Rabu, 06 April 2016

PARADIGMA BIMBINGAN DAN KONSELING



PARADIGMA BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh: Abdulchalid Badarudin


UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM




A.   Konsep Paradigma Bimbingan dan Konseling
Menurut American Heritage®Dictionary pemaknaan paradigma kurang lebih adalah seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek pelaksanaan yang merupakan cara pandang dari suatu disiplin ilmu untuk melayani masyarakat. Oleh karena itu, paradigma bimbingan dan konseling berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktek pelaksanaan yang merupakan cara pandang dari bimbingan dan konseling untuk melayani masyarakat. Untuk itu, di dalam disiplin bimbingan dan konseling sudah semestinya ada asumsi, konsep, nilai, dan seperangkat pelaksanaan yang merupakan perspektif dalam melayani masyarakat.
Seperti dijelaskan di atas, bimbingan dan konseling merupakan suatu profesi yang bersifat dinamis, artinya sebagai jenis bidang profesi yang memberikan layanan kepada para pemangku kepentingan akan terus berusaha mengikuti perubahan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan. Berpijak dari hal ini maka tentulah terjadi perubahan paradigm yang dipakai dalam melayani para pemangku kepentingan. Hal itu karena setiap saat, dari waktu ke waktu, tantangan, masalah dan kebutuhan masyarakat pada umumnya juga senantiasa berubah. Masalah dan kebutuhan masyarakat yang semakin bervariasi juga menuntut/berimplikasi pada bentuk layanan yang harus diberikan semakin beragam jenisnya.

B.   Perubahan Paradigma Bimbingan dan Konseling
Menurut Dahir dan Stone (2009) telah terjadi perubahan paradigma di dalam bimbingan dan konseling, khususnya dalam memberikan layanan kepada para pemangku kepentingannya. Perubahan tersebut dapat dilihat dengan melakukan perbandingan dari waktu ke waktu kecenderungan kegiatan layanan yang diberikan. Perbandingan tersebut dapat dilihat selengkapnya dalam tabel di bawah ini:


MASA LALU
MASA KINI
MASA DEPAN
Layanan konseling sekolah di abad 20: 
Transformasi konseling sekolah dengan visi baru praktik proaktif:
Program konseling yang intensional dan bertujuan, terpadu dengan program pendidikan:
           Counseling
           Counsultation
           Coordination:
 Counseling
 Consultation
 Coordination
 Leadership
  Advocacy
 Teaming and Collaboration
  Assesment and use of data
 Technology
  Counseling
  Consultation
  Coordination
  Leadership
  Social justice advocacy
  Teaming and collaboration
   Assesment and use of data
  Technology
  Acountability
  Cultural mediation
  Systemic change agent

Berdasarkan tabel tersebut, tampak bahwa pada abad ke-20, pelayanan konseling lebih terarah dan Berdasarkan tabel di atas maka dapat diperbandingkan paradigma bimbingan dan konseling di sekolah. Secara garis besar dapat dipahami pada masa lalu paradigma bimbingan dan konseling hanya memberikan layanan, kemudian pada saat sekarang bimbingan dan konseling yang ditransformasikan dengan visi baru yang bersifat proaktif, dan pada masa yang akan datang maksud dan tujuan program bimbingan dan konseling harus disesuaikan dan diintegrasikan dengan lembaga pendidikan.

C.   Paradigma Bimbingan dan Konseling Masa Lalu
Pada masa lalu, abad ke -20, layanan bimbingan dan konseling diarahkan kepada tiga bentuk layanan yaitu: konseling, konsultasi, dan koordinasi. Dari tiga bentuk ini layanan ini maka sebenarnya konseling merupakan salah satu kemampuan utama yang harus dikuasai oleh konselor. Oleh karena itu, kemampuan memberikan layanan konseling merupakan layanan utama seorang konselor. Ketiadaan layanan konseling baik dalam program atau pun dalam kegiatan yang diberikan berarti minimal hampir separuh layanan profesi bimbingan dan konseling telah hilang. Untuk itu layanan konseling merupakan layanan yang pertama dan utama. Dari perspektif ini pulalah, maka tidak mengherankan ada yang menyatakan bahwa konseling merupakan jantung dari bimbingan.
Sebagai layanan utama profesi bimbingan dan konseling berikut akan dibahas sekilas tentang pengertian konseling.
“Counseling is a confidential relationship which the counselor conducts with students individually and in small groups to help them resolve their problems and developmental concerns (American School Counselor Association, 1999)”
                   Penyuluhan adalah suatu hubungan rahasia yang memberikan pembinaan melakukan dengan para mahasiswa secara individual maupun berkelompok kelompok untuk membantu mereka menyelesaikan masalah mereka perkembangan dan kekhawatiran.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa konseling merupakan hubungan yang bersifat terbatas antara konselor dan konseli yang dapat dilakukan dengan siswa secara individu ataupun kelompok kecil untuk membantu siswa mengatasi masalah dan mengembangkan semua potensinya. Hubungan tersebut bersifat dinamis, dalam hal ini antara konselor dan konseli melakukan proses komunikasi timbal balik, komunikasi yang bersifat dialogis (dua arah). Oleh karena itu, komunikasi yang dibangun harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari proses konseling tersebut. Dengan demikian konseling pada hakekatnya merupakan proses komunikasi antara konselor dan konseli dengan tujuan khusus, yaitu mengatasi masalah konseli.
Hal itu nampak jelas dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pertama konseling adalah untuk membantu konseli mengatasi masalah. Tujuan utama tersebut sebenarnya sudah mengisyaratkan seorang konselor harus selalu melakukan pengaturan atau penyesuaian diri terhadap konseli yang dihadapinya agar dapat mencapai tujuan kegiatan konseling yang dilaksanakannya secara efektif. Konseli yang dihadapi setiap kali bukanlah seorang yang selalu sama pribadi dan sifat-sifatnya, oleh karena itu seorang konselor harus pandai-pandai menjalankan peran dan fungsi dengan sebaik-baiknya. Ada konseli yang pendiam sehingga mengharuskan seorang konselor untuk aktif, sebaliknya ada seorang klien yang fasih dan ringan tanpa beban dapat menceriterakan masalahnya kepada konselor. Dengan kata lain, konselor dituntut untuk dapat menunjukkan kemampuan untuk memilih teknik konseling yang akan dipergunakan secara efektif dan efisien.
Pengembangan kepribadian konseli menuntut kepiawaian konselor untuk berperan sesuai dengan ciri kepribadian konseli. Stimulasi agar pribadi dapat “mekar” menyaratkan berbagai keterampilan untuk memainkan peranan yang senantiasa berganti-ganti dalam rangka menciptakan dan memberikan lingkungan yang favourable (baik; menguntungkan) demi terciptanya perubahan yang positif pada diri konseli. Kemampuan memberikan dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan konseli dapat berkembang tidak hanya terbatas dalam suasana konseling semata. Oleh karena itu diperlukan bentuk kegiatan layanan yang lain agar proses konseling yang telah dilakukan dapat berhasil dengan baik. Kemampuan untuk dapat bertindak dan berpikir sistemik ini adalah tantangan rutin dari tugas seorang konselor sejak dahulu sampai sekarang dan masa yang akan datang.
Sedangkan kegiatan konsultasi merupakan kegiatan untuk mengajak bekerja sama berbagai pihak lain untuk kepentingan konseli. Konselor yang efektif akan membangun atau memiliki jalinan kerja sama dengan berbagai pihak demi kepentingan konseli, sehingga peran yang dilakukan tidak hanya terbatas pada “konselor sebagai konselor” saja. Apalagi dalam masa atau proses ”menyembuhkan” konseli, peran “konselor sebagai konsultan” menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Konselor diharapkan dapat bekerja sama dengan berbagai pihak lain yang dapat mempengaruhi diri konseli seperti kepala sekolah, orang tua, guru, sahabat, teman sebaya, dan sebagainya yang mempengaruhi kehidupan konseli. Kenyataan ini berimplikasi bukan hanya ketrampilan sebagai konselor semata yang diperlukan melainkan juga keahlian dalam proses pengkonsultasian (consulting process). Elemen consulting menurut Dougherty (dalam Sciarra, 2004:55) ada tiga:
1.    Consulting is tripartite.
2.    The goal of consulting is to solve problem.
3.    Another goal of consulting is to improve the consultee’s work with the client and, in turn, improve the welfare of client.
4.    Consulting adalah tripartit.
5.    Tujuan dari konsultasi adalah untuk memecahkan masalah.
6.    Tujuan lain dari konsultasi adalah untuk meningkatkan kerja consultee dengan klien dan, pada gilirannya, meningkatkan kesejahteraan klien.
Hal yang senada disampaikan oleh Brown, Pryzwansky, dan Schulte (20001: 5-6): konsultasi adalah suatu proses pemecahan masalah secara sukarela yang dapat dimulai atau diakhiri oleh consultant maupun consultee. Hal itu terjadi dengan tujuan membantu consultee mengembangkan sikap dan ketrampilan yang memungkinkan consultee berfungsi lebih efektif dengan konseli, yang dapat secara individual, kelompok, atau organisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Jadi, tujuan dari proses ini memiliki dua sisi: pertama, memperbaiki pelayanan pada pihak ketiga; kedua, meningkatkan kemampuan consultee untuk melakukan tugasnya. Fungsi yang perlu dilakukan misalnya melakukan penilaian, alih tangan, hubungan masyarakat, dan sebagainya.
Di samping kemampuan memberikan konsultasi, konselor juga harus mampu melakukan koordinasi. Kegiatan koordinasi merupakan kegiatan konselor untuk melakukan penataan dan pengaturan berbagai pihak lain agar bisa mensinergikan hasil yang bermanfaat bagi konseli. Oleh karena itu, konselor selalu memiliki sisi peran selaku koordinator. Sehubungan dengan itu konselor harus sanggup menangani berbagai segi program pelayanan yang memiliki ragam variasi pengharapan dan peran dari berbagai pihak. Dari hal ini tentulah sangat diperlukan kemampuan konselor untuk mengatur dan menggerakkan berbagai pihak agar dapat mencapai hasil yang diharapkan. Untuk itu perlu keahlian dalam perencanaan program, penilaian kebutuhan, strategi evaluasi program, penetapan tujuan, pembiayaan, dan pembuatan keputusan. Oleh karena itu beberapa fungsi konselor yang terkait dengan hal tersebut adalah menjadwalkan kegiatan, melaksanakan kegiatan, sampai dengan mengevaluasi kegiatan dan bahkan melaporkan kegiatan memerlukan koordinasi yang baik.

D.   Paradigma Bimbingan dan Konseling Masa Kini
Kemudian, paradigma yang kedua adalah paradigma bimbingan dan konseling yang semestinya sudah dilaksanakan pada saat sekarang, yaitu layanan bimbingan dan konseling telah mengalami transformasi, dengan visi baru yang bersifat proactive practice. Artinya, tidak lagi bersifat klinis semata namun lebih bersifat pengembangan (developmental). Bimbingan dan konseling tidak bisa lagi hanya menunggu tetapi harus bersifat proaktif, memberikan berbagai fasilitas yang memungkinkan individu dapat mengembangkan diri sesuai potensinya. Bentuk layanan yang diberikan tidak meninggalkan sama sekali bentuk-bentuk layanan yang sudah berjalan, seperti paradigma yang sudah dilakukan terdahulu: konseling, konsultasi, dan koordinasi. Layanan bimbingan dan konseling yang perlu diberikan pada saat sekarang dalam bentuk untuk melakukan sikap proaktif antara lain: kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi, memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, serta pemanfaatan teknologi. Perubahan dan perkembangan layanan ini sebagai bentuk kegiatan layanan yang bersifat proaktif menghadapi dinamika perubahan masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholder).
Kepemimpinan dibutuhkan oleh konselor bukan hanya pada saat menentukan prioritas layanan program bimbingan tetapi juga dalam rangka meningkatkan profesionalisme kinerja secara terus menerus. Memang paling tidak konselor jika menghendaki akan berhasil tugasnya maka minimal harus bisa memimpin pelaksanaan programnya Handerson (1999: 79-82) menjelaskan ada enam tugas kepemimpinan yang telah diidentifikasi sebagai dasar untuk mencapai kinerja yang maksimal dalam melaksanakan program bimbingan.
1.    Mengorganisasikan program bimbingan dan konseling
2.    Melakukan advokasi terhadap program bimbingan dan semua stafnya.
3.    Menegaskan tugas koselor di dalam program bimbingan dan konseling
4.    Mendorong konselor secara terus menerus untuk mengembangkan profesionalitasnya
5.    Mengadakan supersvisi bagi konselor secara profesional
6.    Mengevaluasi kinerja konselor.
Dari enam tugas kepemimpinan tersebut nampak bahwa konselor minimal harus dapat melaksanakan kepemimpinan bagi program yang telah dirancang, yang selanjutnya menunjukkan kepada pihak lain tentang tugas dan kewajibannya terkait dengan programnya. Kemudian kegiatan kepemimpinan yang bersifat antisipatif dilakukan dengan pengembangan profesioanlitas secara berkelanjutan, mensupervisi kegiatan konselor, dan terakhir adalah mengevaluasi kinerja sebagai bahan refleksi.
Selanjutnya, di dalam program bimbingan dan konseling model komprehensif terdapat empat komponen pelayanan, yaitu: (1) pelayanan dasar bimbingan; (2) pelayanan responsif, (3) perencanaan indiviual, dan (4) dukungan system (Dirjen PMPTK, 2007). Untuk dapat melaksanakan keempat komponen pelayanan tersebut maka konselor harus mempu bertindak sebagai konsultan. Sebagai implikasi dari tugas dan peran konselor sebagai konsultan maka konselor memiliki tanggung jawab untuk melakukan advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi (Baker dkk., 2009). Hal ini sebagai bentuk layanan yang bersifat antisipatif. Memang pada awalnya kegiatan konsultasi sebagai bentuk bagian kegiatan layan yang bersifat responsif semata. Lebih lanjut Baker dkk. (2009) menjelaskan bahwa konsultasi kepada konselor dapat dibedakan menjadi lima kategori, yaitu: prescription, provision, initiation, collaboration and mediation. Hal ini nampak sekali konsultasi sebagai strategi pelayanan dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling, dimana konsultasi dapat menjadi starategi dari layanan responsif, perencanaan individual, maupun dukungan sistem. Konsultasi sebagai bentuk layanan responsif, sebagai contoh, maka konselor bertanggung jawab untuk melakukan advokasi. Konsultasi sebagai layanan perencanaan individu, misalnya, maka konselor akan memberikan konsultasi dalam bentuk preskripsi atau prosisi. Konsultasi sebagai layanan dukungan sistem, maka konselor akan bekerja secara tim dan berkolaborasi dengan semua aktor sekolah (mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, sampai dengan komite sekolah) dalam rangka membangun sistem dan memberikan/menyediakan lingkungan yang baik bagi siswa untuk dapat berkembanga secara maksimal.
Kemudian konselor pada saat ini diharapkan dapat memanfaatkan asesmen dan penggunaan data secara efektif dan cermat. Menurut Naugel (2009) ada beberapa keterampilan konselor yang diharapkan dimiliki konselor berkaitan dengan masalah asesmen dan penggunaan data:
1.     School counselors are skilled in choosing assessment strategies. Konselor sekolah terampil dalam memilih strategi penilaian.
2.     School counselors can identify, access, and evaluate the most commonly used assessment instruments. (Konselor sekolah dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengevaluasi instrumen penilaian yang paling umum digunakan).
3.     School counselors are skilled in the techniques of administration and methods of scoring assessment instruments. (Konselor sekolah terampil dalam teknik administrasi dan metode mencetak instrumen penilaian).
4.     School counselors are skilled in interpreting and reporting assessment results. (Konselor sekolah terampil dalam menafsirkan dan melaporkan hasil penilaian).
5.     School counselors are skilled in using assessment results in decision making. Konselor sekolah terampil dalam menggunakan hasil penilaian dalam pengambilan keputusan.
6.     School counselors are skilled in producing, interpreting, and presenting statistical information about assessment results. Konselor sekolah terampil dalam memproduksi, menafsirkan, dan menyajikan informasi statistik tentang hasil penilaian.
7.     School counselors are skilled in conducting and interpreting evaluations of school counseling programs and counseling-related interventions. Konselor sekolah terampil dalam melakukan dan menafsirkan evaluasi program konseling sekolah dan intervensi-konseling terkait.
8.     School counselors are skilled in adapting and using questionnaires, surveys, and other assessments to meet local needs. Konselor sekolah terampil dalam beradaptasi dan menggunakan kuesioner, survei, dan penilaian lainnya untuk memenuhi kebutuhan lokal.
9.     School counselors know how to engage in professionally responsible assessment and evaluation practice. If school counselors are restricted from using both educational and counselling assessment devices, the detection of children with special needs will be delayed and possibly overlooked. Konselor sekolah tahu bagaimana untuk terlibat dalam penilaian profesional yang bertanggung jawab dan praktek evaluasi. Jika konselor sekolah dibatasi dari menggunakan kedua perangkat penilaian pendidikan dan konseling, deteksi anak berkebutuhan khusus akan tertunda dan mungkin diabaikan.
Di samping itu, hal lain yang diasumsikan semestinya sudah dikerjakan oleh konselor pada waktu sekarang adalah pemanfaatan teknologi. Seperti diketahui pada umumnya bahwa teknologi dan informasi menjadi ciri abad 21 ini. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi untuk keperluan bimbingan dan konseling semestinya harus sudah mulai dipikirkan dan dilaksanakan. Pemanfaatan teknologi informasi dapat mulai dari yang sederhana menuju pada yang canggih. McMillen dan Pehrsson (2009) menunjukkan pemanfaatan teknologi informasi (web site) untuk biblioterapi.
Sementara itu, House dan Hayes (2002) sebenarnya telah lebih dahulu memperingatkan akan pentingnya perubahan visi dalam bimbingan dan konseling tersebut. Urgensi paradigma tentang kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi, memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, serta pemanfaatan teknologi di dalam bimbingan dan konseling telah disampaikannya saat masyarakat dunia mengalami dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi. Mereka menyampaikan perlunya perubahan visi yang dilakukan oleh para konselor dan membuat perbandingan visi secara lebih rinci sebagai berikut:
A New Vision for School Counselors
Present Focus
ü  Mental health providers (penyedia kesehatan mental)
ü  Individual students' concerns/issues (siswa Individu 'keprihatinan/ masalah)
ü  Clinical model focused on student deficits (Model klinis difokuskan pada defisit siswa)
ü  Service provider, 1-1 and small groups (Penyedia layanan, 1-1 dan kelompok-kelompok kecil)
ü  Primary focus on personal/social (Fokus utama pada pribadi / sosial)
ü  Ancillary support personnel (personel pendukung Tambahan)
ü  Loosely defined role and responsibility (didefinisikan Longgar peran dan tanggung jawab)
ü  Gate keepers (penjaga Gerbang)
ü  Sorters, selectors in course placement process ( penyortir, penyeleksi dalam proses penempatan saja)
ü  Work in isolation or with other counselors (Kerja dalam isolasi atau dengan konselor lain)
ü  Guardians of the status quo (Penjaga status quo) Involvement primarily with students (Keterlibatan terutama dengan siswa)
ü  Ketergantungan pada penggunaan sumber daya sistem untuk membantu siswa dan keluarga
New Vision
o   Academic/student achievement focus
o   Whole school and system concerns/issues
o   Academic focus, building on student strengths
o   Leader, planner, program developer
o   Focus on academic counseling, learning and achievement, supporting student success
o   Integral members of educational team
o   Focused mission and role identification
o   Use of data to effect change
o   Advocates for inclusion in rigorous preparation for all--especially poor students and students of color
o   Teaming and collaboration with all educators in school in resolving issues involving the whole school and community
o   Agents for change, especially for educational equity for all students
o   Involvement with students, parents, education professionals, community, community agencies
o   Brokers of services for parents and students from community resources/agencies as well as school system's resources
o   Champions for creating pathways for all students to achieve high aspirations (House dan Hayes, 2002: 253).
a.      Akademik fokus prestasi / siswa
b.      kekhawatiran sekolah Utuh dan sistem / isu-isu
c.      fokus Akademik, membangun kekuatan mahasiswa
d.      Pemimpin, perencana, pengembang Program
e.      Fokus pada konseling akademik, belajar dan prestasi, mendukung keberhasilan siswa
f.       anggota Integral tim pendidikan
g.      identifikasi misi dan peran Fokus
h.     Gunakan data untuk melakukan perubahan
i.       Advokat untuk dimasukkan dalam persiapan ketat untuk semua - terutama siswa miskin dan siswa dari warna
j.        teaming dan kerjasama dengan semua pendidik di sekolah dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan seluruh sekolah dan masyarakat
k.      Agen perubahan, terutama untuk pemerataan pendidikan untuk semua siswa
l.       Keterlibatan dengan siswa, orang tua, profesional pendidikan, masyarakat, lembaga masyarakat
m.    Broker layanan untuk orang tua dan siswa dari komunitas sumber / instansi serta sumber daya sistem sekolah
n.     Champions untuk membuat jalur bagi semua siswa untuk mencapai aspirasi yang tinggi (Rumah Dan Hayes, 2002: 253).

E.   Paradigma Bimbingan dan Konseling Masa Depan
Sedangkan untuk menghadapi waktu yang akan datang Dahir dan Stone (2009) melihat program bimbingan dan konseling harus bertujuan secara jelas dan dilakukan dengan penuh perhitungan dan hati-hati. Hal ini karena program bimbingan harus sesuai dan terintegrasi dengan program lembaga pendidikan. Oleh karena itu, program harus disusun untuk mendukung tujuan pendidikan di sekolah pada umumnya secara lebih nyata. Dari perspektif ini maka kegiatan bimbingan dan konseling sedapat mungkin menjadi bagian dari program sekolah pada umumnya. Setiap jenis kegiatan bimbingan dan konseling akan dapat dirasakan dampak dan sumbangannya. Untuk itu bentuk layanan yang diberikan juga akan bertambah luas spektrumnya mulai dari layanan yang bersifat ”konservatif” berupa pemberian layanan konseling, konsultasi, koordinasi; kemudian ditambah dengan layanan transformatif berupa kepemimpinan, advokasi, bekerja secara tim dan berkolaborasi, memanfaatkan asesmen dan penggunaan data, pemanfaatan teknologi; serta visi yang sesuai atau fleksibel dan terintegrasi yang berupa pertanggung jawaban, mediasi kultural, serta agen perubahan yang sistemik.
Semua pendidik, termasuk konselor, harus bertanggung jawab demi kemajuan siswa. Kondisi kemajuan siswa tersebut memerlukan tanggung jawab bersama. Pertanggungjawaban memerlukan pengumpulan, penganalisaan data secara sistematis, dan penggunaan data secara kritis untuk memahami kinerja siswa sekarang. Dan selanjutnya segera dimulai untuk membuat strategi, mempengaruhi, dan mendokumentasi bagaimana program bimbingan dan konseling sekolah dapat berkontribusi dan mendukung terhadap kesuksesan siswa. Dahir dan Stone (2003) menyatakan bahwa pada abad 21 semua aktor sekolah dituntut/dimintai pertanggungjawaban secara lebih terbuka oleh dorongan lingkungan (accountability-driven environment). Hal itu merupakan perubahan dramatis yang berbeda dengan sebelumnya, karena standar dan suasana kerja yang semakin dituntut untuk meningkatkan prestasi siswa. Secara historis, guru pembimbing belum pernah melakukan dengan standar pertanggungjawaban yang sama dengan pendidik yang lain untuk perbaikan sekolah. Hal ini karena menurut Sink (2009) pertanggungjawaban minimal meliputi (a) kemampuan bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukan, ( taking responsibility for one’s actions), (b) menunjukkan keterbukaan dan sensitivitas (exhibiting openness and sensitivity), dan (c) kemampuan menjaga sikap untuk mampu menjawab/menyesuaikan tantangan (maintaining an attitude of “answerability”). Untuk waktu-waktu yang akan datang pertanggung jawaban menjadi isu yang penting untuk diperhatikan. Hal ini menyangkut profesionalitas layanan yang diberikan oleh guru pembimbing, artinya bahwa setiap layanan yang diberikan oleh para pelaku profesi bimbingan dan konseling akan dapat dimintai pertangungjawabannya.
Tambahan yang kedua visi konselor untuk masa yang akan datang adalah kemampuan mediasi kultural. Kebutuhan akan konseling setiap hari semakin bertambah sebagai dampak konflik yang terjadi dalam masyarakat. Konflik di masyarakat adalah suatu keniscayaan. Konflik terjadi akibat semakin tinggi mobilitas dan interaksi anggota masyarakat yang semakin banyak dan beragam latar belakang budayanya. Di sekolah sebagai ajang bertemunya berbagai macam latar belakang budaya sangat mungkin terjadi konflik berlatar belanag budaya ini. Kondisi ini dimasa yang akan datang diprediksi akan semakin rawan jika konselor tidak dapat menanganinya. Namun, banyak konflik yang dapat ditangani dengan baik menggunakan non terapis teknik resolusi konflik. Strategi resolusi konflik, mediasi khususnya, menawari konselor untuk memperluas peranan dan fungsinya di dalam sekolah dan masyarakat pada umumnya (Messing, 1993). Dengan demikian peranan atau kompetensi untuk menjadi mediator kultural bagi seorang konselor semakin dituntut kinerjanya. Hal ini terjadi dengan semakin terbukanya batas-batas wilayah dan semakin tingginya tingkat migrasi di setiap daerah akan mendorong terjadinya multi-kultur di setiap tempat. Hal demikian juga berlaku bagi konselor, bahwa dimungkinkan sekali konselor untuk melakukan migrasi.
Terakhir, tambahan yang ketiga visi konselor untuk masa yang akan datang adalah kemampuan konselor sebagai agen perubahan. Peran yang hampir serupa dengan peran sebagai konsultan adalah peran sebagai agen perubahan. Peran sebagai agen perbahan bermakna bahwa keseluruhan lingkungan dari konseli harus dapat berfungsi sehingga dapat mempengaruhi kesehatan mental menjadi lebih baik, dan konselor dapat mempengunakan lingkungan tersebut untuk memperkuat atau mempertinggi berfungsinya konseli. Namun bukan hanya agen perubahan bagi konseli semata. Di samping konselor sebagai agen perubahan bagi konseli, di masa yang akan datang diharapakan konselor juga sebagai agen perubahan bagi lingkungan dirinya bekerja, dan juga bagi masyarakat sekitarnya. Dalam hubungan ini maka perlu keahlian pemahaman tentang sistem lingkungan dan sosial, dan mengembangkan ketrampilan tersebut untuk merencanakan dan menerapkan perubahan dalam lembaga, masyarakat, atau sistem. Fungsi yang berkaitan dengan peran ini antara lain analisis sistem, testing dan evaluasi, perencaaan program, perlindungan klien (client advocacy), networking, dan sebagainya.

DAFTAR RUJUKAN
American Heritage®Dictionary. Definiton of Paradigm. Diunduh 15 Januari 2010. http://education.yahoo.com/reference/dictionary/entry/paradigm.
American School Counselor Association. 1999. ASCA role statement: The role of the professional school counselor. Alexandria, VA: Author.
Baker, S.B., Robychaud, T.A., Deitrich, V.C.W., Wells, S.C., Schrek, R.E. 2009.
School Counselor Consultation : A Pathway to Advocacy, Collaboration, and Leadership. Professional School Counseling. 12:3 February 2009.
Brown, D., Pryzwansky, W.B. dan Schulte, A.C. 2001. Psychological Consultation: Introduction to Theory and Practice. Boston: Allyn and Bacon.
Dahir, C.A. dan Stone, C.B. 2003. Accountability: A M.E.A.S.U.R.E of the impact school counselors have on student achievement. Professional School Counseling. 6:3 February 2003.
Dahir, C.A. dan Stone, C.B. 2009. School Counselor Accountability: The Path to Social Justice and Systemic Change. Journal of Counseling and Development. Winter 2009.
Dirjen PMPTK. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdikbbud.
Henderson, P. 1999. Providing leadership for school counselors to achieve an effective guidance program. National Association of Secondary School Principals. NASSP Bulletin; Jan 1999.
House, R.M. dan Haves, R.L. 2002. School Counselors: Becoming Key Palyers in School Reform. Professonal School Counseling. April 2002; Vol.5: Iss.4.
McMillen, P.S. dan Pehrsson, D-E.2009. Improving a Counselor Education Web Site Through Usability Testing: The Biblitherapy Education Project. Counselor Education and Supervision; Dec 2009.
Messing, J. K. 1993. Mediation: An intervention strategy for counsellors Journal of Counseling and Development. Sep 1993.
Murray, K. 2004. Preventing Professional School Counselor Burnout. In Professional School Counseling A Handbook of Theories, Programs & Practices. Edited by Bradley E. Erford. Texas: CAPS Press.
Naugle, K.A. 2009. Counseling and Testing: What Counselors Need to Know About State Laws on Assessment and Testing. Measurement and Evaluation in Counseling and Development. Vol. 42.
Sciarra, D.T. 2004. School Counseling Foundation and Contemporary Issues. Canada: Brook/Cole.
Sink, C.A. 2009. School Counselors as Accountability Leaders: Another Call for Action. Professional School Counseling. 2 December 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar