PELAKSANAAN SUPERVISI PEMBELAJARAN PENDEKATAN ARTISTIK DALAM MENINGKATKAN
KINERJA GURU SMA NEGERI 1
PATIANROWO NGANJUK
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Konteks
Penelitian
Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, pendidikan merupakan
kunci utama kemajuan suatu bangsa.
Bangsa yang beradab dan berwibawa dimulai dari sumber daya manusia yang
produktivitas, berdaya guna, mampu
bertahan dan mampu beradaptasi dalam segala keadaan. Era globalisasi yang
memaksa seluruh komponen untuk berbenah dalam menjalaninya menjadi salah satu
alasan utama agar sumber daya manusia yang ada di permukaan bumi ini untuk
terus menambah wawasan dan ketrampilan sehingga tidak tertinggal dan tergerus
oleh perubahan zaman.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek),
yang sekarang ini sedang mendera manusia dengan seluruh aspek kehidupannya,
memberikan dampak yang signifikan, terlebih bagi dunia pendidikan. Berbagai
persoalan juga muncul seiring kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Persoalan yang muncul antara lain,
penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja, tuntutan bagi para guru
untuk lebih kompetitif lagi, perubahan metode/ alat/ media/ sumber belajar yang
berbasis pemanfaatan sains, kesejahteraan guru, kebijakan pemerintah terhadap
pendidikan nasional, serta persoalan faktual yang lain. Hal ini patut diperhatikan oleh seluruh elemen bangsa
terutama oleh para penggiat pendidikan di manapun berada.
Statement atau
pernyataan tersebut tentunya bisa diterima, asalkan perspektif yang digunakan
mengarah pada aspek dampak yang ditimbulkannya. Tanpa bisa dihindari, era
kompetisi global (persaingan antara Negara/ Bangsa meraih kemajuan serta
kemakmuran) masih terus terjadi. Oleh karena itu, mutlak pengembangan dan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia perlu terus dilakukan.
Sesuai pasal 1
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, ditegaskan bahwa
fungsi Pendidikan nasional antara lain adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan dan
berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Dalam
konteks ini tujuan Pendidikan adalah sebagai penuntun, pembimbing dan petunjuk
arah bagi para peserta didik agar konsep mereka dapat tumbuh dewasa sesuai
dengan potensi dan konsep diri yang sebenarnya. Sehingga mereka dapat
tumbuh, bersaing dan mempertahankan
kehidupannya di masa depan yang penuh
tantangan dan perubahan.
Pendidikan
itu tidak hanya membentuk kecerdasan, tetapi juga membekali dengan kompetensi
dan nilai-nilai etik serta pembentukan watak yang membuat peserta didik
mempunyai jati diri dan kepercayaan yang kuat akan kompetensinya. Dalam upaya
memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pendidikan, baik dilihat dari aspek
kuantitatif maupun kualitatif, secara nasional pemerintah telah mengambil
berbagai kebijakan yang berkaitan dengan Pendidikan. Seperti perubahan dan
penyempurnaan organisasi Pendidikan nasional, undang-undang dan peraturan
mengenai penyempurnaan kurikulum Pendidikan, peningkatan angka partisipasi
belajar pada semua jenjang, pengaturan dana bantuan operasional sekolah,
manajemen Pendidikan dan lain sebagainya.
Peningkatan kualitas
pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai upaya, antara lain perbaikan
kurikulum, proses belajar-mengajar, kinerja guru, sistem pendidikan,
supervisi kepala sekolah, pemberdayaan
kelompok kerja guru, penyediaan sarana dan prasarana serta upaya-upaya yang
lainnya. Dalam upaya-upaya tersebut, upaya perbaikan kinerja guru termasuk
upaya yang sangat strategis karena merupakan komponen sumber daya manusia yang
harus di bina dan dikembangkan terus menerus. Siapapun tidak akan membantah
bahwa keunggulan sumber daya manusia hanya akan mungkin diperoleh melalui
pendidikan yang diprogramkan secara sistematis dan terencana.
Dalam usaha
meningkatkan kualitas pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia
yang harus dibina dan dikembangkan terus menerus. Pengembangan profesi guru
dilaksanakan melalui program pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak
semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan qualified. Potensi sumber daya guru dapat melakukan
fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat
mendorong guru-guru untuk terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.
Mutu pendidikan dapat
ditinjau dari tiga sisi yaitu input,
proses dan output. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus
tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses, dalam hal ini adalah
peserta didik. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan
mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran
yang menyenangkan (enjoyable learning)
seperti bahan ajar, metodologi (sesuai dengan kemampuan guru), sarana dan
prasarana pendidikan, dukungan administrasi dan berbagai sumberdaya dan upaya
penciptaan suasana yang kondusif dan nyaman untuk belajar, yang akhirnya mampu
mendorong motivasi dan minat belajar peserta didik. Sedangkan output pendidikan
adalah hasil capaian dari input yang di proses melalui inovasi dan pengembangan
pendidikan.
Masyarakat mempercayai,
mengakui, dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara
profesional. Kepercayaan, keyakinan dan penerimaan ini merupakan substansi dari
pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut
guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya tataran normatif saja,
namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal,
profesional maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan
pendidikan.
Hal tersebut
dikarenakan guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya
pada tataran institusioanal dan eksperiensial sehingga upaya meningkatkan mutu
pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang
menyangkut keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan
yang profesional.
Namun keberhasilan
dalam dunia pendidikan tidak hanya terbebankan kepada guru sebagai pelaksana
dan sekaligus subyek yang terlibat dan
berhadapan langsung dengan sistem maupun
peserta didik semata. Setiap orang yang
terlibat dalam kegiatan pendidikan pada dasarnya harus memiliki kemampuan dan
kepedulian untuk melaksanakan tugas-tugas yang diembannya secara kreatif dan
tanggung jawab. Tugas-tugas yang dimaksud adalah upaya pengendalian kerja sama
yang berkaitan tetapi dengan berbagai kegiatan, seperti perencanaan,
pengorganisasian, dan penilain (evaluasi),
serta proses komunikasi, yang kesemuanya di arahkan pada upaya pencapaian
tujuan bersama.
Dengan demikian, setiap
orang yang terlibat dalam proses pendidikan pada dasarnya tidak hanya terlibat
dalam kegiatan pendidikan secara profesional saja,akan juga terlibat dalam kegiatan administrasi,
evaluasi dan supervisi, yang mengharuskan
mereka memiliki pengetahuan, ketrampilan dan keahlian dalam hal-hal
tersebut. Artinya kemampuan administrasi, evaluasi dan supervisi ini pada
gilirannya akan mampu menempatkan para penanggung jawab pendidikan pada posisi
sebagai pemimpin (administrator), evaluator dan supervisor pendidikan,
dalam upaya meningkatkan efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan
pendidikan.
Jelaslah bahwa antara
kegiatan administrasi pendidikan, manajemen pendidikan, kepemimpinan
pendidikan, evaluasi dan supervisi pendidikan pada dasarnya saling berkaitan
satu dengan yang lainnya, sebagai upaya-upaya dalam menunjang profesionalitas
para petugas pendidikan untuk mewujudkan tujuan di lingkungan pendidikan
masing-masing.
Salah satu faktor yang
sangat menentukan adalah ketrampilan kepala sekolah dalam memimpin sekolah.
Seorang kepala sekolah sebagai pemimpin dapat dinilai dari kesuksesan
kinerjannya. Kepala sekolah yang melakukan pekerjaan secara efektif dapat
diukur dari sejauh mana dia mampu mengarahkan tenaga pengajarnya sehingga
membuahkan hasil pada saat peserta didik mampu melaksanakan dan mendapatkan
prestasi secara akademik maupun non akademik.
Keefektifan juga
mencakup sejauh mana perhatian kepala sekolah tersebut dalam pengelolaan manajemen
yang meliputi evaluasi dan supervisi terhadap kinerja anggota dan iklim sekolah
yang terbentuk. Sehingga seluruh elemen dalam pendidikan tersebut merupakan
satu keesatuan yang saling melengkapi dan menopang menuju visi, misi dan
tujuan pendidikan yang diharapkan.
Kepemimpinan
dalam organisasi baik profit maupun non profit merupakan spirit untuk memutar
roda pemberdayaan organisasi tersebut, termasuk organisasi sekolah. Artinya, peran sentral dalam
organisasi tidak lepas dari kinerja seorang pemimpin untuk menggerakkan
potensi-potensi yang ada dalam organisasi yang didalam nya ada guru dan murid
sebagai pelaku utama Pendidikan.
Kepala sekolah sebagai
leader yang memiliki kewajiban untuk membina seluruh potensi yang ada khususnya
kemampuan para guru agar mampu melaksanakan tugasnya dengan baik serta mampu
mengejawantah peserta didik, hendaknya senantiasa merancang program yang sesuai
dengan visi, misi serta tujuan yang telah ditetapkan lewat tim pengembang
sekolah beserta komite sekolah.
Dengan segala
perangkatnya yakni kemampuan untuk melaksanakan pendekatan, pengawasan (supervisi) maupun pembinaan, merupakan
jawaban yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan
problematika dalam proses kegiatan belajar-mengajar antara pendidik dan peserta
didik. Dan supervisi pendidikan merupakan instrumen penting dalam quality control proses pendidikan yang
diaksanakan pada satuan pendidikan.
Pelaksanaan supervisi
dari sebagian kalangan masih dianggap hanya tugas dari seorang supervisor yang
berada di dinas tempat mereka bernaung. Dan pengawasan hanya bersifat
administratif belaka, mereka hanya menginspeksi penulisan dan penyusunan
perangkat pembelajaran tanpa memberikan pengarahan atau pembenahan dalam sistem
pembelajaran, ketrampilan mendiagnosis untuk menganalisis penampilan guru dalam
memberikan ilmu tidak mendapatkan perhatian.
Bahkan dari sebagian
guru sangat apreori terhadap kalimat “supervisi”, atau bahkan tidak suka
diawasi walaupun sesungguhnya itu merupakan suatu keharusan. Dan ketidak sukaan
itu bukan terhadap supervisi itu sendiri, melainkan terhadap gaya supervisi
yang mereka terima. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1)
supervisi disamakan dengan evaluasi dan berkesan tidak kekeluargaan, (2)
supervisi dilakukan untuk menjalankan tugas semata bukan atas dasar kebutuhan
sehingga bersifat top down, (3) supervisor kurang menguasai tugas-tugas dan
tehnik-tehnik supervisi, sehingga cenderung monoton, membuat batasan waktu,
hanya menyalahkan tanpa memberikan bimbingan dan terkadang bersifaf subyektif.
Peningkatan kemampuan
guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di sekolah, merupakan tanggung
jawab kepala sekolah selaku supervisor sebagai pembina dan atasan langsung.
Karena itu mereka harus melaksanakan
supervisi secara baik dan benar sesuai dengan prinsip-prinsip supervisi
serta tehnik dan pendekatan yang tepat
Supervisi pembelajaran
harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis bersifat terbuka,
kesetiakawanan dan informal. Hubungan demikian bukan saja kepada guru dan
supervisor, melainkan juga dengan pihak lain yang terkait dengan program
supervisi pembelajaran. Dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat
membantu, memahami, terbuka, jujur, sabar, antusias dan penuh humor dan
berkesinambungan.
Kegiatan supervisi pembelajaran
merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh seorang kepala sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan guna memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut disebabkan adanya hubungan
ketergantungan atau hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif antara guru dan peserta didik yang merupakan inti proses pendidikan
secara keseluruhan. Oleh karena tujuan
supervisi tidak sebagaimana yang mereka para guru khawatirkan, namun
benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan guna meningkatkan kompetensi
kepribadian guru sendiri.
Untuk mengungkap
permasalahan di lembaga pendidikan, kepala sekolah bisa melaksanakan supervisi dengan
berbagai pendekatan antara lain menggunakan pendekatan artistik. Yakni
supervisi dengan mengunakan pendekatan yang menyandarkan pada kepekaan,
persepsi dan pengetahuan supervisor sebagai saran untuk mengapresiasikan
kejadian-kejadian pembelajaran yang bersifat halus, lembut dan sangat bermakna
di dalam kelas dan dilihat secara ekspresif, puitis bahkan menggunakan
bahasa-bahasa simbul dan kiasan.
Pendekatan ini sangat
memperhatikan hubungan baik dan menyenangkan antara supervisor dan guru yang di
supervisi sehingga tercipta suasana yang dialogis diantara mereka. Pendekatan
artistik mengedepankan akhlak mulia dalam berprilaku, seperti ramah tamah,
sopan santun, jujur, toleran, bijak, ketulusan hati dan menyukai keindahan.
Sehingga guru yang di supervisi merasa nyaman dan tidak terbebani dengan
kegiatan supervisi.
Pada
kesempatan ini supervisor menularkan pengalaman dan pikiran kepada guru dalam
menyelesaikan masalah pembelajaran dan dapat memotivasi akan perlunya
meningkatkan kompetensi kepribadian guru baik didalam proses belajar-mengajar
maupun dalam penciptaan iklim pendidikan di sekolah. Tujuanya adalah antara
supervisor dan guru dapat berdialog membahas tentang keluhan-keluhan atau
kekurangan di bidang mengajar dimana supervisor dapat memberikan jalan
keluarnya, dan mendorong agar yang kurang menjadi bisa diperbaiki dan yang
sudah baik untuk ditingkatkan lagi.
Mengkaji
permasalahan di atas, antara kompetensi kepribadian guru, suasana pembelajaran,
iklim sekolah serta relasi yang terbangun diantaranya, maka pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama yakni pemerintah selaku pembuat kebijakan, kepala
sekolah selaku leader dalam lembaga pendidikan, guru sebagai garda depan proses
pembelajaran, peserta didik sebagai hasil dari proses perubahan dalam
pendidikan serta masyarakat sebagai pengguna atau konsumen pendidikan.
Formulasi dan pendekatan yang digunakan pun harusnya tepat, agar hasil yang
diinginkan mencapai pada titik harapan.
Di
lapangan pendidikan banyak hal dalam proses belajar-mengajar yang sangat
menarik untuk dikaji dan dijadikan sebagai konteks dalam penelitian ini antara
lain adalah pada saat kegiatan belajar-mengajar guru masih menggunakan cara
lama atau manual, padahal sarana tersebut telah tersedia dan kurikulum
pendidikan telah menganjurkan untuk pemanfaatan media pembelajaran berbasis
teknologi, namun masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Pembelajaran
yang berlangsung juga terkesan kurang persiapan atau perencanaan hal ini tampak
dari metode pembelajaran yang diterapkan yang kurang pas dengan SK/ KD. Perangkat
pembelajaran masih belum banyak yang terselesaikan sampai kegiatan belajar
mengajar berlangsung hampir satu semester. Dan hampir semua guru membuat
perangkat pembelajaran hanya copy-paste
dari MGMP atau bahkan dari tahun-tahun sebelumnya, tidak disesuaikan dengan
kondisi peserta didik yang tentunya berbeda. Serta masih banyaknya peserta didik
yang kurang disiplin dalam mengikuti pembelajaran, hal ini tampak dari
keterlambatan atau ketidak seriusan mereka di dalam mengikuti transformasi
ilmu. Sikap guru yang cenderung membiarkan keadaan tersebut dan adakalanya
berkesan kurang familiar terhadap peserta didik bisa menambah deretan
terhambatnya mutu pendidikan.
SMAN
1 Patianrowo salah satu sekolah yang dalam visi dan misi nya mengedepankan
selain intelektual adalah religi dan kepekaan sosial. Maka sentuhan-sentuhan
pembiasaan yang dilakukan tidak lepas dengan nuansa keagamaan. Hal ini bisa
dimaklumi karena pemimpin sekolah disana
selain seorang pimpinan sebuah organisasi masyarakat keagamaan terbesar ke dua
di Kabupaten Nganjuk, beliau juga seorang juru dakwah. Oleh sebab itu dalam
upaya pencapaian visi, misi dan tujuan sekolah tidak lepas dengan pendekatan
religius.
Hal
lain yang tampak di SMAN 1 Patianrowo adalah semangat kepala sekolah yang
tinggi dalam melaksanakan pembinaan terhadap kompetensi kepribadian guru
melalui pelaksanaan supervisi pembelajaran dengan pendekatan artistik secara
efektif dan bisa diterima oleh semua unsur penunjang pendidikan. Semangat itu
tercermin dari kedisiplinan dan etos kerja yang baik dalam melaksanakan tugas
dan kesadaran mendidik kepribadian peserta
didik yang santun, bermartabat dan maju dalam intelektual, serta antusiasnya
guru terhadap supervisi yang dilaksanakan oleh kepala sekolah.
Fenomena lain yang
dapat digali adalah bahwa kepala sekolah memiliki kemampuan mendiskripsikan dan
menginterprestasikan setiap peristiwa pembelajaran yang terjadi. Begitu pula dalam memberikan komentar, kritik dan saran
terhadap tampilan guru dalam proses pembelajaran, kepala sekolah selalu
menggunakan bahasa yang santun, halus dan sopan, sehingga guru tidak merasa
digurui dan tersinggung. Dengan demikian hubungan baik antara kepala sekolah
dan guru tetap terjaga.
Oleh sebab itu peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan supervisi pembelajaran
yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dengan menggunakan pendekatan artistik (artistic
approach) dalam meningkatkan kompetensi kepribadian guru di SMAN 1
Parianrowo Kecamatan Patianrowo Kabupaten Nganjuk, disamping itu peneliti ingin
mengungkap tentang kompetensi kepala
sekolah dalam melaksankan tugasnya sebagai seorang supervisor dalam menyusun
program supervisinya guna meningkatkan mutu dan kompetensi guru dengan berbagai
keberhasilan dan tantangannya.
Ada beberapa penelitian yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yang mengkaji tentang supervisi pembelajaran
yang dapat peneliti pergunakan sebagai bahan perbandingan sehingga dapat
menunjang dan melengkapi terhadap penelitian yang peneliti lakukan. Beberapa
penelitian yang dilakukan tersebut menghasilkan beberapa temuan antara lain :
Elfi Saidah (2014) dalam Supervisi Pembelajaran
berpendekatan Artistik yang dilakukan oleh kepala sekolah apabila sesuai dengan
program, maka akan meningkatkan kinerja guru di SMKplus
AL-MAARIF Singosari Malang. Hal ini menunjukkan kepiawaian kepala sekolah
dalam memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap guru sehingga mampu
meningkatkan kinerja guru di SMKplus AL-MAARIF
Singosari Malang.
Jaelani (2010) dalam Pelaksanaan
Supervisi Pendidikan oleh Kepala sekolah Madrasah Dalam Pembinaan
Profesionalisme Guru di MAN 1 dan MAN 2 Tulungagung, yang menyimpulkan bahwa
supervisi pendidikan memerlukan perencanaan yang matang sehingga pelaksanaannya
bisa berjalan dengan bagus dan penyelenggaraan pendidikan bisa tertata dengan
baik.
Dari
kedua penelitian terdahulu tersebut dapat dipaparkan persamaan dan perbedaan
kajian tentang supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh kepala sekolah. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel
1.1 Persamaan dan Perbedaan Originalitas Penelitian Terdahulu
No
|
Penelitian
Terdahulu
|
Persamaan
|
Perbedaan
|
Originalitas
Penelitian
|
1.
|
Pelaksanaan
Supervisi Pembelajaran Berpendekatan Artistik Dalam Meningkatkan Kinerja Guru
(Studi di SMKplus ALMAARIF Singosari
Malang), Tesis Elfi Sa'ida (2014) PPs Universitas Islam Malang
|
Pelaksanaan
Supervisi
|
Meningkatkan
Kinerja Guru
|
Bagaimana
kompetensi kepribadian guru dengan dilaksanakannya supervisi pembelajaran
berpendekatan artistik oleh kepala sekolah
|
2.
|
Pelaksanaan
Supervisi Pendidikan Oleh Kepala sekolah Madrasah Dalam Pembinaan
Profesinalisme Guru Di MAN 1 Dan MAN 2 Tulungagung. Tesis Jaelani (2010) PPs
Universitas Islam Malang.
|
Pelaksanaan
Supervisi
|
Pembinaan
profesionalisme guru
|
Dari
tabel diatas dapat dipaparkan bahwa penelitian yang dilakukan peneliti memiliki
perbedaan terhadap peneliti terdahulu, baik dari variablenya maupun metodenya.
B. Fokus
Penelitian
Berdasarkan konteks
penelitian, maka peneliti merumuskan fokus penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana
program supervisi pembelajaran artistic approach yang disusun oleh kepala
sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk?
2. Bagaimana
pelaksanaan supervisi pembelajaran artistic approach oleh kepala sekolah SMAN 1
Patianrowo Nganjuk?
3. Bagaimana
kompetensi kepribadian guru dengan dilaksankannya supervisi pembelajaran
artistic approach oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk?
Agar dalam penelitian ini tidak
bias dan lebih terarah, maka masing-masing fokus peneliti jabarkan untuk lebih
memudahkan dalam menggali dan mengumpulkan data di lapang, yaitu: masalah
“program supervisi” yang dilaksanakan oleh kepala sekolah yang tercermin dalam
program kerja kepala sekolah sebagai seorang supervisor; “pelaksanaan supervisi
pembelajaran berpendekatan artistik” yang terkait dengan pelaksanaan supervisi
akademik dalam meningkatkan mutu dan kualitas belajar-mengajar di SMAN 1
Patianrowo, gaya kepemimpinan/ kemampuan
kepala sekolah sebagai seorang supervisor dalam membina guru, serta
kendala yang melingkupinya; “kompetensi kepribadian guru” tentang kepribadian
seorang guru sebagai teladan bagi peserta didik serta bagaimana peran kepala
sekolah sebagai seorang supervisor dalam meningkatkan kompetensi kepribadian
guru di SMAN 1 Patianrowo Nganjuk.
Dari uraian
diatas peneliti sekaligus memberikan batasan tentang data yang akan diungkap
dalam penelitian ini, disamping juga lebih memudahkan peneliti dalam melakukan
penelitian, karena telah terformulasikan sedemikian rupa tentang hal-hal yang
akan peneliti gali.
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
fokus penelitian diatas, maka tujuan penelitian di SMAN 1 Patianrowo kecamatan
Patianrowo kabupaten Nganjuk ini adalah untuk mendeskripsikan, menganalisis dan
memberi interpretasi terhadap :
1.
Program supervisi pembelajaran artistik approach yang disusun oleh kepala
sekolah SMAN 1 Patianrowo kecamatan Patianrowo kabupaten Nganjuk.
2.
Pelaksanaan supervisi pembelajaran artistik approach oleh kepala sekolah
SMAN 1 Patianrowo kecamatan Patianrowo kabupaten Nganjuk.
3.
Kompetensi kepribadian guru dengan adanya supervisi pembelajaran
artistic approach yang disusun oleh kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo kecamatan
Patianrowo kabupaten Nganjuk.
D. Kegunaan
Penelitian
Kegunaan
penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu kegunaan teoritis dan
kegunaan praktis.
1. Kegunaan Teoritis
a.
Penelitian ini diharapakan menjadi kontribusi bagi kepala sekolah maupun
pengawas pendidikan dalam mengembangkan program supervisi pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan artistik (artistic approach) dalam rangka
peningkatan kompetensi kepribadian guru.
b.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar dan pembanding bagi peneliti lain
yang ingin melakukan penelitian lanjutan dengan harapan hasil penelitian ini
dapat terus dikembangkan oleh peneliti
berikutnya.
2. Kegunaan Praktis
a. Para Guru
Hasil penelitian ini secara
praktis diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi para guru untuk menyikapi
secara positif supervisi pembelajaran artistic approach yang dilaksanakan oleh kepala
sekolah dalam upaya peningkatan kompetensi kepribadian guru.
b. Bagi Kepala sekolah dan Pengawas Pendidikan
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat berguna sebagai acuan untuk pembinaan tenaga guru sebagai
upaya meningkatkan kualitas dan kompetensi kepribadian guru agar mencapai hasil
yang maksimal. Disamping itu sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah maupun
pengawas pendidikan selaku supervisor sebagai umpan balik untuk bahan evaluasi
terhadap program supervisi dalam rangka peningkatan kompetensi kepribadian
guru.
c. Sebagai Bahan Masukan Bagi Peneliti Lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi dan pembanding dalam meneliti
kasus-kasus sejenis pada lembaga pendidikan lain.
E.
Definisi Istilah
Agar
dapat memberikan pemahaman kepada pembaca dan tidak bias dalam memahami
penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Artistic Approach
Oleh Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kompetensi Kepribadian Guru di SMAN 1
Patianrowo Nganjuk”, penting kiranya
peneliti memberikan penegasan istilah sebagai berikut :
1.
Supervisi Pembelajaran
adalah adalah semua usaha/ kegiatan supervisi yang dilakukan oleh kepala
sekolah yang sifatnya membantu guru atau melayani guru agar la dapat
memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan rneningkatkan proses belajar mengajarnya
dengan berbagai pendekatan sehingga dapat memperbaiki kulaitas profesionalnya
sebagai guru.
2. Artistic Approach adalah berasal dari kata artistic (art = seni) dan approach
atau di dalam bahasa Indonesia bermakna pendekatan. Jadi pendekatan artistik,
adalah pendekatan yang menekankan pada sensivitas
(kepekaan), preceptivity
(persepsi), dan pengetahuan kepala sekolah untuk mengapresiasi segala aspek
yang terjadi di kelas, yang mencakup: (a) menggunakan pendekatan kasih sayang,
(b) memahami karakter dan kebutuhan guru, (c)
perhatian dan banyak mendengar dari guru, (d) suasana dialogis antara kepala sekolah dengan
guru, (e) kemampuan kepala sekolah menggunakan bahasa secara santun, (f)
pengamatan secara holistic, (g) menerima
balikan dari guru.
Jadi pendekatan
supervisi artistik yang dimaksud disini adalah ketika supervisor melakukan
kegiatan supervisi dituntut berpengetahuan, berketrampilan dan tidak kaku
karena dalam kegiatan supervisi juga mengandung nilai seni (art). Pendekatan atau model supervisi
ini mendasarkan diri pada bekerja untuk orang lain (working for the others), bekerja dengan orang lain (working with the others), dan bekerja
melalui orang lain (working through the
others).
3. Program Supervisi : adalah serangkaian
rencana kegiatan yang disusun oleh kepala sekolah selaku supervisor di lembaga
pendidikan sebagai panduan untuk
melakukan pembinaan terhadap para guru di sekolah.
4.
Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Artistic Approach adalah aktivitas pembinaan
profesional dan pembimbingan terhadap guru yang menekankan pada kepekaan,
persepsi dan pengetahuan supervisor (kepala sekolah) untuk mengapresiasi segala
aspek yang berkenaan dengan kegiatan belajar-mengajar dengan cara mengamati,
merasakan dan mengapresiasi segala kejadian-kejadian pembelajaran di dalam
kelas yang dilihat secara ekspresif, komunikatif, penuh kerja sama dan tidak
kaku karena dalam kegiatan supervisi ini juga mengandung nilai seni (art).
6. Kompetensi
Kepribadian Guru, sesuai dengan penjelasan PP. No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat
3 Butir b, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan
berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. (1) memiliki kepribadian mantap dan stabil yang indikatornya bertindak sesuai
norma hukum, norma sosial. Bangga sebagai pendidik, dan memiliki konsistensi
dalam bertindak sesuai dengan norma, (2) memiliki kepribadian yang dewasa, dengan ciri-ciri, menampilkan kemandirian
dalam bertindak sebagai pendidik yang memiliki etos kerja, (3) memiliki
kepribadian yang arif, yang ditunjukan dengan tindakan yang bermanfaat bagi
peserta didik, sekolah dan masyarakat serta memajukan keterbukaan dalam
berpikir dan bertindak, (4) memiliki kepribadian yang berwibawa, yaitu perilaku
yang berpengaruh positif kepada peserta didik dan memiliki perilaku yang
disegani, (5) memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan, dengan menampilkan
yang sesuai dengan norma religius (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka
menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Supervisi Pembelajaran
1. Konsep Supervisi Pembelajaran
Secara etimologis, istilah
supervisi diambil dari perkataan bahasa Inggris Supervision yang artinya pengawasan di bidang pendidikan. Sedangkan
ditinjau dari morfologisnya supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk kata.
Supervisi terdiri dari dua kata yaitu super
berarti atas, lebih, visi berarti
lihat, tilik, awasi. Orang yang melakukan supervisi disebut dengan supervisor,
dan seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas utau kedudukan yang lebih
dari orang yang disupervisinya.
Secara Istilah, dalam Carter Good’s
Dictionary Education, dinyatakan bahwa supervisi adalah segala usaha pejabat
sekolah dalam memimpin guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk
memperbaiki pembelajaran. Termasuk didalamnya adalah menstimulasi, menyeleksi
pertumbuhan dan perkembangan jabatan guru-guru, menyeleksi dan merevisi
tujuan-tujuan pendidikan, bahan pembelajaran dan metode-metode mengajar, serta
mengevaluasi pembelajaran (E. Mulyasa: 2011:2239).
Konsep supervisi modern dirumuskan
oleh Willes dalam Jasmani (2013: 26) sebagai berikut : “Supervision is
assistence in the development of better teaching learning situation”.
Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih
baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan
situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher,
student and environment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki
dan ditingkatkan melalui kegiatan supervisi. Dengan demikian, layanan supervisi
tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran.
Menurut H. Mukhtar dan Iskandar (2009:
41), supervisi adalah mengamati,
mengawasi atau membimbing dan memberikan
stimulus kegiatan-kegiataan yang dilakukan oleh orang lain dengan maksud
mengadakan perbaikan. Konsep supervisi didasarkan pada keyakinan bahwa
perbaikan merupakan suatu usaha yang kooperatif dari semua orang yang
berpartisipasi dan supervisor sebagai pemimpin, yang bertindak sebagai
stimulator, pembimbing dan konsultan bagi para
bawahannya dalam rangka perbaikan
tersebut. Supervisi pendidikan adalah usaha mengoordinasi dan membimbing
pertumbuhan guru-guru sekolah secara kontinu, baik secara individu maupun
kelompok. Bantuan apapun ditujukan demi terwujudnya perbaikan dan pembinaan
aspek pembelajaran.
Menurut Neagley dalam Jasmani
(2013: 26)), menyebutkan bahwa supervisi adalah layanan kepada guru-guru di
sekolah yang bertujuan untuk menghasilkan perbaikan instruksional, belajar dan
kurikulum. Sedangkan Ngalim Purwanto, menyatakan supervisi adalah suatu
aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu guru dan pegawai sekolah
lainnya dalam melakukan pekerjaan secara efektif.
Menurut Ary H. Gunawan (2002)
supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar-mengajar yang lebih
baik (Kimall Wiles), pelayanan/ layanan khusus dibidang pembelajaran dan
perbaikannya mengenai proses belajar-mengajar, termasuk segala faktor dalam
situasinya (Harold P. Adams dan Frank G. Dickey) ; usaha sistematis dan terus
menerus untuk mendorong dan mengarahkan pertumbuhan diri guru yang berkembang
secara lebih efektif dalam membantu tercapainya tujuan pendidikan dengan
murid-murid di bawah tanggung jawabnya (Thomas H. Briggs dan Josep Justman);
pembinaan kearah perbaikan (termasuk pembelajaran ) pada umumnya dan
peningkatan mutu pada khususnya (N.A. Ametembun) dan lai-lain.
Dikatakan pula oleh Good Carter
dalam bukunya Dictionary of Education (Mukhtar, 2009: 42) bahwa supervisi
adalah segala usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan
petugas pendidikan lainya dalam memperbaiki pembelajaran, termasuk
memperkembangkan pertumbuhan guru-guru, menyelesaikan dan merevisi tujuan
pendidikan, bahan-bahan pengajaran dan metode mengajar dan penilaian
pengajaran. Dengan adanya supervisi membuka peluang bagi kita sebagai tenaga
pendidik untuk mengadakan perbaikan-perbaikan atau pembenahan tentang apa yang
telah kita kerjakan.
Supervisi Pembelajaran menurut Mantja
(2000: 6) adalah adalah semua usaha yang sifatnya membantu guru atau melayani
guru agar la dapat memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan rneningkatkan pembelajarannya,
serta dapat pula menyediakan kondisi belajar peserta didik yang efektif dan
efisien demi pertumbuhan jabatannya untuk mencapai tujuan pendidikan dan
meningkatkan mutu pendidikan.
Supervisi pembelajaran menurut
Ngalim Purwanto (2014: 76) ialah
kegiatan-kegiatan yang kepengawasan yang ditujukan untuk memperbaiki
kondisi-kondisi baik -personal maupun
material- yang memungkinkan terciptanya situasi belajar-mengajar yang lebih
baik demi tercapainya tujuan pendidikan.
Menurut Boardman dalam Sahertian
(2010: 17) mengemukakan supervisi adalah usaha untuk menstimulasi,
mengkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru di sekolah
baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih
efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran.
Sergiovani dalam Mukhtar (2009: 42)
mengemukakan pernyataan yang berhubungan dengan supervisi sebagai berikut: (1)
Supervisi lebih bersifat proses daripada peranan, (2) supervisi adalah suatu
proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang bertanggung jawab terhadap
aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara langsung kepada para
personalia lain, untuk menolong mereka menyelesaikan tujuan sekolah itu.
Glickman dalam Fathurrahman (2011:
41), menyatakan bahwa semua supervisi yang diarahkan untuk meningkatkan proses
belajar mengajar dengan variasi pendekatan sedemikian rupa sehingga dapat
memperbaiki dan mengembangkan kualitas profesional para guru disebut supervisi
pembelajaran yang bersifat mengembangkan.
Menurut Harris masih dalam
Fathurrahman (2011: 41), juga mengatakan bahwa supervisi pembelajaran adalah
apa yang dilakukan oleh petugas sekolah terhadap stafnya untuk memelihahara
atau mengubah pelaksanaan kegiatan di sekolah yang langsung berpengaruh
terhadap proses belajar mengajar guru dalam usaha meningkatkan proses belajar mengajar
peserta didik.
Kegiatan-kegiatan di atas juga
tidak bisa terlepas dari tujuan akhir setiap sekolah, yaitu menghasilkan
lulusan yang berkualitas. Mantja (2000:6) menyatakan, “supervisi pembelajaran
adalah semua usaha yang sifatnya membantu guru atau melayani guru agar la dapat
memperbaiki, mengembangkan, dan bahkan rneningkatkan pembelajarannya, serta
dapat pula menyediakan kondisi belajar murid yang efektif dan efisien demi
pertumbuhan jabatannya untuk mencapai tujuan pendidikan dan meningkatkan mutu
pendidikan”.
Berdasarkan batasan-batasan yang
telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa supervisi pembelajaran
merupakan pelayanan supervisi dan bimbingan profesional kepada guru sebagai
usaha meningkatkan profesionalisme guru. Dengan bimbingan dan sepervisi kinerja guru yang efektif, kemampuan dan
ketrampilan guru akan meningkat yang pada gilirannya kualitas proses belajar
mengajar sebagai wahana untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan akakn
meningkat pula.
Sedangkan di dalam pandangan Islam,
supervisi merupakan kegiatan yang berkelanjutan dalam rangka menjamin
terlaksananya kegiatan dengan konsisten. Supervisi dilakukan baik secara
material maupun spiritual, artinya supervisi tidak hanya mnegedepankan hal-hal
yang bersifat materiil (pembelajaran) saja, tetapi juga mementingkan hal-hal
yang bersifat spiritual (pendidikan dan kepribadian). Hal ini yang secara
signifikan membedakan antara supervsi dalam konsep Islam dengan konsep sekuler
yang hanya melakukan supervisi bersifat materiil tanpa tanpa melibatkan Allah
SWT sebagai pengawas (supervisor) utama. Dimana monitoring bukan hanya pimpinan
sekolah atau pengawas pendidikan tetapi juga Allah SWT.
Karakteristik yang juga membedakan
adalah menggunakan metode yang manusiawi yang menjunjung martabat manusia
dengan pendekatan yang dijiwai oleh nilai-nilai keislaman. Dengan karakteristik
tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan berbagai perencanaan yang telah
disepakati akan dipertanggungjawabkan kepada pimpinannya dan kepada Allah
sebagai supervisor (pengawas) yang Maha Mengetahui.
Allah berfirman
dalam Q.S. al-Hasyr ayat 18:
Berdasarkan
kandungan ayat tersebut supervisi merupakan hal yang sangat penting untuk
dilakukan dalam rangka perbaikan bagi yang di supervisi maupun bagi lembaga
pendidikan. Bila kita kaitkan dengan supervisi pembelajaran, maka kata
kunci dalam supervisi pembelajaran bukanlah pengawasan, namun bantuan pada guru
untuk meningkatkan pembelajaran.
Kepala sekolah
harus mampu menjadi sahabat bagi guru, menjadi atasan yang siap menampung
aspirasi guru, harus mampu memberikan stimulus dan motivasi agar guru lebih
memiliki kepribadian yang hebat sehingga memberikan pelayanan kepada peserta
didik dengan maksimal. Persiapan yang dilaksanakan tidak hanya secara administratif, tidak hanya
sebatas perangkat pembelajaran yang kemungkinan masih bersifat copy paste, tapi bagaimana mampu
mengaplikasikannya dalam proses pembelajaran di dalam ruangan.
2.
Tujuan Supervisi Pembelajaran
Supervisi
merupakan salah satu dari fungsi manajemen. Ilmu manajemen diperlukan agar
tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan efektif serta efisien. Dalam pandangan
Islam, fungsi supervisi dapat terungkap pada ayat dalam al-Qur'an, sebagaimana
firman Allah dalam Q.S.As-Shaf:
Artinya : Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.
Dalam
pandangan Islam suatu kegiatan hendaknya
direncanakan, dilaksanakan sebagaimana program yang ditetapkan dan dilakukan
pengawasan agar program tersebut mencapai tujuan yang diharapkan. Demikian juga
dengan supervisi dalam pembelajaran, mulai dari perencanaan pembelajaran,
proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran hendaknya menjadi satu kesatuan
yang harus dipantau untuk dilakukan pembenahan dan perbaikan.
Para ahli
pendidikan sering menggunakan istilah yang berbeda-beda, seperti supervisi
pendidikan, supervisi pembelajaran dan pengawasan, namun terkait dengan tujuan
supervisi yang dimaksud pada hakekatnya mereka sepakat bahwa supervisi itu
bukan saja berkenaan dengan aspek kognitif dan psikimotorik melainkan juga
aspek afektifnya.
Tujuan supervisi
pembelajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan profesoional guru dalam
meningkatkan proses hasil belajar melalui pemberian bantuan yang terutama
bercorak layanan profesional kepada guru. Jika proses belajar meningkat, maka
hasil belajar diharapkan juga meningkat. Dengan demikian, rangkaian usaha
supervisi akan memperlancar pencapaian tujuan kegiatan belajar mengajar
(Depdikbud, 1986).
Sutisna
(1982:58) mengungkapkan bahwa; "supervisi hadir karena satu alasan untuk
memperbaiki mengajar dan belajar". Sementara Mantja (2010:138)
mengungkapkan bahwa "supervisi atau pembinaan profesional adalah bantuan
atau layanan yang diberikan kepada guru agar guru belajar bagaimana
mengembangkan kemampuannya untuk meningkatkan proses belajar mengajar di
kelas".
Menurut Purwanto
dalam Jasmani (2013: 32) tujuan supervisi adalah “(1) membangkitkan dan
merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam menjalankan
tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya, (2) berusaha mengadakan dan
melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media instruksional yang
diperlukan bagi kelancaran jalannya proses belajar mengajar yang baik, bersama
guru mengembangkan, mencari dan menggunakan metode-metode baru dalam proses
belajar mengajar yang baik, (3) membina kerjasama yang baik dan harmonis antara
guru, peserta didik dan pegawai sekolah lainnya, dan (4) berusaha mempertinggi
mutu dan pengetahuan guru-guru dan pegawai sekolah antara lain dengan
mengadakan workshop, seminar, inservice-training, atau up-grading”.
Sementara
Soetopo dalam Jasmani (2013: 33), menyebutkan, tujuan pengawasan adalah “(1)
agar pelaksaanaan tugas sesuai dengan ketentuan, prosedur serta perintah yang ditetapkan, (2) agar
hasil yang dicapai sesuia dengan tujuan yang telah ditetapkan, (3) agar sarana
yang ada dapat didaya gunakan secara efektif dan efisien, dan (4) agar
diketahui kelemahan dan kesulitan organisasi kemudian dicari jalan perbaikan”.
Sedangkan
menurut Bafadal dalam Jasmani (2013: 33), tujuan supervisi pembelajaran adalah
sebagai berikut :
a.
Pengawasan kualitas, yaitu supervisor bisa memonitor kegiatan proses
belajar mengajar di sekolah. Kegiatan memonitor ini bisa dilakukan melalui
kunjungan supervisor ke kelas-kelas pada saat guru sedang mengajar, percakapan
pribadi dengan guru, teman sejawatnya maupun dengan sebagian peserta didiknya.
b. Pengembangan profesional, yaitu
supervisor bisa membantu guru mengembangkan kemampuannya dalam memahami pembelajaran
dan menggunakan kemampuannya melalaui teknik-teknik tertentu. Teknik-teknik
tersebut bukan saja bersifat individu, melainkan juga bersifat kelompok.
c. Memotivasi guru, yaitu supervisor
bisa mendorong guru menerapkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas
mengajarnya, mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri serta mendorong
guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap tugas dan
tanggung jawabnya. Atau dengan kalimat sederhananya bahwa supervisor bisa
menambahkan motivasi kerja guru.
Selanjutnya
rumusan maksud dan tujuan supervisi pembelajaran dapat dilihat dari Buku
Pedoman Supervisi dan Supervisi Profesional Guru (Depdikbud, 1989/ 1990 : 4)
sebagai berikut, “supervisi atau supervisi profesional guru dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya
sehari-hari, yaitu mengelola proses belajar mengajar dengan segala aspek
pendukungnya sehingga berjalan dengan baik supaya tujuan PBM khuusunya dan
tujuan pendidikan menengah umumnya tercapai secara optimal”.,
Kemampuan dan
ketrampilan yang dimaksud adalah meliputi kemampuan merencanakan kegiatan
belajar mengajar, menilai proses dan hasil belajar, memberikan umpan balik,
menggunakan dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber dan media pembelajaran,
membimbing dan melayani peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar,
serta kegiatan pendidikan lainnya.
Dari pendapat
beberapa ahli pendidikan serta rumusan tersebut dapat kita simpulkan bahwa supervisi
pembelajaran hadir untuk membimbing pertumbuhan kemampuan dan kecakapan
profesional guru. Bilamana guru memperoleh pembinaan dan kemudian menyadari
pentingnya meningkatkan kemampuan diri, guru tumbuh dan semakin bertambah mampu
dalam menjalankan tugasnya. Proses belajar peserta didik akan lebih baik karena
kecakapan guru mengolah pembelajaran semakin sempurna, peserta didik juga akan
belajar dan berkembang lebih pesat.
Tujuan
akhir supervisi pembelajaran adalah meningkatkan kualitas proses dan hasil
belajar peserta didik melalui pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional
guru. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Glickman (1998) yang
menyebutkan bahwa ada enam tujuan supervisi pendidikan, yaitu : (1) to strengthen teacher beliefs in causes beyond themselves ;
(2) to respond to principles of adults learning by recognizing different phases
of teacher life cycles ; (3) to promote
teacher efficacy ; (4) to make teacher aware of
how they complement one another, (5) to encourage teacher to reflect in
order to adapt instruction ; and (6) to
challenge teacher to think more abstractly.
Berdasarkan
pendapat tersebut, supervisi pembelajaran merupakan aktivitas yang bertujuan
untuk menguatkan keyakinan guru, merespons prinsip pembelajaran orang dewasa
dengan memperhatikan siklus belajar mereka, meningkatkan keahlian guru, membuat
para guru menyadari bahwa mereka satu sama lain adalah saling melengkapi,
mendorong guru untuk saling melakukan refleksi dalam rangka penyesuaian
pembelajaran dan memberikan tantangan kepada guru untuk berfikir lebih abstrak.
Dengan
melihat tujuan supervisi pendidikan sebagaima diuraikan diatas, maka supervisi
bukanlah suatu hal seperti yang dibayangkan banyak orang yang hanya
mengedepankan kepengawasan semata, yang bersifat top-down namun juga kearah
perbaikan yang bersifat humanisme secara menyeluruh dari proses hingga
hasilnya, sehingga tujuan dalam lembaga pendidikan tersebut dapat diraih
secara maksimal.
3.
Prinsip-prinsip Supervisi Pembelajaran
Supervisi
pembelajaran dilaksanakan dengan prinsip-prinsip tertentu. Depdikbud (1986)
mengemukakan prinsip-prinsip supervisi pembelajaran sebagai berikut, “ (1)
dilakukan sesuai dengan kebutuhan guru, (2) hubungan antara guru dengan
supervisor didasari atas hubungan kerabat kerja, (3) supervisor ditunjang
dengan sifat keteladanan dan terbuka,
(4) dilakukakan secara terus menerus, (5) dilakukan melalui berbagai wadah yang
ada, dan (6) diperlancar melalui peningkatan koordinasi dan singkronisaso
horizontal dan vertikal baik ditingkat pusat maupun daerah.
Sahertian (1981:
19) mengemukakan prinsip-prinsip supervisi pendidikan sebagai berikut ; (1) Prinsip
ilmiah (scientific), prinsip ini mengandung ciri-ciri antara lain : (a)
kegiatan supervisi dilaksanakan berdasarkan data obyektif yang diperoleh dalam
kenyataan proses belajar mengajar, (b) untuk memperoleh data perlu direkan alat
perekam data, (c) setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara sistematis,
terencana dan kontinu, (2) prinsip demokratis, servis dan bantuan yang
akan diberikan kepada guru berdasarkan hubungan kemanusiaan yang akrab dan
penuh kehangatan, sehingga guru-guru merasa aman untuk mengembangkan tugasnya, (3) prinsip
kerjasama, mengembangkan usaha bersama atau menurut istilah supervisi sharing
of idea, sharing of experience, memberi support atau mendorong,
menstimulasi guru, sehingga mereka merasa
tumbuh bersam, (4) prinsip konstruktif dan kreatif, setiap guru
akan merasa termotivasi dalam mengembangkan potensi kreativitas kalau supervisi
mampu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan bukan melalui cara-cara yang
menakutkan.
Sedangkan
prinsip-prinsip supervisi menurut Soetopo
dalam Jasmani (2013:44 ), ada tujuh prinsip supervisi, yaitu: (1) prinsip
organisasional, artinya pengawasan dapat dilakukan dalam kerangka struktur
organisasi yang melingkupinya, (2) prinsip perbaikakan, artinya
pengawasan berusaha mengetahui kelemahan atau kekurangan, kemudian dicari jalan
pemecahan agar manajemen dapat berjalan sesuai dengan standar dan organisasi
dapat mencapai tujuan, (3) prinsip komunikasi, artinya pengawasan
dilakukan untuk membina sistem kerjasama antara atasan dan bawahan, membina
hubungan baik dalam proses pelaksanaan pengelolaan organisasi, (4) prinsip
pencegahan, artinya pengawasan dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan
dalam mengelola komponen-komponen organisasi, (5) prinsip pengendaliaan,
artinya pengawasan dilakukan agar semua proses manajemen berada pada rel yang
telah digariskan, (6) prinsip Obyektif, artinya pengawasan dilakukan
berdasarkan data nyata dilapangan tanpa menggunakan penelitian dan tafsiran
subyektif pengawas, (7) prinsip kontinuitas, artinya pengawasan
dilakukan secara terus menerus, baik selama berlangsung proses pelaksanaan
maupun setelah pelaksanaan kerja.
Lebih
khusus Bafadal dalam Jasmani (2013: 45) menyebutkan prinsip-prinsip supervisi
pembelajaran sebagai berikut :
a.
Supervisi pembelajaran
harus mampu menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis. Hubungan
kemanusiaan yang dimaksud harus bersifat terbuka, kesetiakawanan dan informal.
Hubungan demikian bukan saja antara supervisor dengan guru, melainkan juga
antara pihak lain yang terkait dengan supervisi pembelajaran. Oleh sebab itu
dalam pelaksanaannya supervisor harus memiliki sifat-sifat membantu, memahami,
terbuka, jujur, sabar, antusias dan penuh humor.
b.
Supervisi pembelajaran
harus dilakukan secara berkesinambungan.
Supervisi bukan tugas sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-waktu jika ada
kesempatan. Perlu dipahami bahwa supervisi
pembelajaran merupakan salah satu essential function dalam keseluruhan
program sekolah.
c.
Supervisi pembelajaran
harus demokratis. Supervisor boleh mendominasi dalam pelaksanaan supervisi
pembelajarannya. Titik tekan supervisi pembelajaran yang demokratis adalah
aktif dan komparatif. Supervisi harus melibatkan secara aktif guru yang
dibinanya. Tanggung jawab perbaikan program bukan hanya pada supervisor,
melainkan juga pada guru. Program supervisi pembelajaran harus integral dengan
program pendidikan. Dalam setiap orgainisasi pendidikan terdapat bermacam-macam
sistem perilaku dengan tujuan sama, yaitu tujuan administrasi, sistem perilaku
pembelajaran, sistem pengembangan konseling, dan sistem perilaku supervis
pembelajaran.
d.
Supervisi pembelajaran
harus komparatif. Program supervisi
harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan pembelajaran, walaupun ada saja
penekanan pada aspek-aspek tertentu berdasarkan hasil analisis kebutuhan
pengembangan pembelajaran sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah memenuhi
tuntutan multi tujuan supervisi pembelajaran, berupa pengawasan kualitas,
pengembangan profesional dan motivasi guru.
e.
Supervisi pembelajaran
harus konstruktif. Supervisi pembelajaran bukanlah berkali-kali mencari
kesalahan-kesalahan guru. Tetapi untuk mengembangkan pertumbuhan dan aktivitas
guru dalam memahami dan memecahkan problem pembelajaran yang dihadapi.
f.
Supervisi pembelajaran
harus obyekif. Dalam menyusun, melaksanakan
dan mengevaluasi keberhasilan program, supervisi pembelajaran harus
dilaksanakan secara obyektif. Obyekyifitas dalam penyusunan program berarti
bahwa program supervisi pembelajaran harus disusun berdasarkan kebutuhan nyata
pengembangan profesional guru. Begitu pula dalam mengevaluasi keberhasilan
program supervisi pembelajaran. Disinilah letak pentingnya instrumen pengukuran
yang memiliki validitas dan yang tinggi
untuk mengukur seberapa kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar.
Supervisi
pembelajaran mempunyai prinsip-prinsip penting yang perlu diketahui, dipahami
dan dijalankan oleh pelaku supervisi. Supervisor dalam beberapa supervisi
diarahkan untuk senantiasa ilmiah, demokratis, membangun kerja sama,
konstruktif dan kreatif sebagaimana
dikemukakan oleh Sahertian dalam bukunya Supervisi Pendidikan (2010: 20).
Supervisor
ketika memberikan bantuan pemecahan masalah dalam upaya memperbaiki kekurangan
dan kelemahan guru tidak bisa melakukan seorang diri, sehingga perlu sharing,
kolaborasi, keterlibatan semua pihak, dilaksanakan secara demokratis dan
mengedepankan musyawarah untuk menyepakati hal-hal yang diperlukan untuk
meningkatkan perbaikan mutu pembelajaran.
4. Peranan Supervisor Pembelajaran
Dalam dunia
pendidikan, supervisi selalu mengacu kepada kegiatan memperbaiki proses
pembelajaran. Proses pembelajaran ini sudah tentu berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan yang lain, seperti upaya meningkatkan pribadi guru,
meningkatkan profesinya, kemampuan berkomunikasi dan bergaul, baik dengan warga
sekolah maupun dengan masyarakat, dan upaya membantu meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Supervisor pembelajaran,
tentu memiliki peran berbeda dengan "pengawas". Kepala sekolah atau
Supervisor lebih berperan sebagai "gurunya guru" yang siap membantu
kesulitan guru dalam mengajar. Supervisor pembelajaran bukanlah seorang
pengawas yang hanya mencari-cari kesalahan guru.
Olivia dalam
sahertian (2010: 25), mengemukakan peran supervisor yang utama, ada empat hal
yaitu: (a) sebagai koordinator,
berperan mengkoordinasikan program-program dan bahan-bahan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan'kinerja guru dalam pembelajaran dan harus membuat laporan
mengenai pelaksanaan program; (b) sebagai konsultan,
supervisor harus memiliki kemampuan sebagai spesialis dalam masalah kurikulum,
metodologi pembelajaran, dan pengembangan staf, sehingga supervisor dapat
membantu guru baik secara individual maupun kelompok; (c) sebagai pemimpin kelompok (group leader),
supervisor harus memiliki kemampuan memimpin, memahami dinamika kelompok, dan
menciptakan berbagai bentuk kegiatan kelompok serta mampu mengembangkan
ketrampilan dan kiat-kiat bekerja untuk kelompok (working for the group),
bekerja dengan kelompok (working with the group), dan bekerja melalui
kelompok (working trought the group); dan (d) sebagai evaluator, supervisor harus dapat
memberikan bantuan pada guru untuk dapat mengevaluasipelaksanaan pembelajaran
dan kurikulum, serta harus rnampu membantu mengidentifikasi permasalahan yang
dihadapi guru, membantu melakukan penelitian dan pengembangan dalam
pembelajaran dan sebagainya.
Sahertian dan
Frans Mahameru dalam Jasmani (2013: 134) menyatakan sesuai dengan pengertian
hakiki dari supervisi itu sendiri, peranan supervisor ialah memberikan support
(supporting), membantu (assisting), dan mengikutsertakan (sharing). Artinya, memberikan support
berarti seorang supervisor dengan segala kemampan memberikan kiat-kiat yang
menjadi dorongan (motivasi) kepada seseorang agar mau berbuat sesuatu, memberikan bantuan berarti
pengetahuan, pengalaman, ide, atau ketrampilan yang dimiliki supervisor mampu
mengarahkan, menuntun, membina maupun membimbing seseorang untuk bisa berbuat
sendiri, sedangkan mengikutsertakan
berarti supervisor turut serta terlibat langsung dalam menyelesaikan sesuatu.
Dengan demikian, memang peranan supervisor ialah menciptakan suasana sedemikian
rupa sehingga guru-guru merasa aman dan bebas dalam mengembangkan potensi dan
daya kreasi mereka dengan penuh tanggung jawab.
Sedangkan
menurut Depag dalam Jasmani (2013: 132) peran supervisor adalah sebagai : (a) peneliti,
dituntut untuk mengenal dan memahami masalah-masalah pembelajaran, (b) konsultan
atau penasehat, hendaknya mampu membantu guru untuk mencari cara-cara yang
lebih baik dalam mengelola proses belajar mengajar, (c) fasilitator,
yakni menyediakan kemudahan-kemudahan bagi guru dalam melaksanakan tugas
profesional, (d) motivator, mampu membangkitkan dan memelihara gairah
kerja guru untuk mencapai prestasi kerja yang semakin membaik.
Pada dasarnya
kegiatan pembinaan menyangkut dua belah pihak yaitu pihak yang dilayani atau
pihak yang dibina dan pihak yang melayani atau pihak yang membina. Baik yang
dibina maupun pembina harus sama-sama memiiiki kemampuan yang berkembang secara
serasi sesuai kedudukan dan peran masing-masing. Oleh sebab itu sasaran pembinaan
profesional ini adalah kedua belah pihak yaitu guru sebagai pihak yang dibina
dan kepala sekolah, pengawas sekolah dan pembina lainnya sebagai pihak yang membina.
Soewono
(1992:67) menyebutkan agar pembinaan dapat berhasil maka para pembina dalam
melaksanakan pembinaan profesional terhadap para guru harus mengikuti
prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) pembina harus memiliki kepercayaan bahwa
guru-guru memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya; (2) hubungan antara
guru-guru dengan para pembina hendaknya didasarkan atas hubungan kerabat kerja,
(3) pelayanan profesional hendaknya didasarkan pada pandangan yang objektif, (4)
pelayanan profesional hendaknya didasarkan atas hubungan manusiawi yang sehat.
5. Tugas Supervisor Pendidikan
Menurut
Permen PAN dan RB No. 21 Tahun 2010 pasal 5, tugas pokok supervisor adalah
melaksanakan tugas supervisi akademik dan manajerial pada satuan pendidikan
yang meliputi penyusunan program pengawasan, pelaksanaan pembinaan, pemantauan
pelaksanaan delapan Standar Nasional
Pendidikan, penilaian, pembimbingan dan pelatihan profesional guru, evaluasi
hasil pelaksanaan program pengawasan, dan pelaksanaan tugas kepengawasan di
daerah khusus.
Ofsted
dalam Sudjana dkk, (dalam Barnawi, 2014: 28) melihat bahwa tugas supervisor
mencakup (1) inspecting
(mensupervisi), (2) advising (memberi nasehat), (3) monitoring (memantau),
(4) reporting (memberi laporan), (5) coordinating (mengoordinasi),
(6) performing leadership dalam arti memimpin dalam melaksanakan tugas
pokok tersebut.
Tugas supervisor menurut Jasmani (2013:
106) terkait dengan bantuan dan bimbingan terhadap guru di sekolah, antara
lain: (1) membantu guru menngerti dan memahami peserta didik, (2) membantu
mengembangkan dan memperbaiki, baik individual maupun bersama-sama, (3)
membantu seluruh staf agar lebih efektif dalam melaksanakan proses
pembelajaran, (4) membantu guru meningkatkan cara mengajar yang efektif, (5) membantu
guru secara individual, (6) membantu guru menilai peserta didik lebih baik, (7)
menstimulus guru agar dapat menilai diri dan pekerjaannya, (8) membantu guru
agar merasa bergairah dalam pekerjaaannya dengan penuh rasa aman, (9) membantu
guru dalam melaksanakan kurikulum di sekolah, dan (10) membantu guru dapat
memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang kemajuan
sekolahnya.
6. Kompetensi
Kepala sekolah Sebagai Supervisor
Kepemimpinan
dalam organisasi maupun lembaga merupakan spirit untuk memutar roda
pemberdayaan organisasi maupun lembaga tersebut, termasuk organisasi sekolah. Artinya, peran sentral dalam
organisasi tidak lepas dari kinerja seorang pemimpin untuk menggerakkan
potensi-potensi yang ada dalam organisasi yang didalamnya ada guru dan murid
sebagai pelaku utama pendidikan. Seorang pemimpin akan bertanggung jawab kepada
bawahannya dan ini merupakan sebuah keharusan bagi seorang pemimpin memiliki
kecakapan dalam merencana, melaksanakan dan mengevaluasi program organisasi
atau lembaga yang dinahkodainya.
Rasulullah SAW
dalam haditsnya bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ
مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Pada dasarnya, hadits di atas
berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Dalam hadits ini dijelaskan
bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang
yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai
pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap
dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak
bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada
pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang
presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya,
dst.
Demikian juga dengan seorang kepala
sekolah maka ia bertanggung jawab terhadap guru dan karyawan yang dipimpinnya. Akan
tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas
lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang
dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah
lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan, kenyamanan
dan perbaikan bagi pihak yang dipimpin.
Moqvist dalam
Jasmani (2013: 143), mengemukakan bahwa
“competency has been defined in the
light of actual circumstances relating to the individual and work”.
Sementara itu, dari Training Agency sebagaimana disampaiakan Len Holmes
(1992) menyebutkan bahwa a competency is a description of something which a
person who works in a given occupantional area should be able to do. It is a
description of an action, behavior or outcome wich a person should be able to
demonstrare”.
Dari kedua
pendapat diatas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya
merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to
do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku, dan hasil
yang seyogyanya dapat ditampilkan atau
ditunjukkan.
Agar dapat
melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja
seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge),
sikap (attitude), dan ketrampilan (skill) yang sesuai dengan
bidang pekerjaannya. Kepala sekolah sebagai supervisor berfungsi sebagai
pengawas, pengendali, pembina, pengarah dan pemberi contoh bagi para guru dan
karyawannya di sekolah. Kepala sekolah harus memahami tugas dan kedudukan guru
dan karyawannya sehingga pembinaan yang dilakukan berjalan dengan baik.
Oleh
sebab itu seorang kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi yang
dibutuhkan dalam menunaikan tugasnya. Kompetensi supervisor adalah kemampuan
yang merupakan akumulasi dari sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
dituntut dalam jabatannya sebagai pengawas/ supervisor. Kompetensi yang harus
dimiliki oleh supervisor mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi
manajerial, kompetensi supervisi
akademik, kompetensi evaluasi
pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial
(Jasmani, 2013: 15).
Mengenai kompetensi
supervisor dalam praktek pelaksanaannya, seorang kepala sekolah harus mampu :
(1) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan
profesionalisme dan kompetensi guru, (2) melaksanakan supervisi akademik
terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan tehnik supervisi yang tepat,
(3) menindak lanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka
peningkatan profesionalisme dan kompetensi guru.
Dalam hal ini kepala
sekolah yang berperan sebagai supervisor di lembaga pendidikan yang ia pimpin,
harus mampu memilih strategi yang tepat dalam mengatasi dan menjembantani
berbagai kendala demi tercapainya suasana belajar-mengajar yang kondusif, yang
menyangkut masalah kegiatan di dalam kelas maupun yang dirasakan oleh guru
sebagai individu dalam melaksakan kewajibannya. Hal ini bertujuan agar kedua
pelaku kegiatan belajar-mengajar yakni pendidik dan peserta didik merasakan
kenyamanan dan kesatuan dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Untuk dapat
melaksanakan peran-peran di atas, kepala sekolah atau supervisor harus memiliki
beberapa kompetensi dan kemampuan pokok, yaitu yang pertama berkaitan dengan substantive aspectsof professional
development, meliputi pemahaman dan pemilikan guru terhadap tujuan pembelajaran,
persepsi guru terhadap peserta didik, pengetahuan guru tentang materi, dan
penguasaan guru terhadap teknik mengajar. Kedua berkaitan dengan professional development competency areas,
yaitu agar para guru mengetahui bagaimana mengerjakan tugas (know how to do), dapat mengerjakan (can do), mau mengerjakan (will do) serta
mau mengembangkan profesionalnya (will
grow) (Bafadal, 1992:10-11).
Terkait dengan
standar kompetensi pengawas sekolah dalam hal ini kepala sekolah sebagai
supervisor akademik sesuai lampiran PP. Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12
Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/ Madrasah, dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.
Memahami konsep,
prinsip, teori dasar, karakteristik dan kecenderungan perkembangan tiap mata
pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.
2.
Memahami konsep,
prinsip, teori/ teknologi, karakteristik,dan kecenderungan perkembangan proses
pembelajaran/ bimbingan tiap mata pelajaran yang relevan.
3.
Membimbing guru dalam
menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan
di sekolah menengah yang sejenis dalam pengembangan berlandaskan standar isi,
standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
4.
Membimbing guru dalam
memilih dan menggunakan strategi/ metode/ teknik pembelajaran/ bimbingan yang
dapat mengembangkan berbagai potensi peserta didik melalui mata pelajaran dalam
rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.
5.
Membimbing guru dalam
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata pelajaran dalam
rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.
6. Membimbing guru dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan (di kelas, laboratorium dan atau
di lapangan) untuk itu tiap mata pelajaran
Berkaitan dengan
hakekat pembelajaran, kepala sekolah atau supervisor harus memahami keterkaitan
berbagai variable yang berpengaruh. Pertama adalah faktor
organisasional, terutama budaya organisasi dan keberadaan tenaga professional
lainnya dalam lembaga pendidikan. Kedua, berkaitan dengan pribadi guru,
menyangkut pengetahuan guru, kemampuan membuat perencanaan dan mengambil
keputusan, motivasi kerja, tahapan perkembangan atau kematangan, dan keterampilan guru.
Ketiga, berkaitan dengan
support system dalam pembelajaran, yaitu kurikulum,
berbagai buku teks, serta ujian-ujian. Keempat, adalah peserta didik
sendiri yang keberadaannya di dalam kelas sangat bervariasi. Kelima,
supervisor harus mengetahui ukuran kemajuan dan keefektifan sebuahsekolah. Hal
ini merupakan muara dari kegiatan yang dilakukan bersama para guru dan kepala
sekolah. Selain berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas. Dalam hal adult
development, supervisor harus mengetahui tahapan perkembangan dan kematangan
kerja seorang guru, tahapan perkembangan moral, tahapan perkembangan
professional, serta berbagai prinsip dan teknik pembelajaran orang dewasa.
Seorang
supervisor dalam hal ini adalah kepala sekolah adalah seorang yang profesional
ketika menjalankan tugasnya, ia bertindak atas dasar kaidah-kaidah ilmiah untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Untuk menjalankan supervisi diperlukan kelebihan
yang dapat melihat dengan tajam terhadap permasalahan peningkatan mutu
pendidikan, menggunakan kepekaan untuk memahaminya dan tidak sekedar
menggunakan penglihatan mata biasa, sebab yang diamatinya bukan masalah konkrit
yang tampak, melainkan memerlukan insight dan kepekaan mata batin. Ia membina
peningkatan mutu akademik yang berhubungan dengan usaha-usaha menciptakan
kondisi belajar yang lebih baik, yang berupa aspek akademik.
Selain itu,
kepala sekolah harus mempunyai kecakapan operasional yang mumpuni untuk
mengendalikan organisasi, kecakapan operasional, menurut Sudarwan Danim dan
Suparno terdiri atas beberapa hal antara lain : (a) menjadi komunikator guru
yang baik, (b) mempunyai kecakapan teknis, (c) terampil berhubungan secara manusiawi, (d) mampu dan terampil secara
konseptual, (e) mengendalikan rapat dengan baik, (f) menjadi motivator, (g)
sering tampil di tengah komunitas, (h) memiliki rasa humor, (i) membina
integrasi.
5.
Orientasi Supervisi
Pembinaan guru
adalah bantuan profesional yang diberikan oleh supervisor sebagai pembina
kepada guru dalam rangka meningkatkan kemampuan profesionalismenya, terutama
kemampun mengajar. Proses belajar mengajar tidak lepas dari interaksi aktif
antara guru dan peserta didik dan hal ini menjadi sentral layanan pembinaan
guru. Karena itu orientasi pandangan pembinaan guru sebenarnya juga berangkat
dari orientasi pandangan mengenai belajar. Menurut Glickman dalam Imron
(2012:70), ada tiga pandangan mengenai belajar yaitu: (a) berasal dari
psikologi behavioristik, (b) berasal dari psikologi humanistik, dan (c) berasal
dari psikologi kognitif.
Menurut
psikologi behavioristik belajar dilaksanakan dengan instrumental dari
lingkungan Guru mengkondisikan sedernikian rupa sehingga peserta didik mau belajar. Dengan demikian mengajar
dilaksanakan dengan kondisioning, pembiasaan, peniruan, perananan guru relative
tinggi. Hadiah dan hukuman sering
ditawarkan dalam belajar dan mengajar. Kedaulatan guru tinggi sedangkan kedaulatan
peserta didik rendah.
Pandangan kedua
yang berasal dari psikologi humanistik ini merupakan antitesa pandangan
behavioristik. Dalam pandangan demikian, belajar dapat dilakukan sendiri oleh
peserta didik. Dalam belajar demikian peserta didik senantiasa menemukan
sendiri menganai sesuatu tanpa banyak campur tangnan dari guru. Jadi peranan
guru dalam belajar dan mengajar relatif rendah, sedangkan kedaulatan peserta
didik dalam belajar relatif tinggi.
Psikologi
kogntif berpandangan bahwa belajar merupakan perpaduan dari usaha pribadi
dengan control instrumental yang berasal dari lingkungan, sehingga tanggung
jawab antara peserta didik dengan guru sama-sama seimbang. Berdasarkan
pandangan psikologis tentang belajar dan mengajar, Glickman dalam Masaong
(2012:34) mengidentifikasi orientasi supervisi menjadi tiga, yaitu orientasi
direktif, orientasi non direktif dan orietasi kolaboratif.
a.
Orientasi Direktif
Orientasi direktif didasarkan pada
psikoiogi behavioristik tentang belajarr Jika tanggung jawab guru dalam
mengembangkan dirinya sangat rendah, maka dibutuhkan keterlibatan yang tinggi
dari pembina. Dengan demikian guru akan dapat dikondisikan sedemkian rupa
sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya dengan baik. Supervisi pembelajaran
yang berorientasi direktif menampilkan perilaku-perilaku: klarifikasi,
presentasi, demonstrasi, penegasan,
standardisasi, dan penguatan.
Hasil akhir dari pembinaan dengan orientasi ini berupa tugas guru,
Pengkondisian guru melalui lingkungan yang dibangun oleh pembina diharapkan
memunculkan perilaku guru sebagaimana yang diharapkan.
Menurut Glikman dalam Imron (2011:
76) ada enam hal yang harus dilakuakan an oleh supervisor dalam melaksanakan
supervisi pembelajaran, yaitu: (1) mengklarifikasi permasalahan, (2) mempresentatsikan
gagasan mengenai apa dan bagaimana
informasi akan dikumpulkan, (3) mengarahkan guru apa yang akan dilakukan oleh
guru, (4) mendemonstrasikan perilaku guru, (5) menetapkan patokan atau standar
tingkah laku mengajar yang dikehendaki, (6) menggunakan insentif sosial dan
material.
b. Orientasi Nondirektif
Orientasi
nondirektif dibangun dari psikologi humanistik tentang belajar dan mengajar,
bahwa beiajar haruslah dilakukan dengan penemuan sendiri oleh peserta didik.
Dengan demikian tingkat tanggung jawab guru rendah, sementara tingkattanggung
jawab peserta didik tinggi. Dalam orientasi nondirektif, tanggung jawab guru
dalam mengembangkan dan membina dirinya sendiri adalah. tinggi, sedangkan
tanggung jawab pembina dalam membina guru adalah rendah. Dengan demikian
kedaulatan lebih banyak di tangan guru dan pembina sekedar sebagai fasilitator
saja. Perilaku pokok pembina dalam orientasi nondirektif ini adalah:
mendengarkan, mengklarifikasi, mendorong, mempresentasikan, dan bernegosiasi.
Sedangkan target akhir yang diinginkan adalah perencanaan oleh guru itu
sendiri.
c. Orientasi
Kolaboratif
Orientasi
kolaboratif mendasarkan asumsi-asumsi yang digunakan psikologi kognitif.
Menurut psikologi kognitif belajar merupakan konvergensi antara control instrument
lingkungan dan usaha penemuan oleh diri sendiri. Karena itu tanggung jawab
antara guru dengan peserta didik sama-sama seimbang dan pada tingkat sedang.
Pandangan kolaboratif dalam pembinaan guru juga ada kedaulatan yang seimbang
antara pembina dan guru. Tanggung jawab mereka masing-masing yaitu sebagai guru
dan sebagai pembina sama-sama sedang. Dalam orientasi kolaboratif perilaku
pokok pembina adalah: mendengarkan, mempresentasikan, memecahkan masalah dan
negosiasi.
Metode dan
Teknik-teknik Supervisi Pembelajaran
Metode dalam konteks supervisi ialah suatu cara yanag ditempuh oleh
suprvisor guna merumuskan tujuan yang hendak dicapai, baik oleh sistem
perorangan maupun kelembagaan pendidikan itu sendiri. Sementara teknik adalah
langkah-langkah konkret yang dilakukan oleh seorang supervisor dan teknik yang
dilaksanakan dalam supervisi dapat ditempuh melalui berbagai cara,yakni pada
prinsipnya supervisor berusaha merumuskan harapan-harapan menjadi sebuah
kenyataan (Jasmani & Syaiful Mustofa. 2013).
Metode dibagi menjadi dua yaitu metode langsung dan metode tidak
langsung. Metode langsung adalah metode supervisi yang digunakan untuk mengenai
pihak yang disupervisi secara langsung. Sedangkan metode secara tidak langsung
adalah supervisor mempergunakan berbagai macam media dan atau alat perantara.
Secara umum alat dan teknik supervisi dapat dibedakan menjadi dua (John
Minor Gwyn dalam Sahertian (2010: 52), yaitu teknik individual dan teknik
kolektif. Teknik individual adalah teknik yang dilaksanakan seorang guru secara
individual. Sedangkan teknik kolektif atau kelompok adalah teknik yang dilakukan untuk melayani
lebih dari satu orang.
Suhertian dkk (2008), menyebutkan bahwa teknik supervisi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu (1) teknik supervisi yang bersifat individu dan (2) teknik
yang bersifat kelompok. Lebih lanjut, Saherian (2010: 52) menguraikan bahwa
tehnik supervisi yang bersifat individu meliputi : (a) kunjungan kelas (classroom
visitation), (b) observasi kelas (classroom observation), (c)
percakapan pribadi (individual conference), (d) saling mengunjungi kelas
(intervisitation), (e) penyeleksi berbagai sumber untuk mengajar, (f)
menilai diri sendiri (self evaluation check list).
Sedangkan teknik supervisi yang bersifat kelompok meliputi : (a)
pertemuan orientasi bagi guru baru, (b) panitia penyelenggara,(c) rapat guru,
(d) studi kelompok antara guru, (e) diskusi sebagai proses kelompok, (f) tukar
menukar pengalaman, (g) lokakarya, (h) diskusi,
(i) seminar, (j) simposium, (k) demonstrasion teaching, (l) perpustakaan
jabatan, (m) buletin supervisi, (n) membaca langsung, (o) kursus, (p)
organisasi jabatan, (q) curriculum laboratory, (r) perjalanan sekolah untuk
staf sekolah.
Di sisi lain Soetopo (2001) menyebutkan beberapa cara supervisi yang
dapat dilakukan antara lain ; (1) melalui penelitian yang dirancang secara
khusus, (2) kunjungan dan pengamatan langsung ke tempat berlangsungnya
kegiatan, (3) penilain laporaan berkala, (4) wawancara, dan (5) angket dan
sejenisnya.
B. Program
Supervisi Pembelajaran
Program
supervisi adalah rencana kegiatan supervisi yang akan dilaksanakan oleh
supervisor dalam kurun waktu tertentu atau dalam satu periode. Agar dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, supervisor harus mengawali kegiatannya
dengan menyusun program kerja supervisi yang jelas, terarah dan
berkesinambungan dengan kegiatan supervisi yang telah dilakukan pada periode
sebelumnya. Dalam konteks manajemen,
program kerja supervisi sekolah mengandung makna sebagai aplikasi fungsi
perencanaan dalam bidang supervisi sekolah (Depdiknas dalam Musfiqon, 2015: 60)
Supervisi pembelajaran
hendaknya dilaksanakan secara praktis dan sistematis dalam arti dikerjakan dan
dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi SMAN 1 Patianrowo, sehingga
diperlukan perencanaan yang matang sesuai dengan tujuan yang diinginkan, yakni
membantu memperbaiki dan meningkatkan kualitas kegiatan belajar di kelas.
Program supervisi harus realistik dan
dapat dilaksanakan sehingga
benar-benar membantu
mempertinggi kinerja guru. Sebagaimana dikatakan Jerry (2011:122), program
supervisi adalah rincian kegiatan proses dan hasil belajar mengacu pada
terjadinya perubahan prilaku mengajar guru kearah yang lebih baik.
Sedangkan Pidarta
(1992:126) mengatakan bahwa, program supervisi ialah aktivitas-aktivitas apa
yang akan dikerjakan oleh para supervisor dalam melaksanakan supervisi. Aktivitas-aktivitas itu
berkaitan dengan tugas-tugas supervisor
yang harus dipertanggung
jawabkan, diantaranya: (1) mengkoordinir dan membina guru-guru, (2) mempertahankan dan
mengembangkan kurikulum yang
berlaku, (3) meningkatkan program dan
pelaksanaan penelitian dan hubungan
dengan masyarakat sebagai penunjang kurikulum, dan (4) program-program
khusus. Setiap supervisor memiliki program sendiri-sendiri dalam melaksanakan
tugasnya.
Program
supervisi menurut Makawimbang (2011:127), adalah perencanaan kegiatan
pengawasan sekolah yang meliputi penilain dan pembinaan bidang teknis edukatif
atau akademis dan teknis administratif atau manajerial dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan. Makawimbang juga mengatakan bahwa dengan adanya
program yang baik, maka guru dan pengawas dapat mengetahui masalah-masalah dan
akhirnya dapat mengetahui secara sistematis perubahan-perubahan positif apa
saja yang telah terjadi dari waktu ke waktu.
Di dalam program
supervisi pembelajaran tertuang berbagai kegiatan yang perlu dilaksanakan agar
mutu pembelajaran semakin meningkat, sehingga peserta didik dalam mengembangkan
potensi dirinya semakin cepat. Dengan program
yang baik guru dan kepala sekolah dapat mengetahui masalah-masalah proses
pembelajaran di kelas dan cara mengatasi masalah-masalah tersebut.
Penyusunan
program supervisi dan laporan hasil supervisi ini sesuai dengan tugas pokok
supervisor yang diatur pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi No 21 tahun 2010 tentang jabatan fungsional
pengawas (supervisor) dan angka kreditnya Pasal 1 Bab 1 ayat 1 yang menerangkan
bahwa jabatan funsional pengawas sekolah (supervisor) adalah jabatan
fungsional yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenang
untuk melaksanakan kegiatan supervisi akademik dan supervisi manajerial pada
satuan pendidikan. Adapun petunjuk teknisnya (juknis) penyusunan program
supervisi merujuk pada permenpandan RB (reformasi birokrasi) No 1 tahun 2010.
Program
supervisi harus realistik dan dapat dilaksanakan sehingga benar-benar membantu
mempertinggi kinerja guru. Program supervisi yang baik menurut Oteng Sutisna
dalam Dadang Suhardan (2014: 52) adalah:
mencakup keseluruhan proses pembelajaran yang membangun lingkungan
belajar-mengajar yang kondusif, di dalamnya mencakup maksud dan tujuan,
pengembangan kurikulum, metode mengajar, evaluasi, pengembangan pengalaman
belajar murid yang direncanakan baik dalam intra maupun ekstra kurikuler.
Program
supervisi berprinsip kepada proses pembinaan guru yang menyediakan motivasi
yang kaya bagi pertumbuhan kemampuan profesionalnya dalam mengajar. Ia menjadi
bagian integral dalam usaha usaha peningkatan mutu sekolah, mendapat dukungan
semua pihak disertai dana dan fasilitasnya. Bukan sebuah kegiatan suplemen atau
tambahan.Agar supervisi yang dilakukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan
nyata di lapangan, maka progam yang disusun harus realistik yang dikembangkan
berdasarkan kebutuhan setempat di sekolah atau di wilayah itu.
Program
supervisi pembelajaran yang baik berisi kegiatan untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru dalam hal (Djam’an Satori, dkk dalam Dadang Suhardan,
2014: 53):
1.
Kemampuan menjabarkan
kurikulum kedalam program catur wulan/ semester maupun tahunan.
2.
Kemampuan menyusun
perencanaan mengajar atau satuan pelajaran.
3.
Kemampuan melaksanakan
kegiatan belajar-mengajar dengan baik.
4.
Kemampuan menilai
proses dan hasil belajar.
5.
Kemampuan memberi umpan
balik secara teratur dan terus menerus.
6.
Kemampuan membuat dan
menggunakan alat bantu engajar secara sederhana.
7.
Kemampuan menggunakan/
memanfaatkan lingkungan sebagai sumber dan media pengajaran.
8.
Kemampuan membimbing
dan melayani murid yang mengalami kesulitan dalam belajar.
9.
Kmampuan mengatur waktu
dan menggunakannya secara efisien untuk menyelesaikan program-program belajar
murid.
10. Kemampuan
memberikan pelajaran dengan memperhatikan perbedaan individual diantara para
peserta didik.
11. Kemampuan
megelola kegiatan belajar-mengajar ko dan ekstra kurikuler serta
kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran peserta didik.
Tujuan dari penyusunan program
supervisi ini antara lain; (a) sebagai
pedoman pelaksanaan kegiatan supervisi secara keseluruhan dan tepat, (b) meningkatkan
Kompetensi dan kineja guru dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar yang bermakna dan berkualitas, (c) sebagai Standar ukur mercapai KKM
dan SKL yang ditetapkan dalam Kurikulum, (d) sebagai
pedoman untuk meningkatkan kompetensi pendidik dalam pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB) dan (e) meningkatkan
mutu pendidikan khususnya di SMA Negeri 1 Patianrowo. Dalam
implementasinya dilapangan program supervisi terbagi dalam program semester dan
pogram tahunan.
Metode Penyusunan Program
dengan menggunakan metode deskriptif yakni dengan bercermin pada kegiatan sejenis
yang sudah biasa dilakukan, dan berusaha mengamati, memantau dan menganalisa
serta menghubungkan program dan
pelaksanaan dan fakta-fakta kenyataan dilapangan yang mengacu pada Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.16/2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Sehingga hasilnya dapat diperkirakan mampu diterima oleh dua belah pihak antara
supervisor dan yang disupervisi, serta
tidak terlalu menyimpang dari aturan yang berlaku.
Sehubungan
dengan hal tersebut, langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam penyusunan program supervisi menurut Barnawi
dan Arifin (2014: 55) adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi hasil
pengawasan sebelumnya.
Identifikasi dilakukan melalui analisis kesenjangan dengan mengacu pada
kebijakan di bidang pendidikan yang digunakan. Identifikasi hasil pembinaan
menggambarkan sejauhmana ketercapaian tujuan pembinaan yang telah dilakukan
sebelumnya. Selain itu kebijakan dalam bidang pendidikan juga menjadi acuan
dalam menyusun program pembinaan sekolah. Hasil identifikasi menjadi acuan
dalam menentukan tujuan dan jenis pembinaan yang akan dilakukan. Pola pembinaan
yang sudah menunjukkan hasil yang baik perlu dipertahankan. Sehingga hasil
identifikasi pembinaan sebelumnya sangat membantu supervisor untuk melakukan
pembinaan selanjutnya.
2. Pengolahan dan analisis hasil pengawasan sebelumnya. Langkah ini
diarahkan untuk menentukan prioritas tujuan, sasaran, pendekatan, metode kerja
serta langkah-langkah pembinaan yang akan dilakukan. Output dari hasil
pengolahan dan analisis hasil pembinaan harus mamapu menunjukkan kondisi
sekolah secara kualitatif dan kuantitatif.
3. Perumusan rancangan program pengawasan
tahunan. Rancangan program pengawasan/ pembinaan
tahunan dibuat dengan landasan hasil identifikasi dan analisis hasil pembinaan
tahun lalu. Rumusan rancangan program pembinaan ini dibuat dalam bentuk matriks
untuk semua sekolah binaan atau satuan pendidikan.
4.
Pemantapan dan penyempurnaan rancangan
program pembinaan tahunan. Setelah dirumuskan dalam bentuk rancangan, program
pembinaan dimantapkan dan disempurnakan isinya.Program yang telah
dimantapkan dan dirumuskan tersebut adalah
rumusana akhir yang menjadi salah satu acuan dalam menyusun rencana
kepengawasan akademik (RKA) yang didalamnya memuat aspek masalah, tujuan,
indicator, keberhasilan, strategi/ metode kerja, skenario kegiatan, sumber daya
yang diperlukan, penilaian dan instrumen pengawasan.
Melalui langkah-langkah
itu diharapkan akan dihasilkan satu program yang komprehensif (menyangkut
seluruh aspek pembelajaran) dan realistik (sesuai dengan kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi guru-guru di lapangan).
Pernyusunan
program supervisi sebagaimana diutarakan di atas, akan berjalan sesuai dengan
harapan apabila kepala sekolah memiliki pengetahuan tentang pengertian, tujuan,
fungsi dan teknik serta pendekatan supervisi disertai petunjuk pelaksanaan
secara sederhana.
Namun
secara umum program supervisor itu adalah (1) analisis kemampuan guru, (2)
penelitian dan pengembangan proses pembelajaran, (3) pembinaan guru secara
preventif dan kuratif, (4) hubungan masyarakat dan analisis kebutuhan di
daerah, (5) mengembangkan kurikulum lokal (Pidarta, 2009: 50). Berikut
penjabarannya:
1.
Analisis kemampuan guru
Kondisi masing-masing
guru adalah berbeda-beda. Oleh sebab itut seorang supervisor harus mampu
menganalisis kemampuan guru sebelum melakukan pembinaan atau supervisi. Hal ini dapat dilakukan melalui pertemuan
informal, kerjasama dan segala bentuk pergaulan lainnya.
Menurut Slater dalam
Pidarta (2009: 51) supervisor harusnya menganalisis kondisi setiap guru secara
mendalam, bukan saja dari penampakan luarnya melainkan juga membuka isi hatinya, suasana hati, dan kata hatinya.
Dengan kata lain menggunakan pendekatan emosional. Cara kerja yang demikian
disebut juga sebagai supervisi klinis. Sebab supervisor menganalisis kondisi
psikolgis guru sebelum melakukan
pembinaan. Hasil analisis akan dicatat atau diingat sebagai keadaan khusus
guru. Dengan cara ini diharapkan pekerjaan supervisor menjadi lebih efektif.
2.
Penelitian dan
pengembangan proses pembelajaran
Supervisor harus mampu
memajukan guru-guru agar melakukan penemuan-penemuan, disiplin dalam membaca
hasil penelitian, merefleksi terhadap hasil itu, dan berdialog sebagai guru
yang kritis (Moss dalam Pidarta, 2009: 52). Guru perlu dibina agar akuntabel.
3.
Pembinaan guru secara
preventif dan kuratif
Pembinaan terhadap guru
adalah dalam pengembangan pribadi,
kompetensi, dan sosial. Termasuk
didalamnya adalah kompetensi pengembangan proses pembelajaran yaitu metode
mendidik dan mengajar, cara-cara menentukan kebutuhan lokal, dan menjaring
aspirasi masyarakat. Pembinaan terhadap guru ini dilakukan secara preventif dan
kuratif. Secara preventif adalah dengan cara menciptakan antar hubungan yang
akrab, harmonis, dan bersahabat. Juga dilakukan dengan cara membantu dan
membimbing guru untuk dapat menciptakan kondisi belajar dan proses pembelajaran
yang baru dan efektif. Sedangkan yang bersifat kuratif adalah memperbaiki
hal-hal yang kurang menarik yang terjadi pada diri guru-guru.
4.
Hubungan masyarakat dan
analisis kebutuhan di daerah. Desentralisasi pendidikan mengharuskan
sekolah mengadakan hubungan dan kerjasama dengan masyarakat, sebab
desentralisasi bertujuan memajukan masyarakat yang beragam itu melalui
pendidikan. Sekolah di setiap daerah
akan menyerap aspirasi massyarakat pada daerahnya atau lingkungannya masing-masing
untuk diangkat menjadi program pendidikan, ketentuan inilah yang mengharuskan
bagi seorang supervisor dalam hal ini adalah kepala sekolah perlu memiliki
program hubungna dengan masyarakat dan analisis kebutuhan daerah. Dengan
demikian pendidikan akan berjalan sinergis dengan memperhatikan aspirasi
dan kebutuhan masyarakat setempat.
5.
Mengembangkan kurikulum
lokal. Tindak lanjut dari analisis
aspirasi dan kebutuhan masyarakat diwujudkan dalam bentuk kurikulum lokal. Pendidikan akan mengembangkan peserta didik
untuk menjadi seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Disamping
mengembangkan potensi sumber daya manusia di daerah, sekolah juga membantu
mewujudkan pembangunan-pembangunan
sumber daya alam didaerah yang bersangkutan. Wujud kurikulum lokal ini
bias berupa penanaman norma-norma masyarakat, pemakaian alat belajar dan media
yang ada di daerah tersebut, keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam
pembangunan daerah, dan mata pelajaran baru yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
Dalam program
supervisi/ pembinaan guru, program semester
ataupun tahunan yang akan dilakukan oleh
kepala sekolah meliputi (Barnawi, dkk, 2014:66):
1. Melakukan pendampingan
dalam meningkatkan kemampuan guru menyusun administrasi perencanaan
pembelajaran.
2. Melakukan pendampingan
dalam meningkatkan kemampuan guru dalam proses pelaksananaan pembelajaan.
3.
Melakukan pendampingan
membimbing guru dalam meningkatkan kemampuan
melaksananakan penilaian hasil belajar peserta didik.
4.
Memberikan
masukan kepada guru dalam memanfaatkan lingkungan dan sumber belajar.
5.
Memberikan rekomendasi
kepada guru mengenai tugas membimbing dan melatih peserta didik terkait
pengayaan dan remidial.
6.
Memberi bimbingan
kepada guru dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk
pembelajaran.
7.
Memberi bimbingan
kepada guru dalam pemanfaatan hasil penilaian untuk perbaikan mutu pendidikan dan
pembelajaran.
8.
Memberikan
bimbingan kepada guru untuk melakukan refleksi hasil-hasil yang dicapainya.
C.
Pendekatan
Dalam Supervisi Pembelajaran
Makawimbang
(dalam Djasmani, dkk, 2013: 91), dalam praktek supervisi pembelajaran, dikenal
beberapa model supervisi yang diidentikkan dengan pendekatan supervisi yang
selama ini dengan sadar atau tidak sadar diimplementasikan oleh supervisor
dalam pelaksanaan tugasnya. Setiap model memiliki karakteristik atau kelebihan
dan kekurangannya. Maka masih menurut
Makawimbang ihtiar untuk mencari model supervisi bagi supervisor/ kepala sekolah adalah keniscayaan ketika mutu
pendidikan menjadi target utama. Model supervisi dimaknakan sebagai bentuk atau
kerangka sebuah konsep atau pola supervisi. Ia sebagai kerangkak konseptual
yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan kegiatan supervisi.
Oleh karena itu
memahami model-model supervisi atau pendekatannya memiliki banyak keuntungan tersendiri. Dalam
berbagai referensi supervisi pembelajaran dikenal beberapa model supervisi yang
dikembangkan dan yang telah diterapkan dalam dunia pendidikan atau satuan
pendidikan. Model supervisi menurut Sahertian (2008) adalah: (a) model
supervisi konvensional (tradisional), (b) model supervisi ilmiah, (c) model
supervisi klinis, dan (d) model supervisi artistik.
Sedangkan dalam bukunya Imron (2012: 28)
mengemukakan ada beberapa pendekatan dalam supervisi pembelajaran. Pertama
pendekatan ilmiah, yang merupakan warisan era kejayaan gerakan menejemen
ilmiah. Kedua, pendekatan klinik, yang diangkat dari model hubungan dokter dan
pasien, sehingga didalamnya terdapat diagnosis-terapi dalam supervisi
pembelajaran. Ketiga, pendekatan artistik
yang merupakan wujud jawaban atas ketidakpuasan terhadap pendekatan
ilmiah. Ketiga pendekatan tersebut selain memiliki kelebihan tersendiri, juga
tidak lepas dari kritik-kritik.
1. Pendekatan
Ilmiah Dalam Supervisi Pembelajaran
Pendekatan
ilmiah dalam supervisi pembelajaran ini terkait erat dengan pengupayaan
efektifitas pembelajaran. Dalam pandangan pendekatan ilmiah ini, pembelajaran
dipandang sebagai science maka perbaikan pembelajaran dapat dilakukan dengan
menggunakan metode-metode ilmiah. Sementara itu, ciri utama science adalah rasional
dan empirik.
Guna
meningkatkan dan mengupayakan perbaikan pembelajaran, maka seorang supervisor
yang menggunakan pendekatan ilmiah dapat melaksanakan tiga hal, yaitu: (a)
mengimplementasikan hasil temuan para peneliti, (b) bersama-sama dengan
peneliti mengadakan penelitian dibidang ppembelajaran dan hal lain yang
bersangkut paut dengannya, dan (c) menerapkan metode ilmiah dan sikap ilmiah
dalam menentukan efektivitas pembelajaran.
Supervisi
pendekatan ilmiah sebagai sebuah model atau pendekatan dalam supervisi
pembelajaran dapat digunakan oleh supervisor untuk menjaring informasi atau
data dan menilai kinerja guru ataupun kepala sekolah dengan cara menyebarkan
angket.
Dalam
pelaksanaannya supervisor menyebarkan angket untuk diisi oleh orang yang berada
di sekitar orang yang disupervisi, jika
hasil cenderung tidak menguntungkan, supervisor segera mengambil
langkah-langkah logis dan rasional untuk memberikan pencerahan kepada mereka
agar mau memperbaiki kinerjanya.
Oleh
karena itu, supaya supervisor memperolah gambaran yang obyektif, perlu
perencanaan, persiapan matang, taat prosedur, sistematis, menggunakan instrumen
pengumpulan data dan mengusahakan informasi atau data yang diperoleh supervisor
itu riil adanya.
Menurut
Sahertian dalam jasmani, dkk (2013: 96),
supervisi berpendekatan ilmiah
memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) dilaksanakan secara berencana dan
kontinu, (2) sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, (3)
menggunakan instrumen pengumpulan data, (4) menggunakan alat penilaian berupa
angket yang mudah dijawab, (5) angket
disebar kepada peserta didik dan atau guru sejawat, (5) ada data atau informasi
obyektif yang diperoleh dari keadaan yang riil.
Dengan
menggunakan pendekatan ilmiah, supervisor bisa segera mengambil langkah-langkah
supervisi dengan meningkatkan keefektifan pembelajaran yang dilakukan oleh
guru. Namun demikian pendekatan ini tidak bebas dari kritik, sebab dalam
realitasnya masih banyak faktor lain
yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran, tetapi masih belum dapat
ditangkap oleh pendekatan ilmiah. Misalnya saja, pengetahuan yanng telah mapan dan diyakini oleh guru dan
supervisor, ysng untuk mengetahuinya hanya dapat dilakukan dengan common
sense, pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat empirik dan pemikiran
spekulatif.
2. Pendekatan
Klinis
Morris Cogan dalam
Jasmani (2013: 96) mendefinisikan Clinical
supervision sebagai latar dan praktik yang di desain untuk mengembangkan
performa guru di kelas. Sergiovani dan Starrat (1979) menjelaskan bahwa Clinical
supervision mengacu pada tatap muka pertemuan dengan guru tentang mengajar,
biasanya dalam classrooms, dengan maksud agar tercipta profesionalitas
guru dan pengembangan serta peningkatan instruksi pembelajaran. Sedangkan R
Willem dalam Archeson dan Gall, 1980 mengemukakan supervisi klinis adalah
proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar
yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal.
Senada dengan
pendapat tersebut, Flanders masih dalam Jasmani (2013: 96) melihat pengawasan
clinical sebagai sebuah teaching kasus khusus yang mana setidaknya dua
orang yang bersangkutan akan diperbaiki. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas
dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis adalah suatu proses pembimbingang
dalam pendidikan yang bertujuan untuk membantu pengembangan profesional guru
dalam pengenalan mengajar melalui observasi dan analisis data secara obyektif,
teliti sebagai dasar untuk usaha mengubah perilaku mengajar guru.
Sementara itu
Sergiovanni dalam Imron (2012: 59) menyatakan bahwa supervisi pembelajaran
dengan pendekatan klinik adalah suatu pertemuan tatap muka antara supervisor
dengan guru, membahas tentang hal mengajar di dalam kelas guna perbaikan
pembelajaran dan pengembangan profesi.
Ciri-ciri
supervisi klinis antara lain : (1) bantuan yang diberikan bukan bersifat
instruksi atau memerintah, tetapi tercipta hubungan yang manusiawi, (2) timbul
dari harapan dan dorongan guru sendiri karena dia merasa membutuhkan bantuan
itu, (3) satuan tingkah laku guru merupakan satuan yang terintegrasi, (4)
suasana penuh kehangatan, kedekatan, dan
keterbukaan, (5) supervisi yang diberikan tidak saja pada pembelajaran
melainkan juga pada aspek kepribadian guru, (6) instrumen yang digunakan untuk observasi
disusun berdasarkan kesepakatan antara supervisor dan guru, (7) balikan yang
diberikan harus secepat mungkin dan sifatnya obyektif, (8) dalam percakapan
balikan harusnya datang dari pihak guru lebih dulu, bukan dari supervisor.
Prinsip-prinsip
supervisi klinis antara lain: (1)
pelaksanaan supervisi harus berdasarkan inisiatif dari guru terlebih
dahulu, (2) menciptakan hubungan manusiawi yang bersifat interaktif dan rasa
kesejawatan, (3) menciptakan suasana bebas untuk mengemukakan apa yang
dialaminya, (4) obyek kajiannya adalah kebutuhan profesional guru yan riil
danalami, dan (5) perhatian dipusatkan pada unsur-unsur yang spesifik yang
harus diangkat untuk diperbaiki.
Model
pendekatan ini dalam implementasinya memerlukan siklus yang sistemis. Paling
tidak terdapat tiga siklus yang harus ditempuh yaitu perencanaan (pertemuan
pendahuluan), pengamatan (observasi di
kelas ) dan analisis (tahap balikan / evaluasi prilaku guru).
3. Pendekatan
Artistik
Menurut Jasmani
dan Syaiful Mustofa (2013: 93), mengajar adalah suatu pengetahuan (knowladge).
Mengajar merupakan suatu ketrampilan (skill), tetapi juga suatu seni (art).
Sejalan dengan tugas mengajar dan mendidik, supervisi juga pengajar dan
pendidik yang kegiatannya memerlukan pengetahuan , ketrampilan, dan seni. Jadi
model supervisi artistik yang dimaksudkan disini adalah ketika supervisor
melakukan kegiatan supervisi dituntut berpengetahuan, berketrampilan dan tidak
kaku karena dalam kegiatan supervisi juga mengandung nilai seni.
Model pendekatan
supervisi artistik mendasarkan diri pada bekerja untuk orang lain (working
for the others), bekerja dengan orang lain (working with the others),
dan bekerja melalui orang lain (working through the others). Hubungan
itu dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan. Saling percaya, saling mengerti,
saling menghormati, saling mengakui, saling menerima seseorang apa adanya.
Hubungan tampak
melalui pengungkapan bahasa, yaitu supervisi lebih banyak menggunakan bahasa
penerimaaan ketimbang bahasa penolakan (Thomas Gordon dalam Sahertian,
2010:42-43). Supervisor dalam hal ini kepala sekolah dalam melaksanakan
supervisi artistik akan menampakkan dirinya dalam relasi dengan guru-guru yang
dibimbing sedemikian baiknya, sehingga guru merasa diterima. Sikap seperti mau
belajar mendengarkan perasaan orang lain, mengerti orang lain dengan problema-problema
yang dikemukakan, menerima orang lain sebagaimana adanya, sehingga orang dapat
menjadi dirinya sendiri. Itulah supervisi artistik.
Eisner
(dalam Sergiovanni, 1982 : 144) menyatakan bahwa pendekatan artistik adalah
pendekatan yang menekankan pada sensitivitas,
perseptivity dan pengetahuan supervisor untuk mengapresiasi segala aspek
yang terjadi di kelas dan kemudian menggunakan bahasa yang ekspresif, puitis
dan ada kalanya metaforik untuk mempengaruhi guru agar melakukan perubahan
terhadap apa yang telah diamati di dalam kelas. Dalam supervisi ini, instrumen
utamanya bukanlah alat ukur (perangkat pembelajaran) atau pedoman observasi,
melainkan manusia itu sendiri yang memiliki perasaan terhadap apa yang terjadi.
Pendekatan
artisitik menurut Imron (2012: 54)
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Menaruh perhatian
terhadap karakter ekspresif tentang peristiwa pembelajaran yang terjadi.
Pendekatan artistik tidak menyederhanakan kejadian yang luas dan kompleks. Ia
mengartikan kenyataan yang benar dan memerlukan perhatian khusus agar lebih banyak
mendengarkan daripada bicara.
2.
Memerlukan ahli seni
dalam pendidikan, yang dapat melihat sesuatu yang subtle (halus, lembut, dan
untuk menjagkaunya perlu dengan rasa) dalam pembelajaran. Memerlukan tingkat pengetahuan yang cukup
dan keahlian khusus untuk memaahami apa yang dibutuhkan oleh orang lain. Dalam pendekatan ini peran emosional cukup berperan.
3.
Mengapresiasi setiap
kontribusi unik para guru yang di supervisi terhadap pengembangan peserta
didik. Kritik yang diberikan oleh supervisor adalah bagaikan kritikan seni yang
bermanfaat bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pendekatan ini Mengutamakan
sumbangan-sumbangan unik dari guru-guru dalam rangka mengembangkan pendidikan
bagi generasi muda. Mudah menerima
kritik dan saran dari guru.
4.
Menaruh perhatian pada
kehidupan kelas secara keseluruhan. Menuntut untuk memberi perhatian yang lebih
banyak terhadap proses pembelajaran di kelas
dan diobservasi pada waktu-waktu tertentu. Lamanya proses observasi
inilah yang memberikan kemungkinan bagi ditempatkannya peristiwa-peristiwa
pembelajaran dalam konteks yang sebenarnya. Perhatian tidak melulu pada administrasi perangkat pembelajaran.
5.
Memerlukan hubungan
yang baik dan menyenangkan antara supervisor dan guru. Melalui hubungan yang
semacam ini suasana dialogis dan akran akan tercipta. Dengan membangu
komunikasi yang dialogis diharapkan pembinaan akan berjalan sesuai dengan
kebutuhan dan hal-hal yang diperlukan oleh guru.
6.
Memerlukan kemampuan penggunaan
bahasa yang dapat menggali
potensi-potensi guru. Penguasaan ini diperlukan karena guru-guru yang
berpotensi, adakalanya mengalami kesulitan dalam mengekspresikan potensinya.
Kesulitan-kesulitan tersebut bisa disebabkan oleh hal-hal intern yang berasal
dari dirinya sendiri, atau sifat potensi tersebut sukar diekspresikan. Dan
bahkan bisa jadi disebabkan oleh terbatasnya kemampuan bahasa yang dimiliki
untuk mengekspresikan, serta terbatasnya medium-medium ekspresi.
7.
Memerlukan kemampuan
untuk mendeskripsikan dan mengintepretasikan setiap peristiwa pembelajaran yang
terjadi. Sebab apa-apa yang signifikan dalam pendidikan tidak dapat ditentukan
sekedar melalui tes-tes statistik. Tes statistik tidak dapat meenangkap nilai
dan makna, melainkan hanya dapat berhubungan dengan hal-hal yang besifat
mungkin atau probabilitas saja.
8.
Menerima kenyataan
bahwa supervisor dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kepekaan dana
pengalamannya, merupakan instrumen pokok. Berarti dialah yang memberi makna
atas segala kejadia pembelajaran yang diamati, sehingga situasi pendidikan itu
diterima dan bermakna bagi orang yang disupervisi.
Pendekatan
artistik dalam supervisi pembelajaran muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan
terhadap supervisi pembelajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah, Supervisi pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan ilmiah disinyalir gagal, dan kegagalan tersebut
bersumber dari kelemahan pendekatan ilmiah secara internal, yaitu terlalu
berani menggeneralisasikan tampilan-tampilan pembelajaran yang tampak sebagai
keseluruhan peristiwa pembelajaran. Supervisi pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan artistik, dalam menangkap pembelajaran berusaha menerobos
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan ilmiah.
Pembinaan kepada
guru dengan pendekatan artistik dalam menangkap pembelajaran berusaha menerobos
keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan memperhatikan latar psikologis dan
sosiologis para pelakunya. Karena secara psikologi masing-masing individu berbeda, maka butuh penyelaman
secara mendalam. Dalam sudut pandang pendekatan artistik, keberhasilan
pembelajaran tidak dapat diukur dengan keberhasilan pembelajaran yang lain,
yang berbeda pelakunya. Tidak dapat diukur dengan menggunakan peristiwa
pembelajaran yang berada di konteks yang lainnya lagi.
Pendekatan
artistik berpandangan bahwa keberhasilan pembelajaran tidak bisa diukur dengan
menggunakan peristiwa pembelajaran yang berada dalam konteks yang berbeda. Karena
itu pendekatan artistik merekomendasikan agar supervisor turut mengamati,
merasakan, dan mengapresiasikan pembelajaran yang dilakuan oleh guru. Pembina
harus mengikuti mengajar guru dengan cermat, telaten dan utuh.
Eisner (dalam
Sergiovanni, 1982:146) melukiskan bahwa supervisor bagaikan menyaksikan
tampilan-tampilan karya seni, namun harus dilihat secara menyeluruh dengan
pengamatan yang cermat, turut merasakan dan mencoba menangkap maknanya. Dengan
kata lain pembina harus mengapresiasikan pembelajaran guru.
Tujuan utama
pendekatan ini adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (suasana)
kependidikan di sekolah. Dalam supervisi ini, instrument utamanya bukanlah alat
ukur atau pedoman observasi, melainkan manusia itu sendiri yang memiliki
perasaan terhadap apa yang terjadi.
Kesadaran akan
pentingnya supervisi pembelajaran berpendekatan artistik, telah menjadi
perhatian kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo
yang menjadi subyek penelitiaan. Pendekatan artistik relevan dengan
budaya sekolah yang bernuansa Islami, dimana dalam hal ini sikap dan prilaku kepala
sekolah yang sangat menentukan pendekatan supervisi ini dalam rangka peningkatan
kegiatan belajar mengajar terlebih dengan latar belakang kepala sekolah sekagai
seorang pengajar bimbingan konseling.
D. Konsep Kompetensi Kepribadian Guru
1.
Seputar Teori Kepribadian
Kepribadian atau
personality berasal dari kata persona, berasal dari bahasa Latin yang menunjuk
pada topeng yang digunakan oleh pemain sandiwara di zaman Romawi ketika
memainkan peran-perannya (Wardiana: 2004).
Kepribadian
merupakan pengaturan yang dinamis dari sifat (trait) dan pola
karakteristik perilaku yang unik pada setiap individu (Callahan, 1996). Menurut
Allport (1996) sifat (trait) merupakan sesuatu yang lebih umum ketimbang
kebiasaan (habit), bersifat dinamis serta menentukan perilaku, dapat
dilihat baik dari unsur yang membentuknya maupun distribusinya pada populasi,
serta tidak dapat dibuktikan ketiadaannya oleh fakta perilaku yang tidak
konsisten. Jadi kepribadian menunjukkan dua komponen penting, yaitu sesuatu
yang bersifat tetap dan sesuatu yang bersifat berubah. Sifat (trait)
merupakan sesuatu yang cenderung bersifat tetap, sedangkan karakteristik cenderung bisa berubah (Suharsaputra, 2013:
36).
Setiap orang
memiliki kepribadiannya sendiri-sendiri yang akan mempengaruhi pola perilaku
terhadap orang lain serta cara meresponnya. Itu artinya bagaiamana seseorang
memperlakukan dirinya sendiri amat penting dalam konteks hidup dan kehidupan,
karena kepribadian menunjukkan seluruh aspek pribadi yang memenuhi cara
berfikir, merasa dan berperilaku. Dengan kepribadian itulah setiap orang
menjalankan peran dan tugasnya dalam hidup dan kehidupan.
Dalam Wardiana
(2004), juga mengemukakan “personality is the dynamic organization
within the individual of those psychophysical system that determine his unique
adjustments to his environtment” (kepribadian adalah oraganisasi-organisasi
dinamis dari sistem psikofisik dalam individu yang turut menetukan cara-caranya
yang unik/ khas dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya).
Dari hal itu,
kepribadian memiliki beberapa unsur sebagaimana berikut : (1) kepribadian merupakan
organisasi yang dinamis, senantiasa berubah setiap saat, (2) organisasi itu
terdapat dalam diri individu, (3) organisasi terdiri dari sistem psikis,
meliputi : sifat dan bakat, serta sistem fisik yang saling terkait, (4)
organisasi itu menentukan corak penyesuaian diri yang unik dari tiap individu
terhadap lingkungannya.
Adapun definisi
kepribadian secara populer yaitu ciri-ciri watak seseorang individu yang
konsisten, yang memberikan kepadanya suatu
identitas sebagai individu yang khusus (Wardiana: 2004). Sedangkan
menurut Newcomb, kepribadan merupakan organisasi dari sikap-sikap yang dimiliki
seseorang sebagai latar belakang terhadap perilakuan.
Secara umum
definisi kepribadian yang disampaian para pakar memiliki persamaan sebagai berikut : (1) teori
kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik/ khas pada diri
setiap orang, (2) kepribadian dipandang sebagai organisasi yang menjadi penentu
atau pengaruh tingkah laku (Wardiana: 2004)
Menurut
C.G Jung, kepribadian terbagi menjadi beberapa type, antara lain ; (1) Introvert : orang yang suka memikirkan
diri sendiri, banyak fantasi, lekas merasakan kritik, menahan ekspresi emosi,
lekas tersinggung dalam diskusi, suka membesarkan kesalahannya, analisis dan
kritik diri sendiri menjadi buah pikiran, (2) Extrovert: orang melihat kenyataan, tidak lekas tersinggung atau
merasakan kritik, tidak gampang merasakan dalam kegagalannya,
Berdasarkan kuat
lemahnya sifat psikis yang terdiri dari emosional, aktivitas dan
sekunder-fungsi, maka Gerart Heymans dalam Wardian (2007), membagi tipe
kepribadian menjadi tujuh bagian, yaitu : (1) Gapasioneerden (orang hebat), orang yang aktif dan emosional serta
fungsi sekundernya kuat., (2) Cholerici (orang
yang garang), orang yang aktif dan emosional tapi fungsi sekundernya lemah, (3)
Sentimental (orang perayu), orang
yang tidak aktif, emosional dan fungsi sekundernya kuat, pintar mempengaruhi
orang lain dan menjauhkan diri dari keramaian, (4) Nerveuzen (orang penggugup), orang yang tidak aktif, fungsi sekunder
lemah, emosi kuat, tidak mau berfikir panjang, agresif tetapi tidak pendendam,
(5) Flemaciti (orang tenang), orang
yang tidak aktif, fungsi sekundernya kuat, tenang, sabar, tekun, ingatan kuat,
rajin, cekatan dan mandiri, (6) Sanguinici
(orang kekanak-kanakan), orang yang tidak aktif, tidak emosional, fungsi
sekundernya kuat. Sukar mengambil keputusan, ragu-ragu, pemurung, pendiam,
pendendam dan tidak gila hormat dan kuasa, (6) Amorferm (orang tak berbentuk), orang tidak aktif, tidak emosional,
fungsi sekunder lemah. Intelektual lemah, picik, pemboros, perisau dan
cenderung suka dikuasai orang lain.
Hippocrates (400
SM) telah mencoba mengklasifikasikan jenis-jenis kepribadian dalam empat tipe
umum yang dapat dijadikan dasar penting dalam memahami kecenderungan umum dalam
hal kepribadian. Keempat jenis kepribadian tersebut adalah : (1) melankolik (fakta)
: ditandai dengan kelambanan dalam berfikir dan cenderung mudah depresi, sulit
untuk memperoleh teman tapi dapat diandalkan dan dipercaya karena konsistensi
dan keyakinan kuat atas keputusan yang diambilnya namun kurang spontan dan
sulit mengemukakan perasaannya secara terbuka, (2) sangusinis (tindakan) : bersifat stabil
namun aktif, dia punya keberanian, selalu berharap dan periang namun
kurang pasti, sopan, sadar, bergairah dan penuh tenggang rasa namun
demonstratif, (3) kolerik (ideal)
: memiliki emosi yang mudah meluap, dia sangat
yakin dalam berekspresi dan bertindak, berambisi namun kurang hati-hati,
(4) plegmatik (rasional): adalah orang dengan kecenderungan
stabil, tenang cenderung dingin dan apatis serta tidak mudah bersikap
bersahabat dan ramah.
Disamping itu,
terdapat pengelompokan jenis kepribadian lain seperti Five Factor Model (FFM)
yang dikembangkan oleh Ernest Tupes dan Raymond Christal (1961) dan J.M. Digman
(1990), menurut pendapat mereka terdapat lima ranah besar kepribadian yang
dapat dijadikan dasar dalam menggambarkan dan memahami manusia yaitu : (1) Oppenes
(keterbukaan), (2) conscientiousness (kesadaran), (3) extraversion
(ekstravert), (4) aggre-ableness (kebersetujuan), dan (5) neuroticism
(neurotis) disingkat OCEAN.
2. Hakikat Guru
Guru
disebut juga dengan pendidik, merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan. Guru
adalah figur manusia yang diharapkan kehadirannya dan perannya dalam
pendidikan, sebagai sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting
dalam pendidikan, figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama
yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah.
Hal itu tidak dapat disangkal karena lembaga
pendidikan formal adalah dunia guru. Sebagian besar waktu guru ada di sekolah,
sisanya ada dirumah dan di masyarakat (Syaiful Bahri Djamarah, 2005 : 1).
Manusia
yang diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi ini membutuhkan
bimbingan dan ilmu dalam menata dan mengatur alam semesta yang kesemuanya demi
kemaslahatan dan kemakmurannya. Sebagai makhluk yang teristimewa manusia diberi
kelebihan dibandingkan dengan makhluk yang lain yakni akal dan budi. Dengan
akal dan budi manusia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk,
menciptakan berbagai kreasi demi keberlangsungan hidupnya di muka bumi ini.
Berkenaan dengan
perannya sebagai khalifah di muka bumi Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah :
30
Artinya
: Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Menjadi
guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu perbuatan yang
mudah,
tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani adalah
tidak mudah karena lebih menuntut pengabdian kepada murid daripada tuntutan pekerjaan dan material-oriented.
Guru yang mendasarkan pengabdiannya karena panggilan jiwa merasakan jiwanya
lebih dekat dengan peserta didiknya.
Ketiadaan peserta didik
di kelas menjadi pemikirannya, mengapa peserta didiknya
tidak hadir di kelas, apa yang menyebabkannya, dan mungkin berbagai pertanyaan
yang mungkin guru ajukan ketika itu. (Syaiful Bahri Djamarah, 2005 : 2)
2. Pengertian Kompetensi Kepribadian Guru
Menurut Mukhtar
dan Iskandar (2009), kompetensi adalah pengetahuan, ketrampilan, kecakapan atau
kapabilitas yang dicapai seseorang, yang menjadi bagian keberadaannya sampai
mampu mengkinerjakan perilaku kognitif, afektif
dan psikomotorik tertentu secara optimal.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia (PP. RI) No. 19 Tahun 2005 BAB VI tentang
pendidik dan tenaga kependidikan Pasal 28 Ayat ke-3 menyebutkkan kompetensi
guru antara lain: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional dan kompetensi sosial. Berikut penjelasannya:
a.
Kompetensi Pedagogik, kompetensi ini menyangkut kemampuan seorang guru. dalam
memahami karakteristik atau kemampuan yang dimiliki oleh murid melalui berbagai
cara. Cara yang utama yaitu dengan memahami peserta didik melalui perkembangan kognitif murid, merancang
pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi hasil belajar
sekaligus pengembangan peserta didik.
b.
Kompetensi Kepribadian,
adalah salah satu kemampuan personal yang harus
dimiliki oleh guru profesional dengan cara mencerminkan kepribadian yang baik
pada diri sendiri, bersikap bijaksana serta arif, bersikap dewasa dan berwibawa
serta mempunyai akhlak mulia untuk menjadi sauri teladan yang baik.
c.
Kompetensi Profesional,
adalah salah satu unsur yang harus dimiliki oleh
guru yaitu dengan cara menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam.
d.
Kompetensi Sosial, adalah salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik melalui cara yang baik dalam berkomunikasi dengan murid dan
seluruh tenaga kependidikan atau juga dengan orang tua/wali peserta didik dan
masyarakat sekitar.
Berdasarkan PP.
RI No. 74 tahun 2008, kompetensi kepribadian sekurang kurangnya mencakup
beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, berwibawa, stabil,
dewasa, jujur, sportif, menjadi teladan peserta didik dan masyarakat, obyektif
menilai kinerja diri sendiri dan mengembangkan diri secara berkelanjutan dan
mandiri.
Guru sebagai
seorang pendidik mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan apa yang
menjadi tujuan pendidikan, sesuai yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas No. 2
Tahun 2003, yakni mengembankan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
berimamn dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Imam Wahyudi : 2012).
Menurut Naim
(2009) seorang guru harus memenuhi
kualifikasi kepribadian antara lain: kemantaban dan integritas pribadi, peka
terhadap perubahan dan pembaruan, berfikir alternatif, adil, jujur dan
obyektof, disiplin dalam melaksanakan tugas, ulet dan tekun bekerja, berusaha
memperoleh hasil kerja sebaik-baiknya, simpatik dan menarik, luwes, bijaksana
dan sederhana dalam bertindak, bersifat terbuka, kreatif dan berwibawa.
Berkenaan
dengan kompetensi kepribadian guru, menurut Khalid (2005)
yang dimaksud kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan
prilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan
tugas profesionalnya. Adapun penjelasan PP. No. 19 Tahun
2005 Pasal 28 Ayat 3 Butir b, tentang kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang mantap, stabil, arif dan berwibawa, yang menjadi
teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Mengacu kepada Standar Nasional
Pendidikan dalam penjelasan PP. No. 19 Tahun 2005 pasal
28 ayat 3 Butir b , kompetensi kepribadian guru meliputi:
a.
Memiliki kepribadian
yang mantap dan stabil yang indikatornya bertindak sesuai norma hukum, norma
sosial. Bangga sebagai pendidik, dan memiliki konsistensi dalam bertindak
sesuai dengan norma. Seorang guru yang
berkepribadian tentulah akan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, karen
ia menyadari bahwa telah dibekali dengan ilmu yang diharapkan mampu diteruskan
kepada peserta didiknya. Ia akan mengutamakan kewajibannya sebagai guru dengan
profesinoal, dan merasa bangga terhadap profesi yang digelutinya.
b.
Memiliki kepribadian
yang dewasa, dengan ciri-ciri, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai
pendidik yang memiliki etos kerja. Dewasa dalam bersikap, segala sesuatu
dilaksanakan dengan berdasarkan pertimbangan yang matang. Mandiri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
yang diembankan kepadanya. Guru yang dewasa akan mampu dan tahu apa yang harus
dikerjakan terhadap peserta didiknya.
c.
Memiliki kepribadian
yang arif, yang ditunjukkan dengan tindakan yang bermanfaat bagi peserta didik,
sekolah dan masyarakat serta memajukan keterbukaan dalam berpikir dan
bertindak. Seorang guru harus arif dan bijaksana dalam menyikapi segala situasi
dan kondisi terlebih yang berkenaan dengan proses pembelajaran. Guru akan
bertindak dengan mengedepankan kemanfaatan bagi orang lain terutama bagi
peserta didik. Tidak melakukan hal yang bias mencemarkan atau menodai
masyarakat dan lembaga pendidikan tempat ia mengabdi.
d.
Memiliki kepribadian
yang berwibawa, yaitu perilaku yang berpengaruh positif kepada peserta didik
dan memiliki perilaku yang disegani. Guru harus mampu memberi pengaruh yang positif terhadap peserta didik.
Kewibawaan guru di depan peserta didik akan mempermudah dalam menanamkan nilai-nilai
yang dihendaki atau yang dicita-citakan. Guru
bisa menjadi sahabat bagi peserta didik, namun tetap disegani. Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan, dengan menampilkan yang sesuai
dengan norma religius (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan
memiliki perilaku yang diteladani peserta didik. Karena guru adalah model dan
figur yang dicontoh oleh peserta didik, maka hendaknya guru senantiasa
memberikan contoh yang baik bagi peserta didik. Tidak mungkin peserta didik
menjadi baik manakala guru yangdijadikan figur juga tidak memberikan perhatian
dan contoh yang baik pula. Memberikan contoh teladan berupa tindakan kepada peserta didik akan lebih mengena
daripada seribu perkataan tanpa teladan.
Nilai yang terakhir yaitu keteladanan. Ini mempunyai pengertian bahwa mampu
untuk diikuti/ ditiru/ diteladani, baik sikap maupun pemikirannya. Keteladanan
itu pada hakikatnya mempunyai tiga aspek didalamnya. Pertama, persiapan untuk
dinilai (orang yang diteladani tidak tercela, dan siap dinilai oleh pihak
manapun). Kedua memiliki kompetensi yang cukup dalam bidang yang menjadi
tanggung jawabnya. Ketiga, sikap istiqomah, yakni melaksanakan kebaikan secara
konsisten. Melakukan kebaikan dimana saja dan kapan saja (Maimun dan Fitri
:89).
Dari rincian penjelasan tentang Kompetensi Kepribadian diatas, jelas
kiranya bahwa sebenarnya pemerintah sudah menetapkan pedoman bagi guru untuk
melangkah mengemban tugas dan kewajibannya sebagai pendidik. Sayangnya, selama
ini pemerintah sering hanya berupaya untuk meningkatkan kompetensi pedagofik
dan profesional, tetapi sepertinya mengesampingkan usaha peningkatan kompetensi
kepribadian guru
E. Kajian Tentang Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Artistic Approach
Di SMAN 1 Patianrowo
Pendidikan di SMAN 1 Patianrowo,
walaupun menggunakan kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah secara
Nasional, namun dalam konteks keseharian nilai-nilai religi sangat kental
penerapannya. Hal ini tampak dalam budaya yang di contohkan oleh pimpinan
sekolah dalam hal ini kepala sekolah, guru dan bahkan murid. Dengan letak geografis di daerah kaum
yang mayoritas muslim dan potensi-potensi sumber daya manusia yang religius
sangat menunjang dalam pembentukan kepribadian peserta didik dari segi
intelektual, skill maupun emosionalnya. Hal ini juga yang mendasari kepala
sekolah menggunakan supervisi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
artistik.
Usaha meraih dan meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah sebagian besar ditentukan oleh para guru dalam proses
belajar mengajar. Agar komponen tersebut mampu dan ikhlas melaksanakan tugasnya
secara optimal, maka perlu adanya pembinaan secara terus menerus dari kepala
sekolah selaku supervisor untuk memastikan bahwa guru yang dimiliki sekolah
sudah dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Karena itu diperlukan kesadaran
dari supervisor atau kepala sekolah bahwa kegiatan pembinaan pada umumnya
merupakan bagian dari kegiatan manajemen . Jika diterapkan manajemen yang
berupaya mencapai tujuan supervisi, maka seluruh sistem pendidikan berjalan
dengan baik, tapi jika sebaliknya, proses pendidikan tidak berjalan sesuai
dengan sistem dan mekanisme manajerial yang kaku.
Supervisi pembelajaran di SMAN 1
Patianrowo lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam rangka peningkatan proses belajar
mengajar. Supervisi pembelajaran ini dilakukan oleh kepala sekolah selaku
supervisor melalui pemberian bantuan yang bercorak pelayanan dan bimbingan
profesional dengan menggunakan pendekatan artistik yang sangat relevan dengan
budaya sekolah yang bernuansa Islami, dimana hubungan antar kepala sekolah,
guru, peserta didik dan staf dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan, saling
mengerti, saling menghargai, saling mneghormati, saling mengakui, saling
menerima seseorang sebagaimana adanya.
Hubungan tampak melalui
pengungkapan bahasa, dalam supervisi ini lebih menggunakan bahasa penerimaan
dari pada bahasa penolakan. Supervisor dengan menggunakan pendekatan artistik akan
menampakkan dirinya dalam relasi dengan guruyang dibimbingnya, sehingga
guru-guru merasa dirinya diterima dan dihargai.
Supervisor dalam
pendekatan ini ingin menjadikan kepala sekolah, guru dan staf sekolah menjadi
dirinya sendiri, diajak bekerjasama, saling tukar dan kontribusi ide,
pemikiran, memutuskan dan menetapkan bagaimana seharusnya mengelola sekolah
yang baik dan guru mengajar dengan untuk bersama-sama meningkatkan mutu
pendidikan. Dengan demikian jelas bahwa supervisi pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan artistik dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan
guru dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola proses pembelalajaran.
Kemampuan-kemampuan
tersebut menurut Depdikbud tahun 1991/ 1992 (dalam Ekosusilo, 2003) meliputi:
(1) kemampuan merencanakan kegiatan belajar- mengajar dengan baik, (2)
kemampuan melakukan kegiatan belajar- mengajar dengan baik, (3) kemampuan
menilai proses dan hasil mengajar, (4) kemampuan untuk memberikan umpan balik
secara teratur dan terus menerus, (5) kemampuan menggunakan/ memanfaatkan
lingkungan sebagai sumber dan media pembelajaran, (6) kemampuan membimbing dan
melayani murid yang mengalami kesulitan dalam belajar, (7) kemampuan mengelola
dan mengadministrasi kegiatan belajar mengajar, ko dan ekstra kurikuler serta kegiatan lainnya.
Sebagaimana yang
telah dijelaskan diatas, supervisi pembelajaran di SMAN 1 Patianrowo lebih
diarahkan untuk meningkatkan kompetensi kepribadian guru dalam rangka
meningkatkakn proses belajar mengajar. Adanya perasaan aman dan dorongan
positif dalam berusaha untuk maju, sikap mau mendengarkan perasaan orang lain,
mengerti orang lain dengan masalah-masalah yang dikemukakan, menerima orang
lain dalam hal ini adalah guru merupakan sebuah strategi bagi seorang kepala
sekolah untuk dapat meningkatkan mutu dan kualitas proses sekaligus hasil dari
proses pendidikan yang telah dilaksanakan.
Pendekatan
artistik relevan dengan budaya sekolah yang bernuansa Islami, dan sesuai dengan
visi misi SMAN 1 Patianrowo. Oleh sebab itu pendekatan artistik dipilih oleh
kepala sekolah agar tercipta keterbukaan, kenyamanan dan peningkatan
kepribadian guru sebagai uswatun hasanah bagi peserta didik, sehingga segala
persoalan yang dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran dapat teratasi
dengan baik. Dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran berpendekatan artistik kepala
sekolah di SMAN 1 Patianrowo menerapkan
teknik observasi kelas, percakapan pribadi dan workshop.
Dalam proses pelaksanaan
supervisi pembelajaran artistik approach ini sebagaimana konseep Eisner dalam
Sergiovani (1982: 146) kepala sekolah berdasarkan pada (1) ketekunan yaitu
ketelitian, kecermatan, keuletan dalam mengamati, merasakan dan
mengapresiasikan pembelajaran, (2) kemampuan komunikasi yaitu menggunakan
bahasa yang efektif, empati dan menyenangkan, (3) kesantunan berprilaku yaitu
mengedepankan akhlak mulia, (4) ketrampilan interpersonal yaitu keterampilan
mengelola hubungan baik bekerjasama dengan guru, (5) sensitivitas atau
kepekaan.
Dalam
pelaksanaan supervisi pembelajaran berpendekatan artistik kepala sekolah di SMAN
1 Patianrowo menerapkan teknik observasi
kelas, percakapan pribadi dan workshop. Observasi kelas merupakan teknik
supervisi yang berwujud mengamati guru yang sedang mengajar dalam waktu satu
pertemuan. Jadi pengamatan dilakukan mulai kelas itu masuk kegiatan belajar
mengajar sampai pelaksanaan supervisi dianggap selesai. Selama waktu itu kepala sekolah selaku
supervisor yang biasanya duduk dibelakang kelas mengobservasi secara terus
menerus semua perilaku guru dan perilaku peserta didik-peserta didik dalam
proses pembelajaran Supaya apa yang dilihat dan didengar maupun yang dirasakan
tidak mudah hilang, maka data yang didapat tidak cukup hanya diingat saja,
melainkan harus dicatat. Dari catatan inilah ditemukan bagaimana kualifikasi
guru itu dalam membimbing para peserta didik belajar.
Tujuan teknik
supervisi observasi kelas adalah: (1) untuk mengetahui secara keseluruhan
cara-cara guru, mendidik dan mengajar, termasuk peribadi dangaya mengajarnya;
(2) untuk mengetahui respon kelas atau para peserta didik" (Pidarta,
2009:88). Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa tujuan teknik supervisi
observasi kelas adalah untuk raendapatkan data yang lengkap tentang guru yang
disupervisi dan data tersebut mampu memberi gambaran tentang guru bersangkutan
secara utuh.
Gambaran seperti
ini dapat dijadikan bahan apakah guru ini memiliki kemajuan atau tidak
dibandingkan dengan hasil-hasil supervisi sebelumnya. Mantja (2010:139)
mengatakan bahwa observasi kelas adalah salah satu wahana yang dapat digunakan
untuk mengetahui perubahan atau perbaikan unjuk kerja mengajar guru.
Individual conferencemerupakan
suatu percakapan pribadi antara kepala sekolah dengan seorang guru. Individual
conference disebut juga "problem solving method' atau metode
pemecahan masalah karena di dalam situasi perjumpaan kepala sekolah dengan guru
yang bersangkutan, berusaha memecahkan suatu masalah tenitama yang dihadapi
oleh guru tersebut dalam peiaksanaan kegiatan belajar mengajar.
Tujuan
Individual conferenceantara lain : (a) memberikan kemungkinan
perkembangan jabatan guru melalui pemecahan kesulitan-kesulitan yangdihadapi
oleh guru, (b) memupuk dan mengembangkan hal mengajar yang lebih baik lagi, (c)
memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kekurangan;kekurangan yang sering dialami
oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah, (d) menghilangkan dan
menghindari segala prasangka yang bukan-bukan.
Menurut George Kyte (Piet Sahertian : 2010), ada
dua jenis percakapan melalui kunjungan kelas, yaitu (a) percakapan pribadi
setelah kunjungan kelas (formal) dan (b) percakapan pribadi melalui percakapan
biasa sehari-hari (informal). Sedangkan Mildred E. Swearingen (Piet Sahertian :
2010), membagi jenis percakapan pribadi dalam empat jenis, yaitu (a) classroom
conference, yaitu
percakapan yang dilakukan saat peserta didik tidak lagi dikelas yakni pada saat istirahat atau pulang, (b) office conference, yaitu percakapan yang dilakukan di ruang kepala sekolah atau ruang
guru, di mana lingkungan fisiknya penuh dengan alat-alat pelajaran yang cukup,
sehingga terdapat suasana yang tenang dan menyenangkan (privacy), (c) causal conference, yaitu percakapan yang dilaksanakan secara
kebetulan, (d) observational
visitation, yaitu supervisor
mengunjungi kelas dimana guru sedang mengajar, hasil observasi dibicarakan
dengan guru yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu direncanakan dan dipersiapkan dalam Individual conference antara lain: (a) persiapan untuk observasi, (b)
membuat catatan-catatan observasi, (c) mengadakan interviu, (d) menganalisis
hasil-hasil observasi, (e) menentukan waktu, tempat serta lamanya percakapan.
Untuk
keefektifan pelaksanaan "individual
conference" beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian: (1) kepala
sekolah jangan mendominasi pembicaraan; (2) pembicaraan dimulai dengan
membicarakan kelebihan guru sebelum menyinggung kelemahannya; (3) kepala
sekolah memposisikan dirinya sebagai kolega bukan sebagai atasan guru; (4)
ciptakan situasi dan kondisi yang dapat membuat guru mau dan berani untuk
menganalisis dan mengevaluasi hasil pekerjaannya sendiri.
Teknik yang lain
adalah teknik yang dilaksanakan secara
kelompok, yaitu teknik workshop. Workshop adalah suatu usaha untuk
mengembangkan kesanggupan berfikir dan bekerja bersama-sama baik mengenai
masalah-masalah teoritis maupun praktis dengan maksud untuk meningkatkan
kulaitas profesional pada khususnya.
Ciri-ciri
workshop antara lain : (a) masalah yang dibahas bersifat "life
centered" dan muncul dari peserta didik, (b) selalu menggunakan sejauh
mungkin aktivitas mental dan fisik agar tercapai taraf pertumbuhan profesi yang
lebih baik dari semula, (c) cara yang digunakan ialah metode pemecahan masalah
"musyawarah dan penyelidikan", (d) musyawarah kelompok diadakan
menurut kebutuhan, (e) menggunakan resource person dan resource materials yang
memberi bantuan yang besar sekali dalam mencapai hasil yang sebaik-baiknya, (f)
senantiasa memelihara kehidupan yang seimbang disamping memperkembangkan
pengetahuan, kecakapan, perubahan tingkah laku, disediakan juga kesempatan
untuk bervariasi seperti tamasya untuk menambah pengalaman, pertemuan yang
menggembirakan, role playing dan lain-lain.
Marks dkk (1979)
yang dikutip Mantja (2010:110) menjelaskan bahwa keefektifan layanan supervisi
di sekolah tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepala sekolah, karena
dialah yang dianggap pemimpin pembelajaran di sekolahnya. Keberhasilan
melembagakan observasi kelas dan wawancara supervisi menunjukkan pula kualitas
kompetensi profesionalnya, karena untuk raewujudkannya diperlukan kemampuan
membangun hubungan yang baik dengan seluruh staf di sekolahnya.
Supervisor dapat
membantu guru dalam menganalisis faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya perilaku yang bermasalah. Berbagai penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap guru dengan perilaku
peserta didik yang bermasalah, seperti yang dikemukakan Olivia (1974:208), misalnya guru yang malas, guru yang suka mengkritik, guru yang terlalu keras, guru yauka merokok dapat menimbulkan peserta didik merasa tidak senang kepada guru
tersebut.
menyebabkan timbulnya perilaku yang bermasalah. Berbagai penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap guru dengan perilaku
peserta didik yang bermasalah, seperti yang dikemukakan Olivia (1974:208), misalnya guru yang malas, guru yang suka mengkritik, guru yang terlalu keras, guru yauka merokok dapat menimbulkan peserta didik merasa tidak senang kepada guru
tersebut.
Berbagai hasil
penelitian menyebutkan bahwa keterlaksanaan dan keberhasilan aktualisasi
supervisi ditunjang oleh persepsi, respon, dan sikap positif para guru terhadap
supervisi itu sendiri (Blumberg dalam Mantja, 2010:139).
Efektivitas
pelaksanaan supervisi pembelajaran pada prinsipnya dipengaruhi oleh beberapa
aspek, terutama oleh aspek pengetahuan dan keterampilan dari pelaksana supervisi
itu sendiri. Seperti yang dikemukakan Gliekman dalam Faturrohman (2011: 46),
bahwa “effective supervision requires knowledge, interpersonal skills, and
technical skills” yang mengandung makna bahwa pengetahuan dan keterampilan
teknis merupakan prasyarat yang harus dimiliki dan dikuasai oleh seorang
pelaksana supervise untuk dapat mewujudkan efektivitas pelaksanaan tersebut.
Pengetahuan
yang dimaksud adalah pengetahuan tentang konsep supervisi pembelajaran,
perilaku guru, dan masalah-masalah yang tentang proses belajar-mengajar.
Ketrampilan berhubungan (interpersonal skills) adalah berkaitan dengan
komunikasi dengan guru, baik secara individual maupun kelompok. Sedangkan keterampilan teknis (technical skills)
berkaitan dengan observasi kelas, perencanaan kegiatan, penilaian dan perbaikan
pengajaran.
Dalam
pelaksanaanya, supervisi pembelajaran berpendekatan artistik bukan hanya
mengawasi apakah guru telah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan instruksi atau ketentuan yang telah digariskan, tetapi juga berusaha
bersama guru-guru, bagaimana cara memperbaiki proses belajar;mengajar. Jadi
dalam kegiatan supervisi, guru tidak dianggap sebagai pelaksana pasif,
melainkan diperlakukan sebagai partner kerja yang memiliki ide-ide,
pendapat-pendapat, dan pengalaman-pengalaman yang perlu didengar dan dihargai
serta diikutsertakan didalam usaha-usaha perbaikan pendidikan.
Menurut
Burton Dalam Ngalim Purwanto (2012: 77), rumusan pelaksanaan supervisi yang
baik antara lain: (a) supervisi diarahkan pada dasar-dasar pendidikan dan
cara-cara belajar serta perkembangannya dalam pencapaian tujuan umum
pendidikan, (b) tujuan supervisi adalah perbaikan dan perkembangan proses
belajar-mengajar secara total, dengan demikian tidak hanya memperbaiki mutu
guru, tetapi juga pengadaan fasilitas yang mendukung proses belajar-mengajar,
peningkatan mutu pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengimplementasikan
kurikulum dalam bidang metode, pemilihan sumber belajar dan penilaian belajar. (3)
Fokus supervisi pada setting for learning bukan pada seorang namun pada
seluruh komponen yang terlibat didalamnya.
Dari
pendapat diatas, maka usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan
supervisi adalah sebagai beriku:
a. Membangkitkan dan
merangsang semangat guru-guru dalam menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
b. Berusaha
mengadakan dan melengkapi alat-alat / media belajar demi kelancaran proses
belajar-mengajar.
c. Bersama
guru-guru, berusaha mengembangkan, mencari dan menggunakan metode baru dalam
proses belajar-mengajar yang lebih baik.
d. Membina
kerjasama yang baik dan harmonis antara guru, peserta didik dan pegawai sekolah
lainnya.
e.
Berusaha
mempertinggi mutu dan pengetahuan
guru-guru antara lain melalui workshop, seminar, dan lain sebagainya.
Adapun
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
berhasil tidaknya supervisi menurut
Ngalim Purwanto (2014: 118) antara lain: (a) lingkungan masyarakat
tempat sekolah itu berada, (b) besar-kecilnya sekolah yang menjadi tanggung
jawab kepala sekolah, (c) tingkatan dan jenis sekolah, (d) kedaaan guru-guru,
(e) kecakapan dan keahlian kepala sekolah.
Diantara
faktor-faktor tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor kecakapan
kepala sekolah, karena dengan kecapakapan dalam hal supervisi sangat menentukan
hasil dari pelaksanaan supervisi itu sendiri. Kecakapan berkomunikasi,
kecakapan dalam memilih pendekatan yang sesuai dengan karakter guru, kecakapan
memberi motivasi kepada guru untuk
selalu berubah sangat mutlak
diperlukan.
Kesimpulan-kesimpulan
dan kajian-kajian di atas memberikan gambaran bahwa dengan adanya pelaksanaan
supervisi pembelajaran berpendekatan artistik, guru menyadari bahwa supervisi pembelajaran
bukan sekedar pemeriksaan administrasi tetapi supervisi mempunyai tujuan untuk
memperbaiki pembelajaran.
Oleh
karena itu semua aspek yang terkait dengan pembelajaran perlu disupervisi
sehingga tidak terkesan monoton dan membosankan.
Ekosusilo
(2003:25) mengemukakan, langkah-langkah yang perlu ditempuh dengan penerapan
pendekatan artistik ini adalah:
1.
Ketika mau berangkat ke
lapangan, pembina tidak boleh punya interpretasi apapun tentang pembelajaran
yang akan diamati. Sehingga
penilaian diharapkan bersifat obyektivitas.
2.
Mengadakan pengamatan
terhadap guru dengan cermat, teliti, utuh, dan menyeluruh, tidak hanya berdasarkan perangkat
yang disusun, namun juga bagaimana penguasaan guru terhadap materi dan terhadap
kelas yang dikelola.
3.
Memberikan interpretasi
atas hasil pengamatan secara formal,
setelah pembelajaran selesai. Dengan
tanpa mempermalukan guru yang dinilai. Hal ini bisa dilakukan secara pribadi
bersama dengan guru yang dinilai atau langsung di depan kelas, namun dengan
tidak merendahkan guru manakala ada kekurangan.
4.
Menyusun hasil interpretasi
dalam bentuk narasi. Hasil temuan di
lapangan baik sebelum dan pada saat pelaksaan supervisi, akan disusun
sedemikian rupa sebagai laporan.
5.
Menyampaikan hasil
interpretasi yang sudah dinarasikan kepada guru. Hasil penilaian dikonfimasikan
kepada guru yang dinilai sehingga terjadi komunikasi yang membangun antara
supervisor dan guru yang disupervisi.
6.
Menerima balikan dari
guru terhadap apa yang
telah dilakukan.
F.
Kerangka Pikir
Berdasarkan
uraian dan juga teori yang peneliti tampilkan diatas, maka dapat peneliti
analisis dengan menggunakan kerangka berfikir mengenai pelaksanaan supervisi
pembelajaran artistik approach (dengan menggunakan pendekatan artistik ) oleh
kepala sekolah yang meliputi : langkah-langkah kepala sekolah dalam menyusun
program supervisi, yaitu : (1) mengidentifikasi hasil pengawasan sebelumnya,
(2) mengolah dan menganalisa hasil
pengawasan sebelumnya, (3) merumuskan rancangan program tahunan, (4) memantapkan
dan menyempurnakan rancangan program.
Dalam proses pelaksanaan
supervisi pembelajaran artistik approach ini kepala sekolah menggunakan
pendekatan antara lain: (1) ketekunan yaitu ketelitian, kecermatan, keuletan
dalam mengamati, merasakan dan mengapresiasikan pembelajaran, (2) kemampuan
komunikasi yaitu menggunakan bahasa yang efektif, empati dan menyenangkan, (3)
kesantunan berprilaku yaitu mengedepankan akhlak mulia, (4) ketrampilan
interpersonal yaitu keterampilan mengelola hubungan baik bekerjasama dengan
guru, (5) sensitivitas atau kepekaan.
Pelaksanaan
supervisi ini diharapkan mampu membawa pengaruh yang positif terhadap
kompetensi kepribadian guru dalam melaksanakan belajar mengajr maupun proses
pendidikan di luar ruangan. Kepribadian guru yang diharapkan adalah kepribadian
yang mantab dan stabil, memiliki kepribadian yang dewasa, memiliki kepribadian
yang arif dan bijaksana, memeliki kepribadian yang berwibawa, dan memiliki
akhlak yang mulia sehingga menjadi teladan bagi peserta didik.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang pemecahan masalahnya dengan
menggunakan data empiris dan kedalaman datanya tidak terbatas. Penelitian
kualitatif dinamakan pula metode postpositivistik karena berlandaskan pada
filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga metode artistik, karena
proses penelitian lebih bersifat seni, dan disebut metode interpretive karena data hasil penelitian
lebih berkenaan dengan interpretasi dengan data yang ditemukan di lapangan.
Metode ini disebut juga metode konstruktif
karena dengan metode kualitatif dapat ditemukan data-data yang
berserakan selanjutnya dikonstruksikan dalam suatu tema yang lebih bermakna dan
mudah difahami ( Sugiyono, 2013 : 17).
Filsafat postpositivisme sering
juga disebut paradigma interpretif dan konstruktif, yang memandang realitas
sosial sebagai sesuatu yang holistik/ utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan
hubungan gejala bersifat interaktif (reciprocal). Penelitian dilakukan pada obyek yang alamiah.
Obyek alamiah adalah obyek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh
peneliti dan kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika pada obyek
tersebut.
Metode penelitian kualitatif sering disebut metode
penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting), disebut sebagai metode kualitatif karena data
yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif (Sugiyono, 2013: 14). Berkenaan dengan hal
tersebut, istilah naturalistik sebagaimana yang diungkapkan oleh Arikunto
(2002; 11), bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alami, apa
adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya,
menekankan pada secara alami terkait pelaksanaan supervisi yang dilakukan oleh
kepala sekolah dan kompetensi kepribadian guru.
Menurut Bogdan and Biklen (dalam
Sugiyono, 2013: 21) penelitian kualitatif memiliki karakteristik antara lain:
(a) dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti
adalah instrument kunci, (b) bersifat deskriptif, data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar,
tidak menekankan pada angka, (c) lebih menekankan pada proses bukan produk atau
hasil, (d) analisis data dilakukan secara induktif, dan (e) lebih menekankan
makna (data dibalik yang teramati).
Menurut Creswell (1998)
terdapat alasan mengapa sesorang
melakukan penelitian kualitatif, antara lain : (1) karena hakikat dari pertanyaan penelitian
yakni dimulai dengan bagaimana atau apa, (2) karena topik tersebut perlu
dieksplorasi, (3) karena dipandang perlu menyajikan suatu pandangan yang
mendetail tentang topik tersebut, (4) karena untuk meneliti individu dalam latarnya yang alami, (5)
karena penulis berminat menulis dalam gaya sastra, dalam bentuk pemaparan ceria
narasi, (6) karena waktu dan sumber-sumber yang cukup untuk digunakan dalam
pengumpulan data, (7) karena audien menerima penelitian kualitatif, (8) untuk
menekankan peran peneliti sebagai pelajar aktif yang dapat mengisahkan cerita tentang pandangan
parrtisipan daripada sebagai seorang ahli.
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang
mengungkap suatu gejala secara holistik kontekstual yang berupa kata-kata
tertulis, atau lisan dari orang-orang, atau perilaku yang diamati dengan
konteks apa adanya. Oleh karena itu penelitian ini harus memenuhi karakteristik
penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu metode atau strategi
kualitatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Baidhowi yang dikutip oleh Agus Salim (2001: 93),
bahwa studi kasus berfungsi untuk mempelajari, menerangkan, dan
mengintepretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural
tanpa ada intetrview dari pihak luar.
Masih menurut Baidhowi yang dikutip oleh Agus Salim (2001: 93), ada
beberapa alasan yang mendasar, yaitu : (1) studi kasus dapat memberikan
informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses yang memerlukan
penjelasan dan pemahaman yang lebih luas, (2) studi kasus memberikan kesempatan
untuk memperoleh wawasan mengenai
konsep-konsep dasar perilaku manusia. Dengan melalui penyelidikan,
peneliti dapat menemukan karakteriktik atau model seseorang, dan
hubungan-hubungan yang mungkin tidak diharapkan atau diduga sebelumnya, dan (3)
studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan yang sangat berguna sebagai
dasar untuk membangun permasalahan-permasalahan bagi perencanaan penelitian
yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Berkenaan dengan hal tersebut,
dalam penelitian ini, peneliti akan mengupas secara mendalam dengan menggunakan
pendekatan kualitatif tentang program supervisi pembelajaran yang direncanakan
oleh kepala sekolah SMA 1 Patianrowo, bagaimana pelaksanaan supervisi
pembelajaran berpendekatan artistik (artiscic approach) yang dilakukan oleh
kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo sebagai seorang supervisor dan bagaimana
kompetensi kepribadian guru dengan dilaksankanannya supervisi pembelajaran
berpendekatan artistik tersebut.
B. Kehadiran Peneliti
Instrumen
utama penelitian ini adalah manusia, yaitu peneliti sendiri. Kehadiran peneliti
dalam penelitian kualitatif sangat mutlak diperlukan, sebab peneliti berkedudukan sebagai instrumen utama
atau pokok yang bertindak sebagai pengumpul data, hal ini sesuai dengan
pendapat Guba dan Lincoln dalam Lexy J. Moleong (1991; 121) mengemukakan bahwa
“peneliti adalah segalanya dari keseluruhan penelitian”, sedangkan instrument selain
peneliti yang berbentuk alat-alat bantu dan dokumen lainya, hanya berfungsi
sebagai penguat, atau instrumen pendukung.
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Nasution dalam Sugiyono (2015: 306) bahwa peneliti
bertindak sebagai instrumen kunci atau instrumen utama dalam pengumpulan data (key
instrumen). Lebih kanjut Moleong
(1999: 121) mengatakan, bahwa kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif
ini cukup rumit, sebab peneliti sekaligus merupakan perencana, pelaksana,
pengumpul data, analis data, penafsir data, dan akhirnya menjadi pelopor hasil
penelitiannya.
Di dalam pengumpulan
data, peneliti melibatkan diri dalam kehidupan subyek yang diteliti dan harus
berusaha menciptakan hubungan akrab dengan subyek yang diteliti agar data yang
diperoleh betul-betul valid. Kehadiran peneliti di tempat penelitian harus
terbuka dan menjelaskan maksud penelitian yang dilakukannya kepada subyek yang
diteliti, sehingga peneliti dapat lebih bebas bertindak untuk mencari dan
mengumpulkan data yang dibutuhkan.
Sedangkan
instrument pengumpulan data yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk
alat-alat bantu diantaranya adalah kondisi SMAN 1 Patianrowo secara keseluruhan
dan berupa dokumen-dokumen diantaranya administasi sekolah, seperti kurikulum
yang dipakai, dan data perkembangan peserta didik, program pengawasan oleh
kepala sekolah, dan capaian prestasi guru dan peserta didik beberapa tahun
terakhir.
Dokumen
ini digunakan tidak hanya untuk
menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrument
pendukung. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan
sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga
keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber
data lainnya di sini mutlak diperlukan. Peran sebagai instrumen sekaligus
pengumpul data, peneliti realisasikan dengan mendatangi SMAN 1 Patianrowo
Kabupaten Nganjuk.
C. Lokasi Penelitian
Untuk penelitian
ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di SMA Negeri 1 Patianrowo tepatnya di Desa Lestari Kecamatan
Patianrowo Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur.
Salah satu hal yang menjadi pertimbangan bagi peneliti dalam pemilihan lokasi
ini, yaitu SMAN 1 Patianrowo yang secara geografis berada di daerah pinggiran
dengan basis masyarakatnya adalah petani dan pekerja buruh pabrik, ternyata
mempunyai nama dan image yang baik bagi masyarakat setempat dan menjadi pilihan
peserta didik, terbukti dengan jumlah pendaftar peserta didik yang meningkat
dari segi kuantiatas maupun kualitasnya.
Dilihat dari
letak geografis serta latar belakang masyarakat sekitarnya, keberadaan SMAN 1
Patianrowo cukup membanggakan. Capaian prestasi baik akademik maupun non
akademik tidak kalah dengan sekolah yang lebih maju semisal SMAN 1
Tanjunganom. Selain itu penanaman
pendidikan karakter kearah penguatan keagamaan bagi peserta didik sangat besar.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan sekolah-sekolah umum lainnya.
Sehingga tidak
heran jika SMAN 1 Patianrowo tetap menjadi pilihan pendidikan bagi warga
Patianrowo dan sekitarnya. Keunggulan-keunggulan yang ditonjolkan tidak lepas
dari pengembangan potensi peserta didik serta kebutuhan dan mutu yang diharapkan
oleh masyarakat. Kedisiplinan di SMAN 1 Patianrowo juga sangat menjadi
pertimbangan bagi masyarakat untuk mempercayakan putra-putrinya belajar disana.
Oleh sebab itu peneliti ingin menggali lebih jauh tentang pelaksanaan supervise
yang tentunya berhubungan erat dengan pembelajaran yang dilakukan oleh kepala
sekolah terhadap kepribadian guru yang telah mampu mengolah dan menghasilkan
output yang cukup baik.
D. Sumber Data
Sumber data menurut Arikunto, dalam Ahmad Tanzeh dan Suyitno (2006:131), yaitu
sumber dari mana data itu diperoleh. Data-data tersebut terbagi atas dua jenis, yaitu data dari manusia dan data
non manusia.
Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bersifat natural. Nasution (1998) berpendapat
bahwa dalam penelitian naturalistik yang dijadikan sampel adalah sumber yang
dapat memberikan informasi, bisa berupa hal, peristiwa, manusia, dan situasi
yang diobservasi.
Pemahaman mengenai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting
bagi peneliti, karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan
menentukan ketepatan dan kekayaan data yang diperoleh. Data tidak akan dapat
diperoleh tanpa adanya sumber data. Beragam sumber data bisa dikelompokkan
jenisnya, mulai dari yang paling nyata, sampai yang paling samar-samar.
Konsekuensinya data yang diperoleh dari berbagai jenis data tersebut
validitasnya juga sangat beragam.
Sedangkan menurut Sugiyono (2014:
225) sumber data dapat dibagi menjadi dua yaitu sunber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data dan sumber sekunder adalah sumber yang tidak
langsung memberikan data pada pengumpul data, misalnya lewat informan pendukung
atau lewat dokumen.
Kelompok jenis sumber data secara menyeluruh dapat dikelompokkan sebagai
berikut (Sutopo, 2013: 120):
1. Narasumber (informan)
Dalam
penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting, sebagai individu yang
memiliki informasi. Peneliti dan narasumber memiliki posisi yang sama, dan
narasumber bukan sekedar memberikan
tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia lebih memilih ke arah dan
selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Dalam penelitian
kualitatif narasumber lebih tepat disebut dengan informan.
Penentuan
subyek dalam penelitian sebagai sumber data yang bersumber dari manusia dalam
penelitian kualitatif menggunakan teknik purposive sampling dan snowball
sampling (Sugiono, 2015:300). Teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data,
subyek tersebut orang yang paling tahu tentang apa yang diharapkan oleh
peneliti, dan subyek tersebut sebagai penguasa sehingga memudahkan peneliti
menjelajahi situasi sosial.
Pemilihan
atau penentuan informan dipilih secara purposive sampling dengan
kecenderungan memilih informan yang dianggap mengetahui informasi, dan masalah
yang diteliti secara mendalam, dan dapat dipercaya untuk dijadikan sumber data
yang mantap. Bahkan di dalam pelaksanaan pengumpulan data, pilihan informan
dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam memperoleh data (Patton dalam
Masykuri, 2013: 124). Kesalahan memilih informan, akan berakibat kurang
mantapnya data yang diperoleh dalam penelitian atau bahkan datanya tidak
lengkap.
Sebagai
bentuk realisasi dari teknik purposive sampling, peneliti melakukan
wawancara dengan berbagai orang yang mampu memberikan keterangan/ jawaban
terkait dengan fokus penelitian, antara lain kepala sekolah dan wakil kepala
sekolah bagian kurikulum.
Selain
purposive sampling, penelitian ini juga menggunakan teknik cuplikan yang
dinamakan dengan snowball sampling atau teknik sampling bola salju.
Menurut Sugiono (2015: 300) snowball sampling adalah teknik pengambilan
sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi
besar. Karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu belum mampu memberikan
data yang memuaskan, maka mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai
sumber data.
Hal
ini dilakukan dengan maksud untuk menggali informasi atau data dari informan
yang satu ke informan lain tanpa ditentukan terlebih dahulu, dengan menanyakan
kepada informan pertama siapa lagi yang perlu ditemui untuk mendapatkan data
lebih rinci dan lebih mendalam, demikian seterusnya berjalan tanpa rencana
sehingga ditemukan data secara lengkap dan mendalam. Proses kerja semacam ini
diibaratkan laksana bola salju kecil yang mengelinding semakin jauh menjadi
semakin padat dan besar (Tolchah, 2013: 125-126).
Realisasi dari snowball
sampling ini, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang yang
peneliti harapkan mampu memberikan informasi terkait fokus penelitian. Orang-orang yang menjadi informan
atau yang memberikan jawaban/ keterangan tersebut antara lain wakil kepala
sekolah, guru PNS dan beberapa orang
peserta didik.
2. Peristiwa
atau aktivitas
Data atau
informasi juga dapat dikumpulkan dari mengamati peristiwa atau aktivitas yang
berkaitan dengan sasaran penelitian. Dari peristiwa atau aktivitas peneliti
bisa mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti karena
menyaksikan sendiri secara langsung. Berbagai permasalahan memang memerlukan pemahaman lewat kajian terhadap
prilaku atau sikap dari para pelaku dalam aktivitas sebenarnya. Bukan hanya
lewat informasi yang diberikan seseorang atau catatan-catatan yang ada mengenai
aktivitas tertentu.
Namun
perlu difahami bahwa tidak semua peristiwa bisa diamati secara langsung,
kecuali ia merupakan aktivitas yang masih berlangsung pada saat penelitian
dilakukan. Banyak peristiwa yang hanya terjadi satu kali, atau hanya berjalan
dalam jangka waktu tertentu dan tidak terulang kembali. Dalam hal semacam ini,
kajian lewat peristiwanya secara langsung tidak bisa dilakukan (. Tholhah,
2013: 121).
Peristiwa
atau aktivitas yang diamati oleh peneliti antara lain peristiwa kegiatan
belajar mengajar yang dilakukan oleh guru selama di kelas maupun diluar kelas
yang berkenaan dengan kepribadian guru dalam berinteraksi sosial maupun dalam
memberikan keteladanan bagi peserta didik, peneliti juga mengamati peran kepala
sekolah sebagai seorang supervisor dalam memberikan pelayanan kepada guru
maupun peserta didik sehingga tercipta suasana pembelajaran yang kondusif, yang tak kalah perlu diperhatikan adalah
hal-hal atau program yang telah
dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi kepribadian guru
terkait supervisi pembelajaran.
3. Dokumen
dan Arsip
Dokumen
merupakan bahan tertulis atau benda yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau
aktivitas tertentu. Ia bisa merupakan rekaman, bukan hanya yang tertulis,
tetapi juga rupa gambar atau benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu
aktivitas atau peristiwa tetentu. Bila ia merupakan catatan rekaman yang lebih
bersifat formal dan terencana ia cenderung disebut arsip. Namun keduanya dapat
dinyatakan sebagai rekaman atau sesuatu yang
berkaitan dengan suatu peristiwa tertentu, dan dapat secara baik dimanfaatkan
sebagai sumber data dalam penelitian. (Tholchah, 2013 :122).
Banyak
peristiwa yang telah lama terjadi terjadi bisa diteliti dan difahami atas dasar kajian dari dokumen atau
arsip-arsip, baik secara langsung atau tidak sangat berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti. Oleh karena itu dokumen dan arsip sangat penting menjadi sumber
data yang penting bagi penelitian kualitatif (Tholchah, 2013: 123).
Data non
manusia bersumber dari dokumen dan arsip
sekolah antara lain profil sekolah, EDS, data guru, daftar fasilitas sekolah, program
supervisi pembelajaran kepala sekolah, rekaman gambar/ foto kegiatan
pembelajaran oleh guru, gambar/ foto pelaksanan supervisi baik di kelas maupun
diluar kelas yang dilakukan oleh kepala sekolah, foto/ gambar capaian prestasi guru/ peserta didik, foto/ gambar kegiatan
pembiasaan dan inovasi di SMAN 1 Patianrowo.
E. Prosedur
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena
tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik
pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi
standar data yang ditetapkan.
Pengumpulan
data dapat dilakukan dalam berbagai setting berbagai sumber, dan berbagai cara.
Bila dilihat dari setting-nya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural
setting). Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat
menggunakan sumber primer, dan sumber skunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan sumber sekunder merupakan
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misal lewat
orang lain atau dokumen. (Sugiyono, 2015: 308)
Selanjutnya
bila dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik
pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview
(wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi dan gabungan/ trianggulasi
(Sugiyono, 2015:309). Catherine Marshall, Gretchen B. Rossman, menyatakan bahwa
“the fundamental methods relied on by qualitative researchers for gathering
information are, participation in the setting, direct observation, in dept
interviewing, and document review”.
1. Observasi (Observation)
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang menggunakan pengamatan
terhadap obyek penelitian yang dapat dilaksanakan secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam ilmu psikologi, observasi atau disebut pula pengamatan,
meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan
seluruh indra. Jadi melakukan observasi dapat dilakukan melalui penglihatan,
penciuman, pendengaran, dan
pengecap (Arikunto, 2002: 133).
Nasution (dalam Sugiyono, 2015: 310) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar
semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya bekerja berdasarkan data, yaitu
fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.
Menurut Jahoda yang dikutip Riyanto (2007:26) mengatakan bahwa observasi
menjadi alat penyelidikan ilmiah apabila : (1) mengacu kepada tujuan-tujuan
penelitian (research) yang telah dirumuskan, (2) direncanakan secara
sistematik, (3) dicatat dan dihubungkan secara sistematik dengan proporsi yang
lebih umum, tidak hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu semata, dan (4) dapat
dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas, dan ketelitiannya
sebagaimana data ilmiah lainnya.
Marshal dalam Sugiyono (2015: 310) menyatakan “through observation, the researcher learn about
behavior and the meaning attached to those behavior”. Melalui observasi, peneliti belajar
tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut. Sanafiah Faisal dalam buku
Sugiyono juga mengkalisfikasikan observasi kedalam tiga jenis, yaitu
observasi berpartisipasi, obeservasi
terang-terangan dan tersamar, observasi yang tak berstuktur.
Manfaat observasi menurut Patton dalam Sugiyono (2015: 313) adalah: (a) peneliti akan lebih mampu memahami
konteks data dalam keseluruhan situasi, jadi akan memperoleh data yang holistik
dan menyeluruh, (b) akan diperoleh pengalaman secara langsung sehingga mampu
melakukan penemuan atau discovery, (c) dapat melihat hal-hal yang kurang atau
tidak diamati oleh orang lain, (d) dapat menemukan hal-hal yang semula tidak
terungkap oleh responden dalam wawancara, (e) dapat menemukan hal-hal yang
diluar persepsi responden, sehingga memperoleh gambaran yang lebih
komprehensif, (f) selain memperoleh data, peneliti juga memperoleh kesan-kesan
pribadi karena mengalaminya secara langsung.
Spradley dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 120)
menjabarkan ada tiga tahapan dalam observasi, yaitu (a) observasi deskripsi,
dimana peneliti masih belum memiliki kejelasan masalah yang akan diteliti, maka
peneliti melakukan penjelajahan secara umum dan
hasil observasi disimpulkan dalam keadaan belum tertata, (b) observasi terfokus,
peneliti mulai melakukan mini tour observation, yaitu observasi yang
telah dipersempit fokus pada aspek tertentu, (c) observasi terseleksi, peneliti
telah menguraikan fokus yang ditemukan sehingga datanya lebih rinci.
Observasi dalam penelitian ini, dilaksanakan dengan
cara peneliti melibatkan diri secara langsung atau berinteraksi pada kegiatan
yang dilakukan oleh subyek dalam lingkungannya, mengumpulkan data secara
sistematis dalam bentuk catatan lapangan. Misalnya untuk mengetahui program
supervisi kepala sekolah, model pendekatan supervisi pembelajaran yang
dilaksanakan oleh kepala sekolah, kepribadian guru di dalam maupun diluar
kelas, peneliti dapat melakukan pengamatan secara langsung.
Langkah-langkah observasi yang peneliti lakukan sebagaimana pendapat
Creswell dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 120) adalah sebagai berikut:
- Peneliti memilih lokasi yaitu SMAN 1 Patianrowo dan meminta ijin untuk melakukan observasi.
- Setelah di lapangan, peneliti mengidentifikasi siapa atau apa yang akan diobservasi, yang peneliti tuju terlebih dahulu adalah kepala sekolah dan wakil kepala kurikulum.
- Semula berperan sebagai pengamat, namun lama-lama melebur dalam keseharian kepala sekolah dan guru selama di sekolah. Hal ini dimaksudkan agar lebih terjalin komunikasi yang lebih efektif.
- Peneliti merancang protokol observasi dalam bentuk catatan deskriptif dan naratif tentang supervise yang dilaksanakan oleh kepala sekolah ketika mensupervisi guru di kelas.
- Merekam berbagai aspek terkait. Misalnya potret informan, setting tempat dan reaksi-reaksi pengamat.
- Selama pengamatan, mencari teman yang mampu memfasilitasi dalam proses observasi. Salah seorang teman yang peneliti akan jadikan fasilitator adalah wakil kepala bagian kurikulum.
- Setelah pengamatan, peneliti menyampaikan kepada partisian tentang manfaat data yang peneliti terima dan perlahan menarik diri seta berterima kasih pada mereka.
Unsur-unsur penting yang harus
ada dalam observasi menurut J.P. Spradley
dalam Djam’an Satori, dkk, dkk ( 2014: 111), adalah ruang (tempat),
pelaku (aktor) dan kegiatan (aktivitas). Ketiga dimensi ini dapat diperluas
sehingga apa yang diamati antara lain: (a) ruang (tempat) dalam aspek fisiknya,
(b) pelaku, yaitu semua orang yang terlibat, (c) kegiatan, (d) obyek,
benda-benda yang terdapat di tempat itu, (e) perbuatan/ tindakan-tindakan
tertentu, (f) kejadian atau peristiwa, (g) waktu, urutan kejadian, (h) tujuan,
dan (i) perasaan, emosi yang dirasakan atau dinyatakan.
Observasi yang peneliti lakukan
antara lain: (1) observasi lokasi dan kondisi
sekolah SMAN 1 Patianrowo, (2) observasi terhadap pembelajaran guru di
kelas, (3) observasi kegiatan supervisi yang dilaksanakan oleh kepala sekolah,
dan (4) observasi terhadap kompetensi kepribadian guru setelah dilaksanakannya
supervisi oleh kepala sekolah.
2. Wawancara (Interview)
Wawancara adalah sebuah dialaog yang dilakukan pewawancara untuk
memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara ini bertujuan untuk
mendapatkan dan menemukan apa yang terdapat dalam pikiran orang lain. (Djam’an Satori, dkk, 2014:130). Esterberg (2002) mendefinisikan interview sebagai
berikut “a meeting of two persons to exchange informmation and idea through
question and responses, resulting in communication and joint construction of
meaning about a particular topic”. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua
orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.
Sedangkan Sudjana masih dalam Djam’an Satori, dkk mendefinisikan
wawancara adalah proses pengumpulan data atau informasi melaui tatap muka
antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau
penjawab (interviewee). Dari beberapa pengertian wawancara tersebut dapat disimpuulkan bahwa wawancara adalah
suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari
sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab. Wawancara dalam penelitian ini
sifatnya mendalam karena ingin mengeksplor informasi secara holistic dan jelas
dari informan.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti
ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari informan
yang lebih mendalam. Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakanan
wawancara mendalam dimana peneliti terlibat secara intensif dengan setting
penelitian terutama pada keterlibatannya dalam kehidupan informan. Mc Millan
dan Schumacher dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 130) menjelaskan bahwa,
wawancara yang mendalam adalah tanya jawab yang terbuka untuk memperoleh data tentang
maksud hati partisipan- bagaiamana menggambarkan dunia mereka dan bagaimana
menjelaskan atau menyatakan perasaannya tentang kejadian-kejadian penting dalam
hidupnya.
Esterberg (2002) dalam Djam’an
Satori, dkk (2014: 133) juga mengemukakan beberapa macam wawancara/ interview,
yaitu wawancara terstruktur, semiterstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara
terstruktur digunakan bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan
pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh sebab itu peneliti harus
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah
disediakan.
Wawancara semiterstruktur termasuk dalam in-dept intterview,
dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibanding dengan wawancara
terstruktur. Tujuannya adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih
terbuka, dimana fihak yang diwawancara diminta pendapat dan ide-idenya.
Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti
tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya
berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.
Dalam wawancara itu yang penting diciptakan adalah suasana yang akrab dan
santai (Riyanto, 2007: 6). Cara ini dipergunakan untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan
wawancara dengan nara sumber atau informan.
Teknik ini mempunyai kelebihan yakni penanya bisa mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara detail (Masykuri, 2011:56). Wawancara mendalam
adalah percakapan antara dua orang dengan maksud tertentu, dalam hal ini antara
peneliti dan informan, dimana percakapan tersebut tidak sekedar menjawab pertanyaan,
melainkan suatu percakapan yang mendalam untuk mendalami pengalaman orang lain
dan makna dari pengalaman tersebut.
Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang sesuatu yang
telah terjadi pada masa lalu, sekarang serta prospek yang bisa diharapkan
terjadi di masa yang akan datang. Misalnya, bagaimana program supervisi yang
telah disusun oleh kepala sekolah, bagaimana pelaksanaan supervisi yang
dilakukan oleh kepala sekolah dan bagaimana kompetensi kepribadian guru terkait
dengan diterapkannya supervisi berpendekatan artistik oleh kepala sekolah.
Oleh karena itu sebelum dilakukan wawancara, garis-garis besar pertanyaan
harus sesuai dengan penggalian data, dan kepada siapa wawancara itu
dilaksanakan harus disiapkan terlebih dahulu. Untuk pertanyaan tidak harus
terstruktur secara tepat, guna memberikan kemungkinan pertanyaan berkembang,
dan informasi dapat diperoleh sebanyak-banyaknya. Di sela percakapan bisa
diselipkan pertanyaan pancingan (probing), dengan tujuan untuk menggali
lebih dalam lagi tentang hal-hal yang diperlukan.
Kaitannya dengan penelitian ini, maka wawancara yang peneliti gunakan
terhadap kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo, wakil kepala sekolah, guru, dan peserta
didik adalah wawancara semiterstruktur atau wawancara mendalam secara informal. Artinya tidak menggunakan
bentuk-bentuk pertanyaan secara tertulis, melainkan secara lisan. Wawancara ini
sifatnya eksploratif, terbuka, dimana antara pewawancara dengan terwawancara
terkesan santai, akan tapi tidak mengurangi dari tujuan penelitian itu sendiri.
Peneliti masih menggunakan pedoman wawancara yang sifatnya hanya sebagai guide
atau pemandu jalannya dialog saat wawancara. Peneliti mencermati, mendengarkan
dengan seksama, serta mencatat hal-hal yang disampaikan oleh informan utama dan
informan lainnya sebagaimana tersebut. Saat wawancara ini peneliti menggunakan
alat bantu berupa HP (handphone) sebagai perekam dialog, menggunakan bolpoint
serta kertas untuk mencatat informasi penting dari informan, serta menggunakan
kamera digital untuk memotret sesuatu hal yang berkaitan dengan fokus penelitian. Adapun kegiatan wawancara sudah
terjadual dengan rapi sesuai lampiran penelitian.
Jenis pertanyaan yang akan peneliti gunakan berdasarkan pendapat Patton
dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 140) antara lain berkaitan dengan:
- Pertanyaan berkaitan dengan pengalaman atau perilaku. Misalnya menanyakan pengalaman kepala sekolah dalam memecahkan persoalan dalam pembelajaran. Bagaiamana cara bapak dalam memecahkan persoalan yang berkaitan dengan pembelajaran guru dikelas?, apakah ada program supervisi yang di buat untuk mengevaluasi pembelajaran guru?dan lain sebagainya.
- Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai. Misalnya pertanyaan mengenai data yang diperoleh interviewer tentang pelaksanaan supervisi di SMAN 1 Patianrowo terhadap guru atau peserta didik.
- Pertanyaan yang berkaiatan dengan perasaan. Pertanyaan ini untuk mengetahui perasaan informan terhadap suatu hal. Mislanya menanayakan bagaiamana perasaan kepala sekolah melihat peserta didik yang tidak masuk kelas mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik.
- Pertanyaan yang berkaiatan dengan pengetahuan. Misalnya pertanyaan yang ditujukan kepada kepala sekolah terkait model supervisi yang dipakai dan langkah-langkah kepala sekolah dalam melakukan supervisi pembelajaran.
- Pertanyaan yang berkenaan dengan latar belakang. Pertanyaan ini untuk mengungkapkan ciri pribadi informan yang berkaitan dengan latar belakang keluarga, pendidikan, status social ekonomi. Misalanya berkemaan dengan latar belakang kepala sekolah dikaitkan dengan pendekatan supervisi yang diberikan kepada guru.
- Langkah-langkah yang peneliti lakukan dalam wawancara, antara lain:
- Menetapkan informan kunci, yakni bapak kepala sekolas SMAN 1 patianrowo dan wakil kepala bagian kurikulum. Serta informan pendukung yaitu wakil kepala bagian kesiswaan, wakil kepala bagian humas, guru agama, guru BK dan beberapa peserta didik.
- Membuat pedoman wawancara yang berisi pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan.
- Menguhubungi dan melakukan perjanjian kepada bapak kepala sekolah (khususnya) dan wakil kepapla bagian kurikulum untuk melakukan wawancara.
- Mengawali atau membuka alur wawancara namun tidak secara resmi.
- Melangsungkan wawancara dan mencatat pokok-pokoknya atau merekam pembicaraan.
- Mengkonfirmasikan hasil wawancara dan mengakhirinya.
- Menuangkan hasil wawancara dalam catatan lapangan.
- Mengidentifikasi hasil tindak lanjut wawancara yang telah diperoleh.
3. Dokumentasi (Documentation)
Menurut
Arikunto (2002: 206) dokumentasi berarti mengumpulkan data dengan mencatat
data-data yang sudah ada, yaitu mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda
dan lain sebagainya.
Mc Millan
dan Schumacher dalam Djam’an Satori, dkk (2014: 146) menjelaskan bahwa dokumen
merupakan rekaman kejadian masa lalu yang ditulis atau dicetak, dapat berupa
catatan anekdot, surat, buku harian dan
dokumen-dokumen lainnya.
Dapat
disimpulkan dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bias berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatn harian, sejarah kehidupan,
caretera, biografi, arsip dan lain sebagainya, Dokumen yang berbentuk lisan
misalnya, rekaman pembicaraan atau rekaman dialek suatu suku tertentu. Dokumen
yang berbentuk karya misalnya karya seni, gambar, patung, film, piagam
penghargaan, piala dan lain sebagainya.
Dokumentasi
merupakan upaya pengumpulan data dengan menyelidiki benda-benda tertulis. Oleh
karena itu, untuk menghemat dan menghindari hilangnya data yang telah
terkumpul, maka perlu dilakukan pencatatan secara lengkap, dan cepat, setiap
selesai pengumpulan data di lapangan. Pengumpulan data jenis kualitatif ini
biasanya memerlukan waktu yang panjang, dilakukan secara simultan dalam masa
yang sama antara merumuskan fokus dan mennganalisis data lapangan.
Dokumentasi
dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi dan wawancara.
Data dokumen dapat dianggap sebagai data sekunder, karena data primer adalah
data yang diperoleh dari yang pertama yaitu subyek penelitian, informan atau
partisipan (Tanzeh dan Suyitno, 2006:155). Informasi yang bisa diperoleh antara
lain dari surat resmi, catatan rapat, laporan-laporan, agenda, memorenda, buku
pembinaan, program kerja kepala sekolah, perangkat pembelajaran guru, daftar
prestasi peserta didik, laporan hasil supervisi kepala sekolah dan lain
sebagainya yang tentunya relevan dalam penelitian.
Penelitian
yang akan peneliti lakukan akan menggunakan dokumentasi yang berupa photo,
dokumen sekolah, transkrip wawancara, dokumen tentang pelaksanaan supervisi
oleh kepala sekolah. Kesemuanya ini dikumpulkan untuk dianalisis demi
kelengkapan data penelitian. Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus
dan berakhir pada saat peneliti sudah memperoleh data yang lengkap tentang
subyek yang diteliti.
Dokumentasi
yang peneliti gunakan antara lain: dokumen program supervisi kepala sekolah
selama dua tahun yaitu tahun ajaran 2014/ 2015 dan 2015/ 2016, foto/ gambar kegiatan pembelajaran guru di
kelas, foto/ gambar kegiatan supervise kepala sekolah baik di kelas maupun di
luar kelas, dokumen pembinaan kepala sekolah kepada guru, dokumen prestasi guru
dan peserta didik dan lain sebagainya.
4. Trianggulasi
Dalam teknik pengumpulan data, trianggulasi diartiakan sebagai teknik
pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan
data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan trianggulasi, maka
sebenarnya peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas data,
yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dari
berbagai sumber data (Sugiyono, 2013: 330)
Trianggulasi teknik berarti, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
yang berbeda-beda untuk mendapatkan data yang sama. Peneliti menggunakan
observasi partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi untuk sumber data yang sama (baik informan
utama atau pendukung). Sedangkan trianggulasi sumber berarti, untuk mendapatkan
data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama.
Setelah data
terkumpul maka penulis melakukan pengkodean (pembuatan kode) sebagaimana dalam
Rulam Ahmadi (2014:209) menyatakan bahwa “dalam penelitian kualitatif seorang
peneliti mengorganisasikan data mentah ke dalam kategori-kategori konseptual
dan menciptakan tema atau konsep, yang kemudian ia gunakan untuk menganalisis
data. Di samping tugas administrasi sederhana, pemberian kode kualitatif
merupakan suatu bagian integral dari analisis data”.
F. Analisis Data
Menurut Masykuri
dan Ibrahim dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif Tinjauan Teoritis dan
Praktis ed. Masykuri Bakri (2013:174) menyatakan bahwa “analisis data adalah
proses penelaahan, pengurutan, dan pengelompokkan data dengan tujuan untuk
menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya menjadi kesimpulan atau teori
sebagai temuan penelitian. Data dalam penelitian kualitatif terdiri dari
deskripsi yang rinci tentang situasi, interaksi, peristiwa, orang dan prilaku
yang diamati; atau nukilan-nukilan langsung dari seseorang tentang pengalaman,
fikiran, sikap, dan keyakinannya atau petikan-petikan dokumen, surat dan
rekaman-rekaman lainnya.
Sedangkan
menurut Seiddel (Moleong, 2006: 248) memandang bahwa analisis data kualitatif
merupakan sebuah proses yang berjalan sebagai berikut: (a) mencatat, yang
menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar datanya tetap
dapat ditelusuri, (b) mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan,
menyintesiskan, membuat ihtisar, dan membuat indeksnya, (c) berpikir, dengan
jalan agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan
hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.
Analisis data dalam penelitian
kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan dan
setelah selesai di lapangan. Dalam hal ini Nasution dalam Dja’am Satori, 2014:
215 menyatakan "analisis telah dimulai sejak merumuskan den menjelaskan
masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan
hasil penelitian". Dalam melakukan analisis data dari hasil pengumpulan
data dari lapang, peneliti menggunakan model analisis dari data kualitatif yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman.
Menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2015: 337) mengemukakan bahwa aktivitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, berlangsung secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh atau cukup. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction,
data display, dan conclusion drawing/ verification. Dan sebelum nya
dilakukan terlebih dahulu pengumpulan data.
Kegiatan analisis data sebelum
dilapangan menurut Bogdan dan Biklen dalam Maykuri (2013: 177), kegiatan-kegiatannya meliputi:
1.
Penetapan fokus
penelitian, apakah tetap sebagaimana telah direncanakan ataukah perlu diubah.
2.
Penyusunan temuan
sementara berdasarkan data yang telah terkumpul.
3.
Pembuatan rencana
pengumpulan data berikutnyaa berdasarkan temuan sebelumnya.
4.
Pengembangan
pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya
5.
Penetapan
sasaran-sasaran pengumpulan data (informarman, situasi, dan dokumen)
berikutnya.
Berdasarkan
teknik diatas, maka analisis data dalam penelitian ini adalah proses mencari,
mengatur, menyusun, memaparkan serta mendeskripsikan hasil observasi,
wawancara, dan catatan lainnya. Teknik
analisa data dalam penelitian ini menggunakan prosedur analisis kedalam tiga
langkah selama penelitian. Sedangkan analisa data selama dilapang menurut
model Milles dan Hubberman dalam Dja’am Satori, dkk (2014: 218) terdiri atas: reduction
(reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion
drawing/ verification (kesimpulan),yang dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya mencapai
jenuh.
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi
data adalah proses memilih-menyederhanakan, mengabstraksikan dan
mentransformasikan data kasar yang baru diperoleh dari lapangan. Reduksi data
dilakukan secara kontinu sesuai siklus gambar di atas selama pengumpulan data
berlangsung, kemudian dari hasil tersebut ditarik kesimpulan sementara.
Kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan diadakan reduksi melalui verifikasi data
yang ada dengan data yang lain, bahkan mencari data yang baru. Reduksi data
dimaksudkan adalah bagian dari kegiatan analisis data yang digunakan selama
pengumpulan data (Masykuri, 2013:184).
Data yang
berasal dari hasil observasi, dan wawancara tentang pendekatan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh
kepala sekolah SMAN 1 Patianrowo, dimungkinkan masih belum dapat memberikan informasi
yang lengkap dari data-data tersebut dilakukan reduksi data sebagaimana
pendapat Milles dan Hubberman (1992: 16), reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan,
perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian dan informasi data kasar yang
muncul dari catatan tertulis di lapangan. Dengan reduksi data, data yang
diperoleh akan dipilih dan diseleksi sebelum ditulis atau disajikan.
Kemudian peneliti melakukan reduksi data yang kegiatannya
mencakup unsur-unsur spesifik termasuk (1) proses pemilihan data atas dasar
tingkat relevansi dan kaitannya dengan setiap kelompok data, (2) menyusun data
dalam satuan-satuan sejenis. Pengelompokkan data dalam satuan yang sejenis ini
juga dapat diekuivalenkan sebagai kegiatan kategorisasi/variable, (3) membuat
koding data sesuai dengan kisi-kisi kerja penelitian.
Kegiatan lain yang masih termasuk dalam mereduksi data yaitu
kegiatan memfokuskan, menyederhanakan dan mentransfer dari data kasar ke
catatan lapangan. Dalam penelitian kualitatif-naturalistik, ini merupakan kegiatan
kontinyu dan oleh karena itu peneliti perlu sering memeriksa dengan cermat
hasil catatan yang diperoleh dari setiap terjadi kontak antara peneliti
dengan informan.
2. Penyajian Data (Data Display)
Langkah
selanjutnya setelah mereduksi data adalah penyajian data. Yang merupakan proses penyusunan informasi
secara sistematis dalam rangka memperoleh kesimpulan sebagai temuan penelitian.
Penyajian data dilakukan dalam rangka menyajikan hasil reduksi data secara
naratif berupa kalimat, kata-kata yang berhubungan dengan fokus penelitian,
sehingga sajian data merupakan sekumpulan informasi yang tersusun secara
sistematis yang memberikan kemungkinan untuk ditarik kesimpulan dan keputusan
dalam pengambilan tindakan.
Milles and Huberman dalam Dja’am Satori, dkk (2014: 219) menyatakan ”the
most frequent from of display data for qualitative research data in the past
has been narrative text”. Dengan demikian yang paling sering digunakan
untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan teks naratif.
Data yang
disajikan dalam penelitian ini adalah data yang sebelumnya sudah dianalisis,
tetapi analisis yang dilakukan masih berupa catatan untuk kepentingan peneliti,
sebelum disusun dalam bentuk laporan. Setiap data yang sudah direduksi dapat
disajikan untuk dianalisis atau disimpulkan, misalnya terkait dengan peran
kepala sekolah sebagai supervisor, pendekatan pelaksanaan supervisi
pembelajaran, sistem pembelajaran, kepribadian guru dan lain sebagainya.
Apabila ternyata ada yang disajikan belum dapat disimpulkan, maka data tersebut
direduksi kembali untuk diperbaiki cara penyajiannya.
3. Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi (Verification)
Penarikan
kesimpulan adalah kegiatan memberi simpulan terhadap hasil penafsiran dan
evaluasi. Kegiatan ini mencakup penarikan makna dan membberi penjelasan dari
penyajian naratif. Selanjutnya dilakukan verifikasi, yaitu menguji kebenaran,
kekokohan, dan mencocokkan makna-makna yang muncul dari data. Sejak permulaan
pengumpulan data, penarikan kesimpulan sudah dilakukan, yaitu mempertimbangkan
apa isi informasi, dan apa pula maksudnya. Kesimpulan akhir baru dapat
diperoleh pada waktu data telah terkumpul dengan cukup, yang dapat diwujudkan
sebagai gambaran sasaran penelitian.
Kesimpulan
dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum
pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang
sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi
jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.
Dalam pengambilan kesimpulan peneliti menggunakan analisis induktif dan
deduktif.
Analisis
induktif adalah cara berfikir yang
berangkat dari fakta-fakta yang khusus kemudian fakta-fakta tersebut diambil
kesimpulan secara umum (Hadi, 1993:42). Peneliti menggunakan analisis ini untuk
menarik kesimpulan umum dari data khusus yang ada di lapangan. Deduktif adalah
mengelola data dengan jalan kita berangkat dari pengetahuan atau
fakta-fakta yang bersifat umum,
kemudian mengambil uraian secara khusus. Peneliti menggunakan analisis ini
untuk menjabarkan kesimpulan dengan fenomena-fenomena khusus.
G. Pengecekan Keabsahan Temuan Data
Pengecekan atau pemeriksaan keabsahan temuan data pada penelitian
kualitatif untuk memperoleh kesimpulan naturalistik didasarkan pada
kriteria-kriteria yang dikembangkan oleh Lincoln dan Guba (1985), yaitu:
"derajat kepercayaan (credibility), keteralihan/ validitas
eksternal (transferbality), kebergantungan (dependability) dan
kepastian (confirmability).
Rulam Ahmadi
(2014:262) menyatakan bahwa “ada tiga kegiatan yang dapat dilakukan oleh
peneliti kualitatif untuk meningkatkan temuan yang dapat dipercaya akan
dihasilkan, yaitu (1) memperpanjang keterlibatan, (2) pengamatan yang cermat,
dan (3) trianggulasi”.
Untuk menjamin kepercayaan atau validitas data yang diperoleh melalui
penelitian, maka diperlukan adanya uji keabsahan dan kelayakan data yang
dilakukan dengan beberapa cara. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain:
1. Uji
Kredibilitas
Beberapa cara yang dilakukan dalam uji
kredibilitas penelitian kualitatif antara lain: perpanjangan keikutsertaan/
pengamatan, peningkatan ketekunan, trianggulasi, diskusi dengan teman sejawat,
analisi kasus negatif, member check. Naman peneliti hanya menggunakan empat dari enam
cara tersebut.
a.
Perpanjangan
Keikutsertaan. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di lapangan
penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai (Moleong, 2005:4).
Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Perpanjangan
keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data
yang dikumpulkan. Realisasi dari perpanjangan keikutsertaan peneliti di
lapangan, karena peneliti mengajar di lokasi penelitian.
b. Ketekunan
Pengamatan. Ketekunan
pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang
sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedangn dicari dan kemudian
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci (Tanzeh dan Suyitno, 2006:
162).
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat
dan berkesinambungan. Bentuk ketekunan ini, peneliti wujudkan dalam kegiatan
mencatat terhadap suatu kegiatan subyek penelitian. Selain itu, untuk
memperoleh data penelitian yang akurat serta terjamin kepercayaannya, peneliti
melakukan kegiatan wawancara mendalam, observasi partisipan, serta penelusuran
dokumen yang semuanya terjadual pada lampiran penelitian.
c.
Trianggulasi.
Trianggulasi dalam
pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai
sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Menurut Moeong (2005:330) “trianggulasi
data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”. Trianggulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan
perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi
sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian. Dengan cara ini peneliti
bisa menarik kesimpulan yang mantap tidak hanya dari satu sudut pandang saja,
sehingga bisa diterima kebenarannya.
Trianggulasi
yang digunakan peneliti pada penelitian ini adalah trianggulasi sumber/ data,
trianggulasi teknik, trianggulasi waktu. Trianggulasi sumber data yaitu mengecek derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dengan berbagai sumber yang lain.
Realisasi dari metode ini peneliti melakukan wawancara mendalam dengan berbagai
fihak, seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
Trianggulasi
teknik untuk meguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data
kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Realisasi dari hal ini
adalah peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data, misalnya data
yang diperoleh dengan wawancara kepada
kepala sekolah lalu dicek dengan observasi, dokumentasi atau kuesioner. Bila
dengan tiga teknik pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang
berbeda-beda maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber
data yang bersangkutan atau yang lain untuk
memastikan data mana yang dianggap benar.
Selanjutnya
peneliti juga menggunakan trianggulasi waktu. Menguji kredibilitas data dengan
trianggulasi waktu dilakukan dengan cara mengumpulkan data pada waktu yang
berbeda. Realisasi dari pelaksanaan ini, peneliti melakukan wawancara kepada
informan yakni kepala sekolah, wakil kepala sekolah atau informan lain dengan
mengulang atau mengeceknya diwaktu yang berbeda.
d. Dikusi
dengan Teman Sejawat
Diskusi sejawat menurut Moleong adalah teknik yang
dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang
diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat (Moleong, 2005:4).
Diskusi teman sejawat ini dilakukan dengan cara membuat data dan temuan-temuan
penelitian selama peneliti dilapangan, peneliti akan mendiskusikan kembali
tentang data yang diperoleh baik dengan guru maupun kepala sekolah. Melalui
diskusi teman sejawat ini yakni teman-teman mahapeserta didik Pasca
Supervisi Pendidikan Islam UNISMA ini
diharapkan banyak memberikan kontribusi dalam penelitian ini.
2.
Pengujian Transferability
Transferability
merupakan validitas eksternal dalam penelitian kualitatif yang dapat
menunjukkan derajad ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke
populasi dimana sampel itu diambil. Oleh karena itu, supaya orang lain dapat
memahami hasil penelitian kualitatif
tersebut, maka peneliti dalam membuat laporannya harus memberikan uraian
yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Bila pembaca memperoleh
gambaran yang sedemikian jelasnya, maka laporan tersebut memenuhi standar
transferabilitas (Sanafiah Faisal dalam Sugiyono, 2015: 377).
3.
Pengujian Dependability
Dalam
penelitian kualitatif dependability disebut juga dengan reliabilitas. Suatu
penelitian dianggap reliable adalah apabila orang lain dapat mengulangi/
mereplikasi proses penelitian tersebut. Untuk menguji reliabilitas suatu
penelitian maka perlu dilakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Pada prakteknya seorang peneliti
harus mampu memberikan data sesuai dengan keadaan di lapangan. Jika peneliti
tidak mempunyai dan tak dapat menjelaskan “jejak aktivitas lapanngannya” maka
depenabilitas (reliabilitas) penelitiannya patut untuk diraggukan (Sanafiah
Faisal dalam Sugiyono, 2015: 377).
4.
Pengujian Konfirmability
Dalam
penelitian kualitatif pengujian konfirmability disebut dengan uji obyektifitas
penelitian. Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitiannya telah
disepakati banyak orang. Dalam penelitian
kualitatif, uji konfirmability mirip dengan uji dependability sehingga
pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan.
Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan
dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari
proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi
standar konfirmability. Dalam penelitian jangan sampai proses tidak ada tapi
hasilnya ada.
Begitu
data selesai dianalisis dengan prosedur sebagaimana diuraikan diatas maka
kegiatan yang harus dilakukan adalah audit data, audit data adalah Audit hasil
analisa data merupakan upaya yang harus ditempuh dalam setiap akhir penelitian
untuk menetapkan bahwa kesimpulan yang dirumuskan betul-betul sahih berdasarkan
data yang ada (Lincoln dan Guba dalam Maskuri, 2013: 187),
Dalam
kaitannya dengan pengauditan hasil analisis data ada dua hal yang perlu dikemukakan, yaitu
auditor dan proses pengauditannya. Auditor adalah seseorang yang ditunjuk
melakukan audit terhadap suatu hasil analisis data. Dalam banyak penelitian seorang yang ditunjuk
sebagai auditor adalah konsultan/ pembimbingnya sendiri yang biasa disebut
dengan auditor internal. Sedangkan bila yang ditunjuk sebagai auditor berasal
dari luar tim proyek penelitian, maka disebut auditor eksternal.
Ada
beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam mengaudit hasil analisis data
penelitian kualitatif, yaitu:
a. Menentukan seorang, dua orang atau lebih yang dimintai kesediannya
menjadi auditor.
b. Menyiapkan berkas yang diperlukan dalam mengaudit hasil analisis data.
Yang meliputi rumusan masalah dan tujuan penelitian, metode dan prosedur
analisis penelitian, transkrip wawancara, dan lain sebagainya.
c. Menghubungi auditor untuk menyerahkan berkasnya.
d. Auditor mulai mengaudit hasil
analisi data.
H.
Tahap-tahap Penelitian
Menurut M.
Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur (2014:143-157) menyatakan bahwa tahapan-tahapan
penelitian kualitatif disesuaikan dengan kepraktisan, kemampuan peneliti, serta
mudah dipahami. Selanjutnya tahapan tersebut terdiri tahap penelitian secara
umum dan tahap penelitian secara siklus.
Tahapan secara
umum akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Tahap pra-penelitian,
antara lain (a) menyusun rancangan penelitian; (b) memilih lokasi penelitian;
(c) mengurus perijinan penelitian; (d) menjajaki dan menilai lokasi penelitian;
(e) memilih dan memanfaatkan informan; (f) menyiapkan perlengkapan penelitian;
(g) memperhatikan etika penelitian.
2. Tahap kegiatan lapangan, meliputi (a)
memahami latar penelitian dan persiapan diri; (b) penampilan peneliti; (c)
pengenalan hubungan peneliti di lapangan; (d) jumlah waktu penelitian.
3. Memasuki lokasi
penelitian, meliputi (a) keakraban hubungan; (b) mempelajari bahasa; (c)
peranan peneliti.
4. Berperan serta sambil
mengumpulkan data, meliputi (a) pengarahan batas waktu penelitian; (b) mencatat
data; (c) petunjuk tentang cara mengikat data; (d) kejenuhan, keletihan dan
istrahat; (e) meneliti suatu latar yang di dalamnya terdapat pertentangan; (f)
analisis di lapangan
Dengan merujuk
pada pendapat di atas, maka tahap-tahap yang ditempuh oleh penulis dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Tahap sebelum
kelapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan
teori, penjajakan alat peneliti mencakup observasi lapangan, permohonan ijin
kepada subyek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan
penelitian.
2.
Tahap kegiatan lapangan,
meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan penelitian dan
pengembangan yang dilakukan pengawas Pendidikan Islam dan mutu atau kualitas
pembelajaran Pendidikan Islam. Data tersebut diperoleh dengan observasi,
wawancara dan dokumentasi.
3.
Tahap analisis data,
meliputi analisis data baik yang diperolah melaui observasi, dokumen maupun
wawancara mendalam dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru maupun
peserta didik. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks
permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan data
dengan cara mengecek sumber data yang didapat dan metode perolehan data
sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan bahan untuk memberikan makna
data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks penelitian yang
sedang diteliti.
4. Tahap penulisan
laporan, meliputi: kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian
kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. Setelah itu melakukan
konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan perbaikan
saran-saran demi kesempurnaan penelitian yang kemudian ditindaklanjuti hasil
bimbingan sehingga hasilnya sempurna. Langkah terakhir melakukan pengurusan
kelengkapan persyratan untuk ujian tesis.
I.
Rencana
Jadwal Penelitian
Penelitian ini dibangun
atas perencanaan yang matang agar proses dan hasil penelitian tersebut
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Rencana dan jadwal dapat
digambarkan melalui table sebagai berikut:
Tabel: 3.1 Rencana dan Jadwal
Penelitian
No
|
Kegiatan
|
Okt
2015
|
Nop
2015
|
Des
2015
|
Jan
2016
|
Feb
2016
|
Mar
2016
|
April
2016
|
Mei
2016
|
|
1
|
Observasi
awal
|
x
|
||||||||
2
|
Pengajuan judul
|
x
|
||||||||
3
|
Perizinan
|
x
|
||||||||
4
|
Studi Kepustakaan
|
x
|
||||||||
5
|
Penyusunan Proposal
|
x
|
||||||||
6
|
Seminar Proposal
|
x
|
||||||||
7
|
Perbaikan
|
x
|
x
|
x
|
||||||
8
|
Mengumpul dan mengolah data
|
x
|
x
|
|||||||
9
|
Menyusun Tesis
|
x
|
x
|
x
|
||||||
10
|
Pembimbingan
|
X
|
x
|
x
|
x
|
|||||
10
|
Ujian Tesis
|
x
|
DAFTAR RUJUKAN
Ngalim Purwanto, 2014. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung:
Rosdakarya.
Ali Imron, 2011, Supervisi Pembelajaran Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara.
Mukhtar, dkk, 2009, Orientasi Supervisi Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada
Press.
Jasmani, dkk, 2013, Supervisi
Pendidikan Terobosan Baru Dalam Peningkatan Kinerja Pengawas Sekolah Dan Guru,
Yogjakarta: Ar Ruzz Media.
Made Pidarta, 2009, Supervisi Pendidikan Kontekstual, Jakarta: Asdi
Mahasatyta.
Barnawi, dkk, 2014, Pengawas Sekolah Upaya Upgrade Kapasitas Kerja Pengawas
Sekolah, Yogyakarta: Ar Ruz Media.
Dadang Suhardan, 2014, Supervisi Profesioanal Layanan Dalam Meningkatkan
Mutu Pengajaran Di Era Otonomi Daerah, Bandung: Alfabeta.
Musfiqon,
dkk, 2015, Menjadi Pengawas Sekolah Profesional, Sidoarjo: Nizamia learning
Center.
Pupuh
Fathurrahman, dkk, Supervisi Pendidikan Dalam Pengembangan Proses Pengajaran,
Bandung: Refika Aditama.
Jamal Ma’mur
Asmani, 2012, Tips Efektif Supervisi Pendidikan Sekolah, Jogjakarta: Diva Pess
Piet
Sahertian, 2010, Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan, Jakarta: Asdi
Mahasatya.
Syaiful
Sagala, 2009, Kemampuan Profesioanl Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung:
Alfabeta.
Uhar
Suharsaputra, 2013, Menjadi Guru Berkarakter, Bandung: Refika Aditama.
Rusdiyana,
dkk, Pendidikan Profesi Keguruan, 2015, Bandung; Pustaka Setia.
Djam’an
Satori, dkk, 2014, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.
Sugiyono,
2015, Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta
Makawimbang Jerry H. 2011. Supervisi dan Peningkatan Mutu
Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2004). Menjadi Kepala sekolah Profesional,
Bandung: Rosda Karya.
Moleong, L.J. (1994). Metodologi Penelitian
Kualitatif . Bandung: Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar
Supervisi .Jakarta : Rineka Cipta.
Bakri Masykuri. Afifulloh.M. Dwi Ari.K,
2013, Pedoman Penulisan Tesis, Malang:
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar