru juga ada kedaulatan yang seimbang antara pembina dan guru. Tanggung jawab mereka masing-masing yaitu sebagai guru dan sebagai pembina sama-sama sedang. Dalam orientasi kolaboratif perilaku pokok pembina adalah: mendengarkan, mempresentasikan, memecahkan masalah dan negosiasi.

Metode dan Teknik-teknik Supervisi Pembelajaran
Metode dalam konteks supervisi ialah suatu cara yanag ditempuh oleh suprvisor guna merumuskan tujuan yang hendak dicapai, baik oleh sistem perorangan maupun kelembagaan pendidikan itu sendiri. Sementara teknik adalah langkah-langkah konkret yang dilakukan oleh seorang supervisor dan teknik yang dilaksanakan dalam supervisi dapat ditempuh melalui berbagai cara,yakni pada prinsipnya supervisor berusaha merumuskan harapan-harapan menjadi sebuah kenyataan (Jasmani & Syaiful Mustofa. 2013).
Metode dibagi menjadi dua yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung adalah metode supervisi yang digunakan untuk mengenai pihak yang disupervisi secara langsung. Sedangkan metode secara tidak langsung adalah supervisor mempergunakan berbagai macam media dan atau alat perantara.
Secara umum alat dan teknik supervisi dapat dibedakan menjadi dua (John Minor Gwyn dalam Sahertian (2010: 52), yaitu teknik individual dan teknik kolektif. Teknik individual adalah teknik yang dilaksanakan seorang guru secara individual. Sedangkan teknik kolektif atau kelompok  adalah teknik yang dilakukan untuk melayani lebih dari satu orang.  
Suhertian dkk (2008), menyebutkan bahwa teknik supervisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) teknik supervisi yang bersifat individu dan (2) teknik yang bersifat kelompok. Lebih lanjut, Saherian (2010: 52) menguraikan bahwa tehnik supervisi yang bersifat individu meliputi : (a) kunjungan kelas (classroom visitation), (b) observasi kelas (classroom observation), (c) percakapan pribadi (individual conference), (d) saling mengunjungi kelas (intervisitation), (e) penyeleksi berbagai sumber untuk mengajar, (f) menilai diri sendiri (self evaluation check list).
Sedangkan teknik supervisi yang bersifat kelompok meliputi : (a) pertemuan orientasi bagi guru baru, (b) panitia penyelenggara,(c) rapat guru, (d) studi kelompok antara guru, (e) diskusi sebagai proses kelompok, (f) tukar menukar pengalaman, (g) lokakarya, (h) diskusi,  (i) seminar, (j) simposium, (k) demonstrasion teaching, (l) perpustakaan jabatan, (m) buletin supervisi, (n) membaca langsung, (o) kursus, (p) organisasi jabatan, (q) curriculum laboratory, (r) perjalanan sekolah untuk staf sekolah.
Di sisi lain Soetopo (2001) menyebutkan beberapa cara supervisi yang dapat dilakukan antara lain ; (1) melalui penelitian yang dirancang secara khusus, (2) kunjungan dan pengamatan langsung ke tempat berlangsungnya kegiatan, (3) penilain laporaan berkala, (4) wawancara, dan (5) angket dan sejenisnya.

B. Program Supervisi Pembelajaran          
Program supervisi adalah rencana kegiatan supervisi yang akan dilaksanakan oleh supervisor dalam kurun waktu tertentu atau dalam satu periode. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, supervisor harus mengawali kegiatannya dengan menyusun program kerja supervisi yang jelas, terarah dan berkesinambungan dengan kegiatan supervisi yang telah dilakukan pada periode sebelumnya. Dalam konteks  manajemen, program kerja supervisi sekolah mengandung makna sebagai aplikasi fungsi perencanaan dalam bidang supervisi sekolah (Depdiknas dalam Musfiqon, 2015: 60)
Supervisi pembelajaran hendaknya dilaksanakan secara praktis dan sistematis dalam arti dikerjakan dan dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi SMAN 1 Patianrowo, sehingga diperlukan perencanaan yang matang sesuai dengan tujuan yang diinginkan, yakni membantu memperbaiki dan meningkatkan kualitas kegiatan belajar di kelas. Program supervisi harus   realistik   dan   dapat   dilaksanakan  sehingga   benar-benar   membantu mempertinggi kinerja guru. Sebagaimana dikatakan Jerry (2011:122), program supervisi adalah rincian kegiatan proses dan hasil belajar mengacu pada terjadinya perubahan prilaku mengajar guru kearah yang lebih baik.
Sedangkan Pidarta (1992:126) mengatakan bahwa, program supervisi ialah aktivitas-aktivitas apa yang akan dikerjakan oleh para supervisor dalam melaksanakan  supervisi. Aktivitas-aktivitas   itu  berkaitan  dengan tugas-tugas   supervisor   yang   harus dipertanggung jawabkan, diantaranya: (1) mengkoordinir dan membina guru-guru, (2) mempertahankan   dan   mengembangkan  kurikulum   yang   berlaku,   (3) meningkatkan  program   dan  pelaksanaan penelitian  dan   hubungan   dengan masyarakat sebagai penunjang kurikulum, dan (4) program-program khusus. Setiap supervisor memiliki program sendiri-sendiri dalam melaksanakan tugasnya.
Program supervisi menurut Makawimbang (2011:127), adalah perencanaan kegiatan pengawasan sekolah yang meliputi penilain dan pembinaan bidang teknis edukatif atau akademis dan teknis administratif atau manajerial dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Makawimbang juga mengatakan bahwa dengan adanya program yang baik, maka guru dan pengawas dapat mengetahui masalah-masalah dan akhirnya dapat mengetahui secara sistematis perubahan-perubahan positif apa saja yang telah terjadi dari waktu ke waktu.
Di dalam program supervisi pembelajaran tertuang berbagai kegiatan yang perlu dilaksanakan agar mutu pembelajaran semakin meningkat, sehingga peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya  semakin cepat. Dengan program yang baik guru dan kepala sekolah dapat mengetahui masalah-masalah proses pembelajaran di kelas dan cara mengatasi masalah-masalah tersebut.
Penyusunan program supervisi dan laporan hasil supervisi ini sesuai dengan tugas pokok supervisor yang diatur pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 21 tahun 2010 tentang jabatan fungsional pengawas (supervisor) dan angka kreditnya Pasal 1 Bab 1 ayat 1 yang menerangkan bahwa jabatan funsional pengawas sekolah (supervisor) adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan supervisi akademik dan supervisi manajerial pada satuan pendidikan. Adapun petunjuk teknisnya (juknis) penyusunan program supervisi merujuk pada permenpandan RB (reformasi birokrasi) No 1 tahun 2010.
Program supervisi harus realistik dan dapat dilaksanakan sehingga benar-benar membantu mempertinggi kinerja guru. Program supervisi yang baik menurut Oteng Sutisna dalam Dadang Suhardan (2014: 52)  adalah: mencakup keseluruhan proses pembelajaran yang membangun lingkungan belajar-mengajar yang kondusif, di dalamnya mencakup maksud dan tujuan, pengembangan kurikulum, metode mengajar, evaluasi, pengembangan pengalaman belajar murid yang direncanakan baik dalam intra maupun ekstra kurikuler.
Program supervisi berprinsip kepada proses pembinaan guru yang menyediakan motivasi yang kaya bagi pertumbuhan kemampuan profesionalnya dalam mengajar. Ia menjadi bagian integral dalam usaha usaha peningkatan mutu sekolah, mendapat dukungan semua pihak disertai dana dan fasilitasnya. Bukan sebuah kegiatan suplemen atau tambahan.Agar supervisi yang dilakukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan, maka progam yang disusun harus realistik yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan setempat di sekolah atau di wilayah itu.
 Program supervisi pembelajaran yang baik berisi kegiatan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dalam hal (Djam’an Satori, dkk dalam Dadang Suhardan, 2014:  53):
1.        Kemampuan menjabarkan kurikulum kedalam program catur wulan/ semester maupun tahunan.
2.        Kemampuan menyusun perencanaan mengajar atau satuan pelajaran.
3.        Kemampuan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dengan baik.
4.        Kemampuan menilai proses dan hasil belajar.
5.        Kemampuan memberi umpan balik secara teratur dan terus menerus.
6.        Kemampuan membuat dan menggunakan alat bantu engajar secara sederhana.
7.        Kemampuan menggunakan/ memanfaatkan lingkungan sebagai sumber dan media pengajaran.
8.        Kemampuan membimbing dan melayani murid yang mengalami kesulitan dalam belajar.
9.        Kmampuan mengatur waktu dan menggunakannya secara efisien untuk menyelesaikan program-program belajar murid.
10.    Kemampuan memberikan pelajaran dengan memperhatikan perbedaan individual diantara para peserta didik.
11.    Kemampuan megelola kegiatan belajar-mengajar ko dan ekstra kurikuler serta kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran peserta didik.
Tujuan dari penyusunan program supervisi  ini antara lain; (a) sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan supervisi secara keseluruhan dan tepat, (b) meningkatkan Kompetensi dan kineja guru dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang bermakna dan berkualitas, (c) sebagai Standar ukur mercapai KKM dan SKL yang ditetapkan dalam Kurikulum, (d) sebagai pedoman untuk meningkatkan kompetensi pendidik dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) dan (e) meningkatkan mutu pendidikan khususnya di SMA Negeri 1 Patianrowo. Dalam implementasinya dilapangan program supervisi terbagi dalam program semester dan pogram tahunan.
Metode Penyusunan Program dengan menggunakan metode deskriptif  yakni dengan bercermin pada kegiatan sejenis yang sudah biasa dilakukan, dan berusaha mengamati, memantau dan menganalisa serta menghubungkan program  dan pelaksanaan dan fakta-fakta kenyataan dilapangan yang mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.16/2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Sehingga hasilnya dapat diperkirakan mampu diterima oleh dua belah pihak antara supervisor dan yang disupervisi,  serta tidak terlalu menyimpang dari aturan yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam  penyusunan program supervisi menurut Barnawi dan Arifin (2014: 55) adalah sebagai berikut:
1.   Mengidentifikasi   hasil    pengawasan   sebelumnya. Identifikasi dilakukan melalui analisis kesenjangan dengan mengacu pada kebijakan di bidang pendidikan yang digunakan. Identifikasi hasil pembinaan menggambarkan sejauhmana ketercapaian tujuan pembinaan yang telah dilakukan sebelumnya. Selain itu kebijakan dalam bidang pendidikan juga menjadi acuan dalam menyusun program pembinaan sekolah. Hasil identifikasi menjadi acuan dalam menentukan tujuan dan jenis pembinaan yang akan dilakukan. Pola pembinaan yang sudah menunjukkan hasil yang baik perlu dipertahankan. Sehingga hasil identifikasi pembinaan sebelumnya sangat membantu supervisor untuk melakukan pembinaan selanjutnya.
2.  Pengolahan   dan analisis hasil pengawasan sebelumnya. Langkah ini diarahkan untuk menentukan prioritas tujuan, sasaran, pendekatan, metode kerja serta langkah-langkah pembinaan yang akan dilakukan. Output dari hasil pengolahan dan analisis hasil pembinaan harus mamapu menunjukkan kondisi sekolah secara kualitatif dan kuantitatif.
3.  Perumusan rancangan program pengawasan tahunan. Rancangan program  pengawasan/ pembinaan tahunan dibuat dengan landasan hasil identifikasi dan analisis hasil pembinaan tahun lalu. Rumusan rancangan program pembinaan ini dibuat dalam bentuk matriks untuk semua sekolah binaan atau satuan pendidikan.
4.  Pemantapan dan penyempurnaan rancangan program pembinaan tahunan. Setelah dirumuskan dalam bentuk rancangan, program pembinaan dimantapkan dan disempurnakan isinya.Program yang telah dimantapkan  dan dirumuskan tersebut  adalah rumusana akhir yang menjadi salah satu acuan dalam menyusun rencana kepengawasan akademik (RKA) yang didalamnya memuat aspek masalah, tujuan, indicator, keberhasilan, strategi/ metode kerja, skenario kegiatan, sumber daya yang diperlukan, penilaian dan instrumen pengawasan.
 Melalui langkah-langkah itu diharapkan akan dihasilkan satu program yang komprehensif (menyangkut seluruh aspek pembelajaran) dan realistik (sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi guru-guru di lapangan).
Pernyusunan program supervisi sebagaimana diutarakan di atas, akan berjalan sesuai dengan harapan apabila kepala sekolah memiliki pengetahuan tentang pengertian, tujuan, fungsi dan teknik serta pendekatan supervisi disertai petunjuk pelaksanaan secara sederhana.
Namun secara umum program supervisor itu adalah (1) analisis kemampuan guru, (2) penelitian dan pengembangan proses pembelajaran, (3) pembinaan guru secara preventif dan kuratif, (4) hubungan masyarakat dan analisis kebutuhan di daerah, (5) mengembangkan kurikulum lokal (Pidarta, 2009: 50). Berikut penjabarannya:
1.        Analisis kemampuan guru
Kondisi masing-masing guru adalah berbeda-beda. Oleh sebab itut seorang supervisor harus mampu menganalisis kemampuan guru sebelum melakukan pembinaan atau supervisi.  Hal ini dapat dilakukan melalui pertemuan informal, kerjasama dan segala bentuk pergaulan lainnya.
Menurut Slater dalam Pidarta (2009: 51) supervisor harusnya menganalisis kondisi setiap guru secara mendalam, bukan saja dari penampakan luarnya melainkan juga membuka isi  hatinya, suasana hati, dan kata hatinya. Dengan kata lain menggunakan pendekatan emosional. Cara kerja yang demikian disebut juga sebagai supervisi klinis. Sebab supervisor menganalisis kondisi psikolgis guru sebelum  melakukan pembinaan. Hasil analisis akan dicatat atau diingat sebagai keadaan khusus guru. Dengan cara ini diharapkan pekerjaan supervisor menjadi lebih efektif.
2.        Penelitian dan pengembangan proses pembelajaran
Supervisor harus mampu memajukan guru-guru agar melakukan penemuan-penemuan, disiplin dalam membaca hasil penelitian, merefleksi terhadap hasil itu, dan berdialog sebagai guru yang kritis (Moss dalam Pidarta, 2009: 52). Guru perlu dibina agar akuntabel.
3.        Pembinaan guru secara preventif dan kuratif
Pembinaan terhadap guru adalah dalam pengembangan pribadi,  kompetensi, dan sosial.  Termasuk didalamnya adalah kompetensi pengembangan proses pembelajaran yaitu metode mendidik dan mengajar, cara-cara menentukan kebutuhan lokal, dan menjaring aspirasi masyarakat. Pembinaan terhadap guru ini dilakukan secara preventif dan kuratif. Secara preventif adalah dengan cara menciptakan antar hubungan yang akrab, harmonis, dan bersahabat. Juga dilakukan dengan cara membantu dan membimbing guru untuk dapat menciptakan kondisi belajar dan proses pembelajaran yang baru dan efektif. Sedangkan yang bersifat kuratif adalah memperbaiki hal-hal yang kurang menarik yang terjadi pada diri guru-guru.
4.    Hubungan masyarakat dan analisis kebutuhan di daerah.  Desentralisasi pendidikan mengharuskan sekolah mengadakan hubungan dan kerjasama dengan masyarakat, sebab desentralisasi bertujuan memajukan masyarakat yang beragam itu melalui pendidikan.  Sekolah di setiap daerah akan menyerap aspirasi massyarakat pada daerahnya atau lingkungannya masing-masing untuk diangkat menjadi program pendidikan, ketentuan inilah yang mengharuskan bagi seorang supervisor dalam hal ini adalah kepala sekolah perlu memiliki program hubungna dengan masyarakat dan analisis kebutuhan daerah. Dengan demikian pendidikan akan berjalan sinergis dengan memperhatikan aspirasi dan  kebutuhan masyarakat setempat.
5.      Mengembangkan kurikulum lokal.  Tindak lanjut dari analisis aspirasi dan kebutuhan masyarakat diwujudkan dalam bentuk kurikulum lokal.  Pendidikan akan mengembangkan peserta didik untuk menjadi seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Disamping mengembangkan potensi sumber daya manusia di daerah, sekolah juga membantu mewujudkan pembangunan-pembangunan  sumber daya alam didaerah yang bersangkutan. Wujud kurikulum lokal ini bias berupa penanaman norma-norma masyarakat, pemakaian alat belajar dan media yang ada di daerah tersebut, keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam pembangunan daerah, dan mata pelajaran baru yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
Dalam program supervisi/ pembinaan  guru, program semester ataupun  tahunan yang akan dilakukan oleh kepala sekolah meliputi (Barnawi, dkk, 2014:66):
1.  Melakukan pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru menyusun administrasi perencanaan pembelajaran.
2.     Melakukan pendampingan dalam meningkatkan kemampuan guru dalam proses pelaksananaan pembelajaan.
3.     Melakukan pendampingan membimbing guru dalam meningkatkan kemampuan  melaksananakan penilaian hasil belajar peserta didik.
4.      Memberikan masukan kepada guru dalam memanfaatkan lingkungan dan sumber belajar.
5.    Memberikan rekomendasi kepada guru mengenai tugas membimbing dan melatih peserta didik terkait pengayaan dan remidial.
6.     Memberi bimbingan kepada guru dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk pembelajaran.
7.  Memberi bimbingan kepada guru dalam pemanfaatan hasil penilaian untuk perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran.
8.     Memberikan bimbingan kepada guru untuk melakukan refleksi hasil-hasil yang dicapainya.

C.      Pendekatan Dalam Supervisi Pembelajaran
Makawimbang (dalam Djasmani, dkk, 2013: 91), dalam praktek supervisi pembelajaran, dikenal beberapa model supervisi yang diidentikkan dengan pendekatan supervisi yang selama ini dengan sadar atau tidak sadar diimplementasikan oleh supervisor dalam pelaksanaan tugasnya. Setiap model memiliki karakteristik atau kelebihan dan kekurangannya.  Maka masih menurut Makawimbang ihtiar untuk mencari model supervisi bagi supervisor/ kepala  sekolah adalah keniscayaan ketika mutu pendidikan menjadi target utama. Model supervisi dimaknakan sebagai bentuk atau kerangka sebuah konsep atau pola supervisi. Ia sebagai kerangkak konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan kegiatan supervisi.
Oleh karena itu memahami model-model supervisi atau pendekatannya  memiliki banyak keuntungan tersendiri. Dalam berbagai referensi supervisi pembelajaran dikenal beberapa model supervisi yang dikembangkan dan yang telah diterapkan dalam dunia pendidikan atau satuan pendidikan. Model supervisi menurut Sahertian (2008) adalah: (a) model supervisi konvensional (tradisional), (b) model supervisi ilmiah, (c) model supervisi klinis, dan (d) model supervisi artistik.
Sedangkan dalam bukunya Imron (2012: 28) mengemukakan ada beberapa pendekatan dalam supervisi pembelajaran. Pertama pendekatan ilmiah, yang merupakan warisan era kejayaan gerakan menejemen ilmiah. Kedua, pendekatan klinik, yang diangkat dari model hubungan dokter dan pasien, sehingga didalamnya terdapat diagnosis-terapi dalam supervisi pembelajaran. Ketiga, pendekatan artistik   yang merupakan wujud jawaban atas ketidakpuasan terhadap pendekatan ilmiah. Ketiga pendekatan tersebut selain memiliki kelebihan tersendiri, juga tidak lepas dari kritik-kritik.

1.    Pendekatan Ilmiah Dalam Supervisi Pembelajaran
Pendekatan ilmiah dalam supervisi pembelajaran ini terkait erat dengan pengupayaan efektifitas pembelajaran. Dalam pandangan pendekatan ilmiah ini, pembelajaran dipandang sebagai science maka perbaikan pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Sementara itu, ciri utama science adalah rasional dan empirik.
Guna meningkatkan dan mengupayakan perbaikan pembelajaran, maka seorang supervisor yang menggunakan pendekatan ilmiah dapat melaksanakan tiga hal, yaitu: (a) mengimplementasikan hasil temuan para peneliti, (b) bersama-sama dengan peneliti mengadakan penelitian dibidang ppembelajaran dan hal lain yang bersangkut paut dengannya, dan (c) menerapkan metode ilmiah dan sikap ilmiah dalam menentukan efektivitas pembelajaran.
Supervisi pendekatan ilmiah sebagai sebuah model atau pendekatan dalam supervisi pembelajaran dapat digunakan oleh supervisor untuk menjaring informasi atau data dan menilai kinerja guru ataupun kepala sekolah dengan cara menyebarkan angket.
Dalam pelaksanaannya supervisor menyebarkan angket untuk diisi oleh orang yang berada di sekitar orang  yang disupervisi, jika hasil cenderung tidak menguntungkan, supervisor segera mengambil langkah-langkah logis dan rasional untuk memberikan pencerahan kepada mereka agar mau memperbaiki kinerjanya.
Oleh karena itu, supaya supervisor memperolah gambaran yang obyektif, perlu perencanaan, persiapan matang, taat prosedur, sistematis, menggunakan instrumen pengumpulan data dan mengusahakan informasi atau data yang diperoleh supervisor itu riil adanya.
Menurut Sahertian dalam jasmani, dkk (2013: 96),  supervisi berpendekatan  ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) dilaksanakan secara berencana dan kontinu, (2) sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, (3) menggunakan instrumen pengumpulan data, (4) menggunakan alat penilaian berupa angket  yang mudah dijawab, (5) angket disebar kepada peserta didik dan atau guru sejawat, (5) ada data atau informasi obyektif yang diperoleh dari keadaan yang riil.
Dengan menggunakan pendekatan ilmiah, supervisor bisa segera mengambil langkah-langkah supervisi dengan meningkatkan keefektifan pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Namun demikian pendekatan ini tidak bebas dari kritik, sebab dalam realitasnya masih banyak faktor lain   yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran, tetapi masih belum dapat ditangkap oleh pendekatan ilmiah. Misalnya saja, pengetahuan  yanng telah mapan dan diyakini oleh guru dan supervisor, ysng untuk mengetahuinya hanya dapat dilakukan dengan common sense, pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat empirik dan pemikiran spekulatif.

2.    Pendekatan Klinis
Morris Cogan dalam Jasmani (2013: 96) mendefinisikan Clinical supervision sebagai latar dan praktik yang di desain untuk mengembangkan performa guru di kelas. Sergiovani dan Starrat (1979) menjelaskan bahwa Clinical supervision mengacu pada tatap muka pertemuan dengan guru tentang mengajar, biasanya dalam classrooms, dengan maksud agar tercipta profesionalitas guru dan pengembangan serta peningkatan instruksi pembelajaran. Sedangkan R Willem dalam Archeson dan Gall, 1980 mengemukakan supervisi klinis adalah proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal.
Senada dengan pendapat tersebut, Flanders masih dalam Jasmani (2013: 96) melihat pengawasan clinical sebagai sebuah teaching kasus khusus yang mana setidaknya dua orang yang bersangkutan akan diperbaiki. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis adalah suatu proses pembimbingang dalam pendidikan yang bertujuan untuk membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan analisis data secara obyektif, teliti sebagai dasar untuk usaha mengubah perilaku mengajar guru.
Sementara itu Sergiovanni dalam Imron (2012: 59) menyatakan bahwa supervisi pembelajaran dengan pendekatan klinik adalah suatu pertemuan tatap muka antara supervisor dengan guru, membahas tentang hal mengajar di dalam kelas guna perbaikan pembelajaran dan pengembangan profesi.
Ciri-ciri supervisi klinis antara lain : (1) bantuan yang diberikan bukan bersifat instruksi atau memerintah, tetapi tercipta hubungan yang manusiawi, (2) timbul dari harapan dan dorongan guru sendiri karena dia merasa membutuhkan bantuan itu, (3) satuan tingkah laku guru merupakan satuan yang terintegrasi, (4) suasana penuh kehangatan, kedekatan,  dan keterbukaan, (5) supervisi yang diberikan tidak saja pada pembelajaran melainkan juga pada aspek kepribadian guru, (6) instrumen yang digunakan untuk observasi disusun berdasarkan kesepakatan antara supervisor dan guru, (7) balikan yang diberikan harus secepat mungkin dan sifatnya obyektif, (8) dalam percakapan balikan harusnya datang dari pihak guru lebih dulu, bukan dari supervisor.
Prinsip-prinsip supervisi klinis antara lain: (1)  pelaksanaan supervisi harus berdasarkan inisiatif dari guru terlebih dahulu, (2) menciptakan hubungan manusiawi yang bersifat interaktif dan rasa kesejawatan, (3) menciptakan suasana bebas untuk mengemukakan apa yang dialaminya, (4) obyek kajiannya adalah kebutuhan profesional guru yan riil danalami, dan (5) perhatian dipusatkan pada unsur-unsur yang spesifik yang harus diangkat untuk diperbaiki.
Model pendekatan ini dalam implementasinya memerlukan siklus yang sistemis. Paling tidak terdapat tiga siklus yang harus ditempuh yaitu perencanaan (pertemuan pendahuluan), pengamatan  (observasi di kelas ) dan analisis (tahap balikan / evaluasi prilaku guru).

3.    Pendekatan Artistik
Menurut Jasmani dan Syaiful Mustofa (2013: 93), mengajar adalah suatu pengetahuan (knowladge). Mengajar merupakan suatu ketrampilan (skill), tetapi juga suatu seni (art). Sejalan dengan tugas mengajar dan mendidik, supervisi juga pengajar dan pendidik yang kegiatannya memerlukan pengetahuan , ketrampilan, dan seni. Jadi model supervisi artistik yang dimaksudkan disini adalah ketika supervisor melakukan kegiatan supervisi dituntut berpengetahuan, berketrampilan dan tidak kaku karena dalam kegiatan supervisi juga mengandung nilai seni.
Model pendekatan supervisi artistik mendasarkan diri pada bekerja untuk orang lain (working for the others), bekerja dengan orang lain (working with the others), dan bekerja melalui orang lain (working through the others). Hubungan itu dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan. Saling percaya, saling mengerti, saling menghormati, saling mengakui, saling menerima seseorang apa adanya.
Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, yaitu supervisi lebih banyak menggunakan bahasa penerimaaan ketimbang bahasa penolakan (Thomas Gordon dalam Sahertian, 2010:42-43). Supervisor dalam hal ini kepala sekolah dalam melaksanakan supervisi artistik akan menampakkan dirinya dalam relasi dengan guru-guru yang dibimbing sedemikian baiknya, sehingga guru merasa diterima. Sikap seperti mau belajar mendengarkan perasaan orang lain, mengerti orang lain dengan problema-problema yang dikemukakan, menerima orang lain sebagaimana adanya, sehingga orang dapat menjadi dirinya sendiri. Itulah supervisi artistik.
Eisner (dalam Sergiovanni, 1982 : 144) menyatakan bahwa pendekatan artistik adalah pendekatan yang menekankan pada sensitivitas, perseptivity dan pengetahuan supervisor untuk mengapresiasi segala aspek yang terjadi di kelas dan kemudian menggunakan bahasa yang ekspresif, puitis dan ada kalanya metaforik untuk mempengaruhi guru agar melakukan perubahan terhadap apa yang telah diamati di dalam kelas. Dalam supervisi ini, instrumen utamanya bukanlah alat ukur (perangkat pembelajaran) atau pedoman observasi, melainkan manusia itu sendiri yang memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi.
Pendekatan artisitik menurut Imron (2012: 54)  memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.   Menaruh perhatian terhadap karakter ekspresif tentang peristiwa pembelajaran yang terjadi. Pendekatan artistik tidak menyederhanakan kejadian yang luas dan kompleks. Ia mengartikan kenyataan yang benar dan memerlukan perhatian khusus agar lebih banyak mendengarkan daripada bicara.
2.        Memerlukan ahli seni dalam pendidikan, yang dapat melihat sesuatu yang subtle (halus, lembut, dan untuk menjagkaunya perlu dengan rasa) dalam pembelajaran.   Memerlukan tingkat pengetahuan yang cukup dan keahlian khusus untuk memaahami apa yang dibutuhkan oleh orang lain. Dalam pendekatan ini peran emosional cukup berperan.
3.      Mengapresiasi setiap kontribusi unik para guru yang di supervisi terhadap pengembangan peserta didik. Kritik yang diberikan oleh supervisor adalah bagaikan kritikan seni yang bermanfaat bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pendekatan ini Mengutamakan sumbangan-sumbangan unik dari guru-guru dalam rangka mengembangkan pendidikan bagi generasi muda. Mudah menerima kritik dan saran dari guru.
4.     Menaruh perhatian pada kehidupan kelas secara keseluruhan. Menuntut untuk memberi perhatian yang lebih banyak terhadap proses pembelajaran di kelas  dan diobservasi pada waktu-waktu tertentu. Lamanya proses observasi inilah yang memberikan kemungkinan bagi ditempatkannya peristiwa-peristiwa pembelajaran dalam konteks yang sebenarnya. Perhatian tidak melulu pada administrasi perangkat pembelajaran.
5.   Memerlukan hubungan yang baik dan menyenangkan antara supervisor dan guru. Melalui hubungan yang semacam ini suasana dialogis dan akran akan tercipta. Dengan membangu komunikasi yang dialogis diharapkan pembinaan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan dan hal-hal yang diperlukan oleh guru.
6.  Memerlukan kemampuan penggunaan bahasa yang dapat  menggali potensi-potensi guru. Penguasaan ini diperlukan karena guru-guru yang berpotensi, adakalanya mengalami kesulitan dalam mengekspresikan potensinya. Kesulitan-kesulitan tersebut bisa disebabkan oleh hal-hal intern yang berasal dari dirinya sendiri, atau sifat potensi tersebut sukar diekspresikan. Dan bahkan bisa jadi disebabkan oleh terbatasnya kemampuan bahasa yang dimiliki untuk mengekspresikan, serta terbatasnya medium-medium ekspresi.
7.  Memerlukan kemampuan untuk mendeskripsikan dan mengintepretasikan setiap peristiwa pembelajaran yang terjadi. Sebab apa-apa yang signifikan dalam pendidikan tidak dapat ditentukan sekedar melalui tes-tes statistik. Tes statistik tidak dapat meenangkap nilai dan makna, melainkan hanya dapat berhubungan dengan hal-hal yang besifat mungkin atau probabilitas saja.
8.    Menerima kenyataan bahwa supervisor dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kepekaan dana pengalamannya, merupakan instrumen pokok. Berarti dialah yang memberi makna atas segala kejadia pembelajaran yang diamati, sehingga situasi pendidikan itu diterima dan bermakna bagi orang yang disupervisi.
Pendekatan artistik dalam supervisi pembelajaran muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap supervisi pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah, Supervisi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah disinyalir gagal, dan kegagalan tersebut bersumber dari kelemahan pendekatan ilmiah secara internal, yaitu terlalu berani menggeneralisasikan tampilan-tampilan pembelajaran yang tampak sebagai keseluruhan peristiwa pembelajaran. Supervisi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan artistik, dalam menangkap pembelajaran berusaha menerobos keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan ilmiah.
Pembinaan kepada guru dengan pendekatan artistik dalam menangkap pembelajaran berusaha menerobos keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan memperhatikan latar psikologis dan sosiologis para pelakunya. Karena secara psikologi masing-masing individu berbeda, maka butuh penyelaman secara mendalam. Dalam sudut pandang pendekatan artistik, keberhasilan pembelajaran tidak dapat diukur dengan keberhasilan pembelajaran yang lain, yang berbeda pelakunya. Tidak dapat diukur dengan menggunakan peristiwa pembelajaran yang berada di konteks yang lainnya lagi.
Pendekatan artistik berpandangan bahwa keberhasilan pembelajaran tidak bisa diukur dengan menggunakan peristiwa pembelajaran yang berada dalam konteks yang berbeda. Karena itu pendekatan artistik merekomendasikan agar supervisor turut mengamati, merasakan, dan mengapresiasikan pembelajaran yang dilakuan oleh guru. Pembina harus mengikuti mengajar guru dengan cermat, telaten dan utuh.
Eisner (dalam Sergiovanni, 1982:146) melukiskan bahwa supervisor bagaikan menyaksikan tampilan-tampilan karya seni, namun harus dilihat secara menyeluruh dengan pengamatan yang cermat, turut merasakan dan mencoba menangkap maknanya. Dengan kata lain pembina harus mengapresiasikan pembelajaran guru.
Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (suasana) kependidikan di sekolah. Dalam supervisi ini, instrument utamanya bukanlah alat ukur atau pedoman observasi, melainkan manusia itu sendiri yang memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi.
Kesadaran akan pentingnya supervisi pembelajaran berpendekatan artistik, telah menjadi perhatian kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo   yang menjadi subyek penelitiaan. Pendekatan artistik relevan dengan budaya sekolah yang bernuansa Islami, dimana dalam hal ini sikap dan prilaku kepala sekolah yang sangat menentukan pendekatan supervisi ini dalam rangka peningkatan kegiatan belajar mengajar terlebih dengan latar belakang kepala sekolah sekagai seorang pengajar bimbingan konseling.

D.  Konsep Kompetensi Kepribadian Guru
1.  Seputar Teori Kepribadian
Kepribadian atau personality berasal dari kata persona, berasal dari bahasa Latin yang menunjuk pada topeng yang digunakan oleh pemain sandiwara di zaman Romawi ketika memainkan peran-perannya (Wardiana: 2004).
Kepribadian merupakan pengaturan yang dinamis dari sifat (trait) dan pola karakteristik perilaku yang unik pada setiap individu (Callahan, 1996). Menurut Allport (1996) sifat (trait) merupakan sesuatu yang lebih umum ketimbang kebiasaan (habit), bersifat dinamis serta menentukan perilaku, dapat dilihat baik dari unsur yang membentuknya maupun distribusinya pada populasi, serta tidak dapat dibuktikan ketiadaannya oleh fakta perilaku yang tidak konsisten. Jadi kepribadian menunjukkan dua komponen penting, yaitu sesuatu yang bersifat tetap dan sesuatu yang bersifat berubah. Sifat (trait) merupakan sesuatu yang cenderung bersifat tetap, sedangkan karakteristik  cenderung bisa berubah (Suharsaputra, 2013: 36).
Setiap orang memiliki kepribadiannya sendiri-sendiri yang akan mempengaruhi pola perilaku terhadap orang lain serta cara meresponnya. Itu artinya bagaiamana seseorang memperlakukan dirinya sendiri amat penting dalam konteks hidup dan kehidupan, karena kepribadian menunjukkan seluruh aspek pribadi yang memenuhi cara berfikir, merasa dan berperilaku. Dengan kepribadian itulah setiap orang menjalankan peran dan tugasnya dalam hidup dan kehidupan.
Dalam Wardiana (2004), juga mengemukakan  personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustments to his environtment” (kepribadian adalah oraganisasi-organisasi dinamis dari sistem psikofisik dalam individu yang turut menetukan cara-caranya yang unik/ khas dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya).
Dari hal itu, kepribadian memiliki beberapa unsur sebagaimana berikut : (1) kepribadian merupakan organisasi yang dinamis, senantiasa berubah setiap saat, (2) organisasi itu terdapat dalam diri individu, (3) organisasi terdiri dari sistem psikis, meliputi : sifat dan bakat, serta sistem fisik yang saling terkait, (4) organisasi itu menentukan corak penyesuaian diri yang unik dari tiap individu terhadap lingkungannya.
Adapun definisi kepribadian secara populer yaitu ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya suatu  identitas sebagai individu yang khusus (Wardiana: 2004). Sedangkan menurut Newcomb, kepribadan merupakan organisasi dari sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilakuan.
Secara umum definisi kepribadian yang disampaian para pakar memiliki   persamaan sebagai berikut : (1) teori kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik/ khas pada diri setiap orang, (2) kepribadian dipandang sebagai organisasi yang menjadi penentu atau pengaruh tingkah laku (Wardiana: 2004)
Menurut C.G Jung, kepribadian terbagi menjadi beberapa type, antara lain ; (1) Introvert : orang yang suka memikirkan diri sendiri, banyak fantasi, lekas merasakan kritik, menahan ekspresi emosi, lekas tersinggung dalam diskusi, suka membesarkan kesalahannya, analisis dan kritik diri sendiri menjadi buah pikiran, (2) Extrovert: orang melihat kenyataan, tidak lekas tersinggung atau merasakan kritik, tidak gampang merasakan dalam kegagalannya,
Berdasarkan kuat lemahnya sifat psikis yang terdiri dari emosional, aktivitas dan sekunder-fungsi, maka Gerart Heymans dalam Wardian (2007), membagi tipe kepribadian menjadi tujuh bagian, yaitu : (1) Gapasioneerden (orang hebat), orang yang aktif dan emosional serta fungsi sekundernya kuat., (2) Cholerici (orang yang garang), orang yang aktif dan emosional tapi fungsi sekundernya lemah, (3) Sentimental (orang perayu), orang yang tidak aktif, emosional dan fungsi sekundernya kuat, pintar mempengaruhi orang lain dan menjauhkan diri dari keramaian, (4) Nerveuzen (orang penggugup), orang yang tidak aktif, fungsi sekunder lemah, emosi kuat, tidak mau berfikir panjang, agresif tetapi tidak pendendam, (5) Flemaciti (orang tenang), orang yang tidak aktif, fungsi sekundernya kuat, tenang, sabar, tekun, ingatan kuat, rajin, cekatan dan mandiri, (6) Sanguinici (orang kekanak-kanakan), orang yang tidak aktif, tidak emosional, fungsi sekundernya kuat. Sukar mengambil keputusan, ragu-ragu, pemurung, pendiam, pendendam dan tidak gila hormat dan kuasa, (6) Amorferm (orang tak berbentuk), orang tidak aktif, tidak emosional, fungsi sekunder lemah. Intelektual lemah, picik, pemboros, perisau dan cenderung suka dikuasai orang lain.
Hippocrates (400 SM) telah mencoba mengklasifikasikan jenis-jenis kepribadian dalam empat tipe umum yang dapat dijadikan dasar penting dalam memahami kecenderungan umum dalam hal kepribadian. Keempat jenis kepribadian tersebut adalah : (1)  melankolik (fakta) : ditandai dengan kelambanan dalam berfikir dan cenderung mudah depresi, sulit untuk memperoleh teman tapi dapat diandalkan dan dipercaya karena konsistensi dan keyakinan kuat atas keputusan yang diambilnya namun kurang spontan dan sulit mengemukakan perasaannya secara terbuka, (2)  sangusinis (tindakan) : bersifat stabil namun aktif, dia punya keberanian, selalu berharap dan periang  namun  kurang pasti, sopan, sadar, bergairah dan penuh tenggang rasa namun demonstratif, (3)  kolerik (ideal) : memiliki emosi yang mudah meluap, dia sangat  yakin dalam berekspresi dan bertindak, berambisi namun kurang hati-hati, (4) plegmatik (rasional): adalah orang dengan kecenderungan stabil, tenang cenderung dingin dan apatis serta tidak mudah bersikap bersahabat dan ramah.
Disamping itu, terdapat pengelompokan jenis kepribadian lain seperti Five Factor Model (FFM) yang dikembangkan oleh Ernest Tupes dan Raymond Christal (1961) dan J.M. Digman (1990), menurut pendapat mereka terdapat lima ranah besar kepribadian yang dapat dijadikan dasar dalam menggambarkan dan memahami manusia yaitu : (1) Oppenes (keterbukaan), (2) conscientiousness (kesadaran), (3) extraversion (ekstravert), (4) aggre-ableness (kebersetujuan), dan (5) neuroticism (neurotis) disingkat OCEAN.

2. Hakikat  Guru
Guru disebut juga dengan pendidik, merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan. Guru adalah figur manusia yang diharapkan kehadirannya dan perannya dalam pendidikan, sebagai sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah.
 Hal itu tidak dapat disangkal karena lembaga pendidikan formal adalah dunia guru. Sebagian besar waktu guru ada di sekolah, sisanya ada dirumah dan di masyarakat (Syaiful Bahri Djamarah, 2005 : 1).
Manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini membutuhkan bimbingan dan ilmu dalam menata dan mengatur alam semesta yang kesemuanya demi kemaslahatan dan kemakmurannya. Sebagai makhluk yang teristimewa manusia diberi kelebihan dibandingkan dengan makhluk yang lain yakni akal dan budi. Dengan akal dan budi manusia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, menciptakan berbagai kreasi demi keberlangsungan hidupnya di muka bumi ini.
Berkenaan dengan perannya sebagai khalifah di muka bumi Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah : 30
Artinya : Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu perbuatan yang mudah, tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani adalah tidak mudah karena lebih menuntut pengabdian kepada murid  daripada tuntutan pekerjaan dan material-oriented. Guru yang mendasarkan pengabdiannya karena panggilan jiwa merasakan jiwanya lebih dekat dengan peserta didiknya. Ketiadaan peserta didik di kelas menjadi pemikirannya, mengapa peserta didiknya tidak hadir di kelas, apa yang menyebabkannya, dan mungkin berbagai pertanyaan yang mungkin guru ajukan ketika itu. (Syaiful Bahri Djamarah, 2005 : 2)

2.  Pengertian Kompetensi Kepribadian Guru
Menurut Mukhtar dan Iskandar (2009), kompetensi adalah pengetahuan, ketrampilan, kecakapan atau kapabilitas yang dicapai seseorang, yang menjadi bagian keberadaannya sampai mampu mengkinerjakan perilaku kognitif, afektif  dan psikomotorik tertentu secara optimal.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP. RI) No. 19 Tahun 2005 BAB VI tentang pendidik dan tenaga kependidikan Pasal 28 Ayat ke-3 menyebutkkan kompetensi guru antara lain: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Berikut penjelasannya:
a.         Kompetensi Pedagogik, kompetensi ini menyangkut kemampuan seorang guru. dalam memahami karakteristik atau kemampuan yang dimiliki oleh murid melalui berbagai cara. Cara yang utama yaitu dengan memahami peserta didik melalui perkembangan kognitif murid, merancang pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi hasil belajar sekaligus pengembangan peserta didik.
b.        Kompetensi Kepribadian, adalah salah satu kemampuan personal yang harus dimiliki oleh guru profesional dengan cara mencerminkan kepribadian yang baik pada diri sendiri, bersikap bijaksana serta arif, bersikap dewasa dan berwibawa serta mempunyai akhlak mulia untuk menjadi sauri teladan yang baik.
c.         Kompetensi Profesional, adalah salah satu unsur yang harus dimiliki oleh guru yaitu dengan cara menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam. 
d.        Kompetensi Sosial, adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik melalui cara yang baik dalam berkomunikasi dengan murid dan seluruh tenaga kependidikan atau juga dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan PP. RI No. 74 tahun 2008, kompetensi kepribadian sekurang kurangnya mencakup beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, sportif, menjadi teladan peserta didik dan masyarakat, obyektif menilai kinerja diri sendiri dan mengembangkan diri secara berkelanjutan dan mandiri.
Guru sebagai seorang pendidik mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan apa yang menjadi tujuan pendidikan, sesuai yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas No. 2 Tahun 2003, yakni mengembankan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berimamn dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Imam Wahyudi : 2012).
Menurut Naim (2009) seorang guru   harus memenuhi kualifikasi kepribadian antara lain: kemantaban dan integritas pribadi, peka terhadap perubahan dan pembaruan, berfikir alternatif, adil, jujur dan obyektof, disiplin dalam melaksanakan tugas, ulet dan tekun bekerja, berusaha memperoleh hasil kerja sebaik-baiknya, simpatik dan menarik, luwes, bijaksana dan sederhana dalam bertindak, bersifat terbuka, kreatif dan berwibawa.
Berkenaan dengan kompetensi kepribadian guru, menurut Khalid (2005) yang dimaksud kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Adapun penjelasan PP. No. 19 Tahun 2005 Pasal 28 Ayat 3 Butir b, tentang kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mantap, stabil, arif dan berwibawa, yang menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan dalam penjelasan PP. No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat 3 Butir b , kompetensi kepribadian guru meliputi:
a.         Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil yang indikatornya bertindak sesuai norma hukum, norma sosial. Bangga sebagai pendidik, dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma. Seorang guru yang berkepribadian tentulah akan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, karen ia menyadari bahwa telah dibekali dengan ilmu yang diharapkan mampu diteruskan kepada peserta didiknya. Ia akan mengutamakan kewajibannya sebagai guru dengan profesinoal, dan merasa bangga terhadap profesi yang digelutinya.
b.       Memiliki kepribadian yang dewasa, dengan ciri-ciri, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik yang memiliki etos kerja. Dewasa dalam bersikap, segala sesuatu dilaksanakan dengan berdasarkan pertimbangan yang matang. Mandiri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembankan kepadanya. Guru yang dewasa akan mampu dan tahu apa yang harus dikerjakan terhadap peserta didiknya.
c.       Memiliki kepribadian yang arif, yang ditunjukkan dengan tindakan yang bermanfaat bagi peserta didik, sekolah dan masyarakat serta memajukan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. Seorang guru harus arif dan bijaksana dalam menyikapi segala situasi dan kondisi terlebih yang berkenaan dengan proses pembelajaran. Guru akan bertindak dengan mengedepankan kemanfaatan bagi orang lain terutama bagi peserta didik. Tidak melakukan hal yang bias mencemarkan atau menodai masyarakat dan lembaga pendidikan tempat ia mengabdi.
d.      Memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu perilaku yang berpengaruh positif kepada peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani. Guru harus mampu memberi pengaruh yang positif terhadap peserta didik. Kewibawaan guru di depan peserta didik akan mempermudah dalam menanamkan nilai-nilai yang dihendaki atau yang dicita-citakan. Guru bisa menjadi sahabat bagi peserta didik, namun tetap disegani.  Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan, dengan menampilkan yang sesuai dengan norma religius (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik. Karena guru adalah model dan figur yang dicontoh oleh peserta didik, maka hendaknya guru senantiasa memberikan contoh yang baik bagi peserta didik. Tidak mungkin peserta didik menjadi baik manakala guru yangdijadikan figur juga tidak memberikan perhatian dan contoh yang baik pula. Memberikan contoh teladan berupa tindakan  kepada peserta didik akan lebih mengena daripada seribu perkataan tanpa teladan.
Nilai yang terakhir yaitu keteladanan. Ini mempunyai pengertian bahwa mampu untuk diikuti/ ditiru/ diteladani, baik sikap maupun pemikirannya. Keteladanan itu pada hakikatnya mempunyai tiga aspek didalamnya. Pertama, persiapan untuk dinilai (orang yang diteladani tidak tercela, dan siap dinilai oleh pihak manapun). Kedua memiliki kompetensi yang cukup dalam bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Ketiga, sikap istiqomah, yakni melaksanakan kebaikan secara konsisten. Melakukan kebaikan dimana saja dan kapan saja (Maimun dan Fitri :89).
Dari rincian penjelasan tentang Kompetensi Kepribadian diatas, jelas kiranya bahwa sebenarnya pemerintah sudah menetapkan pedoman bagi guru untuk melangkah mengemban tugas dan kewajibannya sebagai pendidik. Sayangnya, selama ini pemerintah sering hanya berupaya untuk meningkatkan kompetensi pedagofik dan profesional, tetapi sepertinya mengesampingkan usaha peningkatan kompetensi kepribadian guru

E. Kajian Tentang Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Artistic Approach Di SMAN  1 Patianrowo
Pendidikan di SMAN 1 Patianrowo, walaupun menggunakan kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah secara Nasional, namun dalam konteks keseharian nilai-nilai religi sangat kental penerapannya. Hal ini tampak dalam budaya yang di contohkan oleh pimpinan sekolah dalam hal ini kepala sekolah, guru dan bahkan  murid. Dengan letak geografis di daerah kaum yang mayoritas muslim dan potensi-potensi sumber daya manusia yang religius sangat menunjang dalam pembentukan kepribadian peserta didik dari segi intelektual, skill maupun emosionalnya. Hal ini juga yang mendasari kepala sekolah menggunakan supervisi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan artistik.
Usaha meraih dan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah sebagian besar ditentukan oleh para guru dalam proses belajar mengajar. Agar komponen tersebut mampu dan ikhlas melaksanakan tugasnya secara optimal, maka perlu adanya pembinaan secara terus menerus dari kepala sekolah selaku supervisor untuk memastikan bahwa guru yang dimiliki sekolah sudah dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Karena itu diperlukan kesadaran dari supervisor atau kepala sekolah bahwa kegiatan pembinaan pada umumnya merupakan bagian dari kegiatan manajemen . Jika diterapkan manajemen yang berupaya mencapai tujuan supervisi, maka seluruh sistem pendidikan berjalan dengan baik, tapi jika sebaliknya, proses pendidikan tidak berjalan sesuai dengan sistem dan mekanisme manajerial yang kaku.
Supervisi pembelajaran di SMAN 1 Patianrowo lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan guru  dalam rangka peningkatan proses belajar mengajar. Supervisi pembelajaran ini dilakukan oleh kepala sekolah selaku supervisor melalui pemberian bantuan yang bercorak pelayanan dan bimbingan profesional dengan menggunakan pendekatan artistik yang sangat relevan dengan budaya sekolah yang bernuansa Islami, dimana hubungan antar kepala sekolah, guru, peserta didik dan staf dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan, saling mengerti, saling menghargai, saling mneghormati, saling mengakui, saling menerima seseorang sebagaimana adanya.
Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, dalam supervisi ini lebih menggunakan bahasa penerimaan dari pada bahasa penolakan. Supervisor dengan menggunakan pendekatan artistik akan menampakkan dirinya dalam relasi dengan guruyang dibimbingnya, sehingga guru-guru merasa dirinya diterima dan dihargai.
Supervisor dalam pendekatan ini ingin menjadikan kepala sekolah, guru dan staf sekolah menjadi dirinya sendiri, diajak bekerjasama, saling tukar dan kontribusi ide, pemikiran, memutuskan dan menetapkan bagaimana seharusnya mengelola sekolah yang baik dan guru mengajar dengan untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian jelas bahwa supervisi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan artistik dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola proses pembelalajaran.
Kemampuan-kemampuan tersebut menurut Depdikbud tahun 1991/ 1992 (dalam Ekosusilo, 2003) meliputi: (1) kemampuan merencanakan kegiatan belajar- mengajar dengan baik, (2) kemampuan melakukan kegiatan belajar- mengajar dengan baik, (3) kemampuan menilai proses dan hasil mengajar, (4) kemampuan untuk memberikan umpan balik secara teratur dan terus menerus, (5) kemampuan menggunakan/ memanfaatkan lingkungan sebagai sumber dan media pembelajaran, (6) kemampuan membimbing dan melayani murid yang mengalami kesulitan dalam belajar, (7) kemampuan mengelola dan mengadministrasi kegiatan belajar mengajar, ko dan ekstra kurikuler  serta kegiatan lainnya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, supervisi pembelajaran di SMAN 1 Patianrowo lebih diarahkan untuk meningkatkan kompetensi kepribadian guru dalam rangka meningkatkakn proses belajar mengajar. Adanya perasaan aman dan dorongan positif dalam berusaha untuk maju, sikap mau mendengarkan perasaan orang lain, mengerti orang lain dengan masalah-masalah yang dikemukakan, menerima orang lain dalam hal ini adalah guru merupakan sebuah strategi bagi seorang kepala sekolah untuk dapat meningkatkan mutu dan kualitas proses sekaligus hasil dari proses pendidikan yang telah dilaksanakan.
Pendekatan artistik relevan dengan budaya sekolah yang bernuansa Islami, dan sesuai dengan visi misi SMAN 1 Patianrowo. Oleh sebab itu pendekatan artistik dipilih oleh kepala sekolah agar tercipta keterbukaan, kenyamanan dan peningkatan kepribadian guru sebagai uswatun hasanah bagi peserta didik, sehingga segala persoalan yang dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran dapat teratasi dengan baik. Dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran berpendekatan artistik kepala sekolah di SMAN 1 Patianrowo  menerapkan teknik observasi kelas, percakapan pribadi dan workshop.
Dalam proses pelaksanaan supervisi pembelajaran artistik approach ini sebagaimana konseep Eisner dalam Sergiovani (1982: 146) kepala sekolah berdasarkan pada (1) ketekunan yaitu ketelitian, kecermatan, keuletan dalam mengamati, merasakan dan mengapresiasikan pembelajaran, (2) kemampuan komunikasi yaitu menggunakan bahasa yang efektif, empati dan menyenangkan, (3) kesantunan berprilaku yaitu mengedepankan akhlak mulia, (4) ketrampilan interpersonal yaitu keterampilan mengelola hubungan baik bekerjasama dengan guru, (5) sensitivitas atau kepekaan.
Dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran berpendekatan artistik kepala sekolah di SMAN 1 Patianrowo  menerapkan teknik observasi kelas, percakapan pribadi dan workshop. Observasi kelas merupakan teknik supervisi yang berwujud mengamati guru yang sedang mengajar dalam waktu satu pertemuan. Jadi pengamatan dilakukan mulai kelas itu masuk kegiatan belajar mengajar sampai pelaksanaan supervisi dianggap selesai.  Selama waktu itu kepala sekolah selaku supervisor yang biasanya duduk dibelakang kelas mengobservasi secara terus menerus semua perilaku guru dan perilaku peserta didik-peserta didik dalam proses pembelajaran Supaya apa yang dilihat dan didengar maupun yang dirasakan tidak mudah hilang, maka data yang didapat tidak cukup hanya diingat saja, melainkan harus dicatat. Dari catatan inilah ditemukan bagaimana kualifikasi guru itu dalam membimbing para peserta didik belajar.
Tujuan teknik supervisi observasi kelas adalah: (1) untuk mengetahui secara keseluruhan cara-cara guru, mendidik dan mengajar, termasuk peribadi dangaya mengajarnya; (2) untuk mengetahui respon kelas atau para peserta didik" (Pidarta, 2009:88). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan teknik supervisi observasi kelas adalah untuk raendapatkan data yang lengkap tentang guru yang disupervisi dan data tersebut mampu memberi gambaran tentang guru bersangkutan secara utuh.
Gambaran seperti ini dapat dijadikan bahan apakah guru ini memiliki kemajuan atau tidak dibandingkan dengan hasil-hasil supervisi sebelumnya. Mantja (2010:139) mengatakan bahwa observasi kelas adalah salah satu wahana yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan atau perbaikan unjuk kerja mengajar guru.
Individual conferencemerupakan suatu percakapan pribadi antara kepala sekolah dengan seorang guru. Individual conference disebut juga "problem solving method' atau metode pemecahan masalah karena di dalam situasi perjumpaan kepala sekolah dengan guru yang bersangkutan, berusaha memecahkan suatu masalah tenitama yang dihadapi oleh guru tersebut dalam peiaksanaan kegiatan belajar mengajar.
Tujuan Individual conferenceantara lain : (a) memberikan kemungkinan perkembangan jabatan guru melalui pemecahan kesulitan-kesulitan yangdihadapi oleh guru, (b) memupuk dan mengembangkan hal mengajar yang lebih baik lagi, (c) memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kekurangan;kekurangan yang sering dialami oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah, (d) menghilangkan dan menghindari segala prasangka yang bukan-bukan.
Menurut George Kyte (Piet Sahertian : 2010), ada dua jenis percakapan melalui kunjungan kelas, yaitu (a) percakapan pribadi setelah kunjungan kelas (formal) dan (b) percakapan pribadi melalui percakapan biasa sehari-hari (informal). Sedangkan Mildred E. Swearingen (Piet Sahertian : 2010), membagi jenis percakapan pribadi dalam empat jenis, yaitu (a)  classroom conference, yaitu percakapan yang dilakukan saat peserta didik tidak lagi dikelas yakni pada  saat istirahat atau pulang, (b) office conference, yaitu percakapan yang dilakukan di ruang kepala sekolah atau ruang guru, di mana lingkungan fisiknya penuh dengan alat-alat pelajaran yang cukup, sehingga terdapat suasana yang tenang dan menyenangkan (privacy), (c) causal conference, yaitu percakapan yang dilaksanakan secara kebetulan, (d) observational visitation, yaitu supervisor mengunjungi kelas dimana guru sedang mengajar, hasil observasi dibicarakan dengan guru yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu direncanakan dan  dipersiapkan dalam Individual conference antara lain: (a) persiapan untuk observasi, (b) membuat catatan-catatan observasi, (c) mengadakan interviu, (d) menganalisis hasil-hasil observasi, (e) menentukan waktu, tempat serta lamanya percakapan.
Untuk keefektifan pelaksanaan "individual conference" beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) kepala sekolah jangan mendominasi pembicaraan; (2) pembicaraan dimulai dengan membicarakan kelebihan guru sebelum menyinggung kelemahannya; (3) kepala sekolah memposisikan dirinya sebagai kolega bukan sebagai atasan guru; (4) ciptakan situasi dan kondisi yang dapat membuat guru mau dan berani untuk menganalisis dan mengevaluasi hasil pekerjaannya sendiri.
Teknik yang lain adalah teknik  yang dilaksanakan secara kelompok, yaitu teknik workshop. Workshop adalah suatu usaha untuk mengembangkan kesanggupan berfikir dan bekerja bersama-sama baik mengenai masalah-masalah teoritis maupun praktis dengan maksud untuk meningkatkan kulaitas profesional pada khususnya.
Ciri-ciri workshop antara lain : (a) masalah yang dibahas bersifat "life centered" dan muncul dari peserta didik, (b) selalu menggunakan sejauh mungkin aktivitas mental dan fisik agar tercapai taraf pertumbuhan profesi yang lebih baik dari semula, (c) cara yang digunakan ialah metode pemecahan masalah "musyawarah dan penyelidikan", (d) musyawarah kelompok diadakan menurut kebutuhan, (e) menggunakan resource person dan resource materials yang memberi bantuan yang besar sekali dalam mencapai hasil yang sebaik-baiknya, (f) senantiasa memelihara kehidupan yang seimbang disamping memperkembangkan pengetahuan, kecakapan, perubahan tingkah laku, disediakan juga kesempatan untuk bervariasi seperti tamasya untuk menambah pengalaman, pertemuan yang menggembirakan, role playing dan lain-lain.
Marks dkk (1979) yang dikutip Mantja (2010:110) menjelaskan bahwa keefektifan layanan supervisi di sekolah tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepala sekolah, karena dialah yang dianggap pemimpin pembelajaran di sekolahnya. Keberhasilan melembagakan observasi kelas dan wawancara supervisi menunjukkan pula kualitas kompetensi profesionalnya, karena untuk raewujudkannya diperlukan kemampuan membangun hubungan yang baik dengan seluruh staf di sekolahnya.
Supervisor dapat membantu guru dalam menganalisis faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya perilaku yang bermasalah. Berbagai penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap guru dengan perilaku
peserta didik yang bermasalah, seperti yang dikemukakan Olivia (1974:208), misalnya guru yang malas, guru yang suka mengkritik, guru yang terlalu keras, guru yauka merokok dapat menimbulkan peserta didik merasa tidak senang kepada guru
tersebut.
Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa keterlaksanaan dan keberhasilan aktualisasi supervisi ditunjang oleh persepsi, respon, dan sikap positif para guru terhadap supervisi itu sendiri (Blumberg dalam Mantja, 2010:139).

Efektivitas pelaksanaan supervisi pembelajaran pada prinsipnya dipengaruhi oleh beberapa aspek, terutama oleh aspek pengetahuan dan keterampilan dari pelaksana supervisi itu sendiri. Seperti yang dikemukakan Gliekman dalam Faturrohman (2011: 46), bahwa “effective supervision requires knowledge, interpersonal skills, and technical skills” yang mengandung makna bahwa pengetahuan dan keterampilan teknis merupakan prasyarat yang harus dimiliki dan dikuasai oleh seorang pelaksana supervise untuk dapat mewujudkan efektivitas pelaksanaan tersebut.
Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang konsep supervisi pembelajaran, perilaku guru, dan masalah-masalah yang tentang proses belajar-mengajar. Ketrampilan berhubungan (interpersonal skills) adalah berkaitan dengan komunikasi dengan guru, baik secara individual maupun kelompok. Sedangkan keterampilan teknis (technical skills) berkaitan dengan observasi kelas, perencanaan kegiatan, penilaian dan perbaikan pengajaran.
Dalam pelaksanaanya, supervisi pembelajaran berpendekatan artistik bukan hanya mengawasi apakah guru telah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan instruksi atau ketentuan yang telah digariskan, tetapi juga berusaha bersama guru-guru, bagaimana cara memperbaiki proses belajar;mengajar. Jadi dalam kegiatan supervisi, guru tidak dianggap sebagai pelaksana pasif, melainkan diperlakukan sebagai partner kerja yang memiliki ide-ide, pendapat-pendapat, dan pengalaman-pengalaman yang perlu didengar dan dihargai serta diikutsertakan didalam usaha-usaha perbaikan pendidikan.
Menurut Burton Dalam Ngalim Purwanto (2012: 77), rumusan pelaksanaan supervisi yang baik antara lain: (a) supervisi diarahkan pada dasar-dasar pendidikan dan cara-cara belajar serta perkembangannya dalam pencapaian tujuan umum pendidikan, (b) tujuan supervisi adalah perbaikan dan perkembangan proses belajar-mengajar secara total, dengan demikian tidak hanya memperbaiki mutu guru, tetapi juga pengadaan fasilitas yang mendukung proses belajar-mengajar, peningkatan mutu pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengimplementasikan kurikulum dalam bidang metode, pemilihan sumber belajar dan penilaian belajar. (3) Fokus supervisi pada setting for learning bukan pada seorang namun pada seluruh komponen yang terlibat didalamnya.
Dari pendapat diatas, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan supervisi adalah sebagai beriku:
a.   Membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dalam menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
b.      Berusaha mengadakan dan melengkapi alat-alat / media belajar demi kelancaran proses belajar-mengajar.
c.      Bersama guru-guru, berusaha mengembangkan, mencari dan menggunakan metode baru dalam proses belajar-mengajar yang lebih baik.
d.    Membina kerjasama yang baik dan harmonis antara guru, peserta didik dan pegawai sekolah lainnya.
e.     Berusaha mempertinggi mutu dan  pengetahuan guru-guru antara lain melalui workshop, seminar, dan lain sebagainya.
Adapun faktor-faktor yang   dapat mempengaruhi berhasil tidaknya supervisi menurut  Ngalim Purwanto (2014: 118) antara lain: (a) lingkungan masyarakat tempat sekolah itu berada, (b) besar-kecilnya sekolah yang menjadi tanggung jawab kepala sekolah, (c) tingkatan dan jenis sekolah, (d) kedaaan guru-guru, (e) kecakapan dan keahlian kepala sekolah.
Diantara faktor-faktor tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor kecakapan kepala sekolah, karena dengan kecapakapan dalam hal supervisi sangat menentukan hasil dari pelaksanaan supervisi itu sendiri. Kecakapan berkomunikasi, kecakapan dalam memilih pendekatan yang sesuai dengan karakter guru, kecakapan memberi  motivasi kepada guru untuk selalu berubah   sangat mutlak diperlukan.
Kesimpulan-kesimpulan dan kajian-kajian di atas memberikan gambaran bahwa dengan adanya pelaksanaan supervisi pembelajaran berpendekatan artistik, guru menyadari bahwa supervisi pembelajaran bukan sekedar pemeriksaan administrasi tetapi supervisi mempunyai tujuan untuk memperbaiki pembelajaran. Oleh karena itu semua aspek yang terkait dengan pembelajaran perlu disupervisi sehingga tidak terkesan monoton dan membosankan.
Ekosusilo (2003:25) mengemukakan, langkah-langkah yang perlu ditempuh dengan penerapan pendekatan artistik ini adalah:
1.   Ketika mau berangkat ke lapangan, pembina tidak boleh punya interpretasi apapun tentang pembelajaran yang akan diamati. Sehingga penilaian diharapkan bersifat obyektivitas.
2.     Mengadakan pengamatan terhadap guru dengan cermat, teliti, utuh, dan  menyeluruh, tidak hanya berdasarkan perangkat yang disusun, namun juga bagaimana penguasaan guru terhadap materi dan terhadap kelas yang dikelola.
3.   Memberikan interpretasi atas hasil pengamatan secara formal,  setelah pembelajaran selesai. Dengan tanpa mempermalukan guru yang dinilai. Hal ini bisa dilakukan secara pribadi bersama dengan guru yang dinilai atau langsung di depan kelas, namun dengan tidak merendahkan guru manakala ada kekurangan.
4.    Menyusun hasil interpretasi dalam bentuk narasi. Hasil temuan di lapangan baik sebelum dan pada saat pelaksaan supervisi, akan disusun sedemikian rupa sebagai laporan.
5.  Menyampaikan hasil interpretasi yang sudah dinarasikan kepada guru. Hasil penilaian dikonfimasikan kepada guru yang dinilai sehingga terjadi komunikasi yang membangun antara supervisor dan guru yang disupervisi.
6.      Menerima balikan dari guru terhadap apa yang telah dilakukan.

F. Kerangka Pikir
Berdasarkan uraian dan juga teori yang peneliti tampilkan diatas, maka dapat peneliti analisis dengan menggunakan kerangka berfikir mengenai pelaksanaan supervisi pembelajaran artistik approach (dengan menggunakan pendekatan artistik ) oleh kepala sekolah yang meliputi : langkah-langkah kepala sekolah dalam menyusun program supervisi, yaitu : (1) mengidentifikasi hasil pengawasan sebelumnya, (2)  mengolah dan menganalisa hasil pengawasan sebelumnya, (3) merumuskan rancangan program tahunan, (4) memantapkan dan menyempurnakan rancangan program.
Dalam proses pelaksanaan supervisi pembelajaran artistik approach ini kepala sekolah menggunakan pendekatan antara lain: (1) ketekunan yaitu ketelitian, kecermatan, keuletan dalam mengamati, merasakan dan mengapresiasikan pembelajaran, (2) kemampuan komunikasi yaitu menggunakan bahasa yang efektif, empati dan menyenangkan, (3) kesantunan berprilaku yaitu mengedepankan akhlak mulia, (4) ketrampilan interpersonal yaitu keterampilan mengelola hubungan baik bekerjasama dengan guru, (5) sensitivitas atau kepekaan.
Pelaksanaan supervisi ini diharapkan mampu membawa pengaruh yang positif terhadap kompetensi kepribadian guru dalam melaksanakan belajar mengajr maupun proses pendidikan di luar ruangan. Kepribadian guru yang diharapkan adalah kepribadian yang mantab dan stabil, memiliki kepribadian yang dewasa, memiliki kepribadian yang arif dan bijaksana, memeliki kepribadian yang berwibawa, dan memiliki akhlak yang mulia sehingga menjadi teladan bagi peserta didik.


     
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan  Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang pemecahan masalahnya dengan menggunakan data empiris dan kedalaman datanya tidak terbatas. Penelitian kualitatif dinamakan pula metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni, dan disebut metode  interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi dengan data yang ditemukan di lapangan. Metode ini disebut juga metode konstruktif  karena dengan metode kualitatif dapat ditemukan data-data yang berserakan selanjutnya dikonstruksikan dalam suatu tema yang lebih bermakna dan mudah difahami ( Sugiyono, 2013 : 17).
Filsafat postpositivisme sering juga disebut paradigma interpretif dan konstruktif, yang memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/ utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala bersifat interaktif (reciprocal).  Penelitian dilakukan pada obyek yang alamiah. Obyek alamiah adalah obyek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada obyek tersebut.
Metode  penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), disebut sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif  (Sugiyono, 2013: 14). Berkenaan dengan hal tersebut, istilah naturalistik sebagaimana yang diungkapkan oleh Arikunto (2002; 11), bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alami, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada secara alami terkait pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan kompetensi kepribadian guru.
Menurut Bogdan and Biklen (dalam Sugiyono, 2013: 21) penelitian kualitatif memiliki karakteristik antara lain: (a) dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrument kunci, (b) bersifat deskriptif, data yang  terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, tidak menekankan pada angka, (c) lebih menekankan pada proses bukan produk atau hasil, (d) analisis data dilakukan secara induktif, dan (e) lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).
Menurut Creswell (1998) terdapat  alasan mengapa sesorang melakukan penelitian kualitatif, antara lain : (1)  karena hakikat dari pertanyaan penelitian yakni dimulai dengan bagaimana atau apa, (2) karena topik tersebut perlu dieksplorasi, (3) karena dipandang perlu menyajikan suatu pandangan yang mendetail tentang topik tersebut, (4) karena untuk meneliti  individu dalam latarnya yang alami, (5) karena penulis berminat menulis dalam gaya sastra, dalam bentuk pemaparan ceria narasi, (6) karena waktu dan sumber-sumber yang cukup untuk digunakan dalam pengumpulan data, (7) karena audien menerima penelitian kualitatif, (8) untuk menekankan peran peneliti sebagai pelajar aktif yang dapat  mengisahkan cerita tentang pandangan parrtisipan daripada sebagai seorang ahli.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang mengungkap suatu gejala secara holistik kontekstual yang berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang, atau perilaku yang diamati dengan konteks apa adanya. Oleh karena itu penelitian ini harus memenuhi karakteristik penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu metode atau strategi kualitatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Baidhowi  yang dikutip oleh Agus Salim (2001: 93), bahwa studi kasus berfungsi untuk mempelajari, menerangkan, dan mengintepretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa ada intetrview dari pihak luar.
Masih menurut Baidhowi  yang dikutip oleh Agus Salim (2001: 93), ada beberapa alasan yang mendasar, yaitu : (1) studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas, (2) studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai  konsep-konsep dasar perilaku manusia. Dengan melalui penyelidikan, peneliti dapat menemukan karakteriktik atau model seseorang, dan hubungan-hubungan yang mungkin tidak diharapkan atau diduga sebelumnya, dan (3) studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun permasalahan-permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini, peneliti akan mengupas secara mendalam dengan menggunakan pendekatan kualitatif tentang program supervisi pembelajaran yang direncanakan oleh kepala sekolah SMA 1 Patianrowo, bagaimana pelaksanaan supervisi pembelajaran berpendekatan artistik (artiscic approach) yang dilakukan oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo sebagai seorang supervisor dan bagaimana kompetensi kepribadian guru dengan dilaksankanannya supervisi pembelajaran berpendekatan artistik tersebut.

B.  Kehadiran Peneliti
Instrumen utama penelitian ini adalah manusia, yaitu peneliti sendiri. Kehadiran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat mutlak diperlukan, sebab  peneliti berkedudukan sebagai instrumen utama atau pokok yang bertindak sebagai pengumpul data, hal ini sesuai dengan pendapat Guba dan Lincoln dalam Lexy J. Moleong (1991; 121) mengemukakan bahwa “peneliti adalah segalanya dari keseluruhan penelitian”, sedangkan instrument selain peneliti yang berbentuk alat-alat bantu dan dokumen lainya, hanya berfungsi sebagai penguat, atau instrumen pendukung.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasution dalam Sugiyono (2015: 306) bahwa peneliti bertindak sebagai instrumen kunci atau instrumen utama dalam pengumpulan data (key instrumen). Lebih kanjut  Moleong (1999: 121) mengatakan, bahwa kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif ini cukup rumit, sebab peneliti sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, analis data, penafsir data, dan akhirnya menjadi pelopor hasil penelitiannya.
Di dalam pengumpulan data, peneliti melibatkan diri dalam kehidupan subyek yang diteliti dan harus berusaha menciptakan hubungan akrab dengan subyek yang diteliti agar data yang diperoleh betul-betul valid. Kehadiran peneliti di tempat penelitian harus terbuka dan menjelaskan maksud penelitian yang dilakukannya kepada subyek yang diteliti, sehingga peneliti dapat lebih bebas bertindak untuk mencari dan mengumpulkan data yang dibutuhkan.
Sedangkan instrument pengumpulan data yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk alat-alat bantu diantaranya adalah kondisi SMAN 1 Patianrowo secara keseluruhan dan berupa dokumen-dokumen diantaranya administasi sekolah, seperti kurikulum yang dipakai, dan data perkembangan peserta didik, program pengawasan oleh kepala sekolah, dan capaian prestasi guru dan peserta didik beberapa tahun terakhir.
Dokumen ini  digunakan tidak hanya untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrument pendukung. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan. Peran sebagai instrumen sekaligus pengumpul data, peneliti realisasikan dengan mendatangi SMAN 1 Patianrowo Kabupaten Nganjuk.

C.  Lokasi Penelitian
Untuk penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di SMA Negeri 1 Patianrowo tepatnya di Desa Lestari Kecamatan Patianrowo Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan bagi peneliti dalam pemilihan lokasi ini, yaitu SMAN 1 Patianrowo yang secara geografis berada di daerah pinggiran dengan basis masyarakatnya adalah petani dan pekerja buruh pabrik, ternyata mempunyai nama dan image yang baik bagi masyarakat setempat dan menjadi pilihan peserta didik, terbukti dengan jumlah pendaftar peserta didik yang meningkat dari segi kuantiatas maupun kualitasnya.
Dilihat dari letak geografis serta latar belakang masyarakat sekitarnya, keberadaan SMAN 1 Patianrowo cukup membanggakan. Capaian prestasi baik akademik maupun non akademik tidak kalah dengan sekolah yang lebih maju semisal SMAN 1 Tanjunganom.  Selain itu penanaman pendidikan karakter kearah penguatan keagamaan bagi peserta didik sangat besar. Hal ini tentu sangat berbeda dengan sekolah-sekolah umum lainnya.
Sehingga tidak heran jika SMAN 1 Patianrowo tetap menjadi pilihan pendidikan bagi warga Patianrowo dan sekitarnya. Keunggulan-keunggulan yang ditonjolkan tidak lepas dari pengembangan potensi peserta didik serta kebutuhan dan mutu yang diharapkan oleh masyarakat. Kedisiplinan di SMAN 1 Patianrowo juga sangat menjadi pertimbangan bagi masyarakat untuk mempercayakan putra-putrinya belajar disana. Oleh sebab itu peneliti ingin menggali lebih jauh tentang pelaksanaan supervise yang tentunya berhubungan erat dengan pembelajaran yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap kepribadian guru yang telah mampu mengolah dan menghasilkan output yang cukup baik.

D.  Sumber Data
Sumber data menurut Arikunto, dalam Ahmad Tanzeh dan Suyitno (2006:131), yaitu sumber dari mana data itu diperoleh. Data-data tersebut terbagi atas dua jenis, yaitu data dari manusia dan data non manusia.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat natural. Nasution (1998) berpendapat bahwa dalam penelitian naturalistik yang dijadikan sampel adalah sumber yang dapat memberikan informasi, bisa berupa hal, peristiwa, manusia, dan situasi yang diobservasi.
Pemahaman mengenai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti, karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data yang diperoleh. Data tidak akan dapat diperoleh tanpa adanya sumber data. Beragam sumber data bisa dikelompokkan jenisnya, mulai dari yang paling nyata, sampai yang paling samar-samar. Konsekuensinya data yang diperoleh dari berbagai jenis data tersebut validitasnya juga sangat beragam.
Sedangkan  menurut Sugiyono (2014: 225) sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sunber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data pada pengumpul data, misalnya lewat informan pendukung atau lewat dokumen.
Kelompok jenis sumber data secara menyeluruh dapat dikelompokkan sebagai berikut (Sutopo, 2013: 120):
1.   Narasumber (informan)
Dalam penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting, sebagai individu yang memiliki informasi. Peneliti dan narasumber memiliki posisi yang sama, dan narasumber  bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia lebih memilih ke arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Dalam penelitian kualitatif  narasumber  lebih tepat disebut dengan informan.
Penentuan subyek dalam penelitian sebagai sumber data yang bersumber dari manusia dalam penelitian kualitatif menggunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling (Sugiono, 2015:300). Teknik purposive sampling  yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, subyek tersebut orang yang paling tahu tentang apa yang diharapkan oleh peneliti, dan subyek tersebut sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti menjelajahi situasi sosial.
Pemilihan atau penentuan informan dipilih secara purposive sampling dengan kecenderungan memilih informan yang dianggap mengetahui informasi, dan masalah yang diteliti secara mendalam, dan dapat dipercaya untuk dijadikan sumber data yang mantap. Bahkan di dalam pelaksanaan pengumpulan data, pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam memperoleh data (Patton dalam Masykuri, 2013: 124). Kesalahan memilih informan, akan berakibat kurang mantapnya data yang diperoleh dalam penelitian atau bahkan datanya tidak lengkap.
Sebagai bentuk realisasi dari teknik purposive sampling, peneliti melakukan wawancara dengan berbagai orang yang mampu memberikan keterangan/ jawaban terkait dengan fokus penelitian, antara lain kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bagian kurikulum.
Selain purposive sampling, penelitian ini juga menggunakan teknik cuplikan yang dinamakan dengan snowball sampling atau teknik sampling bola salju. Menurut Sugiono (2015: 300) snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data.
Hal ini dilakukan dengan maksud untuk menggali informasi atau data dari informan yang satu ke informan lain tanpa ditentukan terlebih dahulu, dengan menanyakan kepada informan pertama siapa lagi yang perlu ditemui untuk mendapatkan data lebih rinci dan lebih mendalam, demikian seterusnya berjalan tanpa rencana sehingga ditemukan data secara lengkap dan mendalam. Proses kerja semacam ini diibaratkan laksana bola salju kecil yang mengelinding semakin jauh menjadi semakin padat dan besar (Tolchah, 2013: 125-126).
Realisasi dari snowball sampling ini, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang yang peneliti harapkan mampu memberikan informasi terkait fokus  penelitian. Orang-orang yang menjadi informan atau yang memberikan jawaban/ keterangan tersebut antara lain wakil kepala sekolah, guru PNS  dan beberapa orang peserta didik.
2.  Peristiwa atau aktivitas
Data atau informasi juga dapat dikumpulkan dari mengamati peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan sasaran penelitian. Dari peristiwa atau aktivitas peneliti bisa mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung. Berbagai permasalahan memang memerlukan pemahaman lewat kajian terhadap prilaku atau sikap dari para pelaku dalam aktivitas sebenarnya. Bukan hanya lewat informasi yang diberikan seseorang atau catatan-catatan yang ada mengenai aktivitas tertentu.
Namun perlu difahami bahwa tidak semua peristiwa bisa diamati secara langsung, kecuali ia merupakan aktivitas yang masih berlangsung pada saat penelitian dilakukan. Banyak peristiwa yang hanya terjadi satu kali, atau hanya berjalan dalam jangka waktu tertentu dan tidak terulang kembali. Dalam hal semacam ini, kajian lewat peristiwanya secara langsung tidak bisa dilakukan (. Tholhah, 2013: 121).
Peristiwa atau aktivitas yang diamati oleh peneliti antara lain peristiwa kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru selama di kelas maupun diluar kelas yang berkenaan dengan kepribadian guru dalam berinteraksi sosial maupun dalam memberikan keteladanan bagi peserta didik, peneliti juga mengamati peran kepala sekolah sebagai seorang supervisor dalam memberikan pelayanan kepada guru maupun peserta didik sehingga tercipta suasana pembelajaran yang kondusif,  yang tak kalah perlu diperhatikan adalah hal-hal atau program  yang telah dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi kepribadian guru terkait supervisi pembelajaran.
3.  Dokumen dan Arsip
Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa merupakan rekaman, bukan hanya yang tertulis, tetapi juga rupa gambar atau benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu aktivitas atau peristiwa tetentu. Bila ia merupakan catatan rekaman yang lebih bersifat formal dan terencana ia cenderung disebut arsip. Namun keduanya dapat dinyatakan sebagai rekaman atau sesuatu yang  berkaitan dengan suatu peristiwa tertentu, dan dapat secara baik dimanfaatkan sebagai sumber data dalam penelitian. (Tholchah, 2013 :122).
Banyak peristiwa yang telah lama  terjadi  terjadi bisa diteliti dan difahami  atas dasar kajian dari dokumen atau arsip-arsip, baik secara langsung atau tidak sangat berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu dokumen dan arsip sangat penting menjadi sumber data yang penting bagi penelitian kualitatif (Tholchah, 2013: 123).
Data non manusia  bersumber dari dokumen dan arsip sekolah antara lain profil sekolah, EDS, data guru, daftar fasilitas sekolah, program supervisi pembelajaran kepala sekolah, rekaman gambar/ foto kegiatan pembelajaran oleh guru, gambar/ foto  pelaksanan supervisi baik di kelas maupun diluar kelas yang dilakukan oleh kepala sekolah, foto/ gambar capaian prestasi  guru/ peserta didik, foto/ gambar kegiatan pembiasaan dan inovasi di SMAN 1 Patianrowo.

E. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.
Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting). Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan sumber skunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misal lewat orang lain atau dokumen. (Sugiyono, 2015: 308)
Selanjutnya bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan/ trianggulasi (Sugiyono, 2015:309). Catherine Marshall, Gretchen B. Rossman, menyatakan bahwa “the fundamental methods relied on by qualitative researchers for gathering information are, participation in the setting, direct observation, in dept interviewing, and document review”.

1.   Observasi (Observation)
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian yang dapat dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam ilmu psikologi, observasi atau disebut pula pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh indra. Jadi melakukan observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, dan
 pengecap (Arikunto, 2002: 133). Nasution (dalam Sugiyono, 2015: 310) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.
Menurut Jahoda yang dikutip Riyanto (2007:26) mengatakan bahwa observasi menjadi alat penyelidikan ilmiah apabila : (1) mengacu kepada tujuan-tujuan penelitian (research) yang telah dirumuskan, (2) direncanakan secara sistematik, (3) dicatat dan dihubungkan secara sistematik dengan proporsi yang lebih umum, tidak hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu semata, dan (4) dapat dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas, dan ketelitiannya sebagaimana data ilmiah lainnya.
Marshal dalam Sugiyono (2015: 310) menyatakan “through  observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior”.  Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Sanafiah Faisal dalam buku Sugiyono juga mengkalisfikasikan observasi kedalam tiga jenis, yaitu observasi  berpartisipasi, obeservasi terang-terangan dan tersamar, observasi yang tak berstuktur.
Manfaat observasi menurut Patton dalam Sugiyono (2015: 313) adalah: (a) peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi, jadi akan memperoleh data yang holistik dan menyeluruh, (b) akan diperoleh pengalaman secara langsung sehingga mampu melakukan penemuan atau discovery, (c) dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati oleh orang lain, (d) dapat menemukan hal-hal yang semula tidak terungkap oleh responden dalam wawancara, (e) dapat menemukan hal-hal yang diluar persepsi responden, sehingga memperoleh gambaran yang lebih komprehensif, (f) selain memperoleh data, peneliti juga memperoleh kesan-kesan pribadi karena mengalaminya secara langsung.
Spradley dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 120) menjabarkan ada tiga tahapan dalam observasi, yaitu (a) observasi deskripsi, dimana peneliti masih belum memiliki kejelasan masalah yang akan diteliti, maka peneliti melakukan penjelajahan secara umum dan  hasil observasi disimpulkan dalam keadaan belum tertata, (b) observasi terfokus, peneliti mulai melakukan mini tour observation, yaitu observasi yang telah dipersempit fokus pada aspek tertentu, (c) observasi terseleksi, peneliti telah menguraikan fokus yang ditemukan sehingga datanya lebih rinci.
 Observasi dalam penelitian ini, dilaksanakan dengan cara peneliti melibatkan diri secara langsung atau berinteraksi pada kegiatan yang dilakukan oleh subyek dalam lingkungannya, mengumpulkan data secara sistematis dalam bentuk catatan lapangan. Misalnya untuk mengetahui program supervisi kepala sekolah, model pendekatan supervisi pembelajaran yang dilaksanakan oleh kepala sekolah, kepribadian guru di dalam maupun diluar kelas, peneliti dapat melakukan pengamatan secara langsung.
Langkah-langkah observasi yang peneliti lakukan sebagaimana pendapat Creswell dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 120) adalah sebagai berikut:
  1. Peneliti memilih lokasi yaitu SMAN 1 Patianrowo dan meminta ijin untuk melakukan observasi.
  2. Setelah di lapangan, peneliti mengidentifikasi siapa atau apa yang akan diobservasi, yang peneliti tuju terlebih dahulu adalah kepala sekolah dan wakil kepala kurikulum.
  3. Semula berperan sebagai pengamat, namun lama-lama melebur dalam keseharian kepala sekolah dan guru selama di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar lebih terjalin komunikasi yang lebih efektif.
  4. Peneliti merancang protokol observasi dalam bentuk catatan deskriptif dan naratif tentang supervise yang dilaksanakan oleh kepala sekolah ketika mensupervisi guru di kelas.
  5. Merekam berbagai aspek terkait. Misalnya potret informan, setting tempat dan reaksi-reaksi pengamat.
  6. Selama pengamatan, mencari teman yang mampu memfasilitasi dalam proses observasi. Salah seorang teman yang peneliti akan jadikan fasilitator adalah wakil kepala bagian kurikulum.
  7. Setelah pengamatan, peneliti menyampaikan kepada partisian tentang manfaat data yang peneliti terima dan perlahan menarik diri seta berterima kasih pada mereka.
Unsur-unsur penting yang harus ada dalam observasi menurut J.P. Spradley  dalam Djam’an Satori, dkk, dkk ( 2014: 111), adalah ruang (tempat), pelaku (aktor) dan kegiatan (aktivitas). Ketiga dimensi ini dapat diperluas sehingga apa yang diamati antara lain: (a) ruang (tempat) dalam aspek fisiknya, (b) pelaku, yaitu semua orang yang terlibat, (c) kegiatan, (d) obyek, benda-benda yang terdapat di tempat itu, (e) perbuatan/ tindakan-tindakan tertentu, (f) kejadian atau peristiwa, (g) waktu, urutan kejadian, (h) tujuan, dan (i) perasaan, emosi yang dirasakan atau dinyatakan.
Observasi yang peneliti lakukan antara lain: (1) observasi lokasi dan kondisi  sekolah SMAN 1 Patianrowo, (2) observasi terhadap pembelajaran guru di kelas, (3) observasi kegiatan supervisi yang dilaksanakan oleh kepala sekolah, dan (4) observasi terhadap kompetensi kepribadian guru setelah dilaksanakannya supervisi oleh kepala sekolah.

2.   Wawancara (Interview)
Wawancara adalah sebuah dialaog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan dan menemukan apa yang terdapat dalam pikiran orang lain. (Djam’an Satori, dkk, 2014:130). Esterberg (2002) mendefinisikan interview sebagai berikut “a meeting of two persons to exchange informmation and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic”. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.
Sedangkan Sudjana masih dalam Djam’an Satori, dkk mendefinisikan wawancara adalah proses pengumpulan data atau informasi melaui tatap muka antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau penjawab (interviewee). Dari beberapa pengertian wawancara tersebut  dapat disimpuulkan bahwa wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Wawancara dalam penelitian ini sifatnya mendalam karena ingin mengeksplor informasi secara holistic dan jelas dari informan.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari informan yang lebih mendalam. Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakanan wawancara mendalam dimana peneliti terlibat secara intensif dengan setting penelitian terutama pada keterlibatannya dalam kehidupan informan. Mc Millan dan Schumacher dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 130) menjelaskan bahwa, wawancara yang mendalam adalah tanya jawab yang terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati partisipan- bagaiamana menggambarkan dunia mereka dan bagaimana menjelaskan atau menyatakan perasaannya tentang kejadian-kejadian penting dalam hidupnya.
Esterberg (2002)  dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 133) juga mengemukakan beberapa macam wawancara/ interview, yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur digunakan bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh sebab itu peneliti harus menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disediakan.
Wawancara semiterstruktur termasuk dalam in-dept intterview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibanding dengan wawancara terstruktur. Tujuannya adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana fihak yang diwawancara diminta pendapat dan ide-idenya.
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.
Dalam wawancara itu yang penting diciptakan adalah suasana yang akrab dan santai (Riyanto, 2007: 6). Cara ini dipergunakan  untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan wawancara dengan nara sumber atau informan.  Teknik ini mempunyai kelebihan yakni penanya bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara detail (Masykuri, 2011:56). Wawancara mendalam adalah percakapan antara dua orang dengan maksud tertentu, dalam hal ini antara peneliti dan informan, dimana percakapan tersebut tidak sekedar menjawab pertanyaan, melainkan suatu percakapan yang mendalam untuk mendalami pengalaman orang lain dan makna dari pengalaman tersebut.
Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu, sekarang serta prospek yang bisa diharapkan terjadi di masa yang akan datang. Misalnya, bagaimana program supervisi yang telah disusun oleh kepala sekolah, bagaimana pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan bagaimana kompetensi kepribadian guru terkait dengan diterapkannya supervisi berpendekatan artistik oleh kepala sekolah.
Oleh karena itu sebelum dilakukan wawancara, garis-garis besar pertanyaan harus sesuai dengan penggalian data, dan kepada siapa wawancara itu dilaksanakan harus disiapkan terlebih dahulu. Untuk pertanyaan tidak harus terstruktur secara tepat, guna memberikan kemungkinan pertanyaan berkembang, dan informasi dapat diperoleh sebanyak-banyaknya. Di sela percakapan bisa diselipkan pertanyaan pancingan (probing), dengan tujuan untuk menggali lebih dalam lagi tentang hal-hal yang diperlukan.
Kaitannya dengan penelitian ini, maka wawancara yang peneliti gunakan terhadap kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo, wakil kepala sekolah, guru, dan peserta didik adalah wawancara semiterstruktur atau wawancara mendalam  secara informal. Artinya tidak menggunakan bentuk-bentuk pertanyaan secara tertulis, melainkan secara lisan. Wawancara ini sifatnya eksploratif, terbuka, dimana antara pewawancara dengan terwawancara terkesan santai, akan tapi tidak mengurangi dari tujuan penelitian itu sendiri.
Peneliti masih menggunakan pedoman wawancara yang sifatnya hanya sebagai guide atau pemandu jalannya dialog saat wawancara. Peneliti mencermati, mendengarkan dengan seksama, serta mencatat hal-hal yang disampaikan oleh informan utama dan informan lainnya sebagaimana tersebut. Saat wawancara ini peneliti menggunakan alat bantu berupa HP (handphone) sebagai perekam dialog, menggunakan bolpoint serta kertas untuk mencatat informasi penting dari informan, serta menggunakan kamera digital untuk memotret sesuatu hal yang berkaitan dengan fokus  penelitian. Adapun kegiatan wawancara sudah terjadual dengan rapi sesuai lampiran penelitian.
Jenis pertanyaan yang akan peneliti gunakan berdasarkan pendapat Patton dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 140) antara lain berkaitan dengan:
  • Pertanyaan berkaitan dengan pengalaman atau perilaku. Misalnya menanyakan pengalaman kepala sekolah dalam memecahkan persoalan dalam pembelajaran. Bagaiamana cara bapak dalam memecahkan persoalan yang berkaitan dengan  pembelajaran guru dikelas?, apakah ada program supervisi yang di buat untuk mengevaluasi pembelajaran guru?dan lain sebagainya.
  • Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai. Misalnya pertanyaan mengenai data yang diperoleh interviewer tentang pelaksanaan supervisi di SMAN 1 Patianrowo terhadap guru atau peserta didik.
  • Pertanyaan yang berkaiatan dengan perasaan. Pertanyaan ini untuk mengetahui perasaan informan terhadap suatu hal. Mislanya menanayakan bagaiamana perasaan  kepala sekolah melihat peserta didik yang tidak masuk kelas mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik.
  • Pertanyaan yang berkaiatan dengan pengetahuan. Misalnya pertanyaan yang ditujukan kepada kepala sekolah terkait model supervisi yang dipakai dan langkah-langkah kepala sekolah dalam melakukan supervisi pembelajaran.
  • Pertanyaan yang berkenaan dengan latar belakang. Pertanyaan ini untuk mengungkapkan ciri pribadi informan yang berkaitan dengan latar belakang  keluarga, pendidikan,  status social ekonomi. Misalanya berkemaan dengan latar belakang kepala sekolah dikaitkan dengan pendekatan supervisi yang diberikan kepada guru.
  • Langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam wawancara, antara lain:
  • Menetapkan informan kunci, yakni bapak kepala sekolas SMAN 1 patianrowo dan wakil kepala bagian kurikulum. Serta informan pendukung yaitu wakil kepala bagian kesiswaan, wakil kepala bagian humas, guru agama, guru BK dan beberapa peserta didik.
  • Membuat pedoman wawancara yang berisi pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan.
  • Menguhubungi dan melakukan perjanjian kepada bapak kepala sekolah (khususnya) dan wakil kepapla bagian kurikulum untuk melakukan wawancara.
  • Mengawali atau membuka alur wawancara namun tidak secara resmi.
  • Melangsungkan wawancara dan mencatat pokok-pokoknya atau merekam pembicaraan.
  • Mengkonfirmasikan hasil wawancara dan mengakhirinya.
  • Menuangkan hasil wawancara dalam catatan lapangan.
  • Mengidentifikasi hasil tindak lanjut wawancara yang telah diperoleh.

3.  Dokumentasi (Documentation)
Menurut Arikunto (2002: 206) dokumentasi berarti mengumpulkan data dengan mencatat data-data yang sudah ada, yaitu mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan lain sebagainya.
Mc Millan dan Schumacher dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 146) menjelaskan bahwa dokumen merupakan rekaman kejadian masa lalu yang ditulis atau dicetak, dapat berupa catatan anekdot, surat, buku harian  dan dokumen-dokumen lainnya.
Dapat disimpulkan dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bias berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatn harian, sejarah kehidupan, caretera, biografi, arsip dan lain sebagainya, Dokumen yang berbentuk lisan misalnya, rekaman pembicaraan atau rekaman dialek suatu suku tertentu. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, gambar, patung, film, piagam penghargaan, piala dan lain sebagainya.
Dokumentasi merupakan upaya pengumpulan data dengan menyelidiki benda-benda tertulis. Oleh karena itu, untuk menghemat dan menghindari hilangnya data yang telah terkumpul, maka perlu dilakukan pencatatan secara lengkap, dan cepat, setiap selesai pengumpulan data di lapangan. Pengumpulan data jenis kualitatif ini biasanya memerlukan waktu yang panjang, dilakukan secara simultan dalam masa yang sama antara merumuskan fokus dan mennganalisis data lapangan.
Dokumentasi dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi dan wawancara. Data dokumen dapat dianggap sebagai data sekunder, karena data primer adalah data yang diperoleh dari yang pertama yaitu subyek penelitian, informan atau partisipan (Tanzeh dan Suyitno, 2006:155). Informasi yang bisa diperoleh antara lain dari surat resmi, catatan rapat, laporan-laporan, agenda, memorenda, buku pembinaan, program kerja kepala sekolah, perangkat pembelajaran guru, daftar prestasi peserta didik, laporan hasil supervisi kepala sekolah dan lain sebagainya yang tentunya relevan dalam penelitian.
Penelitian yang akan peneliti lakukan akan menggunakan dokumentasi yang berupa photo, dokumen sekolah, transkrip wawancara, dokumen tentang pelaksanaan supervisi oleh kepala sekolah. Kesemuanya ini dikumpulkan untuk dianalisis demi kelengkapan data penelitian. Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus dan berakhir pada saat peneliti sudah memperoleh data yang lengkap tentang subyek yang diteliti.
Dokumentasi yang peneliti gunakan antara lain: dokumen program supervisi kepala sekolah selama dua tahun yaitu tahun ajaran 2014/ 2015 dan 2015/ 2016,  foto/ gambar kegiatan pembelajaran guru di kelas, foto/ gambar kegiatan supervise kepala sekolah baik di kelas maupun di luar kelas, dokumen pembinaan kepala sekolah kepada guru, dokumen prestasi guru dan peserta didik dan lain sebagainya.
4.    Trianggulasi
Dalam teknik pengumpulan data, trianggulasi diartiakan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan trianggulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dari berbagai sumber data (Sugiyono, 2013: 330)
Trianggulasi teknik berarti, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data yang sama. Peneliti menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi  untuk sumber data yang sama (baik informan utama atau pendukung). Sedangkan trianggulasi sumber berarti, untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.
Setelah data terkumpul maka penulis melakukan pengkodean (pembuatan kode) sebagaimana dalam Rulam Ahmadi (2014:209) menyatakan bahwa “dalam penelitian kualitatif seorang peneliti mengorganisasikan data mentah ke dalam kategori-kategori konseptual dan menciptakan tema atau konsep, yang kemudian ia gunakan untuk menganalisis data. Di samping tugas administrasi sederhana, pemberian kode kualitatif merupakan suatu bagian integral dari analisis data”.

F.  Analisis Data
Menurut Masykuri dan Ibrahim dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif Tinjauan Teoritis dan Praktis ed. Masykuri Bakri (2013:174) menyatakan bahwa “analisis data adalah proses penelaahan, pengurutan, dan pengelompokkan data dengan tujuan untuk menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya menjadi kesimpulan atau teori sebagai temuan penelitian. Data dalam penelitian kualitatif terdiri dari deskripsi yang rinci tentang situasi, interaksi, peristiwa, orang dan prilaku yang diamati; atau nukilan-nukilan langsung dari seseorang tentang pengalaman, fikiran, sikap, dan keyakinannya atau petikan-petikan dokumen, surat dan rekaman-rekaman lainnya.
Sedangkan menurut Seiddel (Moleong, 2006: 248) memandang bahwa analisis data kualitatif merupakan sebuah proses yang berjalan sebagai berikut: (a) mencatat, yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar datanya tetap dapat ditelusuri, (b) mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, menyintesiskan, membuat ihtisar, dan membuat indeksnya, (c) berpikir, dengan jalan agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan dan setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution dalam Dja’am Satori, 2014: 215 menyatakan "analisis telah dimulai sejak merumuskan den menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian". Dalam melakukan analisis data dari hasil pengumpulan data dari lapang, peneliti menggunakan model analisis dari data kualitatif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman.
Menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono  (2015: 337) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, berlangsung secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh atau cukup. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification. Dan sebelum nya dilakukan terlebih dahulu pengumpulan data.
Kegiatan analisis data sebelum dilapangan menurut Bogdan dan Biklen dalam Maykuri (2013: 177),  kegiatan-kegiatannya meliputi:
1.        Penetapan fokus penelitian, apakah tetap sebagaimana telah direncanakan ataukah perlu diubah.
2.        Penyusunan temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul.
3.        Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnyaa berdasarkan temuan sebelumnya.
4.        Pengembangan pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya
5.        Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data (informarman, situasi, dan dokumen) berikutnya.

Berdasarkan teknik diatas, maka analisis data dalam penelitian ini adalah proses mencari, mengatur, menyusun, memaparkan serta mendeskripsikan hasil observasi, wawancara,  dan catatan lainnya. Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan prosedur analisis kedalam tiga langkah selama penelitian. Sedangkan analisa data selama dilapang menurut model Milles dan Hubberman dalam Dja’am Satori, dkk (2014: 218) terdiri atas: reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing/ verification (kesimpulan),yang dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya mencapai jenuh.
1.  Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data adalah proses memilih-menyederhanakan, mengabstraksikan dan mentransformasikan data kasar yang baru diperoleh dari lapangan. Reduksi data dilakukan secara kontinu sesuai siklus gambar di atas selama pengumpulan data berlangsung, kemudian dari hasil tersebut ditarik kesimpulan sementara. Kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan diadakan reduksi melalui verifikasi data yang ada dengan data yang lain, bahkan mencari data yang baru. Reduksi data dimaksudkan adalah bagian dari kegiatan analisis data yang digunakan selama pengumpulan data (Masykuri, 2013:184).
Data yang berasal dari hasil observasi, dan wawancara tentang pendekatan  supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo, dimungkinkan masih belum dapat memberikan informasi yang lengkap dari data-data tersebut dilakukan reduksi data sebagaimana pendapat Milles dan Hubberman (1992: 16), reduksi  data adalah proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian dan informasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Dengan reduksi data, data yang diperoleh akan dipilih dan diseleksi sebelum ditulis atau disajikan.
Kemudian peneliti melakukan reduksi data yang kegiatannya mencakup unsur-unsur spesifik termasuk (1) proses pemilihan data atas dasar tingkat relevansi dan kaitannya dengan setiap kelompok data, (2) menyusun data dalam satuan-satuan sejenis. Pengelompokkan data dalam satuan yang sejenis ini juga dapat diekuivalenkan sebagai kegiatan kategorisasi/variable, (3) membuat koding data sesuai dengan kisi-kisi kerja penelitian.
Kegiatan lain yang masih termasuk dalam mereduksi data yaitu kegiatan memfokuskan, menyederhanakan dan mentransfer dari data kasar ke catatan lapangan. Dalam penelitian kualitatif-naturalistik, ini merupakan kegiatan kontinyu dan oleh karena itu peneliti perlu sering memeriksa dengan cermat hasil catatan yang diperoleh dari setiap terjadi kontak antara peneliti dengan informan.
2.   Penyajian Data (Data Display)
Langkah selanjutnya setelah mereduksi data adalah penyajian data.  Yang merupakan proses penyusunan informasi secara sistematis dalam rangka memperoleh kesimpulan sebagai temuan penelitian. Penyajian data dilakukan dalam rangka menyajikan hasil reduksi data secara naratif berupa kalimat, kata-kata yang berhubungan dengan fokus penelitian, sehingga sajian data merupakan sekumpulan informasi yang tersusun secara sistematis yang memberikan kemungkinan untuk ditarik kesimpulan dan keputusan dalam pengambilan tindakan.
Milles and Huberman dalam Dja’am Satori, dkk (2014: 219) menyatakan ”the most frequent from of display data for qualitative research data in the past has been narrative text”. Dengan demikian yang paling sering digunakan untuk menyajikan  data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks naratif.
Data yang disajikan dalam penelitian ini adalah data yang sebelumnya sudah dianalisis, tetapi analisis yang dilakukan masih berupa catatan untuk kepentingan peneliti, sebelum disusun dalam bentuk laporan. Setiap data yang sudah direduksi dapat disajikan untuk dianalisis atau disimpulkan, misalnya terkait dengan peran kepala sekolah sebagai supervisor, pendekatan pelaksanaan supervisi pembelajaran, sistem pembelajaran, kepribadian guru dan lain sebagainya. Apabila ternyata ada yang disajikan belum dapat disimpulkan, maka data tersebut direduksi kembali untuk diperbaiki cara penyajiannya.
3.  Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi (Verification)
Penarikan kesimpulan adalah kegiatan memberi simpulan terhadap hasil penafsiran dan evaluasi. Kegiatan ini mencakup penarikan makna dan membberi penjelasan dari penyajian naratif. Selanjutnya dilakukan verifikasi, yaitu menguji kebenaran, kekokohan, dan mencocokkan makna-makna yang muncul dari data. Sejak permulaan pengumpulan data, penarikan kesimpulan sudah dilakukan, yaitu mempertimbangkan apa isi informasi, dan apa pula maksudnya. Kesimpulan akhir baru dapat diperoleh pada waktu data telah terkumpul dengan cukup, yang dapat diwujudkan sebagai gambaran sasaran penelitian.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. Dalam pengambilan kesimpulan peneliti menggunakan analisis induktif dan deduktif.
Analisis induktif adalah cara berfikir  yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus kemudian fakta-fakta tersebut diambil kesimpulan secara umum (Hadi, 1993:42). Peneliti menggunakan analisis ini untuk menarik kesimpulan umum dari data khusus yang ada di lapangan. Deduktif adalah mengelola data dengan jalan kita berangkat dari pengetahuan atau fakta-fakta   yang bersifat umum, kemudian mengambil uraian secara khusus. Peneliti menggunakan analisis ini untuk menjabarkan kesimpulan dengan fenomena-fenomena khusus.
G.  Pengecekan Keabsahan Temuan Data
Pengecekan atau pemeriksaan keabsahan temuan data pada penelitian kualitatif untuk memperoleh kesimpulan naturalistik didasarkan pada kriteria-kriteria yang dikembangkan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu: "derajat kepercayaan (credibility), keteralihan/ validitas eksternal (transferbality), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability).
Rulam Ahmadi (2014:262) menyatakan bahwa “ada tiga kegiatan yang dapat dilakukan oleh peneliti kualitatif untuk meningkatkan temuan yang dapat dipercaya akan dihasilkan, yaitu (1) memperpanjang keterlibatan, (2) pengamatan yang cermat, dan (3) trianggulasi”.
Untuk menjamin kepercayaan atau validitas data yang diperoleh melalui penelitian, maka diperlukan adanya uji keabsahan dan kelayakan data yang dilakukan dengan beberapa cara. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:
1.    Uji Kredibilitas
Beberapa cara yang dilakukan dalam uji kredibilitas penelitian kualitatif antara lain: perpanjangan keikutsertaan/ pengamatan, peningkatan ketekunan, trianggulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisi kasus negatif, member check. Naman peneliti hanya menggunakan empat dari enam cara tersebut.
a.        Perpanjangan Keikutsertaan. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai (Moleong, 2005:4). Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Realisasi dari perpanjangan keikutsertaan peneliti di lapangan, karena peneliti mengajar di lokasi penelitian.
b.   Ketekunan Pengamatan. Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedangn dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci (Tanzeh dan Suyitno, 2006: 162).
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Bentuk ketekunan ini, peneliti wujudkan dalam kegiatan mencatat terhadap suatu kegiatan subyek penelitian. Selain itu, untuk memperoleh data penelitian yang akurat serta terjamin kepercayaannya, peneliti melakukan kegiatan wawancara mendalam, observasi partisipan, serta penelusuran dokumen yang semuanya terjadual pada lampiran penelitian.
c.       Trianggulasi. Trianggulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Menurut Moeong (2005:330) “trianggulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan  sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”.  Trianggulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian. Dengan cara ini peneliti bisa menarik kesimpulan yang mantap tidak hanya dari satu sudut pandang saja, sehingga bisa diterima kebenarannya.
Trianggulasi yang digunakan peneliti pada penelitian ini adalah trianggulasi sumber/ data, trianggulasi teknik, trianggulasi waktu. Trianggulasi  sumber data yaitu mengecek derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dengan berbagai sumber yang lain. Realisasi dari metode ini peneliti melakukan wawancara mendalam dengan berbagai fihak, seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
Trianggulasi teknik untuk meguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Realisasi dari hal ini adalah peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data, misalnya data yang diperoleh dengan wawancara  kepada kepala sekolah lalu dicek dengan observasi, dokumentasi atau kuesioner. Bila dengan tiga teknik pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang berbeda-beda maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data  yang bersangkutan atau yang lain untuk memastikan data mana yang dianggap benar.
Selanjutnya peneliti juga menggunakan trianggulasi waktu. Menguji kredibilitas data dengan trianggulasi waktu dilakukan dengan cara mengumpulkan data pada waktu yang berbeda. Realisasi dari pelaksanaan ini, peneliti melakukan wawancara kepada informan yakni kepala sekolah, wakil kepala sekolah atau informan lain dengan mengulang atau mengeceknya diwaktu yang berbeda.
d.      Dikusi dengan Teman Sejawat
Diskusi sejawat menurut Moleong adalah teknik yang dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat (Moleong, 2005:4). Diskusi teman sejawat ini dilakukan dengan cara membuat data dan temuan-temuan penelitian selama peneliti dilapangan, peneliti akan mendiskusikan kembali tentang data yang diperoleh baik dengan guru maupun kepala sekolah. Melalui diskusi teman sejawat ini yakni teman-teman mahapeserta didik Pasca Supervisi  Pendidikan Islam UNISMA ini diharapkan banyak memberikan kontribusi dalam penelitian ini.
2.        Pengujian Transferability
Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif yang dapat menunjukkan derajad ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi dimana sampel itu diambil. Oleh karena itu, supaya orang lain dapat memahami hasil penelitian kualitatif  tersebut, maka peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Bila pembaca memperoleh gambaran yang sedemikian jelasnya, maka laporan tersebut memenuhi standar transferabilitas (Sanafiah Faisal dalam Sugiyono, 2015: 377).

3.        Pengujian Dependability
Dalam penelitian kualitatif dependability disebut juga dengan reliabilitas. Suatu penelitian dianggap reliable adalah apabila orang lain dapat mengulangi/ mereplikasi proses penelitian tersebut. Untuk menguji reliabilitas suatu penelitian maka perlu dilakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Pada prakteknya seorang peneliti harus mampu memberikan data sesuai dengan keadaan di lapangan. Jika peneliti tidak mempunyai dan tak dapat menjelaskan “jejak aktivitas lapanngannya” maka depenabilitas (reliabilitas) penelitiannya patut untuk diraggukan (Sanafiah Faisal  dalam Sugiyono, 2015: 377).

4.        Pengujian Konfirmability
Dalam penelitian kualitatif pengujian konfirmability disebut dengan uji obyektifitas penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitiannya telah disepakati banyak orang. Dalam penelitian  kualitatif, uji konfirmability mirip dengan uji dependability sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan.  Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmability. Dalam penelitian jangan sampai proses tidak ada tapi hasilnya ada.
Begitu data selesai dianalisis dengan prosedur sebagaimana diuraikan diatas maka kegiatan yang harus dilakukan adalah audit data, audit data adalah Audit hasil analisa data merupakan upaya yang harus ditempuh dalam setiap akhir penelitian untuk menetapkan bahwa kesimpulan yang dirumuskan betul-betul sahih berdasarkan data yang ada (Lincoln dan Guba dalam Maskuri, 2013: 187),
Dalam kaitannya dengan pengauditan hasil analisis data  ada dua hal yang perlu dikemukakan, yaitu auditor dan proses pengauditannya. Auditor adalah seseorang yang ditunjuk melakukan audit terhadap suatu hasil analisis data.  Dalam banyak penelitian seorang yang ditunjuk sebagai auditor adalah konsultan/ pembimbingnya sendiri yang biasa disebut dengan auditor internal. Sedangkan bila yang ditunjuk sebagai auditor berasal dari luar tim proyek penelitian, maka disebut auditor eksternal.
Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam mengaudit hasil analisis data penelitian kualitatif, yaitu:
a.    Menentukan seorang, dua orang atau lebih yang dimintai kesediannya menjadi auditor.
b.   Menyiapkan berkas yang diperlukan dalam mengaudit hasil analisis data. Yang meliputi rumusan masalah dan tujuan penelitian, metode dan prosedur analisis penelitian, transkrip wawancara, dan lain sebagainya.
c.    Menghubungi auditor untuk menyerahkan berkasnya.
d.    Auditor mulai mengaudit  hasil analisi data.

H.  Tahap-tahap Penelitian
Menurut M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur (2014:143-157) menyatakan bahwa tahapan-tahapan penelitian kualitatif disesuaikan dengan kepraktisan, kemampuan peneliti, serta mudah dipahami. Selanjutnya tahapan tersebut terdiri tahap penelitian secara umum dan tahap penelitian secara siklus.
 Tahapan secara umum akan dipaparkan sebagai berikut:
1.    Tahap pra-penelitian, antara lain (a) menyusun rancangan penelitian; (b) memilih lokasi penelitian; (c) mengurus perijinan penelitian; (d) menjajaki dan menilai lokasi penelitian; (e) memilih dan memanfaatkan informan; (f) menyiapkan perlengkapan penelitian; (g) memperhatikan etika penelitian.
2.    Tahap kegiatan lapangan, meliputi (a) memahami latar penelitian dan persiapan diri; (b) penampilan peneliti; (c) pengenalan hubungan peneliti di lapangan; (d) jumlah waktu penelitian.
3.     Memasuki lokasi penelitian, meliputi (a) keakraban hubungan; (b) mempelajari bahasa; (c) peranan peneliti.
4.       Berperan serta sambil mengumpulkan data, meliputi (a) pengarahan batas waktu penelitian; (b) mencatat data; (c) petunjuk tentang cara mengikat data; (d) kejenuhan, keletihan dan istrahat; (e) meneliti suatu latar yang di dalamnya terdapat pertentangan; (f) analisis di lapangan
Dengan merujuk pada pendapat di atas, maka tahap-tahap yang ditempuh oleh penulis dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.    Tahap sebelum kelapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan teori, penjajakan alat peneliti mencakup observasi lapangan, permohonan ijin kepada subyek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian.
2.     Tahap kegiatan lapangan, meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan yang dilakukan pengawas Pendidikan Islam dan mutu atau kualitas pembelajaran Pendidikan Islam. Data tersebut diperoleh dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.
3.    Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperolah melaui observasi, dokumen maupun wawancara mendalam dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru maupun peserta didik. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan data dengan cara mengecek sumber data yang didapat dan metode perolehan data sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan bahan untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks penelitian yang sedang diteliti.
4.     Tahap penulisan laporan, meliputi: kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. Setelah itu melakukan konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan perbaikan saran-saran demi kesempurnaan penelitian yang kemudian ditindaklanjuti hasil bimbingan sehingga hasilnya sempurna. Langkah terakhir melakukan pengurusan kelengkapan persyratan untuk ujian tesis.

I.         Rencana Jadwal Penelitian
Penelitian ini dibangun atas perencanaan yang matang agar proses dan hasil penelitian tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Rencana dan jadwal dapat digambarkan melalui table sebagai berikut:
Tabel: 3.1 Rencana dan Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Okt 2015
Nop 2015
Des 2015
Jan 2016
Feb 2016
Mar 2016
April 2016
Mei 2016

1
Observasi awal
x








2
Pengajuan judul
x








3
Perizinan
x








4
Studi Kepustakaan

x






5
Penyusunan Proposal

x






6
Seminar Proposal

  x






7
Perbaikan


x
x
x



8
Mengumpul dan mengolah data




x
x


9
Menyusun Tesis




x
x
x

10
Pembimbingan



X
x
x
x

10
Ujian Tesis







x

DAFTAR RUJUKAN


Ngalim Purwanto, 2014. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.
Ali Imron, 2011, Supervisi Pembelajaran Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Mukhtar, dkk, 2009, Orientasi Supervisi Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press.
 Jasmani, dkk, 2013, Supervisi Pendidikan Terobosan Baru Dalam Peningkatan Kinerja Pengawas Sekolah Dan Guru, Yogjakarta: Ar Ruzz Media.
Made Pidarta, 2009, Supervisi Pendidikan Kontekstual, Jakarta: Asdi Mahasatyta.
Barnawi, dkk, 2014, Pengawas Sekolah Upaya Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas Sekolah, Yogyakarta: Ar Ruz Media.
Dadang Suhardan, 2014, Supervisi Profesioanal Layanan Dalam Meningkatkan Mutu Pengajaran Di Era Otonomi Daerah, Bandung: Alfabeta.
Musfiqon, dkk, 2015, Menjadi Pengawas Sekolah Profesional, Sidoarjo: Nizamia learning Center.
Pupuh Fathurrahman, dkk, Supervisi Pendidikan Dalam Pengembangan Proses Pengajaran, Bandung: Refika Aditama.
Jamal Ma’mur Asmani, 2012, Tips Efektif Supervisi Pendidikan Sekolah, Jogjakarta: Diva Pess
Piet Sahertian, 2010, Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan, Jakarta: Asdi Mahasatya.
Syaiful Sagala, 2009, Kemampuan Profesioanl Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung: Alfabeta.
Uhar Suharsaputra, 2013, Menjadi Guru Berkarakter, Bandung: Refika Aditama.
Rusdiyana, dkk, Pendidikan Profesi Keguruan, 2015, Bandung; Pustaka Setia.
Djam’an Satori, dkk, 2014, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, 2015, Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta
Makawimbang Jerry H. 2011. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta
      Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2004). Menjadi Kepala sekolah Profesional, Bandung: Rosda Karya.   
Moleong, L.J. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi .Jakarta : Rineka Cipta.
Bakri Masykuri. Afifulloh.M. Dwi Ari.K, 2013, Pedoman Penulisan  Tesis, Malang: Program Pascasarjana Universitas Islam Malang



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar