“Desain
Pendidikan Karakter Bagi Pendidikan Menengah”
Oleh: Abdulchalid Badarudin
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia
memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai
pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut,
pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Menurut UU No 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap
jenjang, termasuk Pendidikan Menengah (pendidikan menengah) harus
diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,
beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim
Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal
ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia
insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas
dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat
dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum
(KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan
pendidikan di pendidikan menengah sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan
dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan
internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai
upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional
mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan
jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan
operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan
jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses
psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati
(Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development),
Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa
dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu
pada grand design tersebut.
Menurut
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1
menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal,
dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal
adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal
sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan
pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam
per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam
keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu,
pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan
peserta didik.
Selama
ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan
kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja
orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik
anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan
pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap
perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan
kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di
sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam
pembentukan karakter peserta didik.
Disadari bahwa pembangunan karakter
bangsa dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat kompleks. Perkembangan
masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tentu merupakan masalah tersendiri
dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan antarbangsa sangat
berpengaruh pada aspek ekonomi (perdagangan global) yang mengakibatkan
berkurang atau bertambahnya jumlah kemiskinan dan pengangguran. Pada aspek
sosial dan budaya, globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial
seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik yang seperti virus
akan berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan
budaya bangsa seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya
toleransi antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap sesama, dan itu
semua pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai
warga negara Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan strategi pendidikan
sebagai modal utama menghalangi virus-virus penghancur tersebut, masa depan
bangsa ini dapat diselamatkan.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam tulisan ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
1.
Bagaimana design pendidikan karakter
bagi Pendidikan Menengah?
2. Bagaimana
model pembinaan pendidikan karakter di Pendidikan Menengah?
3. Bagaimana proses
pembentukan karakter kepada anak di Pendidikan Menengah?
4.
Bagaimana peran guru dalam pengembangan karakter anak di pendidikan
menengah?
C. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.
Mendeskripsikan design pendidikan
karakter bagi Pendidikan Menengah.
2. Mengidentifikasi
model pembinaan pendidikan karakter di Pendidikan Menengah.
3. Mengetahui proses
pembentukan karakter kepada anak di Pendidikan Menengah.
4. Mengidentifikasi
peran guru dalam pengembangan
karakter anak di pendidikan menengah.
D. Manfaat
Dalam penulisan makalah ini,
penulis mempunyai sebuah harapan agar makalah ini kelak bisa berguna untuk
orang banyak, selain itu ada beberapa harapan penulis tentang kegunaan penulisan makalah ini di antaranya
sebagai berikut:
1. Untuk dunia pendidikan; kiranya dapat memperluas pengetahuan pembaca tentang design pendidikan karakter di Pendidikan
Menengah.
2. Untuk penulis; digunakan
untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Dosen. Selain itu penulisan makalah ini untuk memperkaya pengetahuan bagi penulis.
E. Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sumber
data dari data-data kepustakaan (penelitian literatur) yang diperoleh dari
pelbagai literatur buku dan juga sumber data dari data-data yang diambil
melalui media internet. Sedangkan dalam metode penulisannya, penulis
menggunakan berbagai metode adalah
metode induktif, yakni pembahasan yang
dimulai dengan mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dari
fakta-fakta tersebut dicari generalisasinya (kesimpulan yang bersifat
umum).
F.
Kerangka Berpikir
Kerangka
berpikir pada tulisan ilmiah ini sebagai berikut :
![]() |
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Design
Pendidikan Karakter di Pendidikan Menengah
Budaya kekerasan seringkali kita lihat belakangan
ini. Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter
adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok. Terjadi tontonan
yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan
ratusan aparat Satpol PP. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan
aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah
satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat
sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan.
Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan
ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan
di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?.
Bagaimana pemerintah menjadi fasilitator pelayanan
publik tidak dimiliki oleh negara. Pemerintah serius bisa menggusur tanpa bisa
menunjukkan alternatif berjualan bagi masyarakat misalnya. Belum lagi status
klaim tanah yang berakibat pada penggusuran. Ancaman penggusuran menjadi
sesuatu yang sangat menakutkan bagi semua negara. Kemudian masyarakat
seringkali menempuh cara kekerasan sehingga tidak punya karakter sebagai warga
negara yang baik mengedepankan dialog. Bagaimana mengatasinya ini? Perlu grand
design tentang pendidikan karakter bangsa.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena
didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geopolitik yang sangat
strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya,
dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki
peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur,
berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih
menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai.
Misalnya aspek politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem
kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu
aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigma ekonomi yang tidak konsisten,
struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem
keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan
industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini
adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan,
memudarnya kohesi dan integrasi sosial dan melemahnya mentalitas positif.
Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang
dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling
penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada
faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial budaya
dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah
tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi
Indonesia yang lebih maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM
yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter
SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam
proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh
menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan
berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang
berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk
atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau
pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu
merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan
pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan
Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sindiknas yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah “… agar manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Melihat kondisi sekarang dan akan datang,
ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini
dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang
tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut.
Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan
cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya kasus-kasus aktual, masih banyak
ditemukan siswa yang menyontek dikala sedang menghadapi ujian, bersikap malas,
tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan
lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan
contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak
jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian
nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan
bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini
tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh
diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak kemnadi manusia
yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang
mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi,
dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga
oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa
gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang
kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama
pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah
dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.
1.
Kenapa
Pendidikan?
Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk
kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti
sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki
peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik.
Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model
lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, Pendidikan
Menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan
informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar
secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada
kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non
formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak
saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik.
Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi
sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya
anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah
ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan
WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari
penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam,
2000:194).
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan
melakukan penguatan peserta didik perlu mensinergiskan ketiga komponen lembaga
pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan
orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase
negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal,
kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu
yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappire dalam Suyanto dan Hisyam,
2000:186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja
pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya
perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non
formal dan informal.
2.
Ciri
karakter SDM
SDM merupakan aset paling penting untuk membangun
bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki
harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental
yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran,
keberanian, ketegasan, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik
lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep
tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dalam
kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious,
yaitu sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya,
dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki
sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan
antara individu dan sosial, berorientasi materi dan rohani serta mampu hidup
dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan
kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4)
mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi,
hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras dan memiliki cinta
kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan
universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.
Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar
dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang di dalamnya
ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya
kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang
mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui
pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung
priok bisa terjadi.
B.
Model
Pembinaan Pendidikan Karakter di Pendidikan Menengah
1.
Penerapan
Nilai-Nilai Karakter
Berdasarkan
kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik,
dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang
dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan
lingkungan serta kebangsaan.
Berikut
menurut Doni Koesoema (1999:65) tentang daftar nilai-nilai utama karakter:
Ø Religius:
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan
pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
Ø Jujur:
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap
diri dan pihak lain.
Ø Bertanggung
jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
Ø Bergaya
hidup sehat : Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam
menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat
mengganggu kesehatan.
Ø Disiplin :
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
Ø Kerja
keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan
sebaik-baiknya.
Ø Percaya
diri: Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap
keinginan dan harapannya.
Ø Berjiwa
wirausaha: Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali
produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan
produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
Ø Berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif: Berpikir dan melakukan sesuatu secara
kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan
termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
Ø Mandiri:
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
Ø Ingin
tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Ø Cinta
ilmu: Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
Ø Nilai
karakter dalam hubungannya dengan sesama: Sadar akan hak dan kewajiban diri dan
orang lain. Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi
milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta
orang lain.
Ø Patuh
pada aturan-aturan social: Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan
berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
Ø Menghargai
karya dan prestasi orang lain: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati
keberhasilan orang lain.
Ø Santun
: Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata
perilakunya ke semua orang.
Ø Demokratis:
Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
Ø Nilai
karakter dalam hubungannya dengan lingkungan.
Ø Peduli
sosial dan lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi
bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Ø Nilai
kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Ø Nasionalis:
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
Ø Menghargai
keberagaman: Sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai macam hal baik
yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
2. Tahapan Pengembangan Karakter
Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini
perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk
menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan
pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik
(insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong
peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai
hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan
hidup. Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan
lingkungannya.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan
(knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas
pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter
yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan
tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang
moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar
peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan
tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan
(mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing
yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan
tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang
(perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil
sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling
merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia
berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus
dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience),
percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty),
cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan
hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang
merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami
apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus
dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan
(will), dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan
adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung
nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan
saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau
emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya,
sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa
manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai
karakter (valuing). Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh
rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai
itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai
oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai
kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan
juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen ini dalam
pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk
berbuat kebaikan. Pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus
melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga
“desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the
good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang
terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Dengan demikian jelas bahwa karakter
dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral knowing, kemudian
moral feeling, dan moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral
dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau
unggul/tangguh.
Pengembangan karakter sementara ini direalisasikan
dalam pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran lainnya, yang
program utamanya cenderung pada pengenalan nilai-nilai secara kognitif, dan
mendalam sampai ke penghayatan nilai secara afektif. Menurut Mochtar Buchori
(2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai
secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai
secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat
penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang
sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan
langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif.
Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai
dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai
secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar
Dewantoro menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.
3.
Prinsip-Prinsip
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter harus didasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
Ø Mempromosikan
nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
Ø Mengidentifikasi
karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
Ø Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
Ø Menciptakan
komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
Ø Memberi
kesempatan kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik
Ø Memiliki
cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua
peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
Ø Mengusahakan
tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
Ø Memfungsikan
seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk
pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama
Ø Adanya
pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif
pendidikan karakter
Ø Memfungsikan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
Ø Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan
manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik.
4.
Pendidikan
Karakter Secara Terpadu melalui Pembelajaran
Di dalam pembelajaran dikenal tiga istilah, yaitu:
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Pendekatan pembelajaran bersifat
lebih umum, berkaitan dengan seperangkat asumsi berkenaan dengan hakikat
pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan rencana menyeluruh tentang
penyajian materi ajar secara sistematis dan berdasarkan pendekatan yang
ditentukan. Teknik pembelajaran adalah kegiatan spesifik yang diimplementasikan
dalam kelas/lab sesuai dengan pendekatan dan metode yang dipilih. Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa, pendekatan lebih bersifat aksiomatis, metode
bersifat prosedural, dan teknik bersifat operasional (Abdul Majid, 2005). Namun
demikian, beberapa ahli dan praktisi seringkali tidak membedakan ketiga istilah
tersebut secara tegas. Seringkali, mereka menggunakan ketiga istilah tersebut
dengan pengertian yang sama.
Setidaknya terdapat dua pertanyaan mendasar
yang perlu diperhatikan kaitannya dengan proses pembelajaran, yaitu: (1)
sejauhmana efektivitas guru dalam melaksanakan pengajaran, dan (2) sejauhmana
siswa dapat belajar dan menguasi materi pelajaran seperti yang diharapkan.
Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila guru dapat menyampaikan
keseluruhan materi pelajaran dengan baik dan siswa dapat menguasai substansi
tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dewasa ini dikenal berbagai istilah mengenai
pembelajaran, antara lain: pembelajaran kontekstual, pembelajaran PAKEM,
pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan sebagainya.
Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dirancang
secara sistematis sesuai dengan tujuan, karakteristik materi pelajaran dan
karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh Guru yang profesional dengan
dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga dapat mencapai hasil belajar
secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran profesional menggunakan
berbagai teknik atau metode dan media serta sumber belajar yang bervariasi
sesuai dengan karakteristik materi dan peserta didik.
Karakteristik pembelajaran profesional antara lain:
Efektif, Efisien, aktif, Kreatif, Inovatif, Menyenangkan, dan Mencerdaskan.
Tujuan pembelajaran dapat dicapai oleh peserta didik sesuai yang diharapkan.
Seluruh kompetensi (kognisi, afeksi, dan psikomotor) dikuasai peserta didik.
Aktivitas pembelajaran berfokus dan didominasi Siswa. Guru secara aktif
memantau, membimbing, dan mengarahkan kegiatan belajar siswa. Pembaharuan
dan penyempurnaan dalam pembelajaran (strategi, materi, media & sumber belajar,
dll) perlu terus dilakukan agar dicapai hasil belajar yang optimal.
Pendidikan karakter secara terpadu di dalam
pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran
akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam
tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang
berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada
dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai
kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta
didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan
menjadikannya perilaku.
Dalam struktur kurikulum pendidikan menengah, pada
dasarnya setiap mata pelajaran memuat materi-materi yang berkaitan dengan
karakter. Secara subtantif, setidaknya terdapat dua mata pelajaran yang terkait
langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, yaitu pendidikan
Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kedua mata pelajaran tersebut
merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan
nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan
menginternalisasi nilai-nilai. Integrasi pendidikan karakter pada mata-mata
pelajaran di pendidikan menengah mengarah pada internalisasi nilai-nilai di
dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian.
5. Pendidikan Karakter Secara Terpadu
Melalui Manajemen Sekolah
Menurut H. Koontz & O’Donnel (Aldag, 1987),
manajemen berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan yang dilakukan melalui dan
dengan orang lain. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Siregar (1987)
menyatakan bahwa manajemen adalah proses yang membeda-bedakan atas:
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan pelaksanaan dan pengendalian, dengan
memanfaatkan ilmu dan seni, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Manajemen juga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan
bersama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen terkandung pengertian pemanfaatan
sumberdaya untuk tercapainya tujuan. Sumberdaya adalah unsur-unsur dalam
manajemen, yaitu: manusia (man), bahan (materials), mesin/peralatan (machines),
metode/cara kerja (methods), modal uang (money), informasi (information).
Sumberdaya bersifat terbatas, sehingga tugas manajer adalah mengelola
keterbatasan sumber daya secara efisien dan efektif agar tujuan tercapai.
Proses manajemen adalah proses yang berlangsung
terus menerus, dimulai dari: membuat perencanaan dan pembuatan keputusan
(planning); mengorganisasikan sumberdaya yang dimiliki (organizing); menerapkan
kepemimpinan untuk menggerakkan sumberdaya (actuating); melaksanakan
pengendalian (controlling). Proses di atas sering disebut dengan pendekatan
Barat dengan konsep POAC (Planning-Organizing-Actuating-Controlling), berbeda
dengan pendekatan Jepang yang dikenal dengan pendekatan PDCA
(Plan-Do-Check-Action). Dalam konteks dunia pendidikan, yang dimaksudkan dengan
manajemen pendidikan/sekolah adalah suatu proses perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pendidikan dalam upaya untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan
visi, misi, dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan pada uraian sebelumnya, keterkaitan
antara nilai-nilai perilaku dalam komponen-komponen moral karakter (knowing,
feeling, dan action) terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama, lingkungan,
kebangsaan, dan keinternasionalan membentuk suatu karakter manusia yang unggul
(baik). Penyelenggaraan pendidikan karakter memerlukan pengelolaan yang
memadai. Pengelolaan yang dimaksudkan adalah bagaimana pembentukan karakter
dalam pendidikan direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan secara memadai.
Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam
pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya
akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.
Unsur-unsur pendidikan karakter yang akan direncanakan, dilaksanakan, dan
dikendalikan tersebut antara lain meliputi: (a) nilai-nilai karakter kompetensi
lulusan, (b) muatan kurikulum nilai-nilai karakter, (c) nilai-nilai karakter
dalam pembelajaran, (d) nilai-nilai karakter pendidik dan tenaga
kependidikan, dan (e) nilai-nilai karakter pembinaan kepesertadidikan.
6.
Pendidikan
Karakter Secara Terpadu melalui Ekstrakurikuler
Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan
di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan
peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.
Visi kegiatan ekstra kurikuler adalah berkembangnya
potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan
kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan
masyarakat. Misi ekstra kurikuler adalah (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang
dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan
minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta
didik mengeskpresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau
kelompok.
Menurut
Suyanto (2009:98) Fungsi Kegiatan Ekstra Kurikuler meliputi:
a.
Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan
ekstra kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitas peserta didik
sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.
b.
Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstra
kurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta
didik.
c.
Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstra
kurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, mengembirakan dan menyenangkan
bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d.
Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan
ekstra kurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik.
Prinsip
Kegiatan Ekstra Kurikuler :
a.
Individual, yaitu prinsip kegiatan
ekstra kurikuler yang sesuai dengan potensi, bakat dan minat peserta didik
masing-masing.
b.
Pilihan, yaitu prinsip kegiatan ekstra
kurikuler yang sesuai dengan keinginan dan diikuti secara sukarela peserta
didik.
c.
Keterlibatan aktif, yaitu prinsip
kegiatan ekstra kurikuler yang menuntut keikutsertaan peserta didik secara
penuh.
d.
Menyenangkan, yaitu prinsip kegiatan
ekstra kurikuler dalam suasana yang disukai dan mengembirakan peserta didik.
e.
Etos kerja, yaitu prinsip kegiatan
ekstra kurikuler yang membangun semangat peserta didik untuk bekerja dengan
baik dan berhasil.
f.
Kemanfaatan sosial, yaitu prinsip
kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
C. Proses Pembentukan
Karakter Kepada Anak Di Pendidikan Menengah
Suatu hari seorang anak laki-laki sedang
memperhatikan sebuah kepompong, eh ternyata di dalamnya ada kupu-kupu yang
sedang berjuang untuk melepaskan diri dari dalam kepompong. Kelihatannya begitu
sulitnya, kemudian si anak laki-laki tersebut merasa kasihan pada kupu-kupu itu
dan berpikir cara untuk membantu si kupu-kupu agar bisa keluar dengan mudah.
Akhirnya si anak laki-laki tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan
membantu memotong kepompong agar kupu-kupu bisa segera keluar dr sana. Alangkah
senang dan leganya si anak laki laki tersebut.Tetapi apa yang terjadi? Si
kupu-kupu memang bisa keluar dari sana. Tetapi kupu-kupu tersebut tidak dapat
terbang, hanya dapat merayap. Apa sebabnya?
Ternyata bagi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang
dari kepompongnya tersebut, yang mana pada saat dia mengerahkan seluruh
tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yang mengalir dengan kuat ke
seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat
terbang, tetapi karena tidak ada lagi perjuangan tersebut maka sayapnya tidak
dapat mengembang sehingga jadilah ia seekor kupu-kupu yang hanya dapat
merayap.
Itulah potret singkat tentang pembentukan karakter,
akan terasa jelas dengan memahami contoh kupu-kupu tersebut. Seringkali
orangtua dan guru, lupa akan hal ini. Bisa saja mereka tidak mau repot, atau
kasihan pada anak. Kadangkala Good Intention atau niat baik kita belum tentu
menghasilkan sesuatu yang baik. Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita.
Kadangkala kita sering membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi
sebenarnya malah membuat mereka tidak mandiri. Membuat potensi dalam dirinya
tidak berkembang. Memandulkan kreativitasnya, karena kita tidak tega melihat mereka
mengalami kesulitan, yang sebenarnya jika mereka berhasil melewatinya justru
menjadi kuat dan berkarakter.
Ada satu anekdot yang sering saya sampaikan pada
rekan saya, ataupun peserta seminar. Enak mana makan mie instant dengan mie
goreng seafood? Umumnya mereka yang suka mie pasti tahu jika mie goreng seafood
jauh lebih enak dari mie goreng instant yang hanya bisa dimasak tidak kurang
dari 3 menit. Apa yang membedakan enak atau tidaknya dari masakan mie tersebut?
Prosesnya!
Sama halnya bagi pembentukan karakter seorang anak,
memang butuh waktu dan komitmen dari orangtua dan sekolah atau guru (jika
memprioritaskan hal ini) untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter.
Butuh upaya, waktu dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh,
cinta disini jangan disalah artikan memanjakan. Jika kita taat dengan proses
ini maka dampaknya bukan ke anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling
tidak karakter sabar, toleransi, mampu memahami masalah dari sudut pandang yang
berbeda, disiplin dan memiliki integritas (ucapan dan tindakan sama) terpancar
di diri kita sebagai orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan
pekerjaan baik bagi orangtua, guru dan anak jika kita komitmen pada proses
pembentukan karakter.
Ingat segala sesuatu butuh proses. Mau jadi jelek
pun butuh proses. Anak yang nakal itu juga anak yang disiplin lho. Tidak
percaya? Dia disiplin untuk bersikap nakal. Dia tidak mau mandi tepat waktu,
bangun pagi selalu telat, selalu konsisten untuk tidak mengerjakan tugas dan
wajib tidak menggunakan seragam lengkap.
Ada satu kunci untuk menanamkan kebiasaan, ada
hukumnya dan hukum itu bernama hukum 21 hari, dalam pembentukan karakter erat
kaitannya dengan menciptakan kebiasaan yang baru yang positif. Dan kebiasaan
akan tertanam kuat dalam pikiran manusia setelah diulang setiap hari selama 21
hari. Misalnya Anda biasakan anak sehabis bangun tidur untuk membersihkan
tempat tidurnya, mungkin Anda akan selalu mengingatkan dan mengawasi dengan
kasih sayang (wajib, dengan kasih sayang) selama 21 hari. Tetapi setelah lewat
21 hari maka kebiasaan itu akan terbentuk dengan otomatis. Nah, kini kebiasaan
positif apa yang hendak anda tanamkan kepada anak, pasangan dan diri Anda? Anda
sudah tahu caranya dan tinggal melakukan saja. Sukses dalam karakter yang terus
diperbarui.
D.
Peran
Guru Dalam Pengembangan Karakter Anak di Pendidikan Menengah
Guru memegang peranan yang sangat strategis terutama
dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi siswa. Kehadiran guru
tidak tergantikan oleh unsur yang lain, lebih-lebih dalam masyarakat kita yang
multikultural dan multidimensional, dimana peranan teknologi untuk menggantikan
tugas-tugas guru sangat minim. Guru memiliki perana yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan pendidikan. Guru yang profesional diharapkan
menghasilkan lulusan yang berkualitas. Profesionalisme guru sebagai ujung tombak
di dalam implementasi kurikulum di kelas yang perlu mendapat perhatian
(Depdiknas, 2005). Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk
mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai
tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab uuntuk melihat segala sesuatu yang
terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penyampaian
materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam
belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan proses
perkembangan siswa.
Secara
lebih terperinci tugas guru berpusat pada:
1.
Mendidik dengan titik berat memberikan
arah dan motifasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2.
Memberi fasilitas pencapaian tujuan
melalui pengalaman belajar yang memadai.
3.
Membantu perkembangan aspek – aspek
pribadi seperti sikap, nilai-nilai, dan penyusuaian diri, demikianlah dalam
proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan
akan tetapi lebih dari itu ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan
kepribadian siswa ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian
rupa sehingga dapat merangsang siswa muntuk belajar aktif dan dinamis dalam
memenuhi kebutuhan dan menciptakan tujuan. (Slameto, 2002)
Begitu pentinya peranan guru dalam keberhasilan
peserta didik maka hendaknya guru mampu beradaptasi dengan berbagai
perkembangan yang ada dan meningkatkan kompetensinya sebab guru pada saat ini
bukan saja sebagai pengajar tetapi juga sebagai pengelola proses belajar
mengajar. Sebagai orang yang mengelola proses belajar mengajar tentunya harus
mampu meningkatkan kemampuan dalam membuat perencanaan pelajaran, pelaksanaan
dan pengelolaan pengajaran yang efektif, penilain hasil belajar yang objektif,
sekaligus memberikan motivasi pada peserta didik dan juga membimbing peserta
didik terutama ketika peserta didik sedang mengalami kesulitan belajar. Salah
satu tugas yang dilaksanakan guru disekolah adalah memberikan pelayanan kepada
siswa agar mereka menjadi peserta didik yang selaras dengan tujuan sekolah.
Guru mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik sosial, budaya maupun ekonomi.
Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas
sebagai pendidik. Guru harus bertanggung jawab atas hasil kegiatan belajar anak
melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi
berhasil tidaknya proses belajar dan karenya guru harus menguasai
prinsip-prinsip belajar di samping menguasai materi yang disampaikan dengan
kata lain guru harus menciptakan suatu konidisi belajar yang sebagik-baiknya
bagi poeserta didik, inilah yang tergolong kategori peran guru sebagai
pengajar. Disamping peran sebagai pengajar, guru juga berperan sebagai
pembimbing artinya memberikan bantuan kepada setiap individu untuk mencapai
pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuan diri
secara maksimal terhadap sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Oemar H (2002)
yang mengatakan bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk
melakukan penyesuaian diri secara maksimal terhadap sekolah, keluarga serta
masyarakat.
Sehubungan
dengan perananya sebagai pembimbing, seorang guru harus:
1.
Mengumpulkan data tentang siswa.
2.
Mengamati tingkah laku siswa dalam
situasi sehariu-hari.
3.
Mengenal para siswa yang memerlukan
bantuan khusus.
4.
Mengadakan pertemuan atau hubungan
dengan orang tua siswa, baik secara individu maupun secara kelompok, untuk
memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak.
5.
Bekerjasama dengan masyarakat dan
lembaga-lembaga lainya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
6.
Membuat catatan pribadi siswa serta
menyiapkannya dengan baik.
7.
Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau
individu.
8.
Bekerjasama dengan petugas-petugas
bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
9.
Menyusun program bimbingan sekolah
bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya.
10. Meneliti
kemajuan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
11. Peran
guru sebagai pengajar dan sebagai pembing memiliki keterkaitan yang sangat erat
dan keduanya dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus
berinterpenetrasi dan merupakan keterpaduan antara keduanya.
Integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran pada setiap
mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau
nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran
nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat.
Kegiatan
ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu
media yang potensial untukpembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik
peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar
mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan
dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan
prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut
Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan
akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter
yang selama ini ada di pendidikan menengah perlu segera dikaji, dan dicari
altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih
operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Tujuan pendidikan karakter untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik pendidikan menengah mampu secara mandiri meningkatkan
dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga
terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan
karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah,
yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan
citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Pendidikan Menengah (pendidikan
menengah) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para
peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi
sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai
best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah
lainnya.
Melalui
program ini diharapkan lulusan pendidikan menengah memiliki keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia,
kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang
baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas,
pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan
program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh
peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan pendidikan
menengah, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
1.
Mengamalkan
ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2.
Memahami
kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3.
Menunjukkan
sikap percaya diri;
4.
Mematuhi
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5.
Menghargai
keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup
nasional;
6.
Mencari
dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7.
Menunjukkan
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8.
Menunjukkan
kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9.
Menunjukkan
kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari;
10.
Mendeskripsikan
gejala alam dan sosial;
11.
Memanfaatkan
lingkungan secara bertanggung jawab;
12.
Menerapkan
nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13.
Menghargai
karya seni dan budaya nasional;
14.
Menghargai
tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15.
Menerapkan
hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan
baik;
16.
Berkomunikasi
dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17.
Memahami
hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai
adanya perbedaan pendapat;
18.
Menunjukkan
kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19.
Menunjukkan
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris sederhana;
20.
Menguasai
pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti Pendidikan Menengah;
21.
Memiliki
jiwa kewirausahaan.
Pada
tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah,
yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus
berlandaskan nilai-nilai tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
Design Pendidikan Karakter di Pendidikan
Menengah :
1.
Ketersediaan SDM yang berkarakter
merupakan kebutuhan yang amat vital.
2.
Dalam rangka membangun dan melakukan
penguatan peserta didik perlu mensinergiskan ketiga komponen lembaga
pendidikan, yakni lembaga pendidikan formal, non formal dan informal.
3.
Upaya yang dapat dilakukan salah satunya
adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala
anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada
kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis,
adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal.
Model Pembinaan Pendidikan Karakter di
Pendidikan Menengah :
1.
Pendidikan Karakter Secara Terpadu
melalui Ekstrakurikuler
2.
Pendidikan Karakter Secara Terpadu
Melalui Manajemen Sekolah
3.
Pendidikan Karakter Secara Terpadu
melalui Pembelajaran
4.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
5.
Tahapan Pengembangan Karakter
6.
Penerapan Nilai-Nilai Karakter
Proses Pembentukan Karakter Kepada Anak di Pendidikan
Menengah :
Membutuhkan
waktu dan komitmen dari orangtua dan sekolah atau guru (jika memprioritaskan
hal ini) untuk mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter. Butuh upaya,
waktu dan cinta dari lingkungan yang merupakan tempat dia bertumbuh, cinta
disini jangan disalah artikan memanjakan. Jika kita taat dengan proses ini maka
dampaknya bukan ke anak kita, kepada kitapun berdampak positif, paling tidak
karakter sabar, toleransi, mampu memahami masalah dari sudut pandang yang
berbeda, disiplin dan memiliki integritas (ucapan dan tindakan sama) terpancar
di diri kita sebagai orangtua ataupun guru. Hebatnya, proses ini mengerjakan
pekerjaan baik bagi orangtua, guru dan anak jika kita komitmen pada proses
pembentukan karakter.
Peran Guru Dalam Pengembangan Karakter
Anak di Pendidikan Menengah :
1.
Mendidik dengan titik berat memberikan
arah dan motifasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2.
Memberi fasilitas pencapaian tujuan
melalui pengalaman belajar yang memadai.
3.
Membantu perkembangan aspek-aspek
pribadi seperti sikap, nilai-nilai, dan penyusuaian diri, demikianlah dalam
proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan
akan tetapi lebih dari itu ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan
kepribadian siswa ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian
rupa sehingga dapat merangsang siswa muntuk belajar aktif dan dinamis dalam
memenuhi kebutuhan dan menciptakan tujuan.
Sehubungan
dengan perananya sebagai pembimbing, seorang guru harus:
1.
Mengumpulkan data tentang siswa.
2.
Mengamati tingkah laku siswa dalam
situasi sehariu-hari.
3.
Mengenal para siswa yang memerlukan
bantuan khusus.
4.
Mengadakan pertemuan atau hubungan
dengan orang tua siswa, baik secara individu maupun secara kelompok, untuk
memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak.
5.
Bekerjasama dengan masyarakat dan
lembaga-lembaga lainya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
6.
Membuat catatan pribadi siswa serta
menyiapkannya dengan baik.
7.
Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau
individu.
8.
Bekerjasama dengan petugas-petugas
bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah siswa.
9.
Menyusun program bimbingan sekolah
bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya.
10. Meneliti
kemajuan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
11. Peran
guru sebagai pengajar dan sebagai pembing memiliki keterkaitan yang sangat erat
dan keduanya dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus
berinterpenetrasi dan merupakan keterpaduan antara keduanya.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdul
Majid. 2005. Pendidikan Agama dan
Pembanguna Watak Bangsa. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hal. 45.
Aldag.
1987. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta. PT Kompas Media Nusantara.
Ali Ibrahim Akbar. 2000. Penelitian di Harvard University Amerika
Serikat. Bandung:
PT Raja Grafindo Persada.
H.
Koontz & O’Donnel. 2007. Kapita Selekta Pendidikan Islam.
Jakarta, PT Bumi Aksara. hal. 141.
Koesoema,
Doni. 1999. Pengembangan Karakter.
Jakarta : Intan Pariwara.
Mappire.
2000. Pendidikan Karakter, Pendidikan
Budi Pekerti Plu., Bandung: PT Raja Grafindo Persada.
Mochtar,
Buchori. 2007. Pengembangan Karakter.
Jakarta : Intan Pariwara.
Siregar.
1987. Bahan Pelatihan Penguatan
Metodologi Pembelajaran Berdasarkan nilai-nilai budaya untuk membentuk daya
saing dan karakter bangsa. Jakarta: PT Tiga Serangkai.
Suyanto,
Hisyam. 2000. Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Visi, Misi, dan Aksi, Jakarta: PT Maries.
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3.
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 13 Ayat 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar