“Integritas dan Dikotomi
Ilmu Agama dengan
Ilmu Umum"
Oleh :
Abdulchalid
Badarudin
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Armai
Arief dalam Reformasi Pendidikan Islam (2005) mengemukakan bahwa
pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang
dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran
beragama. Secara totalitas di tengah ramainya dunia global yang sarat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam
akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan
dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami
wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sedangkan Nurman
Said dkk, dalam Sinergi Agama dan Sains (2005) berpendapat bahwa terdapat
asumsi ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai
pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau
minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan
pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil
dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi
spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan
sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan
teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk
kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang
merugikan manusia.
Dari dua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dipandang dari sisi aksiologis ilmu
dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.
Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses
pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia
seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya. Untuk mencapai
sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu
umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas
nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara
disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus
tanpa kenal henti. Bukan masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam)
menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu
kealaman dan begitu pula sebaliknya.
B.
Konteks
Pembahasan
Konteks
pembahasan makalah ini sebagai berikut :
1.
Integritas Ilmu Agama dengan Ilmu Umum
2. Dikotomi Ilmu
Agama dengan Ilmu Umum
C.
Permasalahan
Permasalahan yang penting diajukan
adalah mengapa terjadinya dikotomi terhadap integritas ilmu-ilmu agama dengan
ilmu-ilmu umum?
D.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengidentifikasi mengapa terjadinya
dikotomi terhadap integritas ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
E.
Kegunaan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai sebuah
harapan agar makalah ini kelak bisa berguna untuk orang banyak, selain itu ada
beberapa harapan penulis tentang kegunaan penulisan makalah yang membahas tentang integritas dan dikotomi ilmu agama
dengan ilmu umum. Di antaranya sebagai berikut:
1. Untuk dunia
pendidikan; semoga makalah
ini dapat memperluas pengetahuan pembaca tentang integritas dan dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum.
2. Untuk penulis; hasil
penulisan makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh
dosen kepada penulis. Selain itu penulisan makalah yang membahas tentang terjadinya dikotomi terhadap
integritas ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, juga dijadikan
penulis sebagai ajang latihan untuk membuat tulisan karya ilmiah dan juga
sekaligus untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang selama ini Allah SWT berikan kepada
penulis dengan menuliskannya melalui sebuah karya yaitu makalah.
F.
Metodologi Penulisan
Dalam penulisan
makalah ini, penulis menggunakan sumber data dari data-data kepustakaan
(penelitian literatur) yang diperoleh dari pelbagai literatur buku dan juga
sumber data dari data-data yang diambil melalui media internet.
Sedangkan dalam
metode penulisannya, penulis menggunakan berbagai metode di antaranya sebagai
berikut:
1.
Metode Induktif adalah cara
pembahasan yang dimulai dengan mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus,
kemudian dari fakta-fakta tersebut dicari generalisasinya (kesimpulan
yang bersifat umum).
2.
Metode Deduktif merupakan
kebalikan dari metode Induktif, yaitu dimulai dari mengemukakan
dalil-dalil/teori-teori yang bersifat general/umum, kemudian dilanjutkan dengan
mengemukakan faktor-faktor yang bersifat khusus.
3.
Metode Komparatif ialah cara
pembahasan dengan membandingkan beberapa sistem yang berbeda dengan mencari
persamaan dan perbedaan masing-masing aspeknya, yang kemudian dinyatakan dalam
bentuk kesimpulan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa ilmu terdiri dari ilmu
agama dan ilmu umum sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang tak kunjung
usai. Bahkan dikatakan bahwa agama itu bukan ilmu karena agama dianggap
terlepas dari wacana ilmiyah. Asumsi ini kemudian menimbulkan pemisahan lebih
jauh antara apa yang disebut dengan revealed knowledge (pengetahuan yang
bersumber dari wahyu Tuhan) dan scientific knowledge (pengetahuan yang
bersumber dari analisa pikir manusia), seperti filsafat, ilmu sosial, ilmu-ilmu
humaniora, ilmu-ilmu alam, dan ilmu eksakta. Anggapan seperti ini tentu tidak
seluruhnya benar, karena masing-masing menyisakan berbagai persoalan
metodologis dalam menemukan kebenaran sejati.
Paradigma ilmu agama dan paradigma ilmu pengetahuan itu walaupun
berbeda akan tetapi juga memiliki persamaan. Menurut baharuddin dkk, bahwa
Perbedaanyya adalah bahwa ilmu agama masih ada keterkaitan yang kuat dengan
agama sedangkan ilmu umum keterikatan itu tidak ada bahkan otonom. persamaannya
adalah ilmu agama itu sendiri pada hakikatnya adalah hasil ijtihad manusia yang
tidak terlepas dari kesalahan sebagaimana ilmu-ilmu umum juga merupakan hasil
ijtihad dan oleh sebab itu ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya adalah bersifat
relatif, dapat berubah, dapat diperdebatkan, dan tidak selamanya benar.
Al-qur’an sendiri sebenarnya tidak mengenal dikotomi. Al-qur’an
justru mengisyaratkan kaum beriman untuk bertafakkur (Ali Imran:
189-190) dan bertasyakur (al-nahl:114). Perintah memikirkan segala
ciptaan Tuhan di langit dan di bumi melalui hukum-hukumnya dalam Al-Qur’an
mengandung pengertian bahwa sains merupakan jalan untuk mendekati kebenaran
Tuhan. Sedangkan kata tasyakur, berarti memanfaatkan nikmat dan karunia
Tuhan dengan akal modern, sehingga kenikmatan itu bertambah atau mengandung barkah.
Baharuddin, dkk, berpendapat bahwa dalam istilah modern bersyukur berarti memanfaatkan
segenap kemampuan teknologi secara maksimal dan positif baik untuk pribadi
maupun masyarakat. Dan orang yang mampu menggabungkan kedua hal tersebut
disebut dengan ulu al-albab. Maka orientasi sains dan teknologi sesungguhnya
merupakan instruksi al-Qur’an bagi terbentuknya ulu al-bab, yaitu seseorang
dengan pikir dan zikirnya mampu melahirkan gagasan imajinatif bagi peradaban
manusia dan lingkungannya, di samping memberikan penekanan pada nilai dan
moral.
Oleh sebab itu Islam sebenarnya tidak hanya mengatur masalah
upacara ritual dan simbolik, Menurut Amin Abdullah, bahwa Agama dalam arti luas
adalah wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dan Tuhan,
manusia dengan sesama dan lingkungan hidup yang bersifat fisik, sosial maupun
budaya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk etika, moral,
akhlak, kebijaksanaan dan dapat pula menjadi teologi ilmu serta grand theory
ilmu. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 109:
Katakanlah:
“Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Menutu Ismail Raji Al-Faruqi mengemukakan bahwa konsep tauhid dalam
Islam tidak dipahami sebagai teo centris, yaitu mempercayai dan meyakini
adanya Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang dimilkinya serta jauh dari
sifat tidak sempurna. Tauhid sebenarnya adalah melihat antara manusia dengan
manusia lainnya, manusia dengan alam, manusia dengan ciptaan lainnya adalah
merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan
semuanya ini adalah merupakan tanda kekuasan dan kebesaran Tuhan. Orang yang
memperhatikan dirinya, alam jagad
rayadan segenap isinya akan menemukan kebenaran dan keagungan Tuhan, karena semuanya
berasal dari Tuhan, maka ia bergerak dan berjalan dengan hukum Tuhan yang sudah
pasti (sunnatullah) yang tidak berubah sepanjang zaman. Tauhid sebagai
esensi dan inti sari ajaran Islam menurut Al-Faruqi adalah merupakan pandangan
umum dari realitas. Kebenaran dan wakti, serta sejarah dan nasib manusia,
sebagai filsafat dan pandangan hidup. Tauhid memiliki implikasi bagi segala aspek
kehidupan manusia, baik dalam sejarah pengetahuan, filsafat, etika sosial umat,
keluarga, ekonomi maupun estetika. Maka dalam kerangka Tauhid ini tidak akan ditemukan
dikotomi antara ilmu dan ilmu agama, karena Tauhid menghendaki integralisme
antara berbagai ilmu pengetahuan dengan Tauhi (intisari dan esensi ajaran Islam).
Mempertegas Tauhid sebagai prinsip metodologi dan pengembangan
ilmu pengetahuan, Al-Faruqi menegaskan, bahwa sebagai penegasan dari keesaan
mutlak Tuhan, tauhid merupakan penegasan diri kesatu paduan sumber-sumber
kebenaran. Tuhan adalah pencipta alam darimana manusia memperoleh ilmu
pengetahuan. Amin Abdullah, dkk, dalam Integrasi Sains – Islam Mempertemukan
Epistemologi Islam dan Sains, bahwa objek pengetahuan adalah pola-pola alam
yang merupakan hasil karya Tuhan. Maka Tuhan mengetahui secara pasti, sebab dia
adalah penciptanya, dan secara pasti. Dia adalah sumber wahyu.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan
ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui pendekatan antologi dan epistimologi
ilmu pengetahuan. Dengan antologi dapat dijelaskan bahwa sumber-sumber
pengembangan ilmu berupa ayat-ayat Tuhan tertulis (Q auliyah) dan
ayat-ayat tidak tertulis dan ayat Tuhan yang terdapat pada manusia dan perilaku
sosial (kauniyyah). Oleh karena itu ilmu pengetahuan pada hakikatnya
berasal dari Allah, karena semua ilmu adalah hasil pengkajian terhadap ilmu.
Di dalam Islam tidak ada yang namanya batasan dalam menuntut ilmu,
selama ilmu tersebut memberikan manfaat bahkan ilmu hitam juga boleh untuk
menuntutnya untuk sekadar mengetahui. Pentingnya mempelajari ilmu-ilmu selain
ilmu Agama menurut Al-Qur’an dan sunnah bisa menurut Mehdi Golshani didasari
beberapa alasan, yaitu:
1.
Jika pengetahuan merupakan
persyaratan untuk pencapaian tujuan Islam dalam hal syariah, maka mencari ilmu
tersebut merupakan kewajiban untuk memenuhi kewajiban syariah. Misalnya,
mempelajari ilmu obat-obatan karena kesehatan merupakan hal penting dalam
Islam;
2.
Al-Qur’an menghendaki umat
Islam menjadi umat yang agung dan mulia sehingga tidak bergantung kepada orang
kafir. Oleh karena itu umat Islam harus memiliki keahlian di berbagai bidang,
sehingga memiliki spesialis hebat dan teknisi handal.
3.
Manusia telah diperintahkan
dalam al- Qur’an (QS.Qaf [50]: 6-8) untuk mempelajari sistem dan skema
penciptaan, keajaibankeajaiban alam dan sebagainya;
4.
Ilmu tentang hukum-hukum
alam, karakteristik benda-benda dan organisme dapat berguna untuk memperbaiki
kondisi hidup manusia.
B.
Dikotomi
Ilmu Agama dengan Ilmu Umum
Dalam
kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya
beriringan dengan masa renaissance di Barat. Pada mulanya kondisi
sosio-relegius maupun sosio-intelektual, dikuasai oleh gereja.
Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah.
Bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya, temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut, harus dibatalkan demi supermasi gereja. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para ilmuan yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap penemuan ilmiahnya.
Bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya, temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut, harus dibatalkan demi supermasi gereja. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para ilmuan yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap penemuan ilmiahnya.
Ajaran-ajaran
agama (dalam hal ini Kristen yang dilembagakan oleh gereja) secara konseptual
dan aplikatif dipandang sebagai hambatan yang serius bagi kreatifitas ilmuan
dan tentu juga bagi kemajuan peradaban.
Lahirnya sekulerisasi yang kemudian menimbulkan dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuan untuk berkreasi melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa dibayang-bayangi ancaman gereja. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan dialektikanya Hegel, maka gereja dianggap sebagai tesis, sedangkan sekulerisasi dianggap sebagai antitesis. Karena sekulerisasi sejak dari mulanya lahir senantiasa mengambil posisi yang berlawanan dengan pihak gereja. Selanjutnya sekulerisasi yang berimplikasi adanya dikotomi itu memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern.
Lahirnya sekulerisasi yang kemudian menimbulkan dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuan untuk berkreasi melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa dibayang-bayangi ancaman gereja. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan dialektikanya Hegel, maka gereja dianggap sebagai tesis, sedangkan sekulerisasi dianggap sebagai antitesis. Karena sekulerisasi sejak dari mulanya lahir senantiasa mengambil posisi yang berlawanan dengan pihak gereja. Selanjutnya sekulerisasi yang berimplikasi adanya dikotomi itu memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya Epistimologi
Pendidikan Islam mengutip dari Ismail Raji Al-Faruqi, bahwa Barat memisahkan
kemanusiaan (humanitas) dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan
metodologi. Menurut tradisi Barat bahwa standarisasi ilmiah, ilmu apa pun
termasuk ilmu sosial adalah adanya obyektivitas. Tidak boleh terpengaruh oleh
tradisi, idiologi, agama, maupun golongan, karena ilmu harus steril dari
pengaruh faktor-faktor tersebut. Sedangkan faktor kemanusiaan, lebih sering
menekankan pendekatan rasa manusiawi dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga
lebih mengesampingkan obyektivitas. Dalam hal ini agaknya memang sulit untuk
dikompromikan.
Dalam
dunia Islam, menurut Azyumardi Azra, dikotomi keilmuan bermula dari historical
accident atau kecelakaan sejarah, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan)
yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat
serangan yang hebat dari kaum fuqaha. Sehingga terjadi kristalisasi anggapan
bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu,
sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.
Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK).
Dalam
konteks sejarah Indonesia, dikotomi ilmu ini dimulai sejak penjajahan Belanda
yang berkepentingan untuk menjajah Indonesia lebih lama dan tanpa ada
perlawanan dari bangsa pribumi. Mereka kemudian menebarkan kesan adanya
pemisahan antara ilmu agama dan umum sehingga menjadi paradigma umum di tengah
masyarakat Indonesia: ilmu agama adalah urusan akhirat sedang ilmu umum urusan
dunia.
Sampai
saat ini pun ‘iklim’ pemisahan itu tetap terasa, dan bahkan menjadi haluan
pendidikan di negara kita. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah
Kemenag (Kementrian Agama), sedang ilmu-ilmu umum berada di bawah Kemendikbud
(Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan). Dikotomi tidak hanya pada ke mana dua
alur pendidikan ini berkiblat, tapi juga berpengaruh pada fasilitas, pengakuan,
dan anggaran dana dari APBN. Pendidikan umum ternyata lebih subur dibanding
pendidikan agama.
Sebenarnya,
belajar adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap umat
muslim, sejak dalam buaian sang ibu sampai masuk ke liang lahat. Artinya,
tuntutan belajar diberlakukan sejak manusia menghirup udara kehidupan sampai
menghembuskan nafas terakhir. Nah, dalam perintah itu tidak dikenal dikotomi
ilmu agama dan non agama bahkan hal itu tidak juga dikenal dalam dunia
peradaban Islam awal.
Dalam Al-Qur’an kita temukan informasi yang komplit dan padu, mulai dari tuntunan syariah, akhlak, sejarah peradaban, hingga ilmu alam dan sains. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11). Di samping itu, Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengamati lingkungan dan isi alam (tadabbur al-‘alam) karena di sana ada tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ali Imran (3):190-191. Sebab, hanya melalui pengamatan dan pencernaan yang mendalam terhadap apa yang diciptakannya, manusia dapat menemukan pemahaman sekaligus pencerahan diri mengenai rahasia kekuasaan sekaligus keberadaan Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an kita temukan informasi yang komplit dan padu, mulai dari tuntunan syariah, akhlak, sejarah peradaban, hingga ilmu alam dan sains. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11). Di samping itu, Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengamati lingkungan dan isi alam (tadabbur al-‘alam) karena di sana ada tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ali Imran (3):190-191. Sebab, hanya melalui pengamatan dan pencernaan yang mendalam terhadap apa yang diciptakannya, manusia dapat menemukan pemahaman sekaligus pencerahan diri mengenai rahasia kekuasaan sekaligus keberadaan Allah SWT.
Dalam
Sunah Nabi saw, kita tidak hanya disuguhi ilmu-ilmu syariat tetapi juga
informasi yang berkaitan dengan sains seperti fisika, matematika, seni,
embriologi dan astronomi. Tahapan-tahapan dan masa pertumbuhan embrio janin
dalam kandungan mulai pertemuan sperma, menjadi ‘alaqah (gumpalan
darah), kemudian mudhghah (daging) dan peniupan ruh serta penulisan
takdir kehidupan (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pemahaman
seperti itulah yang dimiliki oleh para ulama terdahulu, di masa-masa kejayaan
Islam. Mereka tidak pernah mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ibnu
Rusyd, misalnya, selain dikenal sebagai pakar fikih, juga seorang pakar
kedokteran. Ibn Nafis adalah dokter ahli mata, sekaligus pakar fikih mazhab
Syafi’i. Ibnu Khaldun, sosiolog Islam ternama, pakar sejarah, juga seorang ahli
syariah. Al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran
sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang
ditekuninya, mulai dari ilmu Fiqh, Kalam, Falsafah, hingga Tasawuf. Ibn Sina,
selain ahli dalam bidang Kedokteran, Filsafat, Psikologi, dan musik, beliau
juga seorang ulama.
Artinya,
ulama dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu sehingga mereka banyak
menguasai ilmu-ilmu selain ilmu agama. Sebab, bagi mereka semua jenis ilmu
berada dalam satu bangunan pemikiran yang bersumber dari Allah SWT. Semuanya
mengarah pada satu tujuan, yaitu mengenal dan menyembah Allah SWT sesuai dengan
kodrat diciptakannya manusia.
Namun ada beberapa
cabang ilmu yang sifatnya fardu ain dan ada yang fardu kifayah. Ilmu yang
sifatnya fardu ain, seperti ilmu Tauhid, Fikih dan sebagainya, mutlak harus
dipelajari oleh setiap muslim sebelum ia belajar ilmu-ilmu yang lain. Sedangkan
ilmu-ilmu lainnya bersifat fardu kifayah, tidak semua umat Islam harus
menguasainya karena ilmu ini hanyalah turunan dari ilmu-ilmu fardu ‘ain.
Meskipun demikian, pembagian ini tidak bisa dipahami secara dikotomis sehingga
keduanya dapat dibenturkan. Ia hanya pembagian hirarki ilmu pengetahuan
berdasarkan pada tingkat taklif, prioritas, kebutuhan dan kebenarannya.
Dengan
cara demikian, seseorang yang belajar tentang alam semesta, matetika, fisika,
seni, filsafat, bahasa, dan lainnya akan menemukan keagungan Allah SWT, tidak
justru menjadi sekuler dan liberal, apalagi ateis. Konsep seperti inilah yang
ditawarkan oleh az-Zaranji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim yang harus
mendahulukan ilmul-hâl, ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan seseorang.
Hal
tersebut adalah bukti nyata bahwa Islam sangat mengapresiasi segala ilmu
pengetahuan, dan tidak pernah ada pemisahan ilmu, karena semuanya adalah padu
yang datangnya dari Allah. Jika kemudian ada pemisahan ilmu maka hal itu lebih
karena konsentrasi umat Islam yang tergiring ke dalam pembelajaran syariah saja
sehingga ilmu-ilmu di luar syariah kalau tidak kita katakan juga bagian dari
syariah justru dikembangkan oleh orang-orang di luar Islam.
Sentimen
ilmu pun terjadi, umat Islam enggan mempelajari seperti ilmu embriologi, seni dan
lain sebagainya karena dianggapnya ilmu di luar Islam. Bahkan, umat Islam
sendiri sepertinya tabu mempelajarinya karena dianggapnya bukan ilmu akhirat.
Padahal, ilmu-ilmu tersebut juga merupakan bagian integral dari keilmuan Islam
yang juga penting dipelajari, meskipun secara nyata tidak berkaitan dengan
hukum-hukum syariah semisal shalat yang harus dijalankan setiap waktu.
Saat ini
yang kita perlukan adalah reformasi pendidikan untuk menyingkirkan dikotomi
ilmu dan menyeimbangkan ilmu agama dan umum. Jaminannya, agar generasi penerus
memiliki pondasi keimanan yang kuat serta mempunyai kemampuan akademis yang
memadai sehingga mampu bersaing dalam dunia global. Pun kita akan temukan
keterpaduan antara dua keinginan yang disematkan dalam doa kita setiap hari,
“Rabbanâ atinâ fid-dun’yâ hasanah wa fil-âkhirati hasanah”.
Bagi dunia
Islam dikotomi ilmu menimbulkan masalah. Pandangan dikotomi dapat mengancam
realisasi Islam dalam ke hidupan pribadi dan bermasyarakat, bahkan
dikhawatirkan mendistorsi syari’ah. Akibat dikotomi ilmu, maka ilmu fisikan,
matematika, seni, humaniora, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bebas
nilai. Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dan tanpa nilai
kemanusiaan.
Kelompok
yang paling dirugikan dari propaganda dikotomi ilmu adalah kelompok-kelompok
yang memiliki ikatan moral dengan ajaran agama, terutama masyarakat Islam.
Ketika mengikuti arus perkembangan sains modern dari Barat, mereka secara sadar
maupun “terpaksa” harus menggantikan nilai-nilai religius dengan nilai-nilai
sekular yang kontras. Selama ini agama Islam dipedomani sebagai juklak dalam
menempuh kehidupan sehari-hari., termasuk dalam bangunan ilmu pengetahuan dan
unsur-unsur lain yang terkait. Namun kenyataannya, masyarakat Muslim seolah
dipaksa untuk melaksanakan sekularisme yang semakin menjauhi nilai-nilai
Islam.
Upaya
Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang
didasarkan pada ideologi sekular. Yaitu menggeser dan menggantinya dengan
pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam, manakala mentelaah dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan
berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all
true knowledge is from Allah). Dalam pengertian yang lain, M. Amir Ali juga
menggunakan istilah all correct theories are from Allah and false theories
are from men themselves or inspired by Satan membangun format keilmuan (body
knowledge) yang bersifat inegratif yang tidak membedakan ilmu umum dan
ilmu agama dapat dilakukan dengan cara menempatkan al-Quran dan al-Hadist bukan
sebagai petunjuk ritual dan spiritual belaka, melainkan memuat aspek-aspek
kehidupan yang bersifat global.
Struktur
keilmuan dikotomik yang seharusnya di rubah adalah tidak memisahkan cabang ilmu
agama dengan cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis.
Sturktur bangunan keilmuan yang integrative adalah antara kajian yang bersumber
dari ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran-hadist) dan ayat-ayat kauniyah (hasil
observasi, Eksperimen dan penalaran logis). Dalam teori ilmu (theory of
knowledge), suatu pembagian yang amat populer untuk memahami ilmu adalah
pembagian menjadi bidang bahasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Integrasi
keilmuan dalam kontek Perguruan Tinggi Islam dapat dilakuk dengan cara membuka
prodi atau jurusan keilmuan yang mengintegrasi ilmu agama dan ilmu umum. Untuk
mencapai tingkat integrasi epistemologis ilmu agama dan ilmu umum menurut
Kartanegara (2005) integrasi harus dilakukan pada level : integrasi ontologis,
integrasi klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis. Saat ini sedang dalam
proses Islamisasi sekaligus integrasi ilmu pengetahuan, seperti politik Islam,
kedokteraan Islam, Seni Islam, psikologi Islam, dan ekonomi Islam.
Dikotomi
ilmu yang terjadi di Indonesia menyebabkan sekularisasi dan eksklusifisasi
ilmu, sehingga melahiran generasi yang berada dalam dua kutub yang berbeda,
yaitu keagamaan dan umum, duniawi dan ukhrawi. Padahal sejatinya antara ilmu
agama dan non agama bersatu padu dalam membentuk karakter umat manusia. Akibat
adanya dikotomi ilmu maka sistem pendidikan yang berbasis ilmu sains kering
akan nilai-nilai agama sehingga menyebabkan degradasi moral pada generasi
bangsa, demikian juga pendidikan agama menjadi kering dari ilmu pengetahuan
yang empirik.
BAB III
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
1.
Setelah
umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, pihak Barat memanfaatkan
kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari
Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum
(sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran,
yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
2.
Munculnya
sekularisasi ilmu pengetahuan, namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat
tantangan dari kaum Gereja. Bahkan siapa saja yang dianggap pahlawan sekularisasi
ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan
pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja.
3.
Pemberian
hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja
menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin
agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga
semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun
menuju ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis
membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak
relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan
disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di
alam ini tidak ada yang sakral).
- Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
- Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan
bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Banyak
cendekiawan muslim yang berpendapat seperti ini bahwa ilmu itu hanya pengetahuan
yang berasal dari nabi saja, ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia,
biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa
rujukan kepada Allah swt dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi
agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka
mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif,
progresif, dan rasionalis.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan
rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang
berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan
transsendental semua ilmu pengetahuan.
B.
Saran
Setelah penulis menguraikan makalah ini maka timbul
keinginan dari penulis untuk setidaknya memberikan saran yang semoga bermanfaat
dan sekaligus untuk mengingatkan orang lain pada umumnya, dan khususnya bagi
diri penulis sendiri. Saran penulis di antaranya sebagai berikut:
1. Allah
SWT telah memberikan kita pilihan, bahkan pilihan untuk beriman atau ingkar
kepada-Nya, dan apapun pilihan yang akhirnya kita pilih, kita harus bertanggung
jawab terhadapnya, dalam arti menanggung segala konsekuensinya. Termasuk
konsekuensinya terhadap pandangan dunia dan keilmuan kita.
2. Begitu
lekatnya pengertian sains sekarang ini dalam pikiran kita sehingga kita sering
bertanya-tanya mungkinkah kedua macam ilmu tersebut dapat diintegrasikan? Tentu
saja pertanyaan ini harus mendapatkan jawaban yang memadai mengingat pentingnya
peran reintegrasi ilmu pengetahuan bagi perkembangan pendidikan dinegeri
tercinta ini. Ini merupakan tugas kita sebagai bagian dari masyarakat intelek.
3. Salah satu dampak
sekularisme adalah pemisahan (dikotomi) ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.
Barat, sebagai penganut paham sekular hanya membatasi keilmuannya (sains
modern) pada hal-hal yang bisa dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat
empiris. Sehingga, konsekuensi dari pembatasan ini akan menimbulkan dikotomi
pada semua sisi keilmuan. Dari kesenjangan paham inilah yang menjadi tugas
kita sebagai mahasiswa pascasarjana untuk menuangkan kritik ilmiah dengan kajian
yang mendalam, melalui upaya demonstratif untuk memadukan /mengintegrasi ilmu
umum (sekular) dan ilmu agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I,
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
_______, 2007. Islamic Stadies
dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Cet I;
Yogyakarta: Penerbit SUKA Press.
_______, 2007. Integrasi
Sains – Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. Yogyakarta: Penerbit SUKA Press.
Arief, Armai. 2005. Reformasi
Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press.
Azyumardi Azra, 2005. Reintegrasi
Ilmu-ilmu dalam Islam. Bandung: Mizan, h. 206- 211.
Baharuddin, dkk, 2005. Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi,
Bandung: Mizan.
Departemen Agama RI. 1418 H. Alquran
dan Terjemahnya, (Madinah Al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibaat
al-Mushhaf al-Syarief.
Kartanegara, 2005. Ilmu dalam
Perspektif Moral, Sosial dan Politik. Jakarta: Gramedia, h. 3.
M. Amir Ali, 2009, Islam Sebagai
Ilmu, (Cet. II, Jakarta: Penerbit: Teraju), h.25-26.
Menutu Ismail Raji Al-Faruqi. 1989. Pendidikan Dalam Alquran,
Semarang: Penerbit CV. Wicaksana.
Mehdi Golshani, 2005. Islam
Sebagai Ilmu, Cet. II, Jakarta; Penerbit:
Teraju.
Mujamil Qomar. 2005. Epistimologi Pendidikan Islam. Bandung:
Mizan.
Nurman Said, Wahyuddin Halim,
Muhammad Sabri. 2005. Sinergi Agama dan Sains, (ed) (Cet I; Makassar:
Alauddin Press), h. xxxvi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar