Rabu, 06 April 2016

Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu


Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu



BAB I
PENDAHULUAN

A. Konteks  Penelitian         
Republik Indonesia dibangun atas keragaman agama,  adat istiadat,  bahasa, ras dan suku. Pancasila yang merupakan dasar idiologi, pandangan hidup, cita-cita bangsa dan sumber dari segala sumber hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengisyaratkan tentang kondisi, karakter dan pola pikir seluruh rakyat Indonesia yang beragam. Lima butir sila dalam Pancasila menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat asli bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang saling menghargai berbagai perbedaan, idiologi pancasila merupakan bukti pengakomodiran keragaman yang dikokohkan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda tetap satu jua.
Keragaman dan berbagai perbedaan yang terjadi antara manusia yang satu dengan yang lain merupakan suatu keniscayaan, wajar, mesti terjadi  yang merupakan sunnatullah, anugerah Allah yang Maha Kreatif, yang harus kita syukuri untuk menjaga keseimbangan, keharmonisan, keindahan, dan kedamaian,hal ini seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat: 13,
  
Artinya: “Wahai manusia!Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudiankami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti” (Hatta, 1990: 517).

Ayat tersebut menjelaskan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak dibenarkan seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, karena ketinggian derajat seseorang di hadapan  Allah Swt dilihat seberapa tinggi ketaqwaannnya.
Namun sebagai akibat dari perbedaan suku, etnis, agama, bahasa  tersebut tidak menutup kemungkinan atau bahkan sering menimbulkan gesekan-gesekan diantara sesama, yang selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya konflik baik antar etnis maupun antar agama yang berbeda. Tentu, penyebab konflik tersebut banyak sekali tapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan suku, agama, ras etnis dan budaya. Beberapa kasus yang pernah terjadi di tanah air yang diakibatkan oleh perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) tersebut di antaranya adalah kasus konflik Ambon, Poso dan konflik etnis Dayak dengan Madura di Sampit dan yang baru kasus di Tolikara Papua.
Di antara sekian elemen-elemen keberagaman tersebut yang paling rawan dan paling mudah bergejolak adalah perbedaan dibidang agama, sebab agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia Indonesia. Pengakuan akan kedudukan  dan  peran penting agama ini tercermin dari penetapan  prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam pancasila sebagai falsafah Negara yang juga dipahami sebagai sila yang menjiwai empat sila lainnya. Oleh sebab itu pembangunan agama bukan hanya merupakan bagian integral pembangunan nasional, melainkan juga bagian yang seharusnya melandasi dan menjiwai keseluruhan arah dan tujuan pembangunan nasional,
Selain memiliki posisi yang sangat penting, agama juga menempati posisi yang unik dalam kehidupan  berbangsa dan bernegara. Sebagaimana dimaklumi bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler tetapi bukan pula negara teokratis. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak didasarkan pada satu paham atau keyakinan agama tertentu, namun  nilai-nilai keluhuran, keutamaan dan kebaikan yang  terkandung dalam  agama-agama yang diakui sebagai sumber dan landasan spiritual, moral dan etika bagi kehidupan bangsa dan negara. Setiap inisiatif negara untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan keagamaan dapat dipandang sebagai usaha memfasilitasi para pemeluk agama dalam menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaan mereka.
Hak dan  kebebasan beragama warga negara  diakui  sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 29 UUD 1945 ayat 2 bahwa “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. 
Sesuai amanat konstitusi, negara dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan  perlindungan atas hak  setiap warganya untuk  memeluk agama dan  beribadat menurut agamanya, serta memberikan fasilitasi dan pelayanan untuk pemenuhan hak dasar warganegara tersebut. Dengan demikian, aspek pengamalan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi warganegara menjadi landasan pokok bagi pembangunan bidang agama.
 Pembangunan bidang agama merupakan upaya untuk mendorong peningkatan  kualitas pengetahuan dan penghayatan umat beragama terhadap  nilai-nilai keluhuran, keutamaan, dan kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama. Pengetahuan dan penghayatan itu diharapkan dapat mengejawantah dalam  perilaku dan akhlak mulia warga negara sehingga dapat menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat, berkeadilan dan berkeadaban.
Sebagaimana telah  diyakini bersama bahwa, agama bukan sekadar mengajarkan tentang hubungan antara pemeluk agama dengan Sang Pencipta (habluminallah), melainkan juga tentang hubungan antar sesama manusia (hablumminanas) dan hubungan dengan alam sekitarnya. Oleh sebab itu, pembangunan bidang agama diarahkan bukan saja untuk meningkatkan kualitas kesalehan individual umat beragama, tetapi juga mendorong terwujudnya kesalehan sosial dan ekologis, serta moralitas publik dalam pengelolaan kehidupan bernegara.
Sikap toleran dan penghormatan terhadap pandangan dan keyakinan orang lain, kepedulian terhadap sesama manusia, kerjasama dan tolong-menolong, adalah diantara wujud dari kesalehan sosial. Sementara itu, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya alam yang disertai perlindungan dan pemeliharaan kelestariannya antara lain merupakan bentuk-bentuk nyata dari kesalehan ekologis.
Sebagai bangsa multi etnis, budaya, dan agama, kerukunan hidup  umat beragama menjadi hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerukunan hidup umat beragama menjadi pilar penting bagi terwujudnya persatuan,kesatuan dan ketahanan nasional, sekaligus menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan keamanan yang niscaya bagi terselenggaranya pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, keharmonisan dalam keberagaman tersebut adalah dengan sikap toleransi yakni saling menghargai dan  saling menghormati di kalangan umat beragama, tanpa mencampuri substansi dari agama dan keyakinan yang dipeluk oleh umat agama lian.Toleransi merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan toleransi  umat beragama harus bersifat dinamis, humanis dan demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, buah dari toleransi tersebut tidak hanya  dirasakan/dinikmati oleh para pejabat dan kalangan atas saja tapi sebenarnya yang terpenting adalah kedamaian dan kerukunan masyarakat luas.
Semua agama mengajarkan perdamaian, hidup rukun dan tentram, dan tidak ada satupun agama di dunia ini menyuruh umatnya untuk saling menghina, merendahkan, bermusuhan apalagi saling membunuh dengan umat lain. Agama dapat menentramkan, menenangkan dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang. Secara moral agama menunjukkan tata nilai dan norma yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berperilaku baik. Oleh karena itulah maka kajian-kajian tentang keragaman agama dan masalah-masalah yang mengitarinya seperti toleransi umat beragama semakin urgen untuk dilaksanakan, bahkan pembicaraan seputar masalah ini akan tetap aktual di masa mendatang dan tidak akan pernah mengalami kedaluarsa, sebab masalah keagamaan terus berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Peran negara melalui berbagai instansi terutama Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga sangat strategis dalam melembagakan sikap toleransi umat beragama di sekolah-sekolah. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari posisi Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan sebagai lembaga yang menaungi sekolah secara langsung dan dapat mengeluarkan kebijakan yang mengatur tata kehidupan dan langkah-langkah yang diambil oleh sekolah guna mewujudkan hal tersebut. Peranan negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama dalam mewujudkan toleransi umat agama melalui seluruh sekolah yang ada di wilayah yang menjadi wewenangnya. Sekolah adalah lembaga yang sangat efektif untuk menumbuh kembangkan budaya toleransi umat beragama. karena dari sanalah generasi penerus bangsa dikenalkan, difahamkan, dibiasakan dan dibudayakan adanya keragaman agama yang anut oleh masyarakat Indonesia, untuk itu amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tepatnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:
Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Kemudian diperkuat dengan pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Penyelenggaraan pendidikan agama yang diwujudkan dalam menanamkan budaya toleransi umat beragama diberbagai jenjang pendidikan wajib untuk dilaksanakan. Karena dengan tertanamnya budaya toleransi umat beragama pada diri peserta didik akan terbentuk kebiasaan memahami dan menghargai perbedaan, sehingga akan tercipta suasana lingkungan sekolah yang aman, damai dan kondusif untuk berlangsungnya semua program kegiatan di sekolah.  Sedikit saja ada gangguan misalnya intoleransi maka dapat dipastikan bahwa sebaik apapun program sekolah tidak akan dapat berjalan dengan lancar sehingga tujuan tidak akan tercapai.
Lingkungan sekolah yang aman, tertib, nyaman dan kondusif merupakan prasyaratterselenggaranya kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif , efektif dan menyenangkan sehingga dapat melahirkan berbagai prestasi yang menjadi harapan bersama. Kondisi yang demikian dapat terwujud bila masing-masing memahami hak dan kewajiban, peran dan tugas  seluruh warga sekolah dan yang sangat penting adalah adanya saling menghormati, saling memahami dan saling menghargai berbagai perbedaan yang ada terutama kaitan dengan perbedaan agama.
Sebagai pemimpin lembaga pendidikan, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang ada di sekolah, kepala sekolah mempunyai andil dan peranan terbesar untuk terciptanya lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan kondusif dengan berbagai   kebijakan dan strategi yang diterapkan. Pasal 12 ayat 1 PP 28 Tahun 2009 menjelaskan bahwa” kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana”. Ada berbagai layanan yang harus diwujudkan oleh kepala sekolah. Ada lima sifat layanan  yang dituntut untuk diwujudkan oleh kepala sekolah yakni “layanan sesuai dengan yang dijanjikan (reliability), mampu menjamin kualitas pembelajaran (assurance), iklim sekolah yang kondusif (tangible), memberikan perhatian penuh kepada siswa (emphaty),cepat tanggap terhadap kebutuhan siswa (responsiveness)” (Mulyasa, 2007:56).
Penanaman budaya toleransi umat beragama di sekolah membutuhkan kesadaran, kesungguhan, komitmen dan kerja sama dari semua pihak. Kepala sekolah harus mampu memberikan kontribusi yang sangat dominan bagi terciptanya budaya toleransi. Gorton (dalam Amirullah 2015:82) menyatakan bahwa “kepemimpinan kepala sekolah merupakan elemen kunci bagi keberhasilan sekolah”. Dengan kata lain kepemimpinan menjadi faktor  yang sangat penting dan menentukan untuktercapainya kinerja warga sekolah yang optimal untuk mencapai prestasi yang membanggakan.
Kepemimpinan kepala sekolah dan budaya toleransi umat beragama menjadi fokus perhatian peneliti karena berdasarkan observasi awal kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan terciptanya budaya toleransi umat beragama di sekolah, dan bila di sekolah tercipta suasana yang saling menghargai, menghormati akan tercipta kondisi sekolah yang menyenangkan sehingga kegiatan pembelajaran dan berbagai kegiatan yang lain dapat berjalan dengan baik dengan demikian tujuan yang diharapkan akan tercapai.
SMA Negeri 1dan 2 Atambua merupakan  lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional. Adapun SMA Negeri 1Atambuaadalah sekolah menengah atas negeri yang pertama berdiri di Atambua Kabupaten Belu. Sekolah tersebut berdiri pada tahun 1978 berada di tempat strategis dan mudah dijangkau dan berada di kecamatan kota Atambua, yang dari tahun ke tahun mengalami perkembangan kemajuan yang signifikan hal ini ditandai dengan banyaknya prestasi yang diraih baik akademik maupun non akademik dan tiap menjelang awal tahun ajaran baru lebih dari 1000 calon peserta didik ingin melanjutkan pendidikannya di sekolah tersebut. Sedangkan SMA Negeri 2 Atambua adalah sekolah tingkat menengah atas negeri yang masih relatif baru, berdiri tahun 2011.
Kehidupan beragama warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan dan juga peserta didik) di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua beragam dengan mayoritas beragama Katolik, urutan kedua Kristen Protestan, ketiga Islam dan keempat Hindu. Selain keragaman agama juga terdapat banyak kemajemukan suku, budaya dan juga ras, hal ini yang membutuhkan hadirnya kepemimpinan kepala sekolah yang arif, bijaksana dan berkompeten dalam mengelola sekolah tersebut karena
apabila dalam satu lembaga pendidikan yang warga sekolahnya menganut multi agama  tidak tercipta suasana toleransi yang baik dapat dipastikan kondisi dan suasana sekolah tidak kondusif, tidak nyaman, kacau, saling mencurigai, saling mengejek sehingga berbagai program kegiatan yang dirancang sebaik apapun tidak akan bisa berjalan dengan lancar yang pada akhirnya tujuan yang diharapkan tidak akan tercapai.
      Berdasarkan latar belakang atau konteks penelitian tersebut maka, peneliti ingin mengetahui lebih jauh  dengan mengadakan penelitian dengan mengambil judul “ Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka peneliti merumuskan fokus penelitian sebagai berikut :

  1.  Bagaimana peran kepala sekolah dalam  meningkatkan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu?
  2. Bagaimana pengelolaan informasi kepala sekolah terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu?
  3. Bagaimana bentuk-bentuk keputusan terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu?


C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian tersebut yang menjadi tujuan dalam pelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang:

  1. Peran kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
  2. Pengelolaan informasi kepala sekolah terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
  3. Bentuk-bentuk keputusan terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragamadi SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.


D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi positif baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:
1. Secara Teoritis
a.         Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan   keilmuan, terutama berkaitan dengan upaya meningkatkan budaya toleransi umat beragama.
b.         Penelitian ini bisa dijadikan dasar dan pembanding bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian lanjutan sehingga dimungkinkan hasil penelitian tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi ummat beragama ini dapat terus dikembangkan. 
 2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran menyeluruh kepada pihak yang berwenang di bidang pendidikan yang terkait, tentang bagaimana kepemimpinan kepala  sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragama di sekolah, yang muaranya berujung pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

E. Definisi Istilah
1. Kepemimpinan
        Kepemimpinan merupakan faktor terpenting dalam suatu organisasi. Bush (dalam Usman 2014:308) mendefinisikan kepemimpinan adalah “tindakan-tindakan memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan”. Meurut Terry (dalam Amirullah 2015:5)  kepemimpinan adalah “aktifitas mempengaruhi orang-orang untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela”. Menurut Sutikno (2014:16) “kepemimpinan adalah keseluruhan tindakan guna mempengaruhi serta menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan”
          Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain agar dengan sukarela berusaha  bersama  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Budaya
       Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. “Budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas” (Mulyana, 2007:25). “Suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas”(Mulyana & Rakhmat, 2007:25), sedangkan menurut Kotter & Heskett (dalam Usman, 2012:212) mendefinisikan “budaya sebagai totalitas perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang menjadi ciri masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama”
      Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya adalah sesuatu sikap yang kompleks, menyelutuh dan abstrak yang menjadi ciri
Khas masyarakat tersebut.

3.Toleransi
         Menurut Dep. Dik Bud (1989:956) “Toleran adalah bersifat/ bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian( pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”.
            Toleransi berasal dari kata “ tolerare“ dari bahasa Latin yang artinya dengan sabar membiarkan sesuatu. Menurut Webster’s New American Dictionary arti toleransi adalah memberi kebebasan dan berlaku sabar dalam menghadapi orang lain. Padanan kata toleransi dalam bahasa Arab yaitu tasamuh yang berarti memberikan sesuatu untuk saling mengizinkan dan saling memudahkan. Dari beberapa pendapat di atas toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, baik berupa pendirian, kepercayaan dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lain. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. “Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya” (Ajad, 2008:141-142).
Jadi toleransi umat beragama adalah membangun sikap biasa menerima, menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan ajaran agama yang dianut oleh orang lain.

 
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Penelitian  Terdahulu
Menurut sepengetahuan penulis, setelah dilakukan kajian pustaka terhadap hasil-hasilpenelitian terdahulu, ada beberapa hal  yang ditemukan adanya penelitian secara subtansi mengkaji tentang toleransi umat beragama. Diantara hasil penelitian terdahulu tersebut adalah sebagai berikut :
1. Aktualisasi Pendidikan Multikultural Dalam Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama Di Universitas Yudharta Pasuruan. Oleh: M. Nur Hadi. Tahun 2012. Dengan metode penelitian kualitatif, hasil penelitian menunjukkan:

  • Perencanaan pendidikan dasar-dasar multikultural sudah cukup prosedural dan terencana, hal terbukti dengan munculnya mata kuliah tersebut.
  • Pelaksanaan pendidikan multikultural sudah berjalan dengan baik walaupun tidak jauh berbeda dengan mata kuliah yang lain.
  • Hasil pendidikan dasar-dasar multikultural sangan baik, karena di lingkungan Universitas Yudharta Pasuruan budaya toleransi umat beragama bagi dosen dan mahasiswa sudah tidak asing lagi, bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

2. Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada Pembelajaran PAI di SMP Negeri 23 Semarang Tahun 2011/2012. Oleh :Lina Riqotul Wafiyah. Tahun 2012. Metode penelitian kualitatif . Hasil Penelitian menunjukkan bahwa :
a.     Penanaman nilai-nilai toleransi beragamadilakukan dengan 1) Memberi kesempatan kepada semua peserta didik untuk pembelajaran agama sesuai pemahamannya masing-masing. 2) Menciptakan iklim toleran pada setiap pembelajaran (belajar dalam perbedaan, membangun rasa saling percaya, memelihara sikap saling pengertian, menjunjung tinggi sikap mengasihi). 3) Memperdalam materi terkait (toleransi).
b.  Model pembelajaran dalam proses penanaman nilai-nilai toleransi beragama dengan menggunakan model pembelajaran aktif dan komunikatif. Pendidik memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat.
c.      Faktor pendukung Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada Pembelajaran PAI Di SMP Negeri 23 Semarang, diantaranya kebijakan pemerintah yang memberikan aturan tentang adanya penanaman nilai-nilai toleransi beragama, fasilitas yang memadai dan terwujudnya kerjasama antar warga sekolah dalam kegiatan keagamaan
d.     Adapun faktor penghambatnya, antara lain tingkat kemampuan, kematangan emosional peserta yang tidak sama, kurangnya tenaga pendidik agama Hindu dan keterbatasan waktu dalam pembelajaran.
3. Konsepsi Al-Qur’an Tentang Tasamuh (Toleransi) Dan Implementasinya Terhadap Pendidikan Islam. Oleh :Achmad Faidhani. Tahun 2006. Metode penelitian kualitatif.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: implikasi dari konsepsi Islam tentang tasamuh terhadap pendidikan Islam adalah pertama, perlu diadakannya pendidikan Agama yang inklusif, yang kedua, menyelenggarakan pendidikan Agama yang humanis dan yang ketiga, perlu adanya studi perbandingan agama dalam pendidikan Islam dan perlu adanya kurikulum yang humanistik.
4. Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Oleh : Achmad Mustholih. Tahun 2011. Metode penelitian kajian pustaka.Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap umat agama lain.
Dari keempat penelitian di atas dapat dipaparkan secara lengkap berkaitan dengan kajian tentang toleransi umat beragama,  sebagai berikut :
 
TABEL 1 PENELITIAN TERDAHULU
No
Nama Peneliti
Judul & tahun penelitian
Metode
Temuan
Keterangan
1
2
3
4
5
1
M.Nur Hadi, Aktualisasi Pendidikan Multikultural Dalam Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama Di Universitas Yudharta Pasuruan. Tahun 2012.
Kualitatif
a.  Perencanaan pendidikan dasar-dasar multikultural sudah baik
b.  Pelaksanaan dan hasil pendidikan multikultural sudah menunjukkan hasil yang baik
c. Budaya toleransi umat beragama di lingkungan Universitas Yudharta Pasuruan sudah tidak asing dan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Dalam penelitian tersebut terdapat persamaan yaitu berkaitan dengan multikulturalisme dan  toleransi umat beragama perbedaannya penelitiannya dilakukan terhadap lembaga pendidikannya.
2
Lina Riqotul Wafiyah, Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada Pembelajaran PAI Di SMP Negeri 23 Semarang

Tahun.
 Tahun 2012.

Kualitatif
Penanaman nilai-nilai toleransi beragamadilakukan dengan 1). Memberi kesempatan kepada semua peserta didik untuk pembelajaran agama sesuai pemahamannya masing-masing. 2). Menciptakan iklim toleran pada setiap pembelajaran (belajar dalam perbedaan, membangun rasa saling percaya, memelihara sikap saling pengertian, menjunjung tinggi sikap mengasihi). 3). Memperdalam materi terkait (toleransi).
b. Model pembelajaran dalam proses penanaman nilai-nilai toleransi beragama dengan menggunakan model pembelajaran aktif dan komunikatif. Pendidik memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat.
c. Faktor pendukung Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada Pembelajaran PAI Di SMP Negeri 23 Semarang, diantaranya kebijakan pemerintah yang memberikan aturan tentang adanya penanaman nilai-nilai toleransi beragama, fasilitas yang memadai dan terwujudnya kerjasama antar warga sekolah dalam kegiatan keagamaan
d. Adapun faktor penghambatnya, antara lain tingkat kemampuan, kematangan emosional peserta yang tidak sama, kurangnya tenaga pendidik agama Hindu dan keterbatasan waktu dalam pembelajaran.
Dalam penelitian tersebut terdapat persamaan dengan yang peneliti lakukan yaitu masalah toleransi beragama perbedaannya penelitiannya di lakukan terhadap peran guru dalam menanamkan nilai-nilai toleransi beragama, sedang yang peneliti lakukan terhadap kepemimpinan kepala sekolah.


3
Achmad Faidhan, Konsepsi Al-Qur’an Tentang Tasamuh (Toleransi) Dan Implementasinya Terhadap Pendidikan Islam., Tahun 2006.

Kualitatif
Implikasi dari konsepsi Islam tentang tasamuh terhadap pendidikan Islam adalah pertama, perlu diadakannya pendidikan Agama yang inklusif, yang kedua, menyelenggarakan pendidikan Agama yang humanis dan yang ketiga, perlu adanya studi perbandingan agama dalam pendidikan Islam dan perlu adanya kurikulum yang humanistik.
Dalam penelitian tersebut terdapat persamaan dengan yang peneliti lakukan yaitu masalah toleransi beragama perbedaannya bahwa penelitian tersebut menekan pada konsep dan implementasinya secara umum tidak pada lembaga pendidikan tertentu

4
Achmad Mustholih, Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Dalam Perspektif Pendidikan Islam,Tahun 2011

Kajian Pustaka
pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan memiliki terhadap umat agama lain.
Dalam penelitian tersebut terdapat persamaan dengan yang peneliti lakukan yaitu masalah toleransi beragama perbedaannya penelitian tersebut merupakan hasil kajian Pustaka tentang Konsep Pendidikan Pluralisme
      
Setelah melihat hasil uraian penelitian di atas, sepengetahuan penelitibelum ditemukan kajian tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragama. Dengan demikian, melalui penelitian ini  peneliti mencoba  menggambarkan bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragamadi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA Negeri) 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.

B. KONSEP TENTANG KEPEMIMPINAN
1. Pengertian Kepemimpinan
       Dalam suatu organisasi atau kelompok seperti lembaga pendidikan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai secara bersama. Agar tujuan dapat dicapai dengan efektif semua elemen dalam organisasi harus terlibat. Untuk dapat melibatkan seluruh elemen organisasi tersebut harus ada yang menggerakkan, untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat membimbing dan mengarahkan. Seorang pemimpin diangkat karena memiliki kemampuan, kecerdasan dan ketrampilan yang lebih sehingga dapat mengarahkan dan mengatur dan menggerakkan serta mempengaruhi elemen organisasi untuk mencapai tujuan.
         Untuk mendefinisikan istilah kepemimpinan tidak bisa terlepas dari istilah pemimpin dan memimpin, yang pada mulanya berasal dari kata yang sama yaitu pemimpin. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda. Pemimpin adalah suatu peran dalam sistem tertentu, karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Sedangkan kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang.
Dubrin (dalam Amirullah 2015:2) menjelaskan bahwa “kepemimpinan adalah kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi”. Sedangkan Wirawan (dalam Amirullah 2007:4) mendefinisikan “kepemimpinan sebagai proses pemimpin dalam menciptakan visi, mempengaruhi sikap dan perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma dan sebagainya dari pengikut untuk merealisir visi. Proses dalam konsep sistem kepemimpinanterdiri dari masukan, proses dan keluaran.”
Rivai, dkk (2014:2) mendefinisikan kepemimpinan secara luas adalah:
“Proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya”.
Ketiga kemampuan tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, agar seorang pemimpin dapat melaksanakan perannya dalam memimpin organisasi. Siagian (dalam Said 2007:158-159) menjelaskan bahwa:
Peran kepemimpinan dalam organisasi dapat dikatagorikan dalam 3 bentuk, yaitu yang bersifat interpersonal, informasional dan dalam kancah pengambilan keputusan. Dari ketiga peran tersebut semakin memperjelas pentingnya kepemimpinan dalam organisasi

Peran interpersonal meliputi
a.         Selaku simbol keberadaan organisasi
b.         Selaku pemimpin yang bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberi arahan kepada para bawahan
c.         Peran selaku penghubung agar mampu menciptakan jaringan yang luas

Sedangkan peran informasional mengambil  3 bentuk yakni:
a.         Pemantau arus informasi yang terjadi dari dan ke organisasi
b.         Pembagi informasi
c.         Juru bicara organisasi

Peran pengambilan keputusan terdiri dari 4 bentuk yaitu:
a.         Enterpreneur, mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi.
b.         Peredam gangguan
c.         Pembagi sumber dana dan daya
d.        Perunding bagi organisasi

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakan orang lain, supaya kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
 
            2.  Model-Model Kepemimpinan
Tanggung jawab pemimpin adalah memberilkan jawaban secara arif, efektif dan produktif atas berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi bersama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Untuk itu setiap pemimpin harus memiliki kompetensi dan kualifikasi tertentu. Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan yang dibahas dari berbagai perspektif sehingga memunculkan model-model kepemimpinan, di antaranya:

                                    a. Kepemimpinan Visioner
        Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpin untuk mencetuskan ide atau gagasan suatu visi selanjutnya melalui dialog yang kritis dengan unsur pimpinan lainnya merumuskan masa depan organisasi yang dicita-citakan, dicapai melalui komitmen semua anggota organisasi melaui proses sosialisasi tranformasi, implementasi gagasan-gagasan ideal oleh pemimpin organisasi. Menurut Burt Nanus (dalam Sutikno 2014: 50) “pemimpin visioner setidaknya harus memiliki empat komponen kunci yaitu, (1) memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif, (2) memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi secara cepat atas segala ancaman dan peluang, (3) memegang peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi praktek organisasi, prosedur, produk dan jasa, (4) memiliki atau mengembangkan kemampuan untuk mengantisipasi masa depan”.
 
b. Kepemimpinan Transformasional
       Karakteristik utama kepemimpinan transformasional ini diantaranya memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai agen perubahan (agent of change)  bagi organisasi, sehingga dapat menciptakan strategi-strategi baru dalam mengembangkan praktik-praktik organisasi yang lebih relevan. Burn (dalam Sutikno 2014:53) menyatakan bahwa “model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya bertanggung jawab lebih dari yang diharapkan”. Dengan demikian pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibitas pemimpinnya.

3. Tipe-Tipe Kepemimpinan
Dalam upaya menggerakkan dan memotivasi orang lain agar melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang pemimpin memiliki beberapa tipe (bentuk) kepemimpinan. Tipe kepemimpinan sering disebut perilaku atau gaya kepemimpinan. Yang mana satu tipe bisa menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi dalam melaksanakan kepemimpinannya. Sutikno (2014:35) membagi tipe kepimimpinan sebagai berikut:
a.     Tipe Otokratik. Pemimpin tipe ini menganggap bahwa kepemimpinan  adalah hak pribadinya, sehingga ia tidak perlu berkonsultasi dengan orang lain dan tidak boleh ada orang lain yang ikut campur.
b.     Tipe Kendali Bebas (Laisez Faire). Tipe  kepemimpinannya ini kebalikan dari tipe kepemimpinan otokratik. Dalam kepemimpinan tipe ini sang pemimpin biasanya menunjukkan perilaku yang pasif dan sering kali menghindari dari tanggung jawab. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol.
c.   Tipe Paternalistik. Tipe kepemimpinan ini adalah tipe pemimpin yang 1) menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; 2) bersikap terlalu melindungi; 3) Jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengambil keputusan; 4) jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengambil inisiatif; 5) jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; 6) sering bersikap serba tahu
d.    Tipe Kharismatik. Tipe  pemimpin ini memiliki daya tarik yang sangat memikat, sehingga mampu memliki pengikut yang sangat besar dan pengikutnya tidak selalu dapat menjelaskan secara kongkrit mengapa pemimpin tersebut dikagumi
e.  Tipe Militeristik. Pemimpin yang bertipe mliteristik ialah pemimpin dalam menggerakkan bawahanya lebih sering mempergunakan sitem perintah, senang bergantung pada pangkat dan jabatannya dan senang kepada formalitas yang berlebih-lebihan.
f.     Tipe Pseudo Demokratik.  Tipe ini disebut juga kepemimpinan manipulatif atau semi demokratik. Pemimpin seperti ini menjadikan demokrasi sebagai selubung untuk memperolaeh kemenangan tertentu
g.   Tipe Demokratis. Tipe kepemimpinan ini selalu bersedia menerima dan menghargai saran-saran, pendapat, dan nasehat dari bawahan, melalui forum musyawarah untuk mencapai kata sepakat.
Dalam Islam, tipe kepemimpinan karismatik (spritual Leadership) diartikan sebagai kepemimpinan yang sangat menjaga nilai-nilai etis, nilai moral yang luhur serta menjaga nilai-nilai spiritual yang ada dibalik posisinya sebagai pemimpin. Pemimpin macam ini melakukan aktifitasnya benar-benar hanya memuaskan hati pengikutnya  melalui pemberdayaan, memulihkan, menguntungkan dan juga tidak hanya mampu memberikan keuntungan  financial saja, akan tetapi hati, jiwa, mereka juga dihibur sehingga termotivasi dengan pekerjaan yang efektif, efisien dan produktif dan akhirnya berdampak terhadap pengembangan organisasi. Dalam al-Qur’an telah ditemukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin seperti yang dijelaskan dalam QS Al-Mujadilah: 11).
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis-majlis,” maka lapangkanlah niscaya Allah akan melapangkan buat kamu, dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan Maha Mengetahui.”(Qs. Al-Mujadilah:11).

Sifat-sifat pemimpin yang dijelaskan pada ayat tersebut diantaranya adil, berpengetahuan luas, kreatif, inisiatif, peka, lapang dada dan selalu tanggap, jujur, bertanggung jawab, selektif terhadap informasi, memberi peringatan, memberi petunjuk dan pengarahan.
Tipe dan gaya kepemimpinan tentu berbeda-beda, demikian juga dengan para pengikutnya. Organisasi-organisasi perlu memperbaharui diri mereka sendiri, dan tipe kepemimpinan yang berbeda sering kali dibutuhkan. Idealnya, dalam organisasi seorang pemimpin harus memiliki berbagai macam tipe atau gaya kepemimpinnya. Pemimpin harus siap dengan bermacam keadaan yang dihadapi.Apabila tipe kepemimpina tidak sesuai dengan sasaran dan tujuan organisasi, sering organisasi tersebut mengadaptasi strategi menghindari kegagalan.

1.    Teori-Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah urusan semua orang, karena setiap manusia adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Teori kepemimpinan membicarakan bagaimana seorang menjadi pemimpin atau bagaimana timbulnya seorang pemimpin. Teori-teori dalam kepemimpinan pada umumnya menunjukkan perbedaan karena setiap teoritikus mempunyai segi penekanannya sendiri yang dipandang dari aspek tertentu. Menurut Sutino (2014:25) menjelaskan ada enam teori kepemimpinan,yaitu:
a. Teori Sifat; Menurut teori ini hanya individu yang memiliki sifat tertentulah yang bisa menjadi pemimpin. Teori ini menegaskan bahwa beberapa individu dilahirkan memiliki sifat-sifat tertentu yang secara alamiyah menjadikan mereka seorang pemimpin. Keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki yang dimiliki pemimpin.
b.Teori Perilaku; Teori ini lebih terfokus kepada tindakan-tindakan yang dilakukan pemimpin daripada memperhatikan atribut yang melekat pada diri seorang pemimpin. Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seseorang ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan 
c.Teori Situasional; Menurut Teori Situasional keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang.

d.    Teori Jalan–Tujuan
 Menurut Teori ini nilai strategis dan keefektifan seorang pemimpin didasarkan pada kemampuannya dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi anggotanya dengan penerapan hadiah, pemimpin memberikan hadiah bagi prestasi bawahan yang telah memenuhi tujuan organisasi sehingga bawahan termotivasi.

e.    Teori Kelebihan
Menurut teori ini seseorang akan bisa menjadi pemimpin karena memiliki kelebihan dari para pengikutnya. Pada dasarnya kelebihan yang harus dimiliki yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin meliputi 3 hal yaitu, kelebihan rasio, rohaniah dan kesehatan badan.

f.     Teori Kharismatik
Teori Kharismatik berpendapat bahwa seseorang menjadi pemimpin karena mempunyai kharisma(pengaruh) yang sangat besar. Pemimpin kharismatik biasanya mempunyai daya tarik dan kewibawaan dan pengaruh yang luar biasa yang dapat dilihat dari pengorbanan dari para pengikut yang diberikan kepada pemimpinnya.

C.  Konsep Tentang Kepala Sekolah
1. Pengertian Kepala Sekolah
Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010, kepala sekolah/madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa (TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI).
Secara etimologi kepala sekolah adalah guru yang memimpin sekolah. Berarti secara terminology kepala sekolah dapat diartikan sebagai tenaga fungsional guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.
Kepala Sekolah adalah pimpinan tertinggi di sekolah. Pola kepemimpinananya akan sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan kemajuan sekolah. Oleh karena itu dalam pendidikan modern kepemimpinan kepala sekolah merupakan jabatan strategis dalam mencapai tujuan pendidikan.
Wahjosumidjo (2011:55) mengatakan “kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar”. Sementara Rahman (dalam Andang 2014: 55) menyebutkan “kepala sekolah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan struktural di sekolah”.
Dengan demikian kepala sekolah adalah seorang guru yang memiliki kedudukan diangkat berdasarkan prosedur dan persyaratan tertentu, untuk memimpin sekolah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kata memimpin dari rumusan tersebut mempunyai makna yang luas, yaitu kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Kompetensi Kepala Sekolah
Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah harus memiliki sejumlah kompetensi agar dapat menjalankan tugas kepemimpinannya secara profesional. Kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah menurut Permendiknas Nomor 13 tahun 2007 mengenai Standar Kompetensi Kepala sekolah/madrasah dijelaskan bahwa kepala sekolah/madrasah harus mempunyai kompetensi pengetahuan, sikap  danketerampilan  pada  dimensi-dimensi  kompetensi  kepribadian,  manajerial, kewirausahaan,supervisi, dansosial, dengan penjabaran sebagai berikut:

a. Kompetensi Kepribadian
Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, kepala sekolah dituntut untuk memiliki kepribadian atau karakteristik yang positif agar dapat menjadi teladan bagi anggota yang dipimpinnya, kepribadian yang dimiliki kepala sekolah adalah 1) berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah; 2) memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin; 3) memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah/madrasah; 4) bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi; 5) mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah/madrasah; 6) memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.

b. Kompetensi Manajerial
Seorang kepala sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fungsi manajemen, juga dituntut untuk  memahami sekaligus  menerapkan  seluruh  substansi  kegiatan pendidikan. Adapun kompetensi manajerial yang harus dimiliki kepala sekolah adalah:
1) Menyusun perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan; 2) mengembangkan organisasi sekolah/madrasah sesuai dengan kebutuhan; 3 ) memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal; 4) mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif;
5) menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik; 6) mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 7) mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal; 8)
mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah; 9) mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik; 10) mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional;
11) mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien; 12) mengelola ketatausahaan sekolah/madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah/ madrasah;
13) mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di ekolah/madrasah; 14) mengelola sistem informasi sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan; 15) memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah; 16) melakukan monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya.

c. Kompetensi Kewirausahaan
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dan berani mengambil resiko dan mendapatkan keuntungan. Para ahli sepakat bahwa yang dimaksud dengan kewirausahaan menyangkut tiga prilaku yaitu: a) kreatif, b) komitmen (motivasi tinggi dan penuh tanggungjawab, c) berani mengambil resiko dan kegagalan.
Dimensi kompetensi kewirausahaan kepala sekolah dijabarkan sebagai berikut:
(1) menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah/madrasah,
(2) bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif,  (3) memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah/madrasah, (4) pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah, (5) memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah sebagai sumber belajar peserta didik.

d. Kompetensi Supervisi
Untuk mencapai hasil yang  diinginkan atau yang akan direncanakan, kepala sekolah dalam mengelola kegiatan perlu melakukan pembinaan dan penilaian. Pembinaan lebih kearah memberi bantuan kepada pendidik dan tenaga kependidikan lainnya sedangkan penilian lebih ke arah mengukur dengan cara melakukan audit mutu tentang prosedur kerja dan instruksi kerja yang telah ditetapkan secara bersama-sama dapat tercapai atau tidak. Oleh karena itu kepala sekolah harus mempunyai kemampuan mensupervisi dan mengaudit kinerja guru dan personel lainnya di sekolah dengan kegiatan antara lain: (1) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, (2) melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat, (3) menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.

e. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan suatu kemampuan seorang kepala sekolah/guru dalam hal berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan: peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Dimensi kompetensi sosial kepala sekolah dijabarkan sebagai berikut:
(1) bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah, (2) berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, (3) memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain. (http://gurukapuas.blogspot.co.id/search/label/5standar-kompetensi) diakses 12 Nopember 2015. 

3. Tugas Dan Fungsi Kepala Sekolah
Lazaruth (2007:20) menjelaskan 3 fungsi kepala sekolah, yaitu “sebagai administrator pendidikan, supervisor pendidikan, dan pemimpin pendidikan”. Kepala sekolah berfungsi sebagai administrator pendidikan berarti untuk meningkatkan mutu sekolahnya, seorang kepala sekolah dapat memperbaiki dan mengembangkan fasilitas sekolahnya misalnya gedung, perlengkapan atau peralatan dan lain-lain yang tercakup dalam bidang administrasi pendidikan. Lalu jika kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pendidikan berarti usaha peningkatan mutu dapat pula dilakukan dengan cara peningkatan mutu guru-guru dan seluruh staf sekolah, misalnya melalui rapat-rapat, observasi kelas, perpustakaan dan lain sebagainya. Dan kepala sekolah berfungsi sebagai pemimpin pendidikan berarti peningkatan mutu akanberjalan dengan baik apabila guru bersifat terbuka, kreatif dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Suasana yang demikian ditentukan oleh bentuk dan sifat kepemimpinan yang dilakukan oleh kepala sekolah.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, terutama dalam rangka memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, menurut (Mulyana, 2007:181) “kepala sekolah dituntut untuk mampu berperan ganda baik sebagai catalyst, ya’ni berperan meyakinkan orang lain tentang perlunya perubahan menuju kondisi yang lebih baik, solution givers berperan mengingatkan terhadap tujuan akhir dari perubahan, process helpers berperan membantu kelancaran proses perubahan, khususnya menyelesaikan masalah dan membina hubungan antara pihak-pihak yang terkaitdan resource linkerberperan menghubungkan orang dengan sumber dana yang diperlukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga pendidik dan kependidikan, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana. Dengan demikian, tugas dan fungsi kepala sekolah adalah sebagai pendidik, manajer, administrator dan supervisor. Sementara itu dalam perkembangannya perkembangan zaman. Mulyasa (dalam Andang 2014:56) menyebutkan “tugas dan fungsi kepala sekolah dalam paradigma baru manajemen pendidikan berkembang menjadi edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator”.

a. Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.

b. Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti: MGMP tingkat sekolah, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.

c. Kepala Sekolah Sebagai Administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akanmempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.

d. Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran. 

e. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Mulyasa (2009: 58)  menyebutkan kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin sifat-sifat sebagai barikut : 1) jujur; 2) percaya diri; 3) tanggung jawab; 4) berani mengambil resiko dan keputusan; 5) berjiwa besar; 6) emosi yang stabil, dan 7) teladan.

f. Kepala Sekolah Sebagai Inovator
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai innovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga kependidikan sekolah, dan mengembangkan model model pembelajaran yang inofatif. Kepala sekolah sebagai inovator akan tercermin dari cara cara ia melakukan pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional, objektif, pragmatis, keteladanan

g. Kepala Sekolah Sebagai Motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif, dan
penyediaan berbagai sumber belajar melalui pengembangan Pusat Sumber Belajar (PSB).

D. Tinjauan Tentang Toleransi Umat Beragama
1. PengertianToleransi
Secara etimologi atau bahasa, toleransi berasal dari kata tolerance yaitu suatu sikap membiarkan dan lapang dada terhadap perbedaan orang lain,  baik pada masalah pendapat (opinion), agama/kepercayaan maupun dalam segi ekonomi, sosial dan politik. Di dalam bahasa Arab mempunyai persamaan makna dengan kata tasamuh dari lafadz samaha (سمح   ) yang artinya ampun, maaf dan lapang dada. (Munawir, 2007:1098). Dalam kamus bahasa Arab  Adictionari of Modern Written Arabic diterjemahkan dengan is indulgence, for bearance, linieri and tolerance maksudnya adalah suatu sikap suka menurut, tunduk, sabar, lemah lembutdan toleransi terhadap orang lain yang berbeda.
Dari dua pengertian di atas penulis menyimpulkan toleransi secara etimologi adalah sebagai sikap kesabaran dan kelapangan dada seseorang atas perbedaan dari orang lain baik dari segi sosial, politik maupun ekonomi dan juga   pendapat maupun agama.
Secara terminology banyak batasan yang  diberikan oleh para  ahli di antaranya adalah sebagai berikut:
a.   Hasyim (2007:22) menyatakan Toleransi adalah  pemberian kebebasan kepada  sesama manusia untuk menjalankan keyakinan atau mengatasi nasib menurut nasibnya masing-masing.
b. Menurut  Poerwadarminto (2007:1084) Toleransi adalahsikap/sifat tenggang rasa berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.
c. Dewan Ensiklopedia Indonesia;  Toleransi dalam aspek sosial, politik merupakan suatusikap membiarkan orang untuk mempunyai suatu  keyakinan yang  berbeda. Selain itu menerima pernyataan ini karena sebagai pengakuan dan menghormati hak asasi manusia.
Jadi toleransi mengandung konsensi ialah pemberian yang hanya didasarkan kepada kemurahan dan kebaikan hati, dan bukan didasarkan kepada hak. Jelas   bahwa  toleransi  terjadi  dan berlaku  karena  terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain  itu tanpa mengorbankan prinsip sendiri”. (Al-Munawar, 2007:13).
Di dalam memaknai toleransi terdapat dua penafsiran tentang konsep ini.
Pertama, penafsiran negatif yang menyatakan  bahwa toleransi itu cukup dimaknai mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang sama yang kedua adalah penafsiran positif yaitu menyatakan bahwa toleransi tidak hanya sekedar seperti pertama (penafsiran negatif) tetapi toleransi ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam bentuk tekanan atau pengaruh serta terhindar dari hipokrisis”. (Ahmad, 2007:13).
Oleh sebab  itu toleransi mengandung maksud supaya membolehkan terbentuknya sistem  yang menjamin akan keamanan pribadi, harta  benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat dalam masyarakat. Dengan menghormati agama, moralitas dan  lembaga-lembaga mereka serta menghargai pendapat orang lain dan perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya  tanpa harus berselisih dengan sesamanya hanya karena berbeda keyakinan atau agama.
Adapun kaitannya dengan agama, toleransi beragama adalah toleransi yang mencakup masalah-masalah  keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau yang berhubungan dengan ketuhanan yang diyakininya.  Seseorang  harus   diberikan  kebebasan  untuk  meyakini  dan memeluk agama masing-masing yang dipilih serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang di anut atau diyakininya. Azra (2007:34) berpendapat,Islam mengakui hak hidup agama-agama lain dan membiarkan para pemeluk agama tersebut untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing”.
Setelah mengetahui definisi dan batasan toleransi di atas ada hal yang perlu diingat bahwa toleransi tidak dapat diartikan bahwa seseorang yang telah mempunyai keyakinan kemudian pindah atau merubah keyakinannya untuk mengikuti dan membaur dengan keyakinan atau peribadatan agama-agama lain (sincretisme) serta tidak  pula  dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/kepercayaan  namun tetap pada suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya, serta memandang benar pada keyakinan  orang lain, sehingga pada dirinya terdapat kebenaran yang di yakini sendiri menurut suara hati yang tidak ada  paksaan dari orang lain atau didapatkan dari  pemberian orang lain.

2. Landasan Pelaksanaan Toleransi Umat Beragama
a. Landasan Dari Al-Qur’an Dan Hadits
    1) QS Al-Baqarah: 256
  
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang(teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, MahaMengetahui.” (Hatta, 2009:42).

           QS.Al Baqarah di atas menurut Shihab (dalam Ajad 2009: 142-148) adalah berkaitan dengan kebebasan memilih agama Islam atau selainnya. Seseorang yang dengan suka rela dan penuh kesadaran memilih satu agama, maka yang bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran tersebut secara sempurna. Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam bertindak baik dan bertindak adil. Selama tidak bertindak aniaya terhadap umat Islam, maka tidak ada alasan utuk memusuhi apalagi memerangi mereka. Al Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam megutamakan terciptanya suatu perdamaian hingga timbul rasa kasih sayang diantara umat Islam dengan umat beragama lainnya.
2) QS. Al-Kafirun ayat 1-6
 
Artinya:Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah  Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang kamu sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (Hatta, 2009:603).


Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum muslimin tidak menyembah seperti yang disembah orang kafir, tidak beribadah seperti ibadahnya orang kafir begitu pula orang kafir tidak menyembah sesembahan kaum muslimin, tidak beribadah seperti yang dilakukan kaum muslimin.

 3) Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Artinya: “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi ). (http://muslim.or.id./category/hadits) di akses 9 Nopember 2015.

b. Landasan Idiil
Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa). 
c. Landasan Konstitusional
Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Dan Pasal 29 ayat 2: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". 

d. Landasan Operasional
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat
3. Unsur-Unsur  Dalam Toleransi Beragama
Agama tidak pernah berhenti dalam mengatur tata kehidupan manusia karena itu toleransi antar umat beragama bukan sekedar hidup berdampingan yang pasif akan tetapi lebih dari itu untuk berbuat baik dan berlaku adil antara satu sama lain.
Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan  ajaran  agama  masing-masing.  Bila  toleransi  dalam  pergaulan hidup  ditinggalkan, berarti kebenaran ajaran  agama  tidak  diamalkan sehingga pergaulan dipengaruhi oleh saling curiga mencurigai dan saling berprasangka.
Perwujudan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama direalisasikan   dengan   cara,   pertama,   setiap   penganut   agama   mengakui eksistenai agama-agama lain dan menghormati segala hak asasi penganutnya. Kedua, dalam pergaulan bermasyarakat, setiap golongan umat beragama menempatkan sikap saling mengerti, menghormati dan menghargai. Selain itu toleransi mempunyai dua unsur yang  harus  ditekankan dalam mengekspresikannya terhadap orang lain. Dua unsur itu adalah:
a. Memberikan Kebebasan Atau Kemerdekaan
Setiap   manusia   diberikan   kebebasan   untuk   berbuat, bergerak   maupun berkehendak menurut dirinya sendiri dan juga di dalam memilih suatu agama/kepercayaan. Kebebasan ini diberikan sejak manusia lahir sampai ia nanti meninggal, dan kebebasan/kemerdekaan yang manusia miliki  tidak  dapat  digantikan  atau  direbut  oleh  orang  lain  dengan  cara apapun, karena kebebasan itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan dilindungi. Di setiap Negara wajib melindungi kebebasan setiap  manusia  baik  di  dalam  undang-undang  maupun  dalam  peraturan yang ada. Begitu pula dalam memilih suatu agama atau kepercayaan yang diyakini, manusia berhak dan bebas dalam memilih tanpa ada paksaan dari siapapun.
b. Menghormati prinsip dan hak orang lain.
Selain  bebas  dalam  memilih  suatu  agama  atau  kepercayaannya setiap  manusia  juga harus menghormati  prinsip  orang lain baik itu yang sejalan  dengannya   maupun  yang  berbeda.   Menghormati   prinsip  yang dimiliki  orang lain tidaklah  mudah  karena hal ini bisa jadi bertentangan dengan  prinsip  diri  sendiri.  Begitu  pula  dengan  hak-hak  orang  lain, seperti dalam beragama jelas sekali ada yang sama dengan kita dan ada pula yang berbeda. Sering kali manusia tidak bisa menerima hal ini dengan senang hati dan tulus. Padahal dengan menghormati  hak orang lain maka akan  mudah  dalam  menciptakan  hubungan  toleransi  dengan  orang  lain. Selain menghormati orang lain manusia juga dituntut untuk menghargai pendapat orang lain, menghormati bukan hanya sekedar peduli dengan apa yang dilakukan orang lain tetapi juga menghargai apa yang dilakukan/diperbuat orang lain dengan cara tidak menjelek-jelekkan karya atau pendapat orang  lain walaupun tidak sejalan dengan pendapat kita.
Mewujudakan  toleransi dalam pergaulan  hidup antar umat beragama merupakan bagian usaha menciptakan kemaslahatan umum serta kelancaran hubungan   antar   umat   manusia   yang   berlainan   agama,   sehingga   setiap golongan  umat  beragama  dapat  melaksanakan  bagian  dari  tuntutan  agama masing-masing. (Al-Munawar, 2007:22 ).
Penafsiran Abduh (2007:87)   tentang   toleransi   agama   adalah (1) Kemerdekaan memeluk suatu agama, (2)  Klaim Kebenaran Absolut.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa setiap penganut suatu agama mempunyai kemantapan hati tentang kebenaran agama yang dipeluknya. Mereka  berkeyakinan  agama  tersebut  adalah  agama  satu-satunya  yang paling benar secara absolut yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan.
Sebelum datangnya Islam umat manusia dalam keadaan terpecah belah pada golongan-golongan  agama, hanya sedikit sekali orang-orang yang  mempertahankan   keimanan,  menyembah dan mengabdi  kepada Allah Yang Maha Esa. Setiap golongan agama tersebut saling mengejek dan mengutuk  golongan   yang   berbeda.   Salah   satu   dari   mereka mendakwahkan bahwa golongannya yang paling benar dan berpegang pada tali Allah. (Abduh, 2007:207).
Suseno (2007:67) menjelaskan bahwa apa yang menurut ajaran resmi Gereja Katholik seharusnya menjadi sikap umat Katholik terhadap agama-agama lain. Menurut ajaran ini dialog dengan saudara-saudara dari agama  lain merupakan  bagian  integral  penghayatan  ajaran  Injil sendiri. Injil mengajak orang Kristiani untuk belajar dari pengalaman umat agama lain,  untuk  menghormati  dan  mencintai  mereka  serta  untuk  bersama mereka  membangun  kehidupan  masyarakat  yang  adil,  baik,  damai  dan sejahtera.
Al-Munawar (2007:22) berpendapat bahwa toleransi umat beragama harus memenuhi beberapa unsur penting antara lain:
a)        Kebebasan Beragama
Hak asasi manusia yang paling esensi selain hak hidup adalah hak kemerdekaan/kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan di dalam memilih kepercayaan/agama.  Kebebasan  merupakan  suatu  hak  dan  keaktifan yang fundamental  bagi manusia sehingga hal ini dapat membedakan antara  manusia  dengan  makhluk  yang lainnya.  Misalnya  hewan dan tumbuhan bahkan lebih jauh membedakan antara manusia dengan makhluk yang selalu mensucikan Allah SWT yaitu malaikat yang tidak diberikan kebebasan oleh Allah untuk berkehendak dan berbuat seperti manusia.
Kebebasan rohani atau beragama diartikan sebagai suatu ungkapan yang menunjukkan hak setiap individu dalam memilih keyakinan suatu agama. atau bebas memilih suatu kepercayaan/agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya.
Kebebasan memeluk suatu agama atau beragama sebagai salah satu  hak  yang  sangat   esensial   bagi  kehidupan   manusia.   Karena kebebasan untuk memilih agama datangnya dari hakihat manusia serta martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari orang lain. Untuk itu dalam menganut atau memilih suatu agama tidak bisa di paksakan oleh siapapun.
Adanya kerjasama yang baik antar umat Islam dan umat beragama lainnya tidaklah menjadi halangan. Kerjasama dalam bidang kehidupan masyarakat seperti penyelenggaraan pendidikan, pemberantasan penyakit sosial, pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan adalah sebagian kecil bentuk kerjasama yang dapat dilakukan. Saling melindungi, memberi keamanan terhadap saudara yang sedang beribadah merupakan perwujudan dari toleransi. Keadaan demikian digambarkan dalam QS. At Taubah ayat 6.
  
Artinya:“Dan jika diantara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui.”(Hatta, 2009:187).

 Toleransi harus dibedakan dari kompromisme, yaitu menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling memberi dan menerima demi terwujudnya kebersamaan. Kompromisme tidak dapat diterapkan dalam kehidupan beragama. Kompromisme dalam beragama akan melahirkan corak keagamaan yang sinkretik. Betapapun baiknya ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap terhadap kaum agama lain, tetapi dalam hal keyakinan dan pelaksanaan ibadah tidak dapat terjadi kompromi didalamnya. Seperti dalam sural Al Kafiruun menegaskan bahwa kompromi agama tidak boleh dilakukan oleh umat Islam. Dalam hal ibadah masing-masing melaksanakan sesuai dengan keyakinannya.
Di Indonesia dalam peraturan undang-undang disebutkan pada pasal  29  ayat 2  yang  mengatakan  “Negara  menjamin  kemerdekaan tiap-tiap  penduduk  untuk memeluk agamanya  masing-masing   dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Hal ini jelas bahwa Negara menjamin penduduknya dalam memilih dan memeluk agama/keyakinannya masing-masing serta menjamin dan melindungi penduduknya  dalam  menjalankan  peribadatan  menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
b.  Penghormatan Eksistensi Agama Lain
        Pluralisme keagamaan berintikan pengakuan terhadap eksistensi agama-agama lain dan perlunya meningkatkan   saling pengertian dan  menjalin  hubungan yang toleran diantara pemeluk agama. Etika yang harus diutamakan dari sikap toleransi setelah memberikan kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain dengan pengertian menghormati keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang dilindungi negara ,baik mayoritas maupun minoritas.
         Setiap  agama  mengandung  klaim  eksklusif  yaitu  mengaku agama  yang  dipeluknya paling  benar  dan agama yang dianutnyalah yang benar-benar berasal dari Tuhan. Umat beragama  sering  terjebak  pada  truth  claim  dan  salvation  claim. ( Achmad, 2007:143) yakni mengakui bahwa hanya agamanya yang benar, dapat menyelamatkan serta membahagiakan kehidupan dunia dan setelahnya. Hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa agama yang lain tidak benar, menghadapi  realitas  ini  setiap  pemeluk  agama  dituntut  agar senantiasa mampu menghayati sekaligus memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling menghormati serta menghargai eksistensi agama lain. Dalam bentuk tidak mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenang terhadap pemeluk agama lain misalnya sifat fanatik yang berlebihan terhadap agama tertentu, sehingga pada saat perayaan hari besarnya mengganggu dan menghambat perayaannya yang menandakan rasa kebencian serta tidak senang pada agama orang lain.

c. Pluralisme Agama Sebagai Realitas
         Salah satu prasyarat terwujudnya msyarakat modern yang demokratis dan maju adalah menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan, Kemajemukan ini merupakan sunnatullah. Di belahan bumi ini tidak ada masyarakat yang terbentuk secara tunggal  tanpa ada perbedaan-perbedaan di dalamnya. Karena itu pluralisme  yang  ada  di  masyarakat  bukan  saja  merupakan  suatu realitas yang obyektif, tetapi sekaligus suatu kepastian dari Tuhan.
         Secara harfiah pluralisme  berati beberapa,  berbagai  hal, atau banyak. Oleh sebab itu sesuatu yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari beberapa hal, beberapa jenis, berbagai sudut pandang serta latar belakang. Dengan  gambaran  semacam  ini,  dapat  dikatakan  bahwa  pluralisme agama  bukanlah  kenyataan  yang  mengharuskan  orang  untuk  saling menjatuhkan,  saling  merendahkan,  atau  mencampuradukkan  antara  agama yang satu dengan agama yang lain, tetapi justru menempatkanya pada posisi saling menghormati dan saling mengakui.
             Kita dapat belajar dari kekayaan spiritual serta nilai-nilai sosial dari agama lain untuk memperkaya wawasan keagamaan kita. Bukan belajar untuk mencari-cari kekurangan dan kelemahan agama lain yang bisa memojokkan, atau merendahkan atau menganggap bahwa agama yang lain tidak benar dan agama  kita  sendirilah   yang  paling  benar.  Dengan   demikian,   pluralisme merupakan kekayaan bersama. (Elmirzanah, 2007:9).  
         Realitas dari seluruh pluralisme yang melanda kehidupan manusia dewasa ini yang paling berat dalam pelaksanaannya ialah pluralisme agama, sebab pluralisme ini  sangat  sensitif   bagi  kelangsungan   hidup   beragama. Pluralisme  agama  merupakan  gejala yang  melanda  semua  masyarakat  di seantero jagad, proses pluralisasi ini sejalan dengan proses modernisasi.Banyak acuan dalam kitab agama-agama  bahwa  pluralisme  harus  disyukuri  selaku pemberian Tuhan. (Sumartana, 2007:68).  
             Pluralitas  keagamaan  dimanapun  di  dunia  ini,  adalah  realitas  yang tidak  mungkin diingkari. Kontak  antar komunitas yang berbeda agama  semakin meningkat. Hampir  tidak  ada  di belahan bumi ini kelompok  masyarakat  yang  tidak  pernah  mempunyai  kontak dengan kelompok lain yang berbeda agama. Benarlah jika dikatakan bahwa pluralitas keagamaan, sebagaimana pluralitas yang lain   adalah merupakan  hukum  alam, mengingkari pluralitas keagamaan sama dengan mengingkari hukum alam. (Sirry, 2007:63). 
           Implikasi  dari pluralisme  tersebut  seseorang  (pemeluk  agama)  harus dapat merubah sikap, cara dan pola berpikirnya yakni dari berpikir subyektif menuju   obyektif.   Perubahan   pola   berfikir   ini   ditujukan   dengan   suatu pemahaman bahwa di luar agama yang dipeluknya   ada agama lain serta mengakui eksistensinya melepaskan dari pendapat subyektifitas tentang agama yang  lain.  Obyektifitas  ini  tidak  memerlukan  pertimbangan teologi dalam menilai benar salahnya agama lain. Ummat beragama harus mampu menempatkan diri dalam kondisi yang  plural  dengan  dilandasi  rasa  saling menghormati dan menghargai atas eksistensi agama lain.

 

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Menurut Wahab (dalam Masykuri 2013:28) bahwa:
Mengingat kepeduliannya pada kedalaman ketimbang pada keluasan informasi, maka pendekatan kualitatif dirasa amat cocok dipergunakan untuk memperoleh pemahaman mendalam atas fenomena sosial yang kompleks atau untuk mencuatkan isu baru serta memperoleh pemahaman baru mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi fenomena sosial yang ada. Melalui penelitian kualitatif yang kritis akan dapat diperoleh gambaran yang akurat mengenai sikap, pandangan dan prilaku dari orang-orang yang menjadi target kebijakan.

Ghony dan Almanshur (2014:13) menyatakan bahwa:

Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, keprcayaan, presepsi, dan pemikiran manusia secara individu maupun kelompok. Penelitian kualitatif bersifat induktif,.Artinya peneliti membiarkan permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan terbuka untuk interpertasi.

Berdasarkan permasalahan yang diangkat, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian dengan menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif pada dasarnya landasan teoritisnya bertumpu secara mendasar pada fenomenologi dan menggali makna dalam penelitian. Karena itu, pada bagian ini fenomenologi dijadikan sebagai dasar teoritis utama sedang yang lainnya yaitu interaksi simbolik, kebudayaan, dan etnometodologi dijadikan sebagai dasar tambahan yang melatarbelakangi secara teoretis penelitian kualitatif. Kedudukan teori dalam pendekatan kualitatif merupakan suatu produk akhir yang harus dihasilkan. Rancangan penelitian dibangun berdasarkan kumpulan asumsi dan konsep yang dikembangkan dari teori yang relevan. Sumber pokok jawaban penelitian terdapat data bukan pada teori. Dalam pendekatan ini teori-teori yang diperoleh dari pembendaharaan teori hanya digunakan sebagai pembanding atau instrumen yang membantu memperjelas karakteristik data.
Berangkat dari pendapat di atas maka pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang digunakan untuk meneliti proses kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menentukan tujuan sekolah dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan budaya toleransi, serta pengaruh kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan budaya di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
Pertimbangan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif ini dengan alasan menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, metode ini secara tidak langsung mengikat hubungan antara peneliti dan responden, metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Data penelitian yang nantinya akan diteliti berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakkan metode diskriptif.
Berdasarkan tempat penelitian, maka penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilaksanakan di dua tempat yaitu di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu dan tidak tertutup kemungkinan dilakukan di tengah-tengah masyarakat yang berhubungan langsung dengan peningkatan toleransi antar umat beragama.

B. Kehadiran Peneliti
Ghony dan  Almanshur (2014:153) berpendapat bahwa “sewaktu peneliti berada di lapangan penelitian, mau tidak mau peneliti terjun ke dalamnya dan ikut berperan serta di dalamnya. Sering terjadi bahwa peran serta peneliti baru terwujud seutuhnya apabila ia membaur secara fisik dengan kelompok komunitas yang ditelitinya”.
Ahmadi (2014:101) menyatakan bahwa “pada intinya kehadiran peneliti di lapangan betul-betul berusaha menjadi dekat (get close) dengan orang-orang di lapangan. Dengan menjadi dekat memungkinkan untuk memperoleh data faktual dan memperoleh kutipan-kutipan penting”.
Dalam penelitian kualitatif kehadiran peneliti di lapangan adalah mutlak diperlukan karena peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci dan sekaligus sebagai pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan tanpa persiapan terlebih dahulu maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu hanya manusia yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek utama, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan.
Di dalam pengumpulan data, peneliti melibatkan diri dalam kehidupan subyek yang diteliti dan harus berusaha menciptakan hubungan akrab dengan subyek yang diteliti agar data yang diperoleh betul-betul valid. Kehadiran peneliti di tempat penelitian harus terbuka dan menjelaskan maksud penelitian yang dilakukannya kepada subyek yang diteliti, sehingga peneliti dapat lebih bebas bertindak untuk mencari dan mengumpulkan data yang dibutuhkan.
Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif dalam upaya mengumpulkan data-data di lapangan. Sedangkan instrument pengumpulan data yang lain selain peneliti adalah berbagai bentuk alat bantu dan berupa dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrument pendukung. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti, sehingga keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan. Adapun informan penelitian selain penulis sendiri adalah kepala sekolah, guru, tata usaha, dan siswa SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.

 C. Lokasi Penelitian     
Lokasi penelitian amat mempengarui terhadap keberhasilan sebuah penelitian. Pemilihan lokasi penelitian harus benar-benar mampu menggambarkan obyek yang menjadi permasalahan penelitian. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu karena dua sekolah tersebut yang mempunyai keragaman yang cukup besar dalam kaitannya dengan agama, mayoritas beragama Katolik, selanjutnya Kristen Protestan, Islam dan Hindu. Kondisi umat beragama yang berbeda tersebut sangat membutuhkan hadirnya pemimpin yang arif dan bijaksana agar suasana tetap aman, nyaman dan kondusif sehingga seluruh program kegiatan sekolah baik yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran di kelas  ataupun kegiatan ektra kurikuler dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan berkaitan dengan seragam sekolah khusus untuk peserta didik perempuan yang beragama Islam mereka memakai seragam sesuai ketentuan ajaran Islam yakni menutup aurat dengan  rok panjang, kemeja lengan panjang dan berjilbab. Hal ini yang menjadi daya tarik peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan toleransi umat beragama di sekolah tersebut mengingat jumlah siswa yang beragama Islam hanya sekitar 10% . Selain dari sisi toleransi umat beragama, banyak juga prestasi  baik akademik maupun yang non akademik diraihnya sehingga kedua sekolah ini termasuk sekolah yang menjadi pilihan utama dan menjadi idola yang didambakan. Hal ini terbukti setiap penerimaan siswa baru selalu dibanjiri calon peserta didik yang mendaftarkan diri, tiap tahun ajaran baru lebih dari 1000 calon peserta didik yang mempercayakan kelanjutan pendidikannya di sekolah tersebut.

D. Sumber Data
Disebabkan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, maka menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan data.
1.        Sumber data primer didapat dari studi lapangan, yaitu proses pengumpulan informasi, data, dan fakta secara langsung pada objek penelitian. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru, tata usaha, dan siswa SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
2.        Sumber data sekunder didapat melalui studi literatur/kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data sekunder dengan mempelajari buku-buku atau bahan-bahan tertulis yang ada hubungannya dengan topik yang akan diteliti, termasuk data-data tertulis lainnya yang berasal dari lembaga yang dijadikan objek penelitian termasuk mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan.

Ghony dan Almanshur (2014:95) berpendapat bahwa:
Nilai kepercayaan suatu penelitian terletak pada hasil penelitian yang diperoleh secara valid dan reliable. Hal ini sangat bergantung pada kualitas data yang diperoleh dari sumber data yang tepat melalui pengungkapan instrument yang berkualitas pula. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah yang melakukan penelitian itu sendiri, yaitu peneliti. Peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan orang yang membuka kunci, menelaah dan mengeksplorasi seluruh ruang secara cermat, tertib, leluasa, bahkan ada yang menyebutnya sebagai key instrument.

Ahmadi (2014:103) menyatakan bahwa:
Dalam penelitian kualitatif, instrument penelitian adalah manusia, yakni peneliti itu sendiri atau orang lain yang terlatih. Data yang akan diperoleh dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata (bahasa), tindakan atau bahkan isyarat atau lambang. Untuk dapat menangkap atau menjelaskan data yang demikian, yang paling tepat sebagai instrumen penelitian adalah manusia.

Merujuk pada beberapa pendapat di atas maka instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan apa yang dirancangnya. Dengan demikian peneliti merupakan instrumen penelitian yang paling efektif digunakan dalam penelitian kualitatif. Penetapan peneliti sebagai instrumen penelitian bertujuan untuk mendapatkan data empirik di lapangan.Instrumen penelitian yang digunakan adalah wawancara dan pengamatan terhadap obyek penelitian melalui sejumlah pendalaman dalam bentuk diskusi terfokus.Wawancara melalui sejumlah pertanyaan yang terfokus dilakukan secara logis berhubungan dengan masalah penelitian, dan tiap-tiap pertanyaan merupakan jawaban-jawaban yang mempunyai makna.
Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling menurut Soetopo (dalam Masykuri 2013:124) menyatakan bahwa:
Dalam penelitian kualitatif, proposif sampling yang diambil lebih bersifat selektif, memilih informan yang dianggap mengetahui informasi, masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap.Peneliti mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang dihadapi.Sumber data yang digunakan tidak sebagai yang mewakili populasinya, tetapi lebih cenderung mewakili informasinya.Karena pengambilan sampel didasarkan atas berbagai pertimbangan tertentu.


Ahmadi (2014:85) berpendapat bahwa:
Proposif sampling merupakan jenis sampling yang diterima untuk situasi-situasi khusus.Proposif samplingmenggunakan keputusan(judgment) ahli dalam memilih kasus-kasus atau memilih kasus-kasus dengan tujuan khusus dalam pikiran.Proposif samplingcocok dalam tiga situasi.Pertama, seorang peneliti menggunakannya untuk memilih kasus-kasus unik, khususnya yang bersifat informative.Kedua, seorang peneliti bisa menggunakan proposif sampling untuk memilih anggota-anggota yang sulit untuk dicapai, populasi khusus.Ketiga, proposif sampling digunakan ketika seorang peneliti ingin mengidentifikasi tahapan-tahapan khusus kasus-kasus untuk investigasi mendalam.

Dengan merujuk pada pendapat di atas, maka penentuan informan dalam penelitian ini untuk melaksanakan wawancara mendalam, penulis menentukan beberapa sumber atau informan yang dianggap paling representatif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan fokus penelitian. Penentuan informan dilakukan berdasarkan jabatan, pengalaman dan pemahaman atas objek yang diteliti. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dengan memilih informan kunci yang paling tau dan faham tentang situasi, kondisi dan gejala-gejala yang terjadi.Ini dilaksanakan pada tahap awal memasuki lapangan memilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti. Hal ini dimaksudkan untuk mampu membukakan pintu atau jalan masuk kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data.
Jadi, informan sekaligus sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
 
E. Prosedur Pengumpulan Data
Menurut  Soetopo (dalam Masykuri 2013:131) pengumpulan data primer tersebut dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:
Observasi; digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda serta rerkaman gambar. Dapat dikatakan bahwa observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap objek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan sebagai acuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung kepada pihak yang berhubungan dengan penelitian.

Berangkat dari pendapat di atas maka dalam pengumpulan data penelitian, penulis akan menyiapkan pedoman observasi yakni lembaran pengamatan yang telah disiapkan oleh penulis untuk menjaring data tentang proses kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menentukan tujuan sekolah dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan budaya toleransi, pengaruh kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan budaya di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi serta kebebasan beragama, penghormatan eksistensi agama lain, dan pluralisme agama sebagai realitas di di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
Selanjutnya, peneliti menggunakan wawancara terstruktur dan tak terstruktur.Wawancara terstruktur mirip dengan percakapan untu menggali informasi. Metode ini bertujuan memperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap informan. Sedangkan wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaan dan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara. Melalui wawancara tersebut akan diperoleh informasi tentang proses kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menentukan tujuan sekolah dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan budaya toleransi, pengaruh kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan budaya di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi serta kebebasan beragama, penghormatan  eksistensi agama lain, dan pluralisme agama sebagai realitas di  SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
Kemudian penulis melakukan studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi melalui literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel dan makalah yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara memperoleh data melalui pengkajian dan penelaahan terhadap catatan penulis maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.

F.  Analisis Data
Masykuri dan Bafadal (2013:174) menyatakan bahwa:
Analisis data adalah proses penelaahan, pengurutan, dan pengelompokkan data dengan tujuan untuk menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya menjadi kesimpulan atau teori sebagai temuan penelitian. Data dalam penelitian kualitatif terdiri dari deskripsi yang rinci tentang situasi, interaksi, peristiwa, orang dan prilaku yang diamati; atau nukilan-nukilan langsung dari seseorang tentang pengalaman, fikiran, sikap, dan keyakinannya atau petikan-petikan dokumen, surat dan rekaman-rekaman lainnya. Pada dasarnya analisis data selama pengumpulannya itu merupakan analisis awal terhadap data yang diperoleh. Analisisnya dapat diupayakan dengan apa yang disebut kegiatan reduksi data. Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan dan pemusatan perhatian penelitian melalui seleksi yang ketat terhadap fokus yang akan dikaji lebih lanjut, penajaman focus, pembuatan ringkasan hasil pengumpulan data, pengorganisasian data sehingga siap untuk dianalisis lebih lanjut begitu selesai melakukan pengumpulan data secara keseluruhan.

Ahmadi (2014:229) berpendapat bahwa “analisis data pada penelitian kualitatif dilakukan melalui pengaturan data secara logis dan sistematis dan dilakukan sejak awal peneliti terjun ke lapangan hingga pada akhir penelitian (pengumpulan data).  Yang melakukan analisis data adalah peneliti yang sejak awal turun ke lapangan berinteraksi dengan latar dan orang (subjek) dalam rangka pengumpulan data”.
Dari rumusan di atas dapatlah kita tarik garis besar bahwa analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan, komentar peneliti, gambar, pengumuman, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya. Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas, maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptif-kualitatif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka secara garis besar langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.     Reduksi Data. Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Kemudian peneliti melakukan reduksi data yang kegiatannya mencakup unsur-unsur spesifik termasuk (1) proses pemilihan data atas dasar tingkat relevansi dan kaitannya dengan setiap kelompok data, (2) menyusun data dalam satuan-satuan sejenis. Pengelompokkan data dalam satuan yang sejenis ini juga dapat diekuivalenkan sebagai kegiatan kategorisasi/variable, (3) membuat koding data sesuai dengan kisi-kisi kerja penelitian. Kegiatan lain yang masih termasuk dalam mereduksi data yaitu kegiatan memfokuskan, menyederhanakan dan mentransfer dari data kasar ke catatan lapangan. Dalam penelitian kualitatif-naturalistik, ini merupakan kegiatan kontinyu dan oleh karena itu peneliti perlu sering memeriksa dengan cermat hasil catatan yang diperoleh dari setiap terjadi kontak antara peneliti dengan informan.
2.     Penyajian Data. Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan.
3.   Penarikan Kesimpulan. Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan.

G. Pengecekkan Keabsahan Data
Ketajaman analisis peneliti dalam menyajikan sebuah data tidak serta merta menjadikan hasil temuan peneliti sebagai data yang akurat dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Perlu melewati pengujian data terlebih dahulu sesuai dengan prosedural yang telah ditetapkan sebagai seleksi akhir dalam menghasilkan atau memproduksi temuan baru. Oleh karena itu, sebelum melakukan publikasi hasil penelitian, peneliti terlebih dahulu harus melihat tingkat kesahihan data tersebut dengan melakukan pengecekan data melalui pengujian keabsahan data.
Guba dan Lincoln (dalam Masykuri 2013:187) berpendapat bahwa “auditor adalah seorang yang ditunjuk melakukan audit terhadap suatu hasil analisis data”.
Menurut Masykuri dan Bafadal (2013:187) menyatakan bahwa:
Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam mengaudit hasil analisis data penelitian kualitatif.Pertama menentukan seorang, dua orang atau lebih yang akan meminta kesediaannya menjadi auditor. Kedua menyiapkan semua berkas-berkas yang diperlukan dalam mengaudit hasil analisis data, berkas-berkas dimaksud meliputi rumusan masalah dan tujuan penelitian, rancangan, metode dan prosedur analisis data penelitian, dan sebagainya.Ketiga menghubungi orang yang akan diminta kesediaannya menjadi auditor. Apabila yang bersangkutan bersedia, maka semua berkas yang telah disiapkan sebelumnya diserahkan kepada yang bersangkutan.Keempat auditor mulai melakukan audit terhadap hasil analisis data. Prosesnya dapat diawali dengan cara membandingkan antara kesimpulan, masalah dan tujuan penelitian.

Ghony dan Almanshur (2014:314) berpendapat bahwa:
Ada lima teknik untuk mengecek kredibilitas data hasil penelitian kualitatif, yaitu: (1) kegiatan-kegiatan yang lebih memungkinkan temuan atau interpretasi yang dapat dipercaya yang dihasilkan (memperpanjang keterlibatan pengamatan yang terus menerus, dan triangulasi); (2) pengecekkan eksternal pada proses inquiri (wawancara teman sejawat-peer debriefing); suatu kegiatan yang mendekati perbaikan hipotesis kerja karena semakin banyak informasi yang tersedia (analisis kasus negativf); (4) suatu kegiatan yang memungkinkan untuk mengecek temuan dan interpretasi awalterhadap “data mentah” yang diarsipkan (kecukupan referensial); (5) suatu kegiatan yang memberikan pengujian temuan dan interpretasi langsung dengan sumber manusia sebagai asal dan temuan tersebut---pembuat realitas ganda yang dikaji (pengecekkan anggota).

Ahmadi (2014:262) menyatakan bahwa “ada tiga kegiatan yang dapat dilakukan oleh peneliti kualitatif untuk meningkatkan temuan yang dapat dipercaya akan dihasilkan, yaitu (1) memperpanjang keterlibatan, (2) pengamatan yang cermat, dan (3) triangulasi”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dilaksanakan pelaporan hasil penelitian yang ilmiah, terlebih dahulu menguji kredibilitas secara gamblang. Pengujian kredibilitas yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap perolehan data yang ditemukan di lapangan dapat mengikuti langkah-langkah yang telah diuraikan di atas. Peneliti dapat mengambil cara pengujian kredibilitas baik secara keseluruhan maupun hanya menggunakan beberapa tahap pengujian yang telah dipaparkan.Nilai yang diperoleh dalam temuan penelitian kualitatif tidak bersifat universal tetapi dapat diterapkan apabila memiliki konteks dan situasi yang mirip dengan objek penelitian.Untuk mengetahui hal tersebut, maka pengujian perlu dilakukan guna memberikan uraian yang rinci, jelas dan sistematis, dan dapat dipercaya oleh pembaca mengenai hasil penelitian.Dengan demikian, generalisasi dapat dihindari oleh pembaca karena telah memahami seluk beluk data yang diperoleh dalam penelitian. Pembaca akan bijak untuk menerapkan hasil penelitian tersebut sesuai dengan konteks dan situasi yang identik dengan penelitian yang dimaksud.
Untuk meguji keabsahan, keakuratan dan dapat dipercaya terhadap data penelitian ini, penulis menggunakan “triangulasi metode”. Sebagaimana dalam Ahmadi (2014:267) menyatakan bahwa “triangulasi metode, data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode tertentu nantinya dicek dengan menggunakan metode yang lain”.
Penulis akan menggunakan teknik triangulasi metode, artinya data yang diperoleh melalui obseravsi akan dicek kembali dengan menggunakan wawancara dan dokumen-dokumen pendukung. Jika dari ketiga metode pengumpulan data tersebut diperoleh informasi yang sama maka data tersebut dikatakan valid, reliable dan dapat dipercaya.

H. Tahap-Tahap Penelitian
Ghony dan Almanshur (2014:143-157) menyatakan bahwa:
Tahapan-tahapan penelitian kualitatif disesuaikan dengan kepraktisan, kemampuan peneliti, serta mudah dipahami.Selanjutnya tahapan tersebut terdiri tahap penelitian secara umum dan tahap penelitian secara siklus. Tahapan secara umum akan dipaparkan sebagai berikut:
1.        Tahap pra-penelitian, antara lain (a) menyusun rancangan penelitian; (b) memilih lokasi penelitian; (c) mengurus perijinan penelitian; (d) menjajaki dan menilai lokasi penelitian; (e) memilih dan memanfaatkan informan; (f) menyiapkan perlengkapan penelitian; (g) memperhatikan etika penelitian.
2.        Tahap perkejaan lapangan, meliputi (a) memahami latar penelitian dan persiapan diri; (b) penampilan peneliti; (c) pengenalan hubungan peneliti di lapangan; (d) jumlah waktu penelitian.
3.        Memasuki lokasi penelitian, meliputi (a) keakraban hubungan; (b) mempelajari bahasa; (c) peranan peneliti.
4.        Berperan serta sambil mengumpulkan data, meliputi (a) pengarahan batas waktu penelitian; (b) mencatat data; (c) petunjuk tentang cara mengikat data; (d) kejenuhan, keletihan dan istrahat; (e) meneliti suatu latar yang di dalamnya terdapat pertentangan; (f) analisis di lapangan.

Dengan merujuk pada pendapat di atas, maka tahap-tahap yang ditempuh oleh penulis dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.        Tahap sebelum kelapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan teori, penjajakan alat peneliti mencakup observasi lapangan, permohonan ijin kepada subyek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian.
2.        Tahap pekerjaan lapangan, meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan proses kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menentukan tujuan sekolah dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan budaya toleransi, pengaruh kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan budaya di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi serta kebebasan beragama, penghormatan eksistensi agama lain, dan pluralisme agama sebagai realitas di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu. Data tersebut diperoleh dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.
3.        Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperolah melaui observasi, dokumen maupun wawancara mendalam dengan kepala sekolah, guru, tata usaha, dan siswa SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu serta pihak-pihak terkait. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan data dengan cara mengecek sumber data yang didapat dan metode perolehan data sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan bahan untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks penelitian yang sedang diteliti.
4.        Tahap penulisan laporan, meliputi: kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. Setelah itu melakukan konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan perbaikan saran-saran demi kesempurnaan penelitian yang kemudian ditindaklanjuti hasil bimbingan sehingga hasilnya sempurna. Langkah terakhir melakukan pengurusan kelengkapan persyaratan untuk ujian tesis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar