Rabu, 06 April 2016

Integritas dan Dikotomi Ilmu Agama dengan Ilmu Umum



“Integritas dan Dikotomi
Ilmu Agama dengan Ilmu Umum"

Oleh :
Abdulchalid Badarudin
  PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM MALANG




BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Armai Arief dalam Reformasi Pendidikan Islam (2005) mengemukakan bahwa pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas di tengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sedangkan Nurman Said dkk, dalam Sinergi Agama dan Sains (2005) berpendapat bahwa terdapat asumsi ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.
Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya. Untuk mencapai sasaran tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Bukan masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.

B.      Konteks Pembahasan
Konteks pembahasan makalah ini sebagai berikut :
1.      Integritas Ilmu Agama dengan Ilmu Umum
2.      Dikotomi Ilmu Agama dengan Ilmu Umum

C.    Permasalahan
Permasalahan yang penting diajukan adalah mengapa terjadinya dikotomi terhadap integritas ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum?

D.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengidentifikasi mengapa terjadinya dikotomi terhadap integritas ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum.

E.      Kegunaan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai sebuah harapan agar makalah ini kelak bisa berguna untuk orang banyak, selain itu ada beberapa harapan penulis tentang kegunaan penulisan makalah yang membahas tentang integritas dan dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum. Di antaranya sebagai berikut:
1.     Untuk dunia pendidikan; semoga makalah ini dapat memperluas pengetahuan pembaca tentang integritas dan dikotomi ilmu agama dengan ilmu umum.
2.     Untuk penulis; hasil penulisan makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen kepada penulis. Selain itu penulisan makalah yang membahas tentang terjadinya dikotomi terhadap integritas ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, juga dijadikan penulis sebagai ajang latihan untuk membuat tulisan karya ilmiah dan juga sekaligus untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang selama ini Allah SWT berikan kepada penulis dengan menuliskannya melalui sebuah karya yaitu makalah.

F.       Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sumber data dari data-data kepustakaan (penelitian literatur) yang diperoleh dari pelbagai literatur buku dan juga sumber data dari data-data yang diambil melalui media internet.
Sedangkan dalam metode penulisannya, penulis menggunakan berbagai metode di antaranya sebagai berikut:
1.         Metode Induktif adalah cara pembahasan yang dimulai dengan mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dari fakta-fakta tersebut dicari generalisasinya (kesimpulan yang bersifat umum).
2.         Metode Deduktif merupakan kebalikan dari metode Induktif, yaitu dimulai dari mengemukakan dalil-dalil/teori-teori yang bersifat general/umum, kemudian dilanjutkan dengan mengemukakan faktor-faktor yang bersifat khusus.
3.         Metode Komparatif ialah cara pembahasan dengan membandingkan beberapa sistem yang berbeda dengan mencari persamaan dan perbedaan masing-masing aspeknya, yang kemudian dinyatakan dalam bentuk kesimpulan.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum

Adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa ilmu terdiri dari ilmu agama dan ilmu umum sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Bahkan dikatakan bahwa agama itu bukan ilmu karena agama dianggap terlepas dari wacana ilmiyah. Asumsi ini kemudian menimbulkan pemisahan lebih jauh antara apa yang disebut dengan revealed knowledge (pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan) dan scientific knowledge (pengetahuan yang bersumber dari analisa pikir manusia), seperti filsafat, ilmu sosial, ilmu-ilmu humaniora, ilmu-ilmu alam, dan ilmu eksakta. Anggapan seperti ini tentu tidak seluruhnya benar, karena masing-masing menyisakan berbagai persoalan metodologis dalam menemukan kebenaran sejati.
Paradigma ilmu agama dan paradigma ilmu pengetahuan itu walaupun berbeda akan tetapi juga memiliki persamaan. Menurut baharuddin dkk, bahwa Perbedaanyya adalah bahwa ilmu agama masih ada keterkaitan yang kuat dengan agama sedangkan ilmu umum keterikatan itu tidak ada bahkan otonom. persamaannya adalah ilmu agama itu sendiri pada hakikatnya adalah hasil ijtihad manusia yang tidak terlepas dari kesalahan sebagaimana ilmu-ilmu umum juga merupakan hasil ijtihad dan oleh sebab itu ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya adalah bersifat relatif, dapat berubah, dapat diperdebatkan, dan tidak selamanya benar.
Al-qur’an sendiri sebenarnya tidak mengenal dikotomi. Al-qur’an justru mengisyaratkan kaum beriman untuk bertafakkur (Ali Imran: 189-190) dan bertasyakur (al-nahl:114). Perintah memikirkan segala ciptaan Tuhan di langit dan di bumi melalui hukum-hukumnya dalam Al-Qur’an mengandung pengertian bahwa sains merupakan jalan untuk mendekati kebenaran Tuhan. Sedangkan kata tasyakur, berarti memanfaatkan nikmat dan karunia Tuhan dengan akal modern, sehingga kenikmatan itu bertambah atau mengandung barkah. Baharuddin, dkk, berpendapat bahwa dalam istilah modern bersyukur berarti memanfaatkan segenap kemampuan teknologi secara maksimal dan positif baik untuk pribadi maupun masyarakat. Dan orang yang mampu menggabungkan kedua hal tersebut disebut dengan ulu al-albab. Maka orientasi sains dan teknologi sesungguhnya merupakan instruksi al-Qur’an bagi terbentuknya ulu al-bab, yaitu seseorang dengan pikir dan zikirnya mampu melahirkan gagasan imajinatif bagi peradaban manusia dan lingkungannya, di samping memberikan penekanan pada nilai dan moral.
Oleh sebab itu Islam sebenarnya tidak hanya mengatur masalah upacara ritual dan simbolik, Menurut Amin Abdullah, bahwa Agama dalam arti luas adalah wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dan Tuhan, manusia dengan sesama dan lingkungan hidup yang bersifat fisik, sosial maupun budaya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat pula menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 109:
Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Menutu Ismail Raji Al-Faruqi mengemukakan bahwa konsep tauhid dalam Islam tidak dipahami sebagai teo centris, yaitu mempercayai dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang dimilkinya serta jauh dari sifat tidak sempurna. Tauhid sebenarnya adalah melihat antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, manusia dengan ciptaan lainnya adalah merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan semuanya ini adalah merupakan tanda kekuasan dan kebesaran Tuhan. Orang yang memperhatikan dirinya, alam  jagad rayadan segenap isinya akan menemukan kebenaran dan keagungan Tuhan, karena semuanya berasal dari Tuhan, maka ia bergerak dan berjalan dengan hukum Tuhan yang sudah pasti (sunnatullah) yang tidak berubah sepanjang zaman. Tauhid sebagai esensi dan inti sari ajaran Islam menurut Al-Faruqi adalah merupakan pandangan umum dari realitas. Kebenaran dan wakti, serta sejarah dan nasib manusia, sebagai filsafat dan pandangan hidup. Tauhid memiliki implikasi bagi segala aspek kehidupan manusia, baik dalam sejarah pengetahuan, filsafat, etika sosial umat, keluarga, ekonomi maupun estetika. Maka dalam kerangka Tauhid ini tidak akan ditemukan dikotomi antara ilmu dan ilmu agama, karena Tauhid menghendaki integralisme antara berbagai ilmu pengetahuan dengan Tauhi (intisari dan esensi ajaran Islam).
Mempertegas Tauhid sebagai prinsip metodologi dan pengembangan ilmu pengetahuan, Al-Faruqi menegaskan, bahwa sebagai penegasan dari keesaan mutlak Tuhan, tauhid merupakan penegasan diri kesatu paduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan adalah pencipta alam darimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan. Amin Abdullah, dkk, dalam Integrasi Sains – Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains, bahwa objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. Maka Tuhan mengetahui secara pasti, sebab dia adalah penciptanya, dan secara pasti. Dia adalah sumber wahyu.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui pendekatan antologi dan epistimologi ilmu pengetahuan. Dengan antologi dapat dijelaskan bahwa sumber-sumber pengembangan ilmu berupa ayat-ayat Tuhan tertulis (Q auliyah) dan ayat-ayat tidak tertulis dan ayat Tuhan yang terdapat pada manusia dan perilaku sosial (kauniyyah). Oleh karena itu ilmu pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Allah, karena semua ilmu adalah hasil pengkajian terhadap ilmu.
Di dalam Islam tidak ada yang namanya batasan dalam menuntut ilmu, selama ilmu tersebut memberikan manfaat bahkan ilmu hitam juga boleh untuk menuntutnya untuk sekadar mengetahui. Pentingnya mempelajari ilmu-ilmu selain ilmu Agama menurut Al-Qur’an dan sunnah bisa menurut Mehdi Golshani didasari beberapa alasan, yaitu:
1.      Jika pengetahuan merupakan persyaratan untuk pencapaian tujuan Islam dalam hal syariah, maka mencari ilmu tersebut merupakan kewajiban untuk memenuhi kewajiban syariah. Misalnya, mempelajari ilmu obat-obatan karena kesehatan merupakan hal penting dalam Islam;
2.      Al-Qur’an menghendaki umat Islam menjadi umat yang agung dan mulia sehingga tidak bergantung kepada orang kafir. Oleh karena itu umat Islam harus memiliki keahlian di berbagai bidang, sehingga memiliki spesialis hebat dan teknisi handal.
3.      Manusia telah diperintahkan dalam al- Qur’an (QS.Qaf [50]: 6-8) untuk mempelajari sistem dan skema penciptaan, keajaibankeajaiban alam dan sebagainya;
4.      Ilmu tentang hukum-hukum alam, karakteristik benda-benda dan organisme dapat berguna untuk memperbaiki kondisi hidup manusia.

B.     Dikotomi Ilmu Agama dengan Ilmu Umum
Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Pada mulanya kondisi sosio-relegius maupun sosio-intelektual, dikuasai oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah.
Bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya, temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut, harus dibatalkan demi supermasi gereja. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para ilmuan yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap penemuan ilmiahnya.
Ajaran-ajaran agama (dalam hal ini Kristen yang dilembagakan oleh gereja) secara konseptual dan aplikatif dipandang sebagai hambatan yang serius bagi kreatifitas ilmuan dan tentu juga bagi kemajuan peradaban.
Lahirnya sekulerisasi yang kemudian menimbulkan dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuan untuk berkreasi melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa dibayang-bayangi ancaman gereja. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan dialektikanya Hegel, maka gereja dianggap sebagai tesis, sedangkan sekulerisasi dianggap sebagai antitesis. Karena sekulerisasi sejak dari mulanya lahir senantiasa mengambil posisi yang berlawanan dengan pihak gereja. Selanjutnya sekulerisasi yang berimplikasi adanya dikotomi itu memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern.
Dalam perkembangan selanjutnya, Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya Epistimologi Pendidikan Islam mengutip dari Ismail Raji Al-Faruqi, bahwa Barat memisahkan kemanusiaan (humanitas) dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan metodologi. Menurut tradisi Barat bahwa standarisasi ilmiah, ilmu apa pun termasuk ilmu sosial adalah adanya obyektivitas. Tidak boleh terpengaruh oleh tradisi, idiologi, agama, maupun golongan, karena ilmu harus steril dari pengaruh faktor-faktor tersebut. Sedangkan faktor kemanusiaan, lebih sering menekankan pendekatan rasa manusiawi dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga lebih mengesampingkan obyektivitas. Dalam hal ini agaknya memang sulit untuk dikompromikan.
Dalam dunia Islam, menurut Azyumardi Azra, dikotomi keilmuan bermula dari historical accident atau kecelakaan sejarah, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha. Sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK).
Dalam konteks sejarah Indonesia, dikotomi ilmu ini dimulai sejak penjajahan Belanda yang berkepentingan untuk menjajah Indonesia lebih lama dan tanpa ada perlawanan dari bangsa pribumi. Mereka kemudian menebarkan kesan adanya pemisahan antara ilmu agama dan umum sehingga menjadi paradigma umum di tengah masyarakat Indonesia: ilmu agama adalah urusan akhirat sedang ilmu umum urusan dunia. 
Sampai saat ini pun ‘iklim’ pemisahan itu tetap terasa, dan bahkan menjadi haluan pendidikan di negara kita. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Kemenag (Kementrian Agama), sedang ilmu-ilmu umum berada di bawah Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan). Dikotomi tidak hanya pada ke mana dua alur pendidikan ini berkiblat, tapi juga berpengaruh pada fasilitas, pengakuan, dan anggaran dana dari APBN. Pendidikan umum ternyata lebih subur dibanding pendidikan agama.
Sebenarnya, belajar adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap umat muslim, sejak dalam buaian sang ibu sampai masuk ke liang lahat. Artinya, tuntutan belajar diberlakukan sejak manusia menghirup udara kehidupan sampai menghembuskan nafas terakhir. Nah, dalam perintah itu tidak dikenal dikotomi ilmu agama dan non agama bahkan hal itu tidak juga dikenal dalam dunia peradaban Islam awal.
Dalam Al-Qur’an kita temukan informasi yang komplit dan padu, mulai dari tuntunan syariah, akhlak, sejarah peradaban, hingga ilmu alam dan sains. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11). Di samping itu, Allah SWT memerintahkan manusia untuk mengamati lingkungan dan isi alam (tadabbur al-‘alam) karena di sana ada tanda-tanda kekuasaan Allah (QS. Ali Imran (3):190-191. Sebab, hanya melalui pengamatan dan pencernaan yang mendalam terhadap apa yang diciptakannya, manusia dapat menemukan pemahaman sekaligus pencerahan diri mengenai rahasia kekuasaan sekaligus keberadaan Allah SWT.
Dalam Sunah Nabi saw, kita tidak hanya disuguhi ilmu-ilmu syariat tetapi juga informasi yang berkaitan dengan sains seperti fisika, matematika, seni, embriologi dan astronomi. Tahapan-tahapan dan masa pertumbuhan embrio janin dalam kandungan mulai pertemuan sperma, menjadi ‘alaqah (gumpalan darah), kemudian mudhghah (daging) dan peniupan ruh serta penulisan takdir kehidupan (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pemahaman seperti itulah yang dimiliki oleh para ulama terdahulu, di masa-masa kejayaan Islam. Mereka tidak pernah mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Ibnu Rusyd, misalnya, selain dikenal sebagai pakar fikih, juga seorang pakar kedokteran. Ibn Nafis adalah dokter ahli mata, sekaligus pakar fikih mazhab Syafi’i. Ibnu Khaldun, sosiolog Islam ternama, pakar sejarah, juga seorang ahli syariah. Al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang ditekuninya, mulai dari ilmu Fiqh, Kalam, Falsafah, hingga Tasawuf. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang Kedokteran, Filsafat, Psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama.
Artinya, ulama dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu sehingga mereka banyak menguasai ilmu-ilmu selain ilmu agama. Sebab, bagi mereka semua jenis ilmu berada dalam satu bangunan pemikiran yang bersumber dari Allah SWT. Semuanya mengarah pada satu tujuan, yaitu mengenal dan menyembah Allah SWT sesuai dengan kodrat diciptakannya manusia.
Namun ada beberapa cabang ilmu yang sifatnya fardu ain dan ada yang fardu kifayah. Ilmu yang sifatnya fardu ain, seperti ilmu Tauhid, Fikih dan sebagainya, mutlak harus dipelajari oleh setiap muslim sebelum ia belajar ilmu-ilmu yang lain. Sedangkan ilmu-ilmu lainnya bersifat fardu kifayah, tidak semua umat Islam harus menguasainya karena ilmu ini hanyalah turunan dari ilmu-ilmu fardu ‘ain. Meskipun demikian, pembagian ini tidak bisa dipahami secara dikotomis sehingga keduanya dapat dibenturkan. Ia hanya pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan pada tingkat taklif, prioritas, kebutuhan dan kebenarannya. 
Dengan cara demikian, seseorang yang belajar tentang alam semesta, matetika, fisika, seni, filsafat, bahasa, dan lainnya akan menemukan keagungan Allah SWT, tidak justru menjadi sekuler dan liberal, apalagi ateis. Konsep seperti inilah yang ditawarkan oleh az-Zaranji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim yang harus mendahulukan ilmul-hâl, ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan seseorang.
Hal tersebut adalah bukti nyata bahwa Islam sangat mengapresiasi segala ilmu pengetahuan, dan tidak pernah ada pemisahan ilmu, karena semuanya adalah padu yang datangnya dari Allah. Jika kemudian ada pemisahan ilmu maka hal itu lebih karena konsentrasi umat Islam yang tergiring ke dalam pembelajaran syariah saja sehingga ilmu-ilmu di luar syariah kalau tidak kita katakan juga bagian dari syariah justru dikembangkan oleh orang-orang di luar Islam.
Sentimen ilmu pun terjadi, umat Islam enggan mempelajari seperti ilmu embriologi, seni dan lain sebagainya karena dianggapnya ilmu di luar Islam. Bahkan, umat Islam sendiri sepertinya tabu mempelajarinya karena dianggapnya bukan ilmu akhirat. Padahal, ilmu-ilmu tersebut juga merupakan bagian integral dari keilmuan Islam yang juga penting dipelajari, meskipun secara nyata tidak berkaitan dengan hukum-hukum syariah semisal shalat yang harus dijalankan setiap waktu.
Saat ini yang kita perlukan adalah reformasi pendidikan untuk menyingkirkan dikotomi ilmu dan menyeimbangkan ilmu agama dan umum. Jaminannya, agar generasi penerus memiliki pondasi keimanan yang kuat serta mempunyai kemampuan akademis yang memadai sehingga mampu bersaing dalam dunia global.  Pun kita akan temukan keterpaduan antara dua keinginan yang disematkan dalam doa kita setiap hari, “Rabbanâ atinâ fid-dun’yâ hasanah wa fil-âkhirati hasanah”.
Bagi dunia Islam dikotomi ilmu menimbulkan masalah. Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi Islam dalam ke hidupan pribadi dan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistorsi syari’ah. Akibat dikotomi ilmu, maka ilmu fisikan, matematika, seni, humaniora, ilmu pengetahuan dan teknologi  menjadi bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dan tanpa nilai kemanusiaan.
Kelompok yang paling dirugikan dari propaganda dikotomi ilmu adalah kelompok-kelompok yang memiliki ikatan moral dengan ajaran agama, terutama masyarakat Islam. Ketika mengikuti arus perkembangan sains modern dari Barat, mereka secara sadar maupun “terpaksa” harus menggantikan nilai-nilai religius dengan nilai-nilai sekular yang kontras. Selama ini agama Islam dipedomani sebagai juklak dalam menempuh kehidupan sehari-hari., termasuk dalam bangunan ilmu pengetahuan dan unsur-unsur lain yang terkait. Namun kenyataannya, masyarakat Muslim seolah dipaksa untuk melaksanakan sekularisme  yang semakin menjauhi nilai-nilai Islam.
Upaya Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekular. Yaitu menggeser dan menggantinya dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam, manakala mentelaah dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah). Dalam pengertian yang lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah all correct theories are from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan membangun format keilmuan (body knowledge) yang bersifat inegratif yang tidak membedakan ilmu umum dan ilmu agama dapat dilakukan dengan cara menempatkan al-Quran dan al-Hadist bukan sebagai petunjuk ritual dan spiritual belaka, melainkan memuat aspek-aspek kehidupan yang bersifat global.
Struktur keilmuan dikotomik yang seharusnya di rubah adalah tidak memisahkan cabang ilmu agama dengan cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis.  Sturktur bangunan keilmuan yang integrative adalah antara kajian yang bersumber dari ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran-hadist) dan ayat-ayat kauniyah (hasil observasi, Eksperimen dan penalaran logis). Dalam teori ilmu (theory of knowledge), suatu pembagian yang amat populer untuk memahami ilmu adalah pembagian menjadi bidang bahasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 
Integrasi keilmuan dalam kontek Perguruan Tinggi Islam dapat dilakuk dengan cara membuka prodi atau jurusan keilmuan yang mengintegrasi ilmu agama dan ilmu umum. Untuk mencapai tingkat integrasi epistemologis ilmu agama dan ilmu umum menurut Kartanegara (2005) integrasi harus dilakukan pada level : integrasi ontologis, integrasi klasifikasi ilmu dan integrasi metodologis. Saat ini sedang dalam proses Islamisasi sekaligus integrasi ilmu pengetahuan, seperti politik Islam, kedokteraan Islam, Seni Islam, psikologi Islam, dan ekonomi Islam.
Dikotomi ilmu yang terjadi di Indonesia menyebabkan sekularisasi dan eksklusifisasi ilmu, sehingga melahiran generasi yang berada dalam dua kutub yang berbeda, yaitu keagamaan dan umum, duniawi dan ukhrawi. Padahal sejatinya antara ilmu agama dan non agama bersatu padu dalam membentuk karakter umat manusia. Akibat adanya dikotomi ilmu maka sistem pendidikan yang berbasis ilmu sains kering akan nilai-nilai agama sehingga menyebabkan degradasi moral pada generasi bangsa, demikian juga pendidikan agama menjadi kering dari ilmu pengetahuan yang empirik.























BAB III
P E N U T U P


A.    KESIMPULAN
1.      Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, pihak Barat memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
2.      Munculnya sekularisasi ilmu pengetahuan, namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Bahkan siapa saja yang dianggap pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja.
3.      Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
  1. Terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
  2. Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara ilmu pengetahuan Islam dan umum ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis, Rekonstruksionis, dan Reintegrasi.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Banyak cendekiawan muslim yang berpendapat seperti ini bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja, ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.

B.     Saran
Setelah penulis menguraikan makalah ini maka timbul keinginan dari penulis untuk setidaknya memberikan saran yang semoga bermanfaat dan sekaligus untuk mengingatkan orang lain pada umumnya, dan khususnya bagi diri penulis sendiri. Saran penulis di antaranya sebagai berikut:
1.      Allah SWT telah memberikan kita pilihan, bahkan pilihan untuk beriman atau ingkar kepada-Nya, dan apapun pilihan yang akhirnya kita pilih, kita harus bertanggung jawab terhadapnya, dalam arti menanggung segala konsekuensinya. Termasuk konsekuensinya terhadap pandangan dunia dan keilmuan kita.
2.      Begitu lekatnya pengertian sains sekarang ini dalam pikiran kita sehingga kita sering bertanya-tanya mungkinkah kedua macam ilmu tersebut dapat diintegrasikan? Tentu saja pertanyaan ini harus mendapatkan jawaban yang memadai mengingat pentingnya peran reintegrasi ilmu pengetahuan bagi perkembangan pendidikan dinegeri tercinta ini. Ini merupakan tugas kita sebagai bagian dari masyarakat intelek.
3.      Salah satu dampak sekularisme adalah pemisahan (dikotomi) ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Barat, sebagai penganut paham sekular hanya membatasi keilmuannya (sains modern) pada hal-hal yang bisa dikatakan ilmiah apabila obyek-obyeknya bersifat empiris. Sehingga, konsekuensi dari pembatasan ini akan menimbulkan dikotomi pada semua sisi keilmuan. Dari kesenjangan paham inilah yang menjadi tugas kita sebagai mahasiswa pascasarjana untuk menuangkan kritik ilmiah dengan kajian yang mendalam, melalui upaya demonstratif untuk memadukan /mengintegrasi ilmu umum (sekular) dan ilmu agama.




















DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.I, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

_______, 2007. Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Cet I;
Yogyakarta: Penerbit SUKA Press.

_______, 2007. Integrasi Sains – Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains. Yogyakarta: Penerbit SUKA Press.

Arief, Armai. 2005. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I, Jakarta: CRSD Press.

Azyumardi Azra, 2005. Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam. Bandung: Mizan, h. 206- 211.

Baharuddin, dkk, 2005. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan.

Departemen Agama RI. 1418 H. Alquran dan Terjemahnya, (Madinah Al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief.

Kartanegara, 2005. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik. Jakarta: Gramedia, h. 3.

M. Amir Ali, 2009, Islam Sebagai Ilmu, (Cet. II, Jakarta: Penerbit: Teraju), h.25-26.

Menutu Ismail Raji Al-Faruqi. 1989. Pendidikan Dalam Alquran, Semarang: Penerbit CV. Wicaksana.

Mehdi Golshani, 2005. Islam Sebagai Ilmu, Cet. II, Jakarta; Penerbit: Teraju.

Mujamil Qomar. 2005. Epistimologi Pendidikan Islam. Bandung: Mizan.

Nurman Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri. 2005. Sinergi Agama dan Sains, (ed) (Cet I; Makassar: Alauddin Press), h. xxxvi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar