KOMPETENSI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGAWAS DALAM MENINGKATKAN MUTU PEMBELAJARAN PANDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP NEGERI 4 DAN SMP NEGERI 14 KOTA KUPANG
Oleh: Abdulchalid Badarudin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
Masih minimnya jumlah pengawas
PAI di Nusa Tenggara Timur menyebabkan tugas pengawas masih belum maksimal.
Untuk memenuhi kekurangan tersebut, Kepala Bidang PAI Kementerian Agama Provinsi
Nusa Tenggara Timur Drs. H. Husen Anwar meminta kepada Seksi pendidikan Islam Kantor
Kementerian Agama se-Nusa Tenggara Timur untuk mendata guru PAI yang
berminat untuk menjadi calon pengawas PAI Tahun 2015. Berdasarkan surat
tersebut, ada beberapa syarat pengajuan yang harus dilengkapi untuk diajukan ke
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di antaranya
adalah berstatus guru aktif dengan melampirkan surat keterangan dari kepala
sekolah, melampirkan foto copy ijazah pendidikan minimal S1 yang dilegalisir.
Selain itu, melampirkan surat keterangan keterampilan keahlian bidang kepengawasan,
pangkat golongan minimal III/c, usia paling tinggi 55 tahun, surat keterangan
lulus calon seleksi pengawas dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Nusa Tenggara Timur, surat keterangan STTPP dari Pusdiklat Jakarta,
melampirkan surat keterangan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) 2 tahun terakhir. Usulan
juga dilengkapi dengan melampirkan foto copy SK terakhir, kartu pegawai dan sertifikat
pendidik yang dilegalisir, serta surat permohonan untuk diangkat sebagai pengawas PAI
dari guru yang bersangkutan ditujukan kepada kepala sekolah. Kemudian rekomendasi
dari kepala sekolah dengan persetujuan Pokjawas PAI.
Bagi guru yang diangkat
oleh Dinas Pendidikan, maka harus melampirkan rekomendasi dari Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, kemudian diajukan ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Nusa Tenggara Timur untuk memperoleh rekomendasi dan selanjutnya di SK-kan oleh
Walikota/Bupati. Sementara bagi guru PAI yang diangkat oleh Kementerian Agama,
maka harus melampirkan rekomendasi dari Kementerian Agama Kabupaten/Kota
kemudian diajukan ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara
Timur untuk memperoleh Surat Keputusan.
Disebabkan guru PAI di wilayah kerja Kementerian Agama Kota Kupang
dan beberapa Kabupaten lainnya belum memenuhi syarat untuk diusulkan menjadi pengawas
PAI terutama belum memperoleh sertifikat pendidikan dan pelatihan pengawas,
maka Bidang PAI Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur
menyelenggarakan pendidikan dan latihan pengawas pada tahun 2015 di Asrama Haji
Transit Kupang. Seksi Pendidikan Islam Kementerian Agama Kota Kupang juga
mengirim guru PAI yang berada di wilayah kerjanya, baik guru PAI di sekolah
umum maupun dari madrasah.
Pada Kementerian Agama
Kota Kupang sendiri mengalami kekurangan pengawas PAI. Akibatnya, monitoring
dan kepengawasan di sekolah jarang dilakukan. Ini disebabkan oleh jumlah pengawas
PAI hanya dua orang, sedangkan jumlah sekolah binaan tingkat SMP/MTS ditambah
SMA/MA/SMK sebanyak 102 sekolah. Diperparah lagi dua orang pengawas tersebut Drs.
Nurdin Halamai dan Mahben Ghafar, S.Ag telah pensiun sejak tahun 2015
lalu. Dan sampai sekarang pengawas PAI mengalami
kefakuman. Kekosongan ini diharapkan tidak sampai berlarut-larut, sebab akan berkembang
kebijakan di tingkat bawah menafsirkan aturan yang ada. Sedangkan Kementerian
Agama Kota Kupang menetapkan jumlah guru PAI untuk mengikuti pendidikan dan
latihan kepengawasan yang diselenggarakan oleh Bidang Pendidikan Islam Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak representativ
dengan jumlah sekolah binaan yang berada di Kota Kupang. Guru yang diutus untuk
mengikuti pendidikan dan pelatihan kepengawasan antara lain:
1.
Dra. Hj. Nurni, M.Pd.I dari tingkat SMP
(guru PAI di SMP Negeri 5 Kota Kupang).
2.
Samiun Hamid, M.Pd.I dari tingkat
SMA/SMK/MA (guru PAI di SMA Negeri 2 Kupang).
3.
Drs. Din Hamja, M.Ag dari tingkat SMA/SMK/MA
(guru Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah Negeri Kupang).
Dari jumlah guru yang
ditetapkan oleh Kementerian Agama Kota Kupang tersebut tidak memenuhi target
jumlah sekolah dan madrasah di Kota Kupang. Jelas penetapan ini tidak
mempertimbangkan rasio jumlah sekolah dan madrasah. Sekolah/madrasah tingkat
SMP di Kota Kupang berjumlah 58 (lima puluh delapan) baik berstatus negeri
maupun swasta. Belum lagi kedua pengawas
PAI tersebut harus merangkap pada tugas kepengawasan pada tingkat SMA/SMK/MA
sebanyak 44 sekolah, sedangkan jumlah pengawas PAI hanya 2 orang. Jumlah sekolah/madrasah
keseluruhan yang menjadi tanggung jawab Pengawas PAI Kota Kupang adalah
sebanyak 102 sekolah. Jadi secara kuantitatif rasio adalah 1:51. Ini
menunjukkan angka kuantitatif yang sangat jauh bila merujuk pada Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi nomor 21 tahun 2010
pasal 6 ayat 2 point (b) bahwa “Untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/MAK paling sedikit
7 satuan pendidikan dan atau 40 (empat puluh) guru mata pelajaran/kelompok mata
pelajaran”.
Inilah salah satu
penyebab pelaksanaan tugas dan beban kerja pengawas PAI di Kota Kupang sering
menjadi sorotan, bukan lantaran kinerja tetapi karena personil yang
bertugas tidak sesuai dengan jumlah sekolah binaan. Selain persoalan di
atas, Kementerian Agama Kota Kupang selama ini hanya mengangkat pengawas mata
pelajaran PAI untuk sekolah dan madrasah. Belum ada pengangkatan pengawas satuan
pendidikan dan pengawas bimbingan dan konseling. Hal ini jelas
bertentangan dengan pedoman tugas guru dan pengawas yang diterbitkan oleh
Dirjen PMPTK tahun 2009 bahwa pengawas terdiri dari pengawas satuan
pendidikan, pengawas mata pelajaran atau pengawas kelompok mata
pelajaran, pengawas bimbingan dan konseling dan pengawas sekolah luar
biasa.
Pengangkatan pengawas
madrasah sebagai pengawas satuan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama
Kota Kupang, adalah kebijakan yang tidak menutup pengangkatan pengawas PAI
. Hal ini mengemuka ketika ada pendapat dari kalangan internal Kementerian Agama
Kota Kupang yang menjelaskan bahwa hanya ada satu istilah pengawas di
lingkungan Kementerian Agama yaitu pengawas madrasah. Pengawas
madrasah memang dianggap sebagai solusi bagi pengawas PAI yang tidak berlatar
belakang pendidikan atau memiliki sertifikat pendidik agama Islam tetapi
menjadi masalah ketika pengawas madrasah tersebut melakukan
supervisi akademik pada guru PAI di sekolah umum. Tugas yang dilakukannya
menjadi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi kalau mengikuti pola yang
diatur oleh PP.74 tahun 2008, Kementerian Agama Kota Kupang sebaiknya mengangkat
pengawas madrasah tetapi tetap mempertahankan pengawas PAI yang selama ini
bekerja sesuai aturan sebagai pengawas mata pelajaran, sehingga di lingkungan
Kementerian Agama Kota Kupang ada pengawas satuan pendidikan dalam bentuk pengawas
madrasah dan ada pula pengawas mata pelajaran PAI yang bertugas di sekolah
umum. Bahkan akan lebih baik lagi jika mengangkat pengawas bimbingan dan
penyuluhan yang bertugas di lingkungan madrasah.
Dalam kaitannya dengan kepengawasan
PAI di sekolah binaan tingkat SMP di Kota Kupang, maka masalah mutu pembelajaran
PAI menjadi masalah yang relevan sekali untuk dibahas. Mutu pembelajaran PAI sering
diartikan sebagai jasa pendidikan yang sesuai dengan kriteria tertentu dalam
rangka memenuhi kepuasan anaka didik, orang tua/wali, serta pihak-pihak
berkepentingan lainnya. Masalah mutu pembelajaran PAI menjadi hal yang serius
karena ternyata anak didik dan orang tua/wali seringkali belum puas dengan
layanan yang diberikan oleh sebuah lembaga pendidikan, hal ini dikarenakan dari
segi pelayanan masih di bawah pelayanan minimal, terjadinya inefisiensi
pemanfaatan sumber daya, adanya kegiatan yang kontraproduktif yang pada
ujungnya mengakibatkan tidak tercapainya tujuan PAI di sekolah. Untuk itulah
diperlukan suatu pengawasan supaya sebuah lembaga pendidikan yang dalam hal ini
sekolah, dapat melayani anak didik dan orang tua/wali sesuai kriteria yang
telah ditentukan sehingga pada akhirnya dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan
mereka sekaligus menjamin tercapainya tujuan PAI di sekolah.
Ketajaman analisis dan
sintesis, ketepatan memberikan treatment yang diperlukan serta komunikasi yang
baik antara pengawas PAI dengan setiap individu di sekolah sangat penting.
Dengan kemampuan-kemampuan tersebut diharapkan pengawas PAI dapat menjadi
partner kerja yang serasi dengan pihak sekolah dalam memajukan sekolahnya,
bukan menjadi seorang pengawas yang menakut-nakuti pihak sekolah. Mengingat
beratnya tugas kepengawasan tersebut maka sudah menjadi suatu keharusan bahwa pengawas
PAI harus menjadi seorang yang profesional dalam bidangnya, dan untuk tercapainya
PAI diperlukan upaya untuk meningkatkan profesionalisme pengawas. Selain
berbagai alasan pentingnya peningkatan profesionalisme pengawas PAI seperti di
atas maka peningkatan profesionalisme pengawas PAI juga harus dilakukan untuk
menjawab tantangan dunia pendidikan yang semakin komplek, serta untuk lebih
mengarahkan sekolah ke arah pencapaian tujuan PAI secara efisien. Dalam rangka
peningkatan profesionalisme ini maka diperlukan standarisasi kompetensi pengawas
PAI sebagai jaminan kesamaan penguasaan kompetensi yang diperlukan dalam hal pengawasan
sekolah sehingga sekolah dapat lebih dilayani dan dibina secara efektif,
efisien dan produktif.
Salah satu kompetensi
yang dimiliki oleh pengawas PAI adalah kompetensi penelitian dan pengembangan. Walaupun
Kementerian Agama Kota Kupang sedang menghadapi kefakuman pengawas PAI disebabkan
telah pensiun, kemudian jumlah pengawas PAI di Kota Kupang tidak representativ
dengan jumlah sekolah binaan, tetapi pengawas PAI tingkat SMP di Kota Kupang memiliki
sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pengawas PAI di Kabupaten lainnya di
Nusa Tenggara Timur. Di antaranya adalah kemampuan melaksanakan penelitian dan
pengembangan di sekolah binaan dalam rangka memperbaiki mutu pembelajaran PAI. Pengawas
PAI tingkat SMP di Kota Kupang boleh dikatakan sebagai agent of change bagi
kemajuan sekolah binaannya. Kemampuan metodologi dalam melaksanakan penelitian
dan pengembangan yang dimiliki pengawas PAI tingkat SMP di Kota Kupang sanggup
memberikan tindakan untuk memperbaiki permasalahan yang ada di sekolah
binaannya.
Di samping sebagai
agent of change, tuntutan karier kenaikan pangkat dan golongan bagi pengawas PAI
tingkat SMP di Kota Kupang untuk melakukan penelitian dan pengembangan. Ditambah
lagi dengan kondisi kepala sekolah dan guru PAI yang belum memahami tentang Penelitian
Tindakan Sekolah dan Penelitian Tindakan Kelas sehingga memotivasi pengawas PAI
tingkat SMP di Kota Kupang untuk memahami dan menguasai tentang penelitian. Hasil
wawancara dengan salah seorang pengawas PAI tingkat SMP di Kota Kupang yang
telah pensiun Mahben Ghafar, S.Ag menyatakan bahwa hampir 95 % kepala sekolah tidak bisa membuat Penelitian
Tindakan Sekolah sebagai karya ilmiah. Begitupun guru PAI. Hasil wawancara ini
juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Nitiasih (2009) bahwa
85% guru dan 90% kepala sekolah tidak mampu menemukan masalah yang dapat
dijadikan Penelitian Tindakan Sekolah dan Penelitian Tindakan Kelas bagi guru.
Kenyataan tersebut disupport oleh hasil dari FGD (Focused group discussion)
yang dilakukan oleh Rinjin dkk (2008) dengan para guru, yang mana diperoleh
informasi bahwa guru sesungguhnya sering dikirim oleh pihak sekolah untuk
mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar tentang Penelitian Tindakan Kelas atau
topik-topik yang lain demikian juga dengan kepala sekolah sering mengikuti
pelatihan Penelitian Tindakan Sekolah, tetapi para guru mengakui bahwa model
pelatihan lebih banyak memfokuskan pada kajian teoritis dan kurang penyajian
contoh-contoh kongkret sehingga ketika selesai mengikuti pelatihan mereka tidak
memahami dengan baik konsep yang telah diajarkan dan ketika kembali ke sekolah
mereka tidak mampu melakukan penelitian. Ini disebabkan para guru memerlukan
pelatihan-pelatihan yang menyangkut hal-hal yang lebih inovatif yang bisa
dipakai guru di kelas. Dalam diskusi dengan responden saat itu, juga didapat
informasi bahwa model pelatihan yang sering diberikan kepada mereka lebih
banyak teoritis dan kurang penyajian contoh kongkret yang aplikatif.
Berdasarkan hasil
penelitian di atas, kepala sekolah dan guru PAI sebagai orang yang harus tau tentang
penelitian terutama Penelitian Tindakan Sekolah dan Penelitian Tindakan Kelas perlu
diberikan pelatihan dengan cara yang lebih praktis sehingga mereka mampu
menganalisis dan menemukan masalah-masalah yang cocok dipergunakan sebagai
masalah penelitian di Sekolah. Dengan melihat hasil penelitian Nitiasih (2010)
bahwa model pelatihan ‘Reflective’ mampu meningkatkan kemampuan peserta
pelatihan dalam membuat proposal Penelitian Tindakan Sekolah dan Penelitian
Tindakan Kelas maka merupakan suatu keharusan bila para kepala sekolah dan guru
PAI tingkat SMP di Kota Kupang diberikan pelatihan dengan cara yang lebih
kongkrit yaitu dengan ‘reflective model’ sehingga profesionalisme kepala sekolah
dan guru PAI tidak tetap rendah.
Setelah penulis
melakukan observasi pra penelitian di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota
Kupang, diperoleh sejumlah informasi bahwa keunggulan Pengawas PAI tingkat SMP
di Kota Kupang dalam melakukan penelitian dan pengembangan kadangkala tidak mendapat
dukungan dari pihak-pihak terkait. Ini menyebabkan ruang gerak para pengawas PAI
terbatas, antara lain waktu, tenaga, dan biaya. Pengawas PAI Kota Kupang sebagai
pihak eksternal pengendalian mutu pendidikan pada level satuan pendidikan
sering dikesampingkan peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan
di sekolah. Bahkan, tidak jarang pengawas PAI menjadi pihak pertama yang patut
disalahkan ketika terjadi kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini
menjadi pertanyaan besar mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di
kalangan sekolah. Menurut Drs. Nurdin Halamai salah seorang pengawas PAI tingkat
SMP di Kota Kupang bahwa penjaminan mutu pembelajaran PAI di SMP se-Kota Kupang
bukanlah sebatas mencapai suatu tujuan,
akan tetapi suatu proses yang dinamis yang berlangsung terus menerus. Sebuah
proses yang menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan
sebelumnya. Dalam konsep penjaminan mutu pembelajaran PAI di SMP se-Kota Kupang,
proses produksi yang baik diletakkan dan dilekatkan pada tanggung jawab guru PAI
sebagai pelaku.
Keadaan di Kantor
Kementerian Agama Kota Kupang juga memperlihatkan terjadinya penurunan kinerja pengawas
PAI. Selama ini kinerja pengawas PAI menjadi bahan pembicaraan warga sekolah.
Hal ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas PAI ke sekolah di Kota Kupang
yang tidak pernah didukung dengan biaya yang cukup sehingga sebagian beban itu
menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas PAI di sekolah terganggu
dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari
pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang kegiatan
supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa
mengikutsertakan pengawas PAI. Akibatnya, fungsi monitoring yang dilakukan oleh
pengawas PAI semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya
keterlambatan pengawas PAI merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi
pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program
yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru.
Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan
inovasi pendidikan yang baru, pengawas PAI harus lebih dulu mengetahui dan
memahaminya.
Di sekolah-sekolah umum
di Kota Kupang khususnya tingkat SMP, supervisi pendidikan baik akademik maupun
manajerial yang dilakukan oleh pengawas PAI dalam rangka menjamin mutu
pembelajaran sangat jarang dilakukan, hal ini disebabkan oleh berbagai alasan
yang telah diuraikan di atas. Sedangkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan
terus berjalan hingga para pengawas PAI tersebut berakhir masa pengabdian alias
pensiun. Keunggulan tersebut harus tetap dipertahankan oleh para pengawas PAI yang
akan datang kemudian menggantikan pengawas yang telah pensiun. Setidaknya
keberhasilan para pengawas PAI yang terdahulu dijadikan teladan dan inspirasi
bagi mereka yang datang kemudian.
Penelitian dan
pengembangan yang dilakukan oleh pengawas PAI tingkat SMP di Kota Kupang dirasakan
sangat penting karena merupakan salah satu tujuan untuk menghimpun informasi
atau kondisi nyata pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai
dengan tugas pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, akreditasi, dan
tindak lanjut perbaikan mutu belajar siswa di sekolah binaannya. Tujuan lanjut
adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan perbaikan mutu
pembelajaran. Target puncak adalah berkembangnya proses perbaikan mutu secara
berkelanjutan; meningkatnya kebiasaan melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu
yang terukur, dan membiasakan tiap tahap pekerjaan jelas pula mutunya. Dengan
demikian meningkat pula kejelasan pengaruh pelaksanaan tugas profesi pengawas PAI
terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab pengawas PAI dapat menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya
yang selalu menjunjung target yang tinggi pada setiap langkah kegiatan.
Selain itu kendala yang
dihadapi oleh pengawas PAI tingkat SMP di Kota Kupang adalah manajemen sekolah,
baik yang bersifat keorganisasian atau individu-individu dalam hal ini guru PAI
di sekolah, masalah dalam pembelajaran, maupun masalah dalam pemberdayaan
masayarakat. Masalah dalam pembelajaran merupakan pengelolaan sekolah yang
muncul akibat kurangnya guru PAI yang profesioanal terutama dalam merencanakan
dan mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik, cara mengajar yang monoton
atau kurang variatif, minimnya sumber belajar yang dibutuhkan, kurangnya
kemampuan guru PAI dalam menilai hasil belajar, rendahnya kemampuan atau
kompetensi guru PAI dalam pembelajaran, rendahnya minat siswa dalam kegiatan
belajar dan mengajar, kurangnya motivasi guru PAI dalam bekarja, tidak
tersedianya ruang belajar yang dibutuhkan, serta fasilitas pembelajaran yang
tidak memadai.
Dengan berbekal kompetensi
penelitian dan pengembangan inilah diharapkan seorang pengawas PAI tingkat SMP
di Kota Kupang bisa tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional.
Dengan tampil sebagai pengawas PAI yang berkompeten dan profesional maka tujuan
selanjutnya adalah dapat memberikan kontribusi pada peningkatan mutu pembelajaran
PAI di sekolah binaan.
Dengan demikian pengawas
PAI dalam mengimplementasikan
penelitian dan pengembangan di samping melakukan penelitian untuk dirinya
sendiri juga membina guru dalam melakukan penelitian dalam rangka meningkatkan
mutu pembelajaran PAI di sekolah.
B.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini
akan mencoba mengungkapkan bagaimana aktifitas dan peran pengawas PAI di
lingkungan Kementerian Agama Kota Kupang dalam melakukan penelitian dan
pengembangan pada sekolah binaannya. Kemudian dari hasil penelitian dan
pengembangan dapat memberikan sejumlah solusi yang tepat bagi sekolah untuk menjamin
pembelajaran yang berkualitas di sekolah binaannya.
Fokus penelitian di atas
apabila diturunkan dan diuraikan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimana penguasaan pengawas PAI terhadap
berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan di SMP
Negeri 4 dan 14 Kota Kupang?
2.
Bagaimana kemampuan pengawas PAI dalam menyusun
proposal penelitian pendidikan di SMP Negeri 4 dan 14 Kota Kupang?
3.
Bagaimana pelaksanaan penelitian pendidikan
yang dilakukan oleh pengawas PAI di SMP Negeri 4 dan 14 Kota Kupang?
4.
Bagaimana pengawas PAI memberikan
bimbingan kepada guru tentang penelitian tindakan kelas, baik perencanaan
maupun pelaksanaannya di SMP Negeri 4 dan 14 Kota Kupang?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas maka tujuan
dari penelitian ini untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan memberikan
interpretasi tentang:
1.
Penguasaan pengawas PAI terhadap berbagai
pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan di SMP Negeri 4 dan
14 Kota Kupang.
2.
Kemampuan pengawas PAI dalam menyusun
proposal penelitian pendidikan di SMP Negeri 4 dan 14 Kota Kupang.
3.
Pelaksanaan penelitian pendidikan yang
dilakukan oleh pengawas PAI di SMP Negeri 4 dan 14 Kota Kupang.
4.
Bimbingan pengawas PAI kepada guru tentang
penelitian tindakan kelas, baik perencanaan maupun pelaksanaannya di SMP Negeri
4 dan 14 Kota Kupang.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sejumlah kontribusi baik secara teoritis maupun praktis.
1.
Manfaat Teoritis
1.1 Sebagai
bahan utama dalam pengembangan konsep tentang penelitian dan pengembangan pengawas
PAI di lingkungan Kementerian Agama Kota Kupang sekaligus mengembangkan sistem
pembelajaran PAI di sekolah tingkat SMP di Kota Kupang secara utuh.
1.2 Sebagai
penguat teori tentang penelitian dan pengembangan seorang pengawas PAI di
sekolah binaannya agar pembelajaran PAI bisa tercapai.
1.3 Sebagai
penguat konsep tentang pentingnya forum Kelompok Kerja pengawas PAI secara
formal.
1.4 Sebagai
penyanggah asumsi awal bahwa pengawas PAI tingkat SMP di Kota Kupang kurang
professional dalam melaksanakan kompetensinya, namun pada sisi lain pengawas PAI
mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan sebagai wujud dedikasi dan
tanggung jawabnya.
2.
Manfaat Praktis
2.1 Secara
praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran
menyeluruh kepada pihak berwenang di bidang pendidikan yang terkait terutama
Kementerian Agama Kota Kupang tentang bagaimana peran dan kinerja pengawas PAI dalam
melakukan penelitian dan pengembangan dalam rangka menjamin mutu pembelajaran
di sekolah binaannya.
2.2 Memberikan
gambaran bagaimana peran Kelompok Kerja Pengawas terhadap peningkatan
kompetensi dan kinerja pengawas PAI, peningkatan kemampuan dan unjuk kerja pengawas
PAI yang berujung pada peningkatan mutu sekolah.
2.3 Sebagai
literatur pembanding atau literatur tambahan bagi pengawas PAI dalam upaya
mengembangkan penelitiannya.
2.4 Sebagai
motivasi bagi pengawas PAI tingkat SMP di Kota Kupang untuk secara
terus-menerus melaksanakan penelitian dan pengembangan rangka meningkatkan mutu
pembelajaran di sekolah binaannya.
2.5 Sebagai
tambahan literatur perpustakaan di sekolah tingkat SMP di Kota Kupang dan Kementerian Agama Kota Kupang.
2.6 Sebagai
acuan bagi guru PAI tingkat SMP di Kota Kupang dalam mengeksplorasikan pembelajaran
PAI.
2.7 Sebagai
salah satu masukan dan informasi pendukung atau pelengkap bagi guru PAI dalam
proses evaluasi pembelajaran PAI.
2.8 Sebagai
rujukan bagi praktisi pendidikan dalam mengambil sikap untuk memutuskan
kebijakan dalam mengembangkan pembelajaran PAI di sekolah.
E. Defenisi Istilah
Agar dapat memberikan pemahaman kepada para pembaca dan tidak membias
dalam memahami penulisan ini, penting kiranya penulis memberikan penegasan
istilah sebagai berikut:
1.
Kompetensi
Menurut
UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: pasal 1 ayat 10 “Kompetensi adalah
kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan”. Secara sederhana
kompetensi diartikan seperangkat kemampuan yang meliputi pengetahuan, sikap, nilai
dan keterampilan yang harus dimiliki dan dimiliki seseorang dalam rangka
melaksanakan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab pekerjaan dan/jabatan yang
disandangnya. Nasution (2007:87) menyatakan bahwa kompetensi harus mencakup lima dimensi, yakni
:
o Task skills; mampu melakukan tugas per tugas.
o Task management skills; mampu mengelola beberapa
tugas yang berbeda dalam pekerjaan
o Contingency management skills; tanggap terhadap
adanya kelainan dan kerusakan pada rutinitas kerja.
o Environment skills/job role; mampu menghadapi
tanggung jawab dan harapan dari lingkungan kerja/beradaptasi dengan lingkungan.
o Transfer skills; Mampu mentransfer kompetensi yang
dimiliki dalam setiap situasi yang berbeda (situasi yang baru/ tempat).
Inti dari
definisi kompetensi yang dipahami selama ini adalah mencakup penguasaan
terhadap 3 jenis kemampuan, yaitu: pengetahuan (knowledge, science),
keterampilan teknis (skill, teknologi) dan sikap perilaku (attitude). Sekarang
ini banyak buku yang mengulas kompetensi dilihat dari tiga aspek kecerdasan
manusia yang harus dikembangkan secara utuh dan seimbang, yaitu: kecerdasan
intelek/kecerdasan rasional (Intellectual Quotient/IQ), kecerdasan emosional
(Emotional Quotient/EQ) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ) dengan
SQ yang menjadi pondasinya.
Jadi, kompetensi adalah sebuah pernyataan terhadap apa yang seseorang
harus lakukan di tempat kerja untuk menunjukan pengetahuannya, keterampilannya
dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan.
2.
Penelitian dan Pengembangan
Menurut
Gay (1990:98) penelitian dan pengembangan adalah suatu usaha untuk
mengembangkan suatu produk yang efektif untuk digunakan sekolah, dan bukan
untuk menguji teori. Sedangkan Borg and Gall (1983:772) mendefinisikan
penelitian dan pengembangan adalah “proses yang digunakan untuk mengembangkan
dan memvalidasi produk pemikiran. Langkah-langkah dari proses ini biasanya
disebut sebagai siklus R & D, yang terdiri dari mempelajari temuan
penelitian yang berkaitan dengan produk yang akan dikembangkan, mengembangkan
produk berdasarkan temuan ini, bidang pengujian dalam pengaturan di mana ia
akan digunakan akhirnya dan merevisinya untuk memperbaiki kekurangan yang
ditemukan dalam tahap mengajukan pengujian. Dalam program yang lebih ketat dari
R & D, siklus ini diulang sampai bidang-data
uji menunjukkan bahwa produk tersebut memenuhi tujuan perilaku didefinisikan”.
Seals dan
Richey (1994) mendefinisikan “penelitian dan pengembangan sebagai suatu
pengkajian sistematik terhadap pendesainan, pengembangan dan evaluasi program,
proses dan produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria validitas,
kepraktisan, dan efektifitas”. Sedangkan Van den Akker dan Plomp (1993:67) “mendeskripsikan
penelitian dan pengembangan berdasarkan dua tujuan yakni pengembangan prototipe
produk, perumusan saran-saran metodologis untuk pendesainan dan evaluasi
prototipe produk tersebut”.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian dan
pengembangan adalah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan
memvalidasi produk-produk yang digunakan dalam pendidikan. Produk yang
dihasilkan antara lain bahan pelatihan untuk guru, materi belajar, media, soal,
dan sistem pengelolaan dalam pembelajaran.
3.
Pengawas PAI
Menurut
Mc. Ahsan (2009:98) pengawas PAI adalah “jabatan professional yang dimiliki
oleh seorang pengawas dalam bidang PAI , yang harus melalui program pendidikan
profesi pengawas sekolah”. Pasal 39 dan 41 UU nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional “pengawas sekolah merupakan jabatan strategis dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Pengawas yang merupakan tenaga
kependidikan mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan
pendidikan pada sejumlah sekolah yang menjadi tanggungjawabnya”.
Dengan
demikian, pengawas PAI di sekolah sebenarnya berfungsi sebagai penjamin
terwujudnya proses pembelajaran di sekolah. Lebih tegasnya pengawas PAI di sekolah
memiliki tugas dan fungsi yang sangat menentukan dalam pengendalian mutu,
kontrol proses dan evaluasi kinerja guru.
4.
Mutu Pembelajaran PAI
Abdul Majid dan Dian Andayani, (2005:192) menyatakan
bahwa “dalam menghadapi tantangan global, maka pembelajaran PAI harus
ditingkatkan mutunya, materi PAI tidak hanya persoalan keagamaan secara sempit namun
juga menyentuh wilayah sosial. Maka perlu ada reiorentasi wawasan PAI yang
kontekstual.
Menurut Abdurahman Assegaf (2003:98) bahwa “setidaknya
ada empat orientasi wawasan PAI yang relevan. Pertama, PAI berwawasan
kebangsaan. Kedua, PAI berwawasan demkratis. ketiga, PAI berwawasan HAM.
Keempat, PAI berwawasan pluralism. Dalam jangka panjang, keempat wawasan PAI di
atas diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam mengurangi problematika
ekonomi, moral, sosial, dan politik bangsa Indonesia”.
Dalam pelaksanaannya, diakui PAI mengalami banyak
tantangan di antaranya; minimnya jam pelajaran yang diberikan. Dalam waktu yang
singkat itu, guru harus menyampaikan materi yang cukup padat terhadap peserta
didik. Maka diperlukan suatu pendekatan yang efektif agar materi PAI dapat disampaikan
secara bermakna, sehingga dapat mengoptimalkan sedikitnya jam mata pelajaran di
sekolah. Dalam hal ini, ada beberapa pendekatan yang digunakan baik itu pada
tingkat sekolah dasar maupun menengah, yakni:
o Pendekatan keimanan, yaitu memberikan peluang kepada
peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya tuhan sebagai sumber
kehidupan makhluk dialam ini.
o Pendekatan pengalaman, yaitu memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman
ibadah dan akhak dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan.
o Pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan
kepaa peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku yang sesuai dengan
ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan.
o Pendekatan rasional yaitu memberikan peran pada akal
peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar dalam standar
materi serta kaitannya dengan perilaku yang baik dan buruk dalam kehidupan.
o Pendekatan emosional yaitu upaya menggugah perasaan
peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan
budaya bangsa.
o Pendekatan fungsional yaitu menyajikan bentuk semua
standar materi (Al-Qur’an, keimanan, akhlak, fiqih, dan tarikh) dari segi
manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti yang luas.
o Pendekatan keteladaan yaitu menjadikan figure guru
agama dan non agama serta semua pihak sekolah sebagai cermin manusia yang
berkepribadian.
Dalam
pelaksanaan di lapangan, materi PAI tidak hanya disampaikan terkait dengan
aspek-aspek kognitif dan psikomotorik saja, tetapi juga dari aspek efektif.
Padahal hal yang cukup penting terkait dengan pembinaan sikap dan cita rasa
beragama terkait dengan aspek efektif. Seharusnya aspek ini mampu terpatri
dalam diri peserta didik. Sehingga sebagai solusi yakni melalui keteladanan
atau peragaan hidup secara riil serta penciptaan suasana yang religius di
sekolah umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar