PARADIGMA BIMBINGAN DAN KONSELING
Oleh: Abdulchalid Badarudin
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
A.
Konsep Paradigma
Bimbingan dan Konseling
Menurut
American Heritage®Dictionary pemaknaan paradigma kurang lebih adalah
seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek pelaksanaan yang merupakan cara
pandang dari suatu disiplin ilmu untuk melayani masyarakat. Oleh karena itu,
paradigma bimbingan dan konseling berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai,
dan praktek pelaksanaan yang merupakan cara pandang dari bimbingan dan
konseling untuk melayani masyarakat. Untuk itu, di dalam disiplin bimbingan dan
konseling sudah semestinya ada asumsi, konsep, nilai, dan seperangkat
pelaksanaan yang merupakan perspektif dalam melayani masyarakat.
Seperti
dijelaskan di atas, bimbingan dan konseling merupakan suatu profesi yang
bersifat dinamis, artinya sebagai jenis bidang profesi yang memberikan layanan
kepada para pemangku kepentingan akan terus berusaha mengikuti perubahan
kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan. Berpijak dari
hal ini maka tentulah terjadi perubahan paradigm yang dipakai dalam melayani
para pemangku kepentingan. Hal itu karena setiap saat, dari waktu ke waktu,
tantangan, masalah dan kebutuhan masyarakat pada umumnya juga senantiasa
berubah. Masalah dan kebutuhan masyarakat yang semakin bervariasi juga
menuntut/berimplikasi pada bentuk layanan yang harus diberikan semakin beragam
jenisnya.
B.
Perubahan
Paradigma Bimbingan dan Konseling
Menurut
Dahir dan Stone (2009) telah terjadi perubahan paradigma di dalam bimbingan dan
konseling, khususnya dalam memberikan layanan kepada para pemangku
kepentingannya. Perubahan tersebut dapat dilihat dengan melakukan perbandingan
dari waktu ke waktu kecenderungan kegiatan layanan yang diberikan. Perbandingan
tersebut dapat dilihat selengkapnya dalam tabel di bawah ini:
MASA LALU
|
MASA KINI
|
MASA DEPAN
|
Layanan konseling sekolah
di abad 20:
|
Transformasi konseling sekolah dengan visi baru
praktik proaktif:
|
Program konseling yang intensional dan bertujuan,
terpadu dengan program pendidikan:
|
Counseling
Counsultation
Coordination:
|
Counseling
Consultation
Coordination
Leadership
Advocacy
Teaming
and Collaboration
Assesment
and use of data
Technology
|
Counseling
Consultation
Coordination
Leadership
Social
justice advocacy
Teaming
and collaboration
Assesment
and use of data
Technology
Acountability
Cultural
mediation
Systemic
change agent
|
Berdasarkan tabel tersebut, tampak
bahwa pada abad ke-20, pelayanan konseling lebih terarah dan Berdasarkan tabel di atas maka dapat diperbandingkan paradigma
bimbingan dan konseling di sekolah. Secara garis besar dapat dipahami pada masa
lalu paradigma bimbingan dan konseling hanya memberikan layanan, kemudian pada
saat sekarang bimbingan dan konseling yang ditransformasikan dengan visi baru
yang bersifat proaktif, dan pada masa yang akan datang maksud dan tujuan
program bimbingan dan konseling harus disesuaikan dan diintegrasikan dengan
lembaga pendidikan.
C.
Paradigma
Bimbingan dan Konseling Masa Lalu
Pada masa
lalu, abad ke -20, layanan bimbingan dan konseling diarahkan kepada tiga bentuk
layanan yaitu: konseling, konsultasi, dan koordinasi. Dari tiga bentuk ini
layanan ini maka sebenarnya konseling merupakan salah satu kemampuan utama yang
harus dikuasai oleh konselor. Oleh karena itu, kemampuan memberikan layanan
konseling merupakan layanan utama seorang konselor. Ketiadaan layanan konseling
baik dalam program atau pun dalam kegiatan yang diberikan berarti minimal
hampir separuh layanan profesi bimbingan dan konseling telah hilang. Untuk itu
layanan konseling merupakan layanan yang pertama dan utama. Dari perspektif ini
pulalah, maka tidak mengherankan ada yang menyatakan bahwa konseling merupakan
jantung dari bimbingan.
Sebagai
layanan utama profesi bimbingan dan konseling berikut akan dibahas sekilas
tentang pengertian konseling.
“Counseling
is a confidential relationship which the counselor conducts with students
individually and in small groups to help them resolve their problems and
developmental concerns (American School Counselor Association, 1999)”
Penyuluhan adalah suatu hubungan rahasia
yang memberikan pembinaan melakukan dengan para mahasiswa secara individual
maupun berkelompok kelompok untuk membantu mereka menyelesaikan masalah mereka
perkembangan dan kekhawatiran.
Dari
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa konseling merupakan hubungan yang
bersifat terbatas antara konselor dan konseli yang dapat dilakukan dengan siswa
secara individu ataupun kelompok kecil untuk membantu siswa mengatasi masalah
dan mengembangkan semua potensinya. Hubungan tersebut bersifat dinamis, dalam
hal ini antara konselor dan konseli melakukan proses komunikasi timbal balik,
komunikasi yang bersifat dialogis (dua arah). Oleh karena itu, komunikasi yang
dibangun harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari proses konseling tersebut.
Dengan demikian konseling pada hakekatnya merupakan proses komunikasi antara konselor
dan konseli dengan tujuan khusus, yaitu mengatasi masalah konseli.
Hal itu
nampak jelas dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pertama
konseling adalah untuk membantu konseli mengatasi masalah. Tujuan utama
tersebut sebenarnya sudah mengisyaratkan seorang konselor harus selalu
melakukan pengaturan atau penyesuaian diri terhadap konseli yang dihadapinya
agar dapat mencapai tujuan kegiatan konseling yang dilaksanakannya secara
efektif. Konseli yang dihadapi setiap kali bukanlah seorang yang selalu sama
pribadi dan sifat-sifatnya, oleh karena itu seorang konselor harus
pandai-pandai menjalankan peran dan fungsi dengan sebaik-baiknya. Ada konseli
yang pendiam sehingga mengharuskan seorang konselor untuk aktif, sebaliknya ada
seorang klien yang fasih dan ringan tanpa beban dapat menceriterakan masalahnya
kepada konselor. Dengan kata lain, konselor dituntut untuk dapat menunjukkan
kemampuan untuk memilih teknik konseling yang akan dipergunakan secara efektif
dan efisien.
Pengembangan
kepribadian konseli menuntut kepiawaian konselor untuk berperan sesuai dengan
ciri kepribadian konseli. Stimulasi agar pribadi dapat “mekar” menyaratkan
berbagai keterampilan untuk memainkan peranan yang senantiasa berganti-ganti
dalam rangka menciptakan dan memberikan lingkungan yang favourable (baik;
menguntungkan) demi terciptanya perubahan yang positif pada diri konseli.
Kemampuan memberikan dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan konseli dapat
berkembang tidak hanya terbatas dalam suasana konseling semata. Oleh karena itu
diperlukan bentuk kegiatan layanan yang lain agar proses konseling yang telah
dilakukan dapat berhasil dengan baik. Kemampuan untuk dapat bertindak dan
berpikir sistemik ini adalah tantangan rutin dari tugas seorang konselor sejak
dahulu sampai sekarang dan masa yang akan datang.
Sedangkan
kegiatan konsultasi merupakan kegiatan untuk mengajak bekerja sama berbagai
pihak lain untuk kepentingan konseli. Konselor yang efektif akan membangun atau
memiliki jalinan kerja sama dengan berbagai pihak demi kepentingan konseli,
sehingga peran yang dilakukan tidak hanya terbatas pada “konselor sebagai
konselor” saja. Apalagi dalam masa atau proses ”menyembuhkan” konseli, peran
“konselor sebagai konsultan” menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Konselor diharapkan
dapat bekerja sama dengan berbagai pihak lain yang dapat mempengaruhi diri
konseli seperti kepala sekolah, orang tua, guru, sahabat, teman sebaya, dan
sebagainya yang mempengaruhi kehidupan konseli. Kenyataan ini berimplikasi
bukan hanya ketrampilan sebagai konselor semata yang diperlukan melainkan juga
keahlian dalam proses pengkonsultasian (consulting process). Elemen consulting
menurut Dougherty (dalam Sciarra, 2004:55) ada tiga:
1.
Consulting is
tripartite.
2. The goal of consulting is to solve problem.
3. Another goal of consulting is to improve the consultee’s work with
the client and, in turn, improve the welfare of client.
4. Consulting adalah tripartit.
5. Tujuan dari konsultasi adalah untuk memecahkan masalah.
6.
Tujuan lain dari
konsultasi adalah untuk meningkatkan kerja consultee dengan klien dan, pada
gilirannya, meningkatkan kesejahteraan klien.
Hal yang
senada disampaikan oleh Brown, Pryzwansky, dan Schulte (20001: 5-6): konsultasi
adalah suatu proses pemecahan masalah secara sukarela yang dapat dimulai atau
diakhiri oleh consultant maupun consultee. Hal itu terjadi dengan
tujuan membantu consultee mengembangkan sikap dan ketrampilan yang
memungkinkan consultee berfungsi lebih efektif dengan konseli, yang
dapat secara individual, kelompok, atau organisasi yang menjadi tanggung
jawabnya. Jadi, tujuan dari proses ini memiliki dua sisi: pertama, memperbaiki
pelayanan pada pihak ketiga; kedua, meningkatkan kemampuan consultee untuk
melakukan tugasnya. Fungsi yang perlu dilakukan misalnya melakukan penilaian,
alih tangan, hubungan masyarakat, dan sebagainya.
Di
samping kemampuan memberikan konsultasi, konselor juga harus mampu melakukan
koordinasi. Kegiatan koordinasi merupakan kegiatan konselor untuk melakukan
penataan dan pengaturan berbagai pihak lain agar bisa mensinergikan hasil yang
bermanfaat bagi konseli. Oleh karena itu, konselor selalu memiliki sisi peran
selaku koordinator. Sehubungan dengan itu konselor harus sanggup menangani
berbagai segi program pelayanan yang memiliki ragam variasi pengharapan dan
peran dari berbagai pihak. Dari hal ini tentulah sangat diperlukan kemampuan
konselor untuk mengatur dan menggerakkan berbagai pihak agar dapat mencapai
hasil yang diharapkan. Untuk itu perlu keahlian dalam perencanaan program,
penilaian kebutuhan, strategi evaluasi program, penetapan tujuan,
pembiayaan, dan pembuatan keputusan. Oleh karena itu beberapa fungsi konselor
yang terkait dengan hal tersebut adalah menjadwalkan kegiatan, melaksanakan
kegiatan, sampai dengan mengevaluasi kegiatan dan bahkan melaporkan kegiatan
memerlukan koordinasi yang baik.
D.
Paradigma
Bimbingan dan Konseling Masa Kini
Kemudian,
paradigma yang kedua adalah paradigma bimbingan dan konseling yang semestinya
sudah dilaksanakan pada saat sekarang, yaitu layanan bimbingan dan konseling
telah mengalami transformasi, dengan visi baru yang bersifat proactive
practice. Artinya, tidak lagi bersifat klinis semata namun lebih bersifat
pengembangan (developmental). Bimbingan dan konseling tidak bisa lagi
hanya menunggu tetapi harus bersifat proaktif, memberikan berbagai fasilitas
yang memungkinkan individu dapat mengembangkan diri sesuai potensinya. Bentuk
layanan yang diberikan tidak meninggalkan sama sekali bentuk-bentuk layanan
yang sudah berjalan, seperti paradigma yang sudah dilakukan terdahulu:
konseling, konsultasi, dan koordinasi. Layanan bimbingan dan konseling yang
perlu diberikan pada saat sekarang dalam bentuk untuk melakukan sikap proaktif
antara lain: kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi,
memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, serta pemanfaatan teknologi.
Perubahan dan perkembangan layanan ini sebagai bentuk kegiatan layanan yang
bersifat proaktif menghadapi dinamika perubahan masyarakat dan para pemangku
kepentingan (stakeholder).
Kepemimpinan
dibutuhkan oleh konselor bukan hanya pada saat menentukan prioritas layanan
program bimbingan tetapi juga dalam rangka meningkatkan profesionalisme kinerja
secara terus menerus. Memang paling tidak konselor jika menghendaki akan
berhasil tugasnya maka minimal harus bisa memimpin pelaksanaan programnya
Handerson (1999: 79-82) menjelaskan ada enam tugas kepemimpinan yang telah
diidentifikasi sebagai dasar untuk mencapai kinerja yang maksimal dalam
melaksanakan program bimbingan.
1.
Mengorganisasikan
program bimbingan dan konseling
2.
Melakukan
advokasi terhadap program bimbingan dan semua stafnya.
3.
Menegaskan tugas
koselor di dalam program bimbingan dan konseling
4.
Mendorong
konselor secara terus menerus untuk mengembangkan profesionalitasnya
5.
Mengadakan
supersvisi bagi konselor secara profesional
6.
Mengevaluasi
kinerja konselor.
Dari enam
tugas kepemimpinan tersebut nampak bahwa konselor minimal harus dapat
melaksanakan kepemimpinan bagi program yang telah dirancang, yang selanjutnya
menunjukkan kepada pihak lain tentang tugas dan kewajibannya terkait dengan
programnya. Kemudian kegiatan kepemimpinan yang bersifat antisipatif dilakukan
dengan pengembangan profesioanlitas secara berkelanjutan, mensupervisi kegiatan
konselor, dan terakhir adalah mengevaluasi kinerja sebagai bahan refleksi.
Selanjutnya,
di dalam program bimbingan dan konseling model komprehensif terdapat empat
komponen pelayanan, yaitu: (1) pelayanan dasar bimbingan; (2) pelayanan
responsif, (3) perencanaan indiviual, dan (4) dukungan system (Dirjen PMPTK,
2007).
Untuk dapat melaksanakan keempat komponen pelayanan tersebut maka
konselor harus mempu bertindak sebagai konsultan. Sebagai implikasi dari tugas
dan peran konselor sebagai konsultan maka konselor memiliki tanggung jawab
untuk melakukan advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi (Baker dkk.,
2009). Hal ini sebagai bentuk layanan yang bersifat antisipatif. Memang pada
awalnya kegiatan konsultasi sebagai bentuk bagian kegiatan layan yang bersifat
responsif semata. Lebih lanjut Baker dkk. (2009) menjelaskan bahwa konsultasi
kepada konselor dapat dibedakan menjadi lima kategori, yaitu: prescription,
provision, initiation, collaboration and mediation. Hal ini nampak sekali
konsultasi sebagai strategi pelayanan dalam pelaksanaan bimbingan dan
konseling, dimana konsultasi dapat menjadi starategi dari layanan responsif,
perencanaan individual, maupun dukungan sistem. Konsultasi sebagai bentuk
layanan responsif, sebagai contoh, maka konselor bertanggung jawab untuk
melakukan advokasi. Konsultasi sebagai layanan perencanaan individu, misalnya,
maka konselor akan memberikan konsultasi dalam bentuk preskripsi atau prosisi.
Konsultasi sebagai layanan dukungan sistem, maka konselor akan bekerja secara
tim dan berkolaborasi dengan semua aktor sekolah (mulai dari kepala sekolah,
guru, siswa, orangtua, sampai dengan komite sekolah) dalam rangka membangun
sistem dan memberikan/menyediakan lingkungan yang baik bagi siswa untuk dapat
berkembanga secara maksimal.
Kemudian
konselor pada saat ini diharapkan dapat memanfaatkan asesmen dan penggunaan
data secara efektif dan cermat. Menurut Naugel (2009) ada beberapa keterampilan
konselor yang diharapkan dimiliki konselor berkaitan dengan masalah asesmen dan
penggunaan data:
1. School counselors are skilled in choosing assessment strategies.
Konselor sekolah terampil dalam memilih strategi penilaian.
2. School counselors can identify, access, and evaluate the most
commonly used assessment instruments. (Konselor sekolah
dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengevaluasi instrumen penilaian yang
paling umum digunakan).
3. School counselors are skilled in the techniques of administration
and methods of scoring assessment instruments. (Konselor sekolah terampil dalam teknik administrasi dan metode
mencetak instrumen penilaian).
4. School counselors are skilled in interpreting and reporting
assessment results.
(Konselor sekolah terampil dalam menafsirkan
dan melaporkan hasil penilaian).
5. School counselors are skilled in using assessment results in
decision making.
Konselor sekolah terampil dalam menggunakan
hasil penilaian dalam pengambilan keputusan.
6. School counselors are skilled in producing, interpreting, and
presenting statistical information about assessment results. Konselor sekolah terampil dalam memproduksi, menafsirkan, dan
menyajikan informasi statistik tentang hasil penilaian.
7. School counselors are skilled in conducting and interpreting
evaluations of school counseling programs and counseling-related interventions. Konselor sekolah terampil dalam melakukan dan menafsirkan evaluasi
program konseling sekolah dan intervensi-konseling terkait.
8. School counselors are skilled in adapting and using
questionnaires, surveys, and other assessments to meet local needs. Konselor sekolah terampil dalam beradaptasi dan menggunakan
kuesioner, survei, dan penilaian lainnya untuk memenuhi kebutuhan lokal.
9. School counselors know how to engage in professionally responsible
assessment and evaluation practice. If school counselors are restricted from
using both educational and counselling assessment devices, the detection of
children with special needs will be delayed and possibly overlooked. Konselor sekolah tahu bagaimana untuk terlibat dalam penilaian
profesional yang bertanggung jawab dan praktek evaluasi. Jika konselor sekolah
dibatasi dari menggunakan kedua perangkat penilaian pendidikan dan konseling,
deteksi anak berkebutuhan khusus akan tertunda dan mungkin diabaikan.
Di
samping itu, hal lain yang diasumsikan semestinya sudah dikerjakan oleh
konselor pada waktu sekarang adalah pemanfaatan teknologi. Seperti diketahui
pada umumnya bahwa teknologi dan informasi menjadi ciri abad 21 ini. Oleh
karena itu, pemanfaatan teknologi untuk keperluan bimbingan dan konseling
semestinya harus sudah mulai dipikirkan dan dilaksanakan. Pemanfaatan teknologi
informasi dapat mulai dari yang sederhana menuju pada yang canggih. McMillen
dan Pehrsson (2009) menunjukkan pemanfaatan teknologi informasi (web site) untuk biblioterapi.
Sementara
itu, House dan Hayes (2002) sebenarnya telah lebih dahulu memperingatkan akan
pentingnya perubahan visi dalam bimbingan dan konseling tersebut. Urgensi
paradigma tentang kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi,
memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, serta pemanfaatan teknologi di dalam
bimbingan dan konseling telah disampaikannya saat masyarakat dunia mengalami
dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi. Mereka menyampaikan perlunya perubahan
visi yang dilakukan oleh para konselor dan membuat perbandingan visi secara
lebih rinci sebagai berikut:
A New Vision for School Counselors
Present Focus
ü Mental health providers (penyedia kesehatan mental)
ü Individual students' concerns/issues (siswa Individu
'keprihatinan/ masalah)
ü Clinical model focused on student deficits (Model klinis
difokuskan pada defisit siswa)
ü Service provider, 1-1 and small groups (Penyedia layanan, 1-1 dan
kelompok-kelompok kecil)
ü Primary focus on personal/social (Fokus utama pada pribadi /
sosial)
ü Ancillary support personnel (personel pendukung Tambahan)
ü Loosely defined role and responsibility (didefinisikan Longgar
peran dan tanggung jawab)
ü Gate keepers (penjaga Gerbang)
ü Sorters, selectors in course placement process ( penyortir,
penyeleksi dalam proses penempatan saja)
ü Work in isolation or with other counselors (Kerja dalam isolasi
atau dengan konselor lain)
ü Guardians of the status quo (Penjaga status quo) Involvement primarily with students (Keterlibatan terutama dengan
siswa)
ü Ketergantungan pada penggunaan sumber daya sistem untuk membantu
siswa dan keluarga
New Vision
o Academic/student achievement focus
o Whole school and system concerns/issues
o Academic focus, building on student strengths
o Leader, planner, program developer
o Focus on academic counseling, learning and achievement, supporting
student success
o Integral members of educational team
o Focused mission and role identification
o Use of data to effect change
o Advocates for inclusion in rigorous preparation for all--especially
poor students and students of color
o Teaming and collaboration with all educators in school in
resolving issues involving the whole school and community
o Agents for change, especially for educational equity for all
students
o Involvement with students, parents, education professionals,
community, community agencies
o Brokers of services for parents and students from community
resources/agencies as well as school system's resources
o
Champions for
creating pathways for all students to achieve high aspirations (House dan Hayes, 2002: 253).
a.
Akademik fokus
prestasi / siswa
b.
kekhawatiran
sekolah Utuh dan sistem / isu-isu
c.
fokus Akademik,
membangun kekuatan mahasiswa
d.
Pemimpin,
perencana, pengembang Program
e.
Fokus pada
konseling akademik, belajar dan prestasi, mendukung keberhasilan siswa
f.
anggota Integral
tim pendidikan
g.
identifikasi
misi dan peran Fokus
h.
Gunakan data
untuk melakukan perubahan
i.
Advokat untuk
dimasukkan dalam persiapan ketat untuk semua - terutama siswa miskin dan siswa
dari warna
j.
teaming dan
kerjasama dengan semua pendidik di sekolah dalam menyelesaikan masalah yang
melibatkan seluruh sekolah dan masyarakat
k.
Agen perubahan,
terutama untuk pemerataan pendidikan untuk semua siswa
l.
Keterlibatan
dengan siswa, orang tua, profesional pendidikan, masyarakat, lembaga masyarakat
m.
Broker layanan
untuk orang tua dan siswa dari komunitas sumber / instansi serta sumber daya
sistem sekolah
n.
Champions untuk
membuat jalur bagi semua siswa untuk mencapai aspirasi yang tinggi (Rumah Dan
Hayes, 2002: 253).
E. Paradigma Bimbingan dan Konseling Masa Depan
Sedangkan
untuk menghadapi waktu yang akan datang Dahir dan Stone (2009) melihat program
bimbingan dan konseling harus bertujuan secara jelas dan dilakukan dengan penuh
perhitungan dan hati-hati. Hal ini karena program bimbingan harus sesuai dan
terintegrasi dengan program lembaga pendidikan. Oleh karena itu, program harus
disusun untuk mendukung tujuan pendidikan di sekolah pada umumnya secara lebih
nyata. Dari perspektif ini maka kegiatan bimbingan dan konseling sedapat
mungkin menjadi bagian dari program sekolah pada umumnya. Setiap jenis kegiatan
bimbingan dan konseling akan dapat dirasakan dampak dan sumbangannya. Untuk itu
bentuk layanan yang diberikan juga akan bertambah luas spektrumnya mulai dari
layanan yang bersifat ”konservatif” berupa pemberian layanan konseling,
konsultasi, koordinasi; kemudian ditambah dengan layanan transformatif berupa
kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi, memanfaatkan
asesmen dan penggunaan data, pemanfaatan teknologi; serta visi yang sesuai atau
fleksibel dan terintegrasi yang berupa pertanggung jawaban, mediasi kultural,
serta agen perubahan yang sistemik.
Semua
pendidik, termasuk konselor, harus bertanggung jawab demi kemajuan siswa.
Kondisi kemajuan siswa tersebut memerlukan tanggung jawab bersama.
Pertanggungjawaban memerlukan pengumpulan, penganalisaan data secara
sistematis, dan penggunaan data secara kritis untuk memahami kinerja siswa
sekarang. Dan selanjutnya segera dimulai untuk membuat strategi, mempengaruhi,
dan mendokumentasi bagaimana program bimbingan dan konseling sekolah dapat
berkontribusi dan mendukung terhadap kesuksesan siswa. Dahir dan Stone (2003)
menyatakan bahwa pada abad 21 semua aktor sekolah dituntut/dimintai
pertanggungjawaban secara lebih terbuka oleh dorongan lingkungan (accountability-driven
environment). Hal itu merupakan perubahan dramatis yang berbeda dengan
sebelumnya, karena standar dan suasana kerja yang semakin dituntut untuk
meningkatkan prestasi siswa. Secara historis, guru pembimbing belum pernah
melakukan dengan standar pertanggungjawaban yang sama dengan pendidik yang lain
untuk perbaikan sekolah. Hal ini karena menurut Sink (2009) pertanggungjawaban
minimal meliputi (a) kemampuan bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukan, (
taking responsibility for one’s actions), (b) menunjukkan
keterbukaan dan sensitivitas (exhibiting openness and sensitivity), dan
(c) kemampuan menjaga sikap untuk mampu menjawab/menyesuaikan tantangan (maintaining
an attitude of “answerability”). Untuk waktu-waktu yang akan datang
pertanggung jawaban menjadi isu yang penting untuk diperhatikan. Hal ini
menyangkut profesionalitas layanan yang diberikan oleh guru pembimbing, artinya
bahwa setiap layanan yang diberikan oleh para pelaku profesi bimbingan dan
konseling akan dapat dimintai pertangungjawabannya.
Tambahan
yang kedua visi konselor untuk masa yang akan datang adalah kemampuan mediasi
kultural. Kebutuhan akan konseling setiap hari semakin bertambah sebagai dampak
konflik yang terjadi dalam masyarakat. Konflik di masyarakat adalah suatu
keniscayaan. Konflik terjadi akibat semakin tinggi mobilitas dan interaksi
anggota masyarakat yang semakin banyak dan beragam latar belakang budayanya. Di
sekolah sebagai ajang bertemunya berbagai macam latar belakang budaya sangat
mungkin terjadi konflik berlatar belanag budaya ini. Kondisi ini dimasa yang
akan datang diprediksi akan semakin rawan jika konselor tidak dapat
menanganinya. Namun, banyak konflik yang dapat ditangani dengan baik
menggunakan non terapis teknik resolusi konflik. Strategi resolusi konflik,
mediasi khususnya, menawari konselor untuk memperluas peranan dan fungsinya di
dalam sekolah dan masyarakat pada umumnya (Messing, 1993). Dengan demikian
peranan atau kompetensi untuk menjadi mediator kultural bagi seorang konselor
semakin dituntut kinerjanya. Hal ini terjadi dengan semakin terbukanya
batas-batas wilayah dan semakin tingginya tingkat migrasi di setiap daerah akan
mendorong terjadinya multi-kultur di setiap tempat. Hal demikian juga berlaku
bagi konselor, bahwa dimungkinkan sekali konselor untuk melakukan migrasi.
Terakhir, tambahan yang ketiga visi konselor untuk masa yang akan
datang adalah kemampuan konselor sebagai agen perubahan. Peran yang hampir
serupa dengan peran sebagai konsultan adalah peran sebagai agen perubahan.
Peran sebagai agen perbahan bermakna bahwa keseluruhan lingkungan dari konseli
harus dapat berfungsi sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mental menjadi lebih
baik, dan konselor dapat mempengunakan lingkungan tersebut untuk memperkuat
atau mempertinggi berfungsinya konseli. Namun bukan hanya agen perubahan bagi
konseli semata. Di samping konselor sebagai agen perubahan bagi konseli, di
masa yang akan datang diharapakan konselor juga sebagai agen perubahan bagi
lingkungan dirinya bekerja, dan juga bagi masyarakat sekitarnya. Dalam hubungan
ini maka perlu keahlian pemahaman tentang sistem lingkungan dan sosial, dan
mengembangkan ketrampilan tersebut untuk merencanakan dan menerapkan perubahan
dalam lembaga, masyarakat, atau sistem. Fungsi yang berkaitan dengan peran ini
antara lain analisis sistem, testing dan evaluasi, perencaaan program,
perlindungan klien (client advocacy), networking, dan sebagainya.
DAFTAR RUJUKAN
American Heritage®Dictionary. Definiton of Paradigm. Diunduh 15
Januari 2010. http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entry/paradigm.
American School Counselor Association. 1999. ASCA role
statement: The role of the professional school counselor. Alexandria, VA:
Author.
Baker, S.B., Robychaud, T.A., Deitrich, V.C.W., Wells, S.C.,
Schrek, R.E. 2009.
School Counselor Consultation : A Pathway to Advocacy,
Collaboration, and Leadership. Professional School Counseling. 12:3
February 2009.
Brown, D., Pryzwansky, W.B. dan Schulte, A.C. 2001. Psychological
Consultation: Introduction to Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Dahir, C.A. dan Stone, C.B. 2003. Accountability: A M.E.A.S.U.R.E
of the impact school counselors have on student achievement. Professional
School Counseling. 6:3 February 2003.
Dahir, C.A. dan Stone, C.B. 2009. School Counselor Accountability:
The Path to Social Justice and Systemic Change. Journal of Counseling and
Development. Winter 2009.
Dirjen PMPTK. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan Dan
Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdikbbud.
Henderson, P. 1999. Providing leadership for school counselors to
achieve an effective guidance program. National Association of Secondary
School Principals. NASSP Bulletin; Jan 1999.
House, R.M. dan Haves, R.L. 2002. School Counselors: Becoming Key
Palyers in School Reform. Professonal School Counseling. April 2002;
Vol.5: Iss.4.
McMillen, P.S. dan Pehrsson, D-E.2009. Improving a Counselor
Education Web Site Through Usability Testing: The Biblitherapy Education
Project. Counselor Education and Supervision; Dec 2009.
Messing, J. K. 1993. Mediation: An intervention strategy for
counsellors Journal of Counseling and Development. Sep 1993.
Murray, K. 2004. Preventing Professional School Counselor Burnout.
In Professional School Counseling A Handbook of Theories, Programs &
Practices. Edited by Bradley E. Erford. Texas: CAPS Press.
Naugle, K.A. 2009. Counseling and Testing: What Counselors Need to
Know About State Laws on Assessment and Testing. Measurement and Evaluation
in Counseling and Development. Vol. 42.
Sciarra, D.T. 2004. School Counseling Foundation and Contemporary
Issues. Canada: Brook/Cole.
Sink, C.A. 2009. School Counselors as Accountability Leaders:
Another Call for Action. Professional School Counseling. 2 December
2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar