Kepemimpinan Kepala
Sekolah Dalam Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama di SMA Negeri 1 dan 2
Atambua Kabupaten Belu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Republik Indonesia dibangun atas keragaman agama, adat istiadat, bahasa, ras dan suku. Pancasila yang merupakan dasar
idiologi, pandangan hidup, cita-cita bangsa dan sumber dari segala sumber hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengisyaratkan tentang kondisi, karakter
dan pola pikir seluruh rakyat Indonesia yang beragam. Lima butir sila dalam Pancasila
menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat asli bangsa Indonesia dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang saling menghargai berbagai
perbedaan, idiologi pancasila merupakan bukti pengakomodiran keragaman yang dikokohkan
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda tetap satu jua.
Keragaman dan berbagai perbedaan yang terjadi
antara manusia yang satu dengan yang lain merupakan suatu keniscayaan, wajar,
mesti terjadi yang merupakan sunnatullah,
anugerah Allah yang Maha Kreatif, yang harus kita syukuri untuk menjaga
keseimbangan, keharmonisan, keindahan, dan kedamaian,hal ini seperti yang
dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat: 13,
Artinya: “Wahai manusia!Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudiankami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti” (Hatta,
1990: 517).
Ayat tersebut
menjelaskan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak dibenarkan seseorang berbangga
dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, karena ketinggian derajat
seseorang di hadapan Allah Swt dilihat seberapa
tinggi ketaqwaannnya.
Namun sebagai akibat dari perbedaan suku, etnis,
agama, bahasa tersebut tidak menutup
kemungkinan atau bahkan sering menimbulkan gesekan-gesekan diantara sesama,
yang selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya konflik baik antar etnis maupun
antar agama yang berbeda. Tentu, penyebab konflik tersebut banyak sekali tapi kebanyakan
disebabkan oleh perbedaan suku, agama, ras etnis dan budaya. Beberapa kasus
yang pernah terjadi di tanah air yang diakibatkan oleh perbedaan suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA) tersebut di antaranya adalah kasus konflik Ambon, Poso
dan konflik etnis Dayak dengan Madura di Sampit dan yang baru kasus di Tolikara Papua.
Di antara sekian elemen-elemen keberagaman tersebut yang
paling rawan dan paling mudah bergejolak adalah perbedaan dibidang agama, sebab
agama memiliki kedudukan dan
peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia Indonesia.
Pengakuan akan kedudukan dan
peran penting agama
ini tercermin dari penetapan
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama
dalam pancasila
sebagai falsafah Negara yang juga dipahami sebagai sila yang menjiwai empat sila lainnya. Oleh
sebab itu pembangunan agama bukan hanya merupakan bagian integral
pembangunan nasional, melainkan juga
bagian yang seharusnya melandasi dan menjiwai keseluruhan arah dan tujuan pembangunan nasional,
Selain memiliki posisi
yang sangat penting, agama
juga menempati posisi yang unik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana dimaklumi bahwa Indonesia bukanlah negara
sekuler tetapi bukan pula negara teokratis. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
didasarkan pada satu paham atau keyakinan agama tertentu, namun nilai-nilai
keluhuran, keutamaan dan kebaikan yang terkandung dalam
agama-agama yang diakui
sebagai sumber dan landasan spiritual, moral
dan etika bagi kehidupan bangsa dan negara.
Setiap inisiatif negara untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan keagamaan
dapat dipandang sebagai usaha memfasilitasi para pemeluk agama dalam
menjalankan kewajiban-kewajiban keagamaan mereka.
Hak dan
kebebasan beragama
warga negara diakui
sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 29 UUD 1945 ayat 2 bahwa “ Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sesuai amanat
konstitusi, negara dan pemerintah
berkewajiban memberikan
jaminan dan
perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk
agama dan beribadat menurut
agamanya, serta memberikan fasilitasi dan pelayanan untuk pemenuhan hak dasar warganegara tersebut. Dengan
demikian,
aspek pengamalan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi warganegara menjadi landasan pokok bagi pembangunan bidang agama.
Pembangunan bidang agama merupakan upaya untuk mendorong
peningkatan kualitas
pengetahuan dan penghayatan umat
beragama terhadap nilai-nilai keluhuran, keutamaan,
dan kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama. Pengetahuan
dan penghayatan itu diharapkan dapat
mengejawantah dalam perilaku dan akhlak mulia warga negara sehingga dapat menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang
bermartabat, berkeadilan dan berkeadaban.
Sebagaimana
telah diyakini
bersama bahwa, agama bukan sekadar mengajarkan
tentang
hubungan antara pemeluk agama
dengan Sang Pencipta (habluminallah), melainkan
juga tentang hubungan
antar sesama manusia (hablumminanas) dan
hubungan dengan alam sekitarnya. Oleh
sebab itu, pembangunan bidang agama diarahkan bukan saja untuk
meningkatkan kualitas
kesalehan individual umat
beragama, tetapi juga mendorong terwujudnya
kesalehan
sosial dan ekologis, serta moralitas
publik dalam pengelolaan kehidupan bernegara.
Sikap toleran dan penghormatan terhadap pandangan
dan keyakinan orang lain, kepedulian terhadap sesama manusia, kerjasama dan
tolong-menolong, adalah diantara
wujud dari kesalehan sosial. Sementara itu, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya alam yang disertai perlindungan dan
pemeliharaan kelestariannya antara lain merupakan bentuk-bentuk nyata dari kesalehan ekologis.
Sebagai
bangsa multi etnis, budaya, dan agama, kerukunan
hidup umat beragama menjadi hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kerukunan hidup umat beragama menjadi pilar penting bagi terwujudnya persatuan,kesatuan dan ketahanan nasional, sekaligus menjadi prasyarat mutlak bagi
terwujudnya stabilitas politik dan keamanan yang niscaya bagi terselenggaranya pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, keharmonisan dalam keberagaman tersebut adalah
dengan sikap toleransi yakni saling menghargai dan saling menghormati
di kalangan umat beragama, tanpa mencampuri substansi dari
agama dan keyakinan yang dipeluk oleh umat agama lian.Toleransi merupakan
kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang
untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan.
Kesadaran akan toleransi umat beragama harus bersifat dinamis, humanis
dan demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada
masyarakat dikalangan bawah sehingga, buah dari toleransi tersebut tidak hanya dirasakan/dinikmati oleh para pejabat dan kalangan
atas saja tapi sebenarnya yang terpenting adalah kedamaian dan kerukunan
masyarakat luas.
Semua agama mengajarkan
perdamaian, hidup rukun dan tentram, dan tidak ada satupun agama di dunia ini
menyuruh umatnya untuk saling menghina, merendahkan, bermusuhan apalagi saling membunuh
dengan umat lain. Agama dapat menentramkan, menenangkan dan membahagiakan
kehidupan jiwa seseorang. Secara moral agama menunjukkan tata nilai dan norma
yang baik dan buruk, dan mendorong manusia berperilaku baik. Oleh karena itulah
maka kajian-kajian tentang keragaman agama dan masalah-masalah yang
mengitarinya seperti toleransi umat beragama semakin urgen untuk dilaksanakan,
bahkan pembicaraan seputar masalah ini akan tetap aktual di masa mendatang dan
tidak akan pernah mengalami kedaluarsa, sebab masalah keagamaan terus
berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Peran
negara
melalui
berbagai instansi terutama Kementerian Agama
dan Dinas Pendidikan, Pemuda
dan Olah Raga sangat
strategis dalam melembagakan sikap toleransi
umat beragama di sekolah-sekolah.
Hal ini tidak
dapat dilepaskan
dari posisi Kementerian
Agama dan Dinas Pendidikan sebagai
lembaga yang
menaungi sekolah
secara langsung
dan dapat mengeluarkan
kebijakan
yang mengatur tata kehidupan dan
langkah-langkah
yang diambil oleh
sekolah guna
mewujudkan hal tersebut. Peranan negara
melalui
Kementerian Pendidikan
dan Kementerian Agama dalam
mewujudkan toleransi umat
agama melalui seluruh
sekolah
yang ada di wilayah yang menjadi wewenangnya.
Sekolah adalah lembaga yang sangat efektif untuk menumbuh kembangkan budaya
toleransi umat beragama. karena dari sanalah generasi penerus bangsa
dikenalkan, difahamkan, dibiasakan dan dibudayakan adanya keragaman agama yang
anut oleh masyarakat Indonesia, untuk itu amanat Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tepatnya pada pasal 3 yang menyebutkan
bahwa:
Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Kemudian
diperkuat dengan pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia (HAM),
nilai keagamaan, nilai kultural
dan kemajemukan bangsa.”
Penyelenggaraan pendidikan agama yang diwujudkan dalam menanamkan
budaya toleransi umat beragama diberbagai jenjang pendidikan wajib untuk
dilaksanakan. Karena dengan tertanamnya budaya toleransi umat beragama pada
diri peserta didik akan terbentuk kebiasaan memahami dan menghargai perbedaan,
sehingga akan tercipta suasana lingkungan sekolah yang aman, damai dan kondusif
untuk berlangsungnya semua program kegiatan di sekolah. Sedikit saja ada gangguan misalnya
intoleransi maka dapat dipastikan bahwa sebaik apapun program sekolah tidak
akan dapat berjalan dengan lancar sehingga tujuan tidak akan tercapai.
Lingkungan sekolah yang aman, tertib, nyaman dan kondusif
merupakan prasyaratterselenggaranya kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif,
inovatif , efektif dan menyenangkan sehingga dapat melahirkan berbagai prestasi
yang menjadi harapan bersama. Kondisi yang demikian dapat terwujud bila
masing-masing memahami hak dan kewajiban, peran dan tugas seluruh warga sekolah dan yang sangat penting
adalah adanya saling menghormati, saling memahami dan saling menghargai
berbagai perbedaan yang ada terutama kaitan dengan perbedaan agama.
Sebagai pemimpin lembaga pendidikan, kepala sekolah
bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang ada di sekolah, kepala sekolah
mempunyai andil dan peranan terbesar untuk terciptanya lingkungan sekolah yang
aman, nyaman dan kondusif dengan berbagai
kebijakan dan strategi yang diterapkan. Pasal 12 ayat 1 PP 28 Tahun 2009
menjelaskan bahwa” kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan
lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana”. Ada
berbagai layanan yang harus diwujudkan oleh kepala sekolah. Ada lima sifat
layanan yang dituntut untuk diwujudkan
oleh kepala sekolah yakni “layanan sesuai dengan yang dijanjikan (reliability),
mampu menjamin kualitas pembelajaran (assurance), iklim sekolah yang
kondusif (tangible), memberikan perhatian penuh kepada siswa (emphaty),cepat
tanggap terhadap kebutuhan siswa (responsiveness)” (Mulyasa,
2007:56).
Penanaman budaya toleransi umat beragama di sekolah
membutuhkan kesadaran, kesungguhan, komitmen dan kerja sama dari semua pihak.
Kepala sekolah harus mampu memberikan kontribusi yang sangat dominan
bagi terciptanya budaya toleransi. Gorton (dalam Amirullah 2015:82) menyatakan bahwa “kepemimpinan
kepala sekolah merupakan elemen kunci bagi keberhasilan sekolah”. Dengan kata
lain kepemimpinan menjadi faktor yang
sangat penting dan menentukan untuktercapainya kinerja warga sekolah yang
optimal untuk mencapai prestasi yang membanggakan.
Kepemimpinan kepala sekolah dan budaya toleransi umat
beragama menjadi fokus perhatian peneliti karena berdasarkan observasi awal
kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan terciptanya budaya toleransi umat
beragama di sekolah, dan bila di sekolah tercipta suasana yang saling
menghargai, menghormati akan tercipta kondisi sekolah yang menyenangkan
sehingga kegiatan pembelajaran dan berbagai kegiatan yang lain dapat berjalan
dengan baik dengan demikian tujuan yang diharapkan akan tercapai.
SMA Negeri 1dan 2 Atambua merupakan lembaga
pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional. Adapun SMA Negeri 1Atambuaadalah sekolah menengah atas
negeri yang pertama berdiri di Atambua Kabupaten Belu.
Sekolah tersebut berdiri pada tahun 1978 berada di tempat strategis
dan mudah dijangkau dan berada di kecamatan kota Atambua, yang dari tahun ke
tahun mengalami perkembangan kemajuan yang signifikan hal ini ditandai dengan
banyaknya prestasi yang diraih baik akademik maupun non akademik dan tiap
menjelang awal tahun ajaran baru lebih dari 1000 calon peserta didik ingin
melanjutkan pendidikannya di sekolah tersebut. Sedangkan SMA Negeri 2 Atambua adalah
sekolah tingkat menengah atas negeri yang masih relatif baru, berdiri tahun
2011.
Kehidupan
beragama warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan dan juga peserta didik) di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua beragam dengan mayoritas beragama Katolik, urutan kedua Kristen
Protestan, ketiga Islam dan keempat Hindu. Selain keragaman agama juga terdapat banyak
kemajemukan suku, budaya dan juga ras, hal ini yang membutuhkan hadirnya
kepemimpinan kepala sekolah yang arif, bijaksana dan berkompeten dalam
mengelola sekolah tersebut karena
apabila dalam satu lembaga pendidikan yang warga sekolahnya menganut multi
agama tidak tercipta suasana toleransi
yang baik dapat dipastikan kondisi dan suasana sekolah tidak kondusif, tidak nyaman,
kacau, saling mencurigai, saling mengejek sehingga berbagai program kegiatan
yang dirancang sebaik apapun tidak akan bisa berjalan dengan lancar yang pada
akhirnya tujuan yang diharapkan tidak akan tercapai.
Berdasarkan latar belakang atau konteks penelitian
tersebut maka, peneliti ingin mengetahui lebih jauh dengan mengadakan penelitian dengan mengambil
judul “ Kepemimpinan Kepala
Sekolah Dalam Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama di SMA Negeri 1 dan 2
Atambua Kabupaten Belu”
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka peneliti
merumuskan fokus penelitian sebagai berikut :
- Bagaimana peran kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu?
- Bagaimana pengelolaan informasi kepala sekolah terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu?
- Bagaimana bentuk-bentuk keputusan terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian tersebut yang menjadi
tujuan dalam pelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang:
- Peran kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
- Pengelolaan informasi kepala sekolah terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
- Bentuk-bentuk keputusan terhadap peningkatan budaya toleransi umat beragamadi SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi
positif baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:
1. Secara Teoritis
a.
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan keilmuan, terutama berkaitan dengan upaya
meningkatkan budaya toleransi umat beragama.
b.
Penelitian
ini bisa dijadikan dasar dan pembanding bagi para peneliti yang ingin melakukan
penelitian lanjutan sehingga dimungkinkan hasil penelitian tentang kepemimpinan
kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi ummat beragama ini dapat
terus dikembangkan.
2. Secara praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran menyeluruh
kepada pihak yang berwenang di bidang pendidikan yang terkait, tentang bagaimana
kepemimpinan kepala sekolah dalam
meningkatkan budaya toleransi umat beragama di sekolah, yang muaranya berujung
pada peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
E. Definisi Istilah
1. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan faktor
terpenting dalam suatu organisasi. Bush (dalam Usman 2014:308) mendefinisikan kepemimpinan adalah “tindakan-tindakan
memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan akhir yang diharapkan”. Meurut Terry
(dalam Amirullah 2015:5) kepemimpinan adalah “aktifitas mempengaruhi
orang-orang untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela”. Menurut Sutikno
(2014:16) “kepemimpinan adalah keseluruhan tindakan guna mempengaruhi serta
menggiatkan orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan”
Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses
memengaruhi orang lain agar dengan sukarela berusaha bersama
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Budaya
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. “Budaya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, budaya
bersifat kompleks, abstrak dan luas” (Mulyana, 2007:25). “Suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks, abstrak dan luas”(Mulyana & Rakhmat, 2007:25), sedangkan menurut Kotter & Heskett (dalam Usman, 2012:212) mendefinisikan “budaya
sebagai totalitas perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk
lain dari karya dan pemikiran manusia yang menjadi ciri masyarakat atau
penduduk yang ditransmisikan bersama”
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa budaya adalah sesuatu sikap yang kompleks, menyelutuh
dan abstrak yang menjadi ciri
Khas masyarakat tersebut.
3.Toleransi
Menurut
Dep. Dik Bud (1989:956) “Toleran adalah bersifat/ bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian( pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan
dengan pendirian sendiri”.
Toleransi berasal dari kata “ tolerare“
dari bahasa Latin yang artinya dengan sabar membiarkan sesuatu. Menurut
Webster’s New American Dictionary arti toleransi adalah memberi kebebasan dan
berlaku sabar dalam menghadapi orang lain. Padanan kata toleransi dalam bahasa
Arab yaitu tasamuh yang berarti memberikan sesuatu untuk saling
mengizinkan dan saling memudahkan. Dari beberapa pendapat di atas toleransi
dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, baik berupa pendirian,
kepercayaan dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lain. Dengan kata
lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. “Toleransi
tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang
dianutnya” (Ajad, 2008:141-142).
Jadi
toleransi umat beragama adalah membangun sikap biasa menerima, menghargai dan
menghormati perbedaan-perbedaan ajaran agama yang dianut oleh orang lain.
BAB
II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Menurut sepengetahuan penulis, setelah dilakukan kajian pustaka terhadap hasil-hasilpenelitian
terdahulu, ada beberapa hal yang
ditemukan adanya penelitian secara
subtansi mengkaji tentang toleransi umat beragama. Diantara hasil penelitian terdahulu tersebut adalah sebagai berikut :
1. Aktualisasi Pendidikan Multikultural Dalam
Meningkatkan Budaya Toleransi Umat Beragama Di Universitas Yudharta Pasuruan. Oleh:
M. Nur Hadi. Tahun 2012. Dengan metode penelitian
kualitatif, hasil penelitian menunjukkan:
- Perencanaan pendidikan dasar-dasar multikultural sudah cukup prosedural dan terencana, hal terbukti dengan munculnya mata kuliah tersebut.
- Pelaksanaan pendidikan multikultural sudah berjalan dengan baik walaupun tidak jauh berbeda dengan mata kuliah yang lain.
- Hasil pendidikan dasar-dasar multikultural sangan baik, karena di lingkungan Universitas Yudharta Pasuruan budaya toleransi umat beragama bagi dosen dan mahasiswa sudah tidak asing lagi, bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
2. Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada
Pembelajaran PAI di SMP Negeri 23 Semarang Tahun 2011/2012. Oleh
:Lina Riqotul
Wafiyah. Tahun 2012. Metode penelitian kualitatif . Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa :
a. Penanaman nilai-nilai toleransi beragamadilakukan dengan 1)
Memberi kesempatan kepada semua peserta didik untuk pembelajaran agama sesuai
pemahamannya masing-masing. 2) Menciptakan iklim toleran pada setiap
pembelajaran (belajar dalam perbedaan, membangun rasa saling percaya,
memelihara sikap saling pengertian, menjunjung tinggi sikap mengasihi). 3)
Memperdalam materi terkait (toleransi).
b. Model pembelajaran dalam proses penanaman nilai-nilai toleransi beragama
dengan menggunakan model pembelajaran aktif dan komunikatif.
Pendidik memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat.
c. Faktor pendukung Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada Pembelajaran
PAI Di SMP Negeri 23 Semarang, diantaranya kebijakan pemerintah yang memberikan
aturan tentang adanya penanaman nilai-nilai toleransi beragama, fasilitas yang
memadai dan terwujudnya kerjasama antar warga sekolah dalam kegiatan keagamaan
d.
Adapun faktor penghambatnya, antara lain tingkat kemampuan, kematangan
emosional peserta yang tidak sama, kurangnya tenaga pendidik agama Hindu dan
keterbatasan waktu dalam pembelajaran.
3. Konsepsi
Al-Qur’an Tentang Tasamuh (Toleransi) Dan Implementasinya Terhadap Pendidikan
Islam. Oleh :Achmad Faidhani. Tahun 2006. Metode
penelitian kualitatif. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa: implikasi dari konsepsi Islam tentang tasamuh terhadap
pendidikan Islam adalah pertama, perlu diadakannya pendidikan Agama yang
inklusif, yang kedua, menyelenggarakan pendidikan Agama yang humanis dan yang
ketiga, perlu adanya studi perbandingan agama dalam pendidikan Islam dan perlu
adanya kurikulum yang humanistik.
4. Konsep
Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid Dalam Perspektif Pendidikan
Islam. Oleh : Achmad Mustholih. Tahun 2011. Metode penelitian kajian pustaka.Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada terbentuknya
kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadits,
serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada peserta didik
sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling pengertian dan
memiliki terhadap umat agama lain.
Dari keempat penelitian di atas dapat dipaparkan secara lengkap berkaitan dengan kajian tentang toleransi umat beragama, sebagai
berikut :
TABEL
1 PENELITIAN TERDAHULU
No
|
Nama Peneliti
Judul &
tahun penelitian
|
Metode
|
Temuan
|
Keterangan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
M.Nur Hadi, Aktualisasi Pendidikan Multikultural Dalam Meningkatkan
Budaya Toleransi Umat Beragama Di Universitas Yudharta Pasuruan. Tahun 2012.
|
Kualitatif
|
a. Perencanaan pendidikan dasar-dasar
multikultural sudah baik
b.
Pelaksanaan dan hasil pendidikan multikultural sudah
menunjukkan hasil yang baik
c. Budaya
toleransi umat beragama di lingkungan Universitas Yudharta Pasuruan sudah
tidak asing dan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
|
Dalam
penelitian tersebut terdapat persamaan yaitu berkaitan dengan
multikulturalisme dan toleransi umat
beragama perbedaannya penelitiannya dilakukan terhadap lembaga pendidikannya.
|
2
|
Lina
Riqotul Wafiyah, Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada Pembelajaran
PAI Di SMP Negeri 23 Semarang
Tahun.
Tahun 2012.
|
Kualitatif
|
Penanaman nilai-nilai toleransi
beragamadilakukan dengan
1). Memberi kesempatan kepada semua peserta didik untuk pembelajaran
agama sesuai pemahamannya masing-masing. 2). Menciptakan iklim toleran pada
setiap pembelajaran (belajar dalam perbedaan, membangun rasa saling percaya,
memelihara sikap saling pengertian, menjunjung tinggi sikap mengasihi). 3).
Memperdalam materi terkait (toleransi).
b. Model pembelajaran dalam proses penanaman
nilai-nilai toleransi beragama dengan menggunakan model pembelajaran aktif
dan komunikatif.
Pendidik memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat.
c.
Faktor pendukung Penanaman Nilai-NilaiToleransi Beragama Pada Pembelajaran
PAI Di SMP Negeri 23 Semarang, diantaranya kebijakan pemerintah yang
memberikan aturan tentang adanya penanaman nilai-nilai toleransi beragama,
fasilitas yang memadai dan terwujudnya kerjasama antar warga sekolah dalam
kegiatan keagamaan
d.
Adapun faktor penghambatnya, antara lain tingkat kemampuan, kematangan
emosional peserta yang tidak sama, kurangnya tenaga pendidik agama Hindu dan
keterbatasan waktu dalam pembelajaran.
|
Dalam
penelitian tersebut terdapat persamaan dengan yang peneliti lakukan yaitu
masalah toleransi beragama perbedaannya penelitiannya di lakukan terhadap
peran guru dalam menanamkan nilai-nilai toleransi beragama, sedang yang
peneliti lakukan terhadap kepemimpinan kepala sekolah.
|
3
|
Achmad Faidhan, Konsepsi Al-Qur’an
Tentang Tasamuh (Toleransi) Dan Implementasinya Terhadap Pendidikan Islam., Tahun
2006.
|
Kualitatif
|
Implikasi dari konsepsi Islam tentang tasamuh terhadap
pendidikan Islam adalah pertama, perlu diadakannya pendidikan Agama yang
inklusif, yang kedua, menyelenggarakan pendidikan Agama yang humanis dan yang
ketiga, perlu adanya studi perbandingan agama dalam pendidikan Islam dan
perlu adanya kurikulum yang humanistik.
|
Dalam
penelitian tersebut terdapat persamaan dengan yang peneliti lakukan yaitu
masalah toleransi beragama perbedaannya bahwa penelitian tersebut menekan
pada konsep dan implementasinya secara umum tidak pada lembaga pendidikan
tertentu
|
4
|
Achmad Mustholih, Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut
Abdurrahman Wahid Dalam Perspektif Pendidikan Islam,Tahun 2011
|
Kajian Pustaka
|
pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang pendidikan pluralisme memiliki keserasian yaitu berorientasi pada
terbentuknya kepribadian serta akhlak yang luhur dengan berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits, serta mengupayakan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi pada
peserta didik sejak dini yang berkelanjutan dengan mengembangkan rasa saling
pengertian dan memiliki terhadap umat agama lain.
|
Dalam penelitian tersebut terdapat
persamaan dengan yang peneliti lakukan yaitu masalah toleransi beragama
perbedaannya penelitian tersebut merupakan hasil kajian Pustaka tentang
Konsep Pendidikan Pluralisme
|
Setelah melihat hasil uraian penelitian di atas,
sepengetahuan penelitibelum ditemukan kajian tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragama. Dengan demikian, melalui penelitian
ini peneliti mencoba menggambarkan bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan budaya toleransi umat beragamadi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA Negeri) 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
B. KONSEP TENTANG KEPEMIMPINAN
1. Pengertian Kepemimpinan
Dalam suatu organisasi atau kelompok seperti lembaga pendidikan pasti memiliki
tujuan yang ingin dicapai secara bersama. Agar tujuan dapat dicapai dengan
efektif semua elemen dalam organisasi harus terlibat. Untuk dapat melibatkan
seluruh elemen organisasi tersebut harus ada yang menggerakkan, untuk itu
dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat membimbing dan mengarahkan. Seorang
pemimpin diangkat karena memiliki kemampuan, kecerdasan dan ketrampilan yang
lebih sehingga dapat mengarahkan dan mengatur dan menggerakkan serta
mempengaruhi elemen organisasi untuk mencapai tujuan.
Untuk mendefinisikan istilah
kepemimpinan tidak bisa terlepas dari istilah pemimpin dan memimpin, yang pada
mulanya berasal dari kata yang sama yaitu pemimpin. Namun demikian ketiganya digunakan
dalam konteks yang berbeda. Pemimpin adalah suatu peran dalam sistem tertentu,
karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan
kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Sedangkan kepemimpinan pada
dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan dan tingkat pengaruh yang
dimiliki seseorang.
Dubrin (dalam Amirullah 2015:2) menjelaskan bahwa “kepemimpinan adalah kemampuan
untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi”. Sedangkan Wirawan (dalam Amirullah 2007:4) mendefinisikan “kepemimpinan sebagai proses pemimpin dalam menciptakan
visi, mempengaruhi sikap dan perilaku, pendapat, nilai-nilai, norma dan
sebagainya dari pengikut untuk merealisir visi. Proses dalam konsep sistem
kepemimpinanterdiri dari masukan, proses dan keluaran.”
Rivai, dkk (2014:2)
mendefinisikan kepemimpinan secara luas adalah:
“Proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai
tujuan, memengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya”.
Ketiga
kemampuan tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, agar seorang pemimpin dapat melaksanakan perannya dalam memimpin organisasi.
Siagian (dalam Said 2007:158-159) menjelaskan bahwa:
Peran kepemimpinan dalam organisasi dapat
dikatagorikan dalam 3 bentuk, yaitu yang bersifat interpersonal, informasional
dan dalam kancah pengambilan keputusan. Dari ketiga peran tersebut semakin
memperjelas pentingnya kepemimpinan dalam organisasi.
Peran interpersonal meliputi
a.
Selaku simbol keberadaan organisasi
b.
Selaku pemimpin yang bertanggung jawab untuk memotivasi dan memberi
arahan kepada para bawahan
c.
Peran selaku penghubung agar mampu menciptakan jaringan yang luas
Sedangkan peran informasional mengambil 3 bentuk yakni:
a.
Pemantau arus informasi yang terjadi dari dan ke organisasi
b.
Pembagi informasi
c.
Juru bicara organisasi
Peran pengambilan keputusan terdiri dari 4 bentuk yaitu:
a.
Enterpreneur, mendesain perubahan dan pengembangan dalam
organisasi.
b.
Peredam gangguan
c.
Pembagi sumber dana dan daya
d.
Perunding bagi organisasi
Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi dan menggerakan orang lain, supaya kegiatan-kegiatan yang
dijalankan dapat lebih efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
2. Model-Model Kepemimpinan
Tanggung jawab
pemimpin adalah memberilkan jawaban secara arif, efektif dan produktif atas
berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi bersama dengan orang-orang
yang dipimpinnya. Untuk itu setiap pemimpin harus memiliki kompetensi dan
kualifikasi tertentu. Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan yang dibahas
dari berbagai perspektif sehingga memunculkan model-model kepemimpinan, di antaranya:
a. Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan visioner adalah
kemampuan pemimpin untuk mencetuskan ide atau gagasan suatu visi selanjutnya
melalui dialog yang kritis dengan unsur pimpinan lainnya merumuskan masa depan
organisasi yang dicita-citakan, dicapai melalui komitmen semua anggota organisasi
melaui proses sosialisasi tranformasi, implementasi gagasan-gagasan ideal oleh
pemimpin organisasi. Menurut Burt Nanus (dalam Sutikno 2014: 50) “pemimpin visioner setidaknya harus memiliki empat
komponen kunci yaitu, (1) memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif, (2)
memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan bereaksi secara cepat atas
segala ancaman dan peluang, (3) memegang peran penting dalam membentuk dan
mempengaruhi praktek organisasi, prosedur, produk dan jasa, (4) memiliki atau
mengembangkan kemampuan untuk mengantisipasi masa depan”.
b. Kepemimpinan Transformasional
Karakteristik utama kepemimpinan transformasional ini diantaranya
memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai agen perubahan (agent of change) bagi organisasi, sehingga dapat menciptakan
strategi-strategi baru dalam mengembangkan praktik-praktik organisasi yang
lebih relevan. Burn (dalam Sutikno
2014:53) menyatakan bahwa “model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya
menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya bertanggung jawab
lebih dari yang diharapkan”. Dengan demikian pemimpin transformasional harus mampu
mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi dan
bawahan harus menerima dan mengakui kredibitas pemimpinnya.
3. Tipe-Tipe Kepemimpinan
Dalam upaya menggerakkan dan memotivasi orang lain
agar melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang
pemimpin memiliki beberapa tipe (bentuk) kepemimpinan. Tipe kepemimpinan sering
disebut perilaku atau gaya kepemimpinan. Yang mana satu tipe bisa menyesuaikan
diri dengan situasi yang dihadapi dalam melaksanakan kepemimpinannya. Sutikno (2014:35)
membagi tipe kepimimpinan sebagai berikut:
a. Tipe Otokratik. Pemimpin tipe ini
menganggap bahwa kepemimpinan adalah hak
pribadinya, sehingga ia tidak perlu berkonsultasi dengan orang lain dan tidak
boleh ada orang lain yang ikut campur.
b.
Tipe Kendali Bebas (Laisez Faire).
Tipe kepemimpinannya
ini kebalikan dari tipe
kepemimpinan otokratik. Dalam kepemimpinan tipe ini sang
pemimpin biasanya menunjukkan perilaku yang pasif dan sering kali menghindari
dari tanggung jawab. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol.
c. Tipe Paternalistik. Tipe kepemimpinan ini adalah tipe
pemimpin yang 1) menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; 2)
bersikap terlalu melindungi; 3) Jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk
mengambil keputusan; 4) jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengambil
inisiatif; 5) jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengembangkan daya
kreasi dan fantasinya; 6) sering bersikap serba tahu
d.
Tipe Kharismatik. Tipe pemimpin ini memiliki daya tarik yang sangat
memikat, sehingga mampu memliki pengikut yang sangat besar dan pengikutnya
tidak selalu dapat menjelaskan secara kongkrit mengapa pemimpin tersebut
dikagumi
e.
Tipe Militeristik. Pemimpin yang bertipe mliteristik
ialah pemimpin dalam menggerakkan bawahanya lebih sering mempergunakan sitem
perintah, senang bergantung pada pangkat dan jabatannya dan senang kepada
formalitas yang berlebih-lebihan.
f.
Tipe Pseudo Demokratik. Tipe ini disebut juga kepemimpinan manipulatif
atau semi demokratik. Pemimpin seperti ini menjadikan demokrasi sebagai
selubung untuk memperolaeh kemenangan tertentu
g. Tipe Demokratis. Tipe kepemimpinan ini selalu bersedia
menerima dan menghargai saran-saran, pendapat, dan nasehat dari bawahan,
melalui forum musyawarah untuk mencapai kata sepakat.
Dalam Islam, tipe
kepemimpinan karismatik (spritual Leadership) diartikan sebagai
kepemimpinan yang sangat menjaga nilai-nilai etis, nilai moral yang luhur serta
menjaga nilai-nilai spiritual yang ada dibalik posisinya sebagai pemimpin. Pemimpin
macam ini melakukan aktifitasnya benar-benar hanya memuaskan hati
pengikutnya melalui pemberdayaan, memulihkan, menguntungkan dan juga
tidak hanya mampu memberikan keuntungan financial saja, akan tetapi hati,
jiwa, mereka juga dihibur sehingga termotivasi dengan pekerjaan yang efektif,
efisien dan produktif dan akhirnya berdampak terhadap pengembangan organisasi.
Dalam al-Qur’an telah ditemukan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin seperti yang dijelaskan dalam QS Al-Mujadilah: 11).
Artinya:”Hai orang-orang
yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu: Berlapang-lapanglah dalam
majlis-majlis,” maka lapangkanlah niscaya Allah akan melapangkan buat kamu, dan
apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat. Dan Allah
terhadap apa yang kamu kerjakan Maha Mengetahui.”(Qs. Al-Mujadilah:11).
Sifat-sifat pemimpin yang dijelaskan pada ayat tersebut
diantaranya adil, berpengetahuan luas, kreatif, inisiatif, peka, lapang dada
dan selalu tanggap, jujur, bertanggung jawab, selektif terhadap informasi,
memberi peringatan, memberi petunjuk dan pengarahan.
Tipe dan gaya kepemimpinan tentu berbeda-beda,
demikian juga dengan para pengikutnya. Organisasi-organisasi perlu
memperbaharui diri mereka sendiri, dan tipe kepemimpinan yang berbeda sering
kali dibutuhkan. Idealnya, dalam organisasi seorang pemimpin harus memiliki
berbagai macam tipe atau gaya kepemimpinnya. Pemimpin harus siap dengan bermacam
keadaan yang dihadapi.Apabila tipe kepemimpina tidak sesuai dengan sasaran dan
tujuan organisasi, sering organisasi tersebut mengadaptasi strategi menghindari kegagalan.
1.
Teori-Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah urusan semua
orang, karena setiap manusia adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri
serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Teori kepemimpinan membicarakan
bagaimana seorang menjadi pemimpin atau bagaimana timbulnya seorang pemimpin.
Teori-teori dalam kepemimpinan pada umumnya menunjukkan perbedaan karena setiap
teoritikus mempunyai segi penekanannya sendiri yang dipandang dari aspek
tertentu. Menurut Sutino (2014:25) menjelaskan ada enam teori kepemimpinan,yaitu:
a. Teori Sifat; Menurut teori ini
hanya individu yang memiliki sifat tertentulah yang bisa menjadi pemimpin.
Teori ini menegaskan bahwa beberapa individu dilahirkan memiliki sifat-sifat
tertentu yang secara alamiyah menjadikan mereka seorang pemimpin. Keberhasilan
seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang
dimiliki yang dimiliki pemimpin.
b.Teori Perilaku; Teori ini lebih terfokus kepada tindakan-tindakan
yang dilakukan pemimpin daripada memperhatikan atribut yang melekat pada diri
seorang pemimpin. Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan
perilaku seseorang ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah
pencapaian tujuan
c.Teori Situasional; Menurut Teori
Situasional keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh ciri kepemimpinan
dengan perilaku tertentu yang disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan
dan situasi organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu
dan ruang.
d.
Teori Jalan–Tujuan
Menurut Teori ini nilai strategis dan
keefektifan seorang pemimpin didasarkan pada kemampuannya dalam menimbulkan
kepuasan dan motivasi anggotanya dengan penerapan hadiah, pemimpin memberikan
hadiah bagi prestasi bawahan yang telah memenuhi tujuan organisasi sehingga
bawahan termotivasi.
e.
Teori Kelebihan
Menurut teori ini seseorang akan
bisa menjadi pemimpin karena memiliki kelebihan dari para pengikutnya. Pada
dasarnya kelebihan yang harus dimiliki yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin meliputi 3 hal yaitu, kelebihan rasio, rohaniah dan kesehatan badan.
f.
Teori Kharismatik
Teori Kharismatik berpendapat
bahwa seseorang menjadi pemimpin karena mempunyai kharisma(pengaruh) yang
sangat besar. Pemimpin kharismatik biasanya mempunyai daya tarik dan kewibawaan
dan pengaruh yang luar biasa yang dapat dilihat dari pengorbanan dari para
pengikut yang diberikan kepada pemimpinnya.
C. Konsep Tentang Kepala Sekolah
1. Pengertian Kepala Sekolah
Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010,
kepala sekolah/madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin
taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa
(TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah dasar luar biasa
(SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah
menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas/madrasah aliyah
(SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau
sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf
internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf
internasional (SBI).
(http://www.mediapendidikan.info/2010/09/permendiknas-nomor-13-tahun-2007.html) diakses 12 Nopember 2015.
Secara etimologi kepala sekolah adalah guru yang
memimpin sekolah. Berarti secara terminology kepala sekolah dapat diartikan
sebagai tenaga fungsional guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin
suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat di
mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang
menerima pelajaran.
Kepala Sekolah adalah pimpinan tertinggi di sekolah.
Pola kepemimpinananya akan sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan kemajuan
sekolah. Oleh karena itu dalam pendidikan modern kepemimpinan kepala sekolah
merupakan jabatan strategis dalam mencapai tujuan pendidikan.
Wahjosumidjo (2011:55) mengatakan “kepala sekolah
adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu
sekolah tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar”. Sementara Rahman (dalam Andang 2014: 55) menyebutkan “kepala
sekolah adalah seorang guru (jabatan fungsional) yang diangkat untuk menduduki
jabatan struktural di sekolah”.
Dengan demikian kepala sekolah adalah seorang guru
yang memiliki kedudukan diangkat berdasarkan prosedur dan persyaratan tertentu,
untuk memimpin sekolah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Kata memimpin
dari rumusan tersebut mempunyai makna yang luas, yaitu kemampuan untuk
menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat
didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Kompetensi Kepala Sekolah
Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah
harus memiliki sejumlah kompetensi agar dapat menjalankan tugas kepemimpinannya
secara profesional. Kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah menurut Permendiknas Nomor 13
tahun 2007 mengenai Standar Kompetensi Kepala sekolah/madrasah dijelaskan bahwa kepala
sekolah/madrasah harus mempunyai kompetensi pengetahuan, sikap danketerampilan pada dimensi-dimensi kompetensi
kepribadian, manajerial, kewirausahaan,supervisi, dansosial,
dengan penjabaran sebagai berikut:
a. Kompetensi Kepribadian
Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, kepala
sekolah dituntut untuk memiliki kepribadian atau karakteristik yang positif
agar dapat menjadi teladan bagi anggota yang dipimpinnya, kepribadian yang
dimiliki kepala sekolah adalah 1) berakhlak mulia, mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia, dan menjadi
teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah/madrasah; 2) memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin; 3) memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan
diri sebagai kepala sekolah/madrasah; 4) bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi; 5) mengendalikan
diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah/madrasah; 6) memiliki bakat dan minat jabatan sebagai pemimpin
pendidikan.
b. Kompetensi Manajerial
Seorang kepala sekolah, di samping harus mampu melaksanakan proses
manajemen yang merujuk pada
fungsi-fungsi manajemen, juga
dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan
seluruh substansi kegiatan pendidikan. Adapun kompetensi
manajerial yang harus dimiliki kepala sekolah adalah:
1) Menyusun perencanaan
sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan; 2) mengembangkan
organisasi sekolah/madrasah sesuai dengan kebutuhan; 3 ) memimpin sekolah/madrasah dalam rangka
pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal; 4) mengelola
perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang
efektif;
5) menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik; 6) mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 7) mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal; 8)
mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah; 9) mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik; 10) mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional;
11) mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien; 12) mengelola ketatausahaan sekolah/madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah/ madrasah;
13) mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di ekolah/madrasah; 14) mengelola sistem informasi sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan; 15) memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah; 16) melakukan monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya.
5) menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik; 6) mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 7) mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal; 8)
mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah; 9) mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik; 10) mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional;
11) mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien; 12) mengelola ketatausahaan sekolah/madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah/ madrasah;
13) mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di ekolah/madrasah; 14) mengelola sistem informasi sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan; 15) memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah; 16) melakukan monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya.
c. Kompetensi Kewirausahaan
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dan berani mengambil
resiko dan mendapatkan keuntungan.
Para ahli sepakat bahwa yang dimaksud dengan kewirausahaan menyangkut tiga prilaku yaitu:
a) kreatif, b) komitmen
(motivasi
tinggi dan penuh tanggungjawab, c) berani mengambil
resiko dan kegagalan.
Dimensi kompetensi kewirausahaan kepala sekolah
dijabarkan sebagai berikut:
(1) menciptakan inovasi
yang berguna bagi pengembangan sekolah/madrasah,
(2) bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif, (3) memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah/madrasah, (4) pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah, (5) memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah sebagai sumber belajar peserta didik.
(2) bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif, (3) memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah/madrasah, (4) pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah, (5) memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/madrasah sebagai sumber belajar peserta didik.
d. Kompetensi Supervisi
Untuk mencapai hasil yang diinginkan atau yang akan direncanakan, kepala
sekolah dalam mengelola kegiatan perlu
melakukan pembinaan dan penilaian. Pembinaan lebih kearah memberi
bantuan kepada pendidik dan tenaga kependidikan lainnya sedangkan penilian lebih ke arah mengukur dengan cara melakukan audit mutu tentang prosedur kerja dan instruksi kerja yang telah
ditetapkan secara bersama-sama
dapat tercapai atau tidak. Oleh karena itu kepala sekolah harus mempunyai
kemampuan mensupervisi dan mengaudit
kinerja guru dan personel lainnya di sekolah dengan kegiatan antara lain: (1) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan
profesionalisme guru, (2) melaksanakan
supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik
supervisi yang tepat, (3) menindaklanjuti
hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme
guru.
e. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan suatu kemampuan seorang
kepala sekolah/guru dalam hal berkomunikasi
dan bergaul secara efektif dengan:
peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Dimensi kompetensi sosial kepala sekolah
dijabarkan sebagai berikut:
(1) bekerja sama dengan pihak lain untuk
kepentingan sekolah/madrasah, (2) berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, (3) memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok
lain. (http://gurukapuas.blogspot.co.id/search/label/5standar-kompetensi) diakses 12 Nopember 2015.
3. Tugas Dan Fungsi Kepala Sekolah
Lazaruth (2007:20) menjelaskan 3
fungsi kepala sekolah, yaitu “sebagai administrator pendidikan, supervisor
pendidikan, dan pemimpin pendidikan”. Kepala sekolah berfungsi sebagai
administrator pendidikan berarti untuk meningkatkan mutu sekolahnya, seorang
kepala sekolah dapat memperbaiki dan mengembangkan fasilitas sekolahnya
misalnya gedung, perlengkapan atau peralatan dan lain-lain yang tercakup dalam
bidang administrasi pendidikan. Lalu jika kepala sekolah berfungsi sebagai
supervisor pendidikan berarti usaha peningkatan mutu dapat pula dilakukan dengan
cara peningkatan mutu guru-guru dan seluruh staf sekolah, misalnya melalui
rapat-rapat, observasi kelas, perpustakaan dan lain sebagainya. Dan kepala
sekolah berfungsi sebagai pemimpin pendidikan berarti peningkatan mutu
akanberjalan dengan baik apabila guru bersifat terbuka, kreatif dan memiliki
semangat kerja yang tinggi. Suasana yang demikian
ditentukan oleh bentuk dan sifat kepemimpinan yang dilakukan oleh kepala
sekolah.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan
fungsinya, terutama dalam rangka memberdayakan masyarakat dan lingkungan
sekitar, menurut (Mulyana, 2007:181) “kepala sekolah dituntut untuk mampu berperan ganda baik sebagai catalyst,
ya’ni berperan meyakinkan orang lain tentang perlunya perubahan menuju
kondisi yang lebih baik, solution givers berperan mengingatkan terhadap tujuan
akhir dari perubahan, process helpers berperan membantu kelancaran
proses perubahan, khususnya menyelesaikan masalah dan membina hubungan antara
pihak-pihak yang terkaitdan resource linkerberperan menghubungkan orang
dengan sumber dana yang diperlukan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1990 Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa kepala sekolah bertanggung jawab atas
penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga
pendidik dan kependidikan, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan
prasarana. Dengan demikian, tugas dan fungsi kepala sekolah adalah sebagai
pendidik, manajer, administrator dan supervisor. Sementara itu dalam
perkembangannya perkembangan zaman. Mulyasa (dalam Andang 2014:56) menyebutkan “tugas dan
fungsi kepala sekolah dalam paradigma baru manajemen pendidikan berkembang
menjadi edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan
motivator”.
a.
Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses
pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di
sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap
pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja
akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus
juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat
secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar
mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
b.
Kepala Sekolah Sebagai Manajer
Dalam mengelola tenaga
kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah
melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam
hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan
yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan
profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang
dilaksanakan di sekolah, seperti: MGMP tingkat sekolah, atau melalui kegiatan
pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti kesempatan melanjutkan
pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan
pihak lain.
c. Kepala Sekolah Sebagai Administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa
untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya.
Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi
guru tentunya akanmempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh
karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai
bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
d.
Kepala Sekolah Sebagai Supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru
mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu
melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan
kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama
dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan
siswa dalam proses pembelajaran. Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui
kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat
penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi,
pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan
yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan
pembelajaran.
e. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang
dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap
peningkatan kompetensi guru? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal
dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan
kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan
kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya
kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan yang ada. Mulyasa (2009: 58) menyebutkan kepemimpinan seseorang sangat
berkaitan dengan kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin
akan tercermin sifat-sifat sebagai barikut : 1) jujur; 2) percaya diri; 3)
tanggung jawab; 4) berani mengambil resiko dan keputusan; 5) berjiwa besar; 6)
emosi yang stabil, dan 7) teladan.
f. Kepala Sekolah Sebagai Inovator
Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai
innovator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk menjalin
hubungan yang harmonis dengan lingkungan, mencari gagasan baru,
mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada seluruh tenaga
kependidikan sekolah, dan mengembangkan model model pembelajaran yang inofatif.
Kepala sekolah sebagai inovator akan tercermin dari cara cara ia melakukan
pekerjaannya secara konstruktif, kreatif, delegatif, integratif, rasional,
objektif, pragmatis, keteladanan
g. Kepala Sekolah Sebagai Motivator
Sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki
strategi yang tepat untuk memberikan motivasi tenaga kependidikan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui
pengaturan lingkungan fisik, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan,
penghargaan secara efektif, dan
penyediaan berbagai
sumber belajar melalui pengembangan Pusat Sumber Belajar (PSB).
D. Tinjauan Tentang Toleransi Umat
Beragama
1. PengertianToleransi
Secara etimologi atau bahasa, toleransi berasal dari kata tolerance yaitu suatu
sikap
membiarkan dan lapang
dada terhadap
perbedaan orang
lain, baik pada masalah pendapat
(opinion), agama/kepercayaan
maupun
dalam
segi ekonomi,
sosial dan politik. Di
dalam bahasa Arab mempunyai
persamaan makna
dengan
kata tasamuh dari lafadz
samaha (سمح ) yang artinya ampun, maaf dan lapang dada. (Munawir, 2007:1098). Dalam kamus bahasa Arab
Adictionari of Modern
Written
Arabic
diterjemahkan dengan is indulgence,
for bearance,
linieri and tolerance maksudnya adalah suatu sikap suka
menurut, tunduk, sabar, lemah lembutdan toleransi terhadap orang lain yang berbeda.
Dari dua pengertian
di atas penulis menyimpulkan
toleransi secara
etimologi
adalah sebagai sikap kesabaran dan
kelapangan dada seseorang atas perbedaan
dari
orang lain baik dari segi sosial, politik
maupun
ekonomi
dan juga
pendapat maupun agama.
Secara terminology banyak batasan
yang diberikan oleh
para ahli di antaranya
adalah sebagai berikut:
a.
Hasyim
(2007:22) menyatakan Toleransi adalah “pemberian
kebebasan kepada sesama manusia untuk menjalankan keyakinan atau mengatasi nasib menurut nasibnya masing-masing”.
b. Menurut Poerwadarminto
(2007:1084) Toleransi adalah“sikap/sifat tenggang rasa berupa menghargai serta membolehkan suatu
pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri”.
c. Dewan Ensiklopedia Indonesia; Toleransi dalam
aspek sosial, politik merupakan suatu“sikap membiarkan
orang untuk mempunyai
suatu keyakinan
yang berbeda. Selain itu menerima pernyataan ini karena sebagai pengakuan dan menghormati hak asasi manusia”.
Jadi toleransi
mengandung
konsensi ialah pemberian yang hanya didasarkan kepada kemurahan dan kebaikan hati, dan
bukan
didasarkan
kepada hak. Jelas bahwa “toleransi terjadi
dan berlaku karena terdapat
perbedaan prinsip, dan
menghormati perbedaan
atau prinsip orang lain
itu tanpa mengorbankan prinsip sendiri”. (Al-Munawar, 2007:13).
Di dalam memaknai toleransi terdapat
dua penafsiran tentang konsep ini.
Pertama, penafsiran negatif yang menyatakan bahwa
toleransi itu
cukup dimaknai mensyaratkan adanya
sikap membiarkan dan tidak
menyakiti orang atau kelompok
lain baik yang berbeda maupun
yang
sama
yang kedua adalah
penafsiran positif yaitu menyatakan
bahwa toleransi tidak hanya sekedar seperti
pertama
(penafsiran negatif) tetapi
toleransi
ditumbuhkan oleh
kesadaran yang
bebas
dari
segala
macam
bentuk
tekanan
atau pengaruh serta terhindar dari
hipokrisis”. (Ahmad, 2007:13).
Oleh sebab itu toleransi
mengandung maksud supaya
membolehkan terbentuknya sistem yang
menjamin
akan keamanan pribadi, harta benda
dan unsur-unsur minoritas yang terdapat dalam
masyarakat. Dengan
menghormati
agama, moralitas
dan lembaga-lembaga
mereka serta
menghargai pendapat orang lain dan perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya tanpa
harus berselisih dengan sesamanya
hanya karena berbeda
keyakinan
atau agama.
Adapun kaitannya
dengan agama, toleransi beragama adalah
toleransi yang mencakup
masalah-masalah
keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan
akidah atau yang berhubungan dengan
ketuhanan yang diyakininya.
Seseorang harus
diberikan kebebasan untuk meyakini dan memeluk
agama
masing-masing yang dipilih
serta memberikan
penghormatan atas pelaksanaan
ajaran-ajaran yang di anut atau diyakininya.
Azra (2007:34) berpendapat,“Islam mengakui
hak
hidup
agama-agama lain dan membiarkan
para pemeluk agama tersebut
untuk menjalankan
ajaran
agamanya
masing-masing”.
Setelah mengetahui
definisi dan batasan toleransi di
atas ada hal yang perlu diingat bahwa toleransi tidak
dapat diartikan bahwa seseorang yang telah mempunyai keyakinan kemudian pindah
atau merubah keyakinannya
untuk mengikuti dan membaur
dengan keyakinan atau peribadatan
agama-agama lain (sincretisme) serta tidak pula
dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua
agama/kepercayaan namun
tetap pada suatu keyakinan yang diyakini
kebenarannya,
serta memandang
benar pada keyakinan
orang lain, sehingga pada dirinya terdapat
kebenaran
yang
di yakini sendiri
menurut suara
hati
yang tidak ada paksaan dari orang lain
atau
didapatkan dari pemberian
orang lain.
2. Landasan Pelaksanaan Toleransi Umat
Beragama
a. Landasan Dari Al-Qur’an
Dan Hadits
1) QS Al-Baqarah: 256
Artinya: “Tidak
ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan)
antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. siapa yang ingkar kepada Thaghut
dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang(teguh) pada tali
yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, MahaMengetahui.” (Hatta, 2009:42).
QS.Al Baqarah di atas menurut Shihab (dalam
Ajad 2009:
142-148) adalah berkaitan dengan kebebasan memilih agama Islam atau selainnya. Seseorang
yang dengan suka rela dan penuh kesadaran memilih satu agama, maka yang
bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran tersebut secara
sempurna. Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam
mengajarkan agar umat Islam bertindak baik dan bertindak adil. Selama tidak
bertindak aniaya terhadap umat Islam, maka tidak ada alasan utuk memusuhi
apalagi memerangi mereka. Al Qur’an juga mengajarkan agar umat Islam
megutamakan terciptanya suatu perdamaian hingga timbul rasa kasih sayang diantara
umat Islam dengan umat beragama lainnya.
2)
QS. Al-Kafirun ayat 1-6
Artinya:“Katakanlah (Muhammad), “Wahai
orang-orang
kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan
yang aku sembah. Dan aku
tidak
pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang kamu sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku”
(Hatta, 2009:603).
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa
kaum muslimin tidak menyembah
seperti yang disembah orang kafir, tidak beribadah seperti ibadahnya orang
kafir begitu pula orang kafir
tidak
menyembah sesembahan kaum muslimin, tidak beribadah seperti yang dilakukan kaum muslimin.
3) Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Abu Dawud dan
At-Tirmidzi
الرَّاحِمُوْنَ
يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ
Artinya: “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh
Ar-Rahmaan (Allah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang), rahmatilah yang ada
di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit” (HR Abu
Dawud dan At-Tirmidzi ). (http://muslim.or.id./category/hadits) di akses 9 Nopember 2015.
b. Landasan Idiil
Pancasila (sila pertama yakni Ketuhanan Yang
Maha Esa).
c. Landasan
Konstitusional
Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat
1: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Dan Pasal 29 ayat
2: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu".
d. Landasan
Operasional
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat
3. Unsur-Unsur Dalam Toleransi Beragama
Agama tidak pernah berhenti dalam mengatur tata kehidupan manusia karena itu toleransi antar umat beragama bukan sekedar hidup berdampingan yang pasif akan tetapi lebih dari itu untuk
berbuat baik dan berlaku adil antara satu sama lain.
Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran agama masing-masing.
Bila
toleransi dalam pergaulan hidup
ditinggalkan, berarti kebenaran
ajaran agama
tidak
diamalkan sehingga pergaulan dipengaruhi oleh saling curiga mencurigai dan saling
berprasangka.
Perwujudan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama
direalisasikan dengan cara, pertama, setiap penganut agama mengakui eksistenai agama-agama lain
dan
menghormati segala hak
asasi penganutnya.
Kedua, dalam pergaulan bermasyarakat, setiap golongan umat beragama menempatkan sikap saling mengerti, menghormati dan menghargai. Selain itu toleransi
mempunyai dua
unsur yang harus ditekankan dalam mengekspresikannya terhadap orang lain. Dua unsur itu adalah:
a. Memberikan Kebebasan Atau Kemerdekaan
Setiap manusia diberikan kebebasan untuk
berbuat, bergerak maupun berkehendak menurut dirinya sendiri
dan juga di dalam memilih suatu agama/kepercayaan. Kebebasan ini diberikan sejak manusia lahir sampai ia
nanti meninggal, dan kebebasan/kemerdekaan yang manusia miliki tidak
dapat
digantikan atau direbut
oleh orang lain
dengan cara apapun, karena kebebasan itu
datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga dan
dilindungi. Di setiap Negara wajib melindungi kebebasan
setiap manusia
baik di dalam
undang-undang maupun dalam peraturan yang ada. Begitu pula dalam memilih suatu agama atau
kepercayaan yang diyakini, manusia berhak dan bebas dalam memilih tanpa ada paksaan dari siapapun.
b. Menghormati prinsip
dan hak orang lain.
Selain bebas dalam
memilih suatu agama
atau kepercayaannya setiap
manusia
juga harus menghormati
prinsip
orang lain baik itu yang sejalan
dengannya maupun yang
berbeda. Menghormati prinsip
yang dimiliki orang
lain tidaklah mudah
karena hal ini bisa jadi bertentangan
dengan prinsip diri sendiri. Begitu pula dengan
hak-hak
orang lain,
seperti dalam beragama jelas sekali ada yang sama dengan kita dan ada
pula
yang berbeda. Sering kali manusia tidak bisa menerima hal ini dengan senang hati dan tulus. Padahal dengan menghormati
hak orang lain maka akan mudah dalam menciptakan hubungan
toleransi dengan
orang
lain. Selain menghormati orang lain manusia juga dituntut untuk menghargai
pendapat orang lain, menghormati bukan hanya sekedar peduli dengan apa yang dilakukan orang lain tetapi juga menghargai apa yang dilakukan/diperbuat
orang lain dengan cara
tidak menjelek-jelekkan karya atau pendapat orang lain walaupun tidak sejalan dengan pendapat kita.
Mewujudakan
toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama merupakan “bagian usaha menciptakan kemaslahatan umum serta kelancaran hubungan antar
umat manusia yang berlainan
agama, sehingga setiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan agama masing-masing”. (Al-Munawar, 2007:22 ).
Penafsiran Abduh (2007:87) tentang
toleransi
agama adalah (1) Kemerdekaan memeluk suatu agama, (2) Klaim Kebenaran Absolut.
Sebagaimana telah
dikatakan bahwa setiap penganut suatu agama mempunyai kemantapan hati tentang kebenaran agama yang dipeluknya. Mereka berkeyakinan agama tersebut
adalah agama satu-satunya
yang paling benar secara absolut yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan.
Sebelum datangnya Islam
umat
manusia dalam keadaan terpecah
belah pada golongan-golongan
agama, hanya sedikit sekali orang-orang
yang mempertahankan keimanan,
menyembah dan
mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa. Setiap golongan agama tersebut saling
mengejek dan mengutuk golongan yang berbeda. Salah
satu
dari
mereka mendakwahkan bahwa golongannya yang paling benar dan berpegang pada tali Allah. (Abduh,
2007:207).
Suseno (2007:67)
menjelaskan bahwa apa
yang menurut ajaran resmi Gereja Katholik seharusnya menjadi sikap umat Katholik terhadap agama-agama lain. Menurut ajaran ini
dialog dengan saudara-saudara dari agama lain
merupakan bagian integral penghayatan ajaran
Injil sendiri. Injil mengajak orang Kristiani untuk belajar dari
pengalaman umat agama lain, untuk menghormati
dan
mencintai mereka serta
untuk bersama mereka membangun kehidupan
masyarakat
yang
adil,
baik,
damai dan sejahtera.
Al-Munawar (2007:22) berpendapat bahwa toleransi umat beragama harus
memenuhi beberapa unsur penting antara lain:
a)
Kebebasan Beragama
Hak asasi manusia yang paling esensi selain hak hidup adalah hak kemerdekaan/kebebasan baik kebebasan untuk berfikir
maupun kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan di dalam memilih
kepercayaan/agama.
Kebebasan merupakan suatu
hak dan keaktifan yang fundamental bagi manusia sehingga
hal ini dapat membedakan
antara manusia
dengan makhluk
yang lainnya. Misalnya
hewan dan tumbuhan bahkan lebih
jauh
membedakan antara manusia dengan makhluk yang selalu mensucikan Allah SWT yaitu malaikat yang tidak diberikan kebebasan oleh Allah untuk berkehendak dan berbuat seperti manusia.
Kebebasan rohani atau
beragama diartikan sebagai suatu ungkapan yang menunjukkan
hak setiap individu dalam memilih keyakinan suatu agama. atau
bebas memilih suatu kepercayaan/agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya.
Kebebasan memeluk suatu agama atau
beragama sebagai salah satu
hak
yang
sangat esensial
bagi kehidupan
manusia. Karena kebebasan untuk memilih agama datangnya dari hakihat manusia serta martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, bukan dari orang lain. Untuk itu dalam menganut atau memilih suatu agama tidak bisa
di paksakan oleh siapapun.
Adanya kerjasama yang baik antar umat Islam dan umat
beragama lainnya tidaklah menjadi halangan. Kerjasama dalam bidang kehidupan
masyarakat seperti penyelenggaraan pendidikan, pemberantasan penyakit sosial,
pembangunan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan adalah sebagian kecil bentuk
kerjasama yang dapat dilakukan. Saling
melindungi, memberi keamanan terhadap saudara yang sedang beribadah merupakan
perwujudan dari toleransi. Keadaan demikian
digambarkan dalam QS. At Taubah ayat 6.
Artinya:“Dan jika diantara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat
yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang
tidak mengetahui.”(Hatta, 2009:187).
Toleransi harus dibedakan dari kompromisme, yaitu
menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan
kerukunan, atau saling memberi dan menerima demi terwujudnya kebersamaan.
Kompromisme tidak dapat diterapkan dalam kehidupan beragama. Kompromisme dalam
beragama akan melahirkan corak keagamaan yang sinkretik. Betapapun baiknya
ajaran Islam tentang bagaimana seharusnya umat Islam bersikap terhadap kaum
agama lain, tetapi dalam hal keyakinan
dan pelaksanaan ibadah tidak dapat terjadi kompromi
didalamnya. Seperti dalam sural Al Kafiruun menegaskan bahwa kompromi agama
tidak boleh
dilakukan oleh umat Islam. Dalam hal ibadah
masing-masing melaksanakan sesuai dengan keyakinannya.
Di Indonesia dalam peraturan undang-undang disebutkan pada pasal
29
ayat 2
yang mengatakan “Negara
menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya
masing-masing
dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Hal
ini jelas bahwa Negara menjamin penduduknya dalam memilih dan memeluk agama/keyakinannya masing-masing serta
menjamin dan melindungi
penduduknya dalam menjalankan peribadatan
menurut agama dan keyakinannya masing-masing.
b. Penghormatan Eksistensi Agama Lain
Pluralisme keagamaan berintikan pengakuan terhadap eksistensi agama-agama lain
dan perlunya meningkatkan
saling pengertian dan menjalin
hubungan
yang toleran diantara pemeluk agama. Etika
yang harus diutamakan dari
sikap toleransi
setelah memberikan
kebebasan
beragama adalah menghormati
eksistensi agama lain dengan pengertian menghormati keragaman dan
perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang dilindungi negara ,baik mayoritas
maupun minoritas.
Setiap agama
mengandung
klaim eksklusif
yaitu mengaku agama yang
dipeluknya paling
benar dan agama yang dianutnyalah yang benar-benar berasal dari
Tuhan. Umat beragama sering terjebak pada
truth
claim
dan
salvation claim. ( Achmad, 2007:143) yakni mengakui bahwa hanya agamanya
yang benar, dapat menyelamatkan serta membahagiakan kehidupan dunia dan
setelahnya. Hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa agama yang lain tidak
benar, menghadapi realitas ini
setiap
pemeluk
agama dituntut agar senantiasa mampu menghayati sekaligus memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling menghormati serta menghargai eksistensi agama lain. Dalam bentuk tidak
mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenang terhadap
pemeluk
agama lain
misalnya sifat fanatik yang berlebihan terhadap agama tertentu, sehingga pada saat perayaan hari besarnya mengganggu dan menghambat perayaannya yang menandakan rasa
kebencian serta tidak senang pada agama orang lain.
c. Pluralisme Agama Sebagai Realitas
Salah satu
prasyarat terwujudnya msyarakat modern yang demokratis dan maju adalah menghargai kemajemukan (pluralitas)
masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan, Kemajemukan ini merupakan sunnatullah. Di belahan bumi ini
tidak ada masyarakat yang
terbentuk
secara
tunggal tanpa
ada
perbedaan-perbedaan di dalamnya. Karena
itu pluralisme
yang
ada di
masyarakat bukan saja merupakan
suatu realitas yang obyektif, tetapi sekaligus suatu kepastian dari Tuhan.
Secara harfiah pluralisme
berati beberapa,
berbagai hal, atau banyak. Oleh sebab itu sesuatu yang dikatakan plural senantiasa terdiri dari beberapa hal, beberapa jenis, berbagai sudut pandang serta latar belakang. Dengan gambaran
semacam
ini, dapat dikatakan
bahwa pluralisme
agama bukanlah
kenyataan yang mengharuskan
orang
untuk
saling menjatuhkan, saling merendahkan, atau
mencampuradukkan antara
agama yang satu dengan agama yang lain, tetapi justru menempatkanya pada
posisi saling menghormati dan saling mengakui.
Kita dapat belajar dari kekayaan spiritual serta nilai-nilai sosial dari agama lain untuk memperkaya wawasan keagamaan kita. Bukan belajar
untuk mencari-cari kekurangan dan
kelemahan agama lain yang bisa memojokkan, atau merendahkan atau menganggap bahwa agama yang lain
tidak benar dan agama
kita sendirilah yang paling benar. Dengan
demikian,
“pluralisme merupakan kekayaan bersama”. (Elmirzanah, 2007:9).
Realitas dari
seluruh pluralisme yang melanda kehidupan manusia dewasa ini yang paling berat dalam pelaksanaannya ialah pluralisme agama,
sebab pluralisme ini sangat sensitif
bagi kelangsungan hidup beragama.
“Pluralisme
agama
merupakan
gejala
yang melanda
semua
masyarakat
di seantero jagad, proses pluralisasi ini sejalan dengan proses modernisasi.Banyak acuan dalam kitab
agama-agama bahwa pluralisme harus disyukuri selaku
pemberian Tuhan”. (Sumartana, 2007:68).
Pluralitas keagamaan dimanapun di dunia
ini,
adalah
realitas yang tidak mungkin
diingkari. Kontak antar komunitas yang berbeda
agama semakin
meningkat. Hampir
tidak ada
di
belahan bumi ini
kelompok
masyarakat
yang tidak
pernah
mempunyai kontak dengan kelompok lain yang berbeda agama. Benarlah jika
dikatakan bahwa pluralitas keagamaan, sebagaimana pluralitas yang lain
adalah
merupakan hukum alam, mengingkari pluralitas keagamaan
sama dengan mengingkari hukum alam. (Sirry,
2007:63).
Implikasi
dari pluralisme tersebut seseorang (pemeluk
agama) harus dapat merubah sikap, cara dan pola berpikirnya yakni dari berpikir subyektif menuju obyektif.
Perubahan pola berfikir
ini
ditujukan dengan suatu
pemahaman bahwa di luar agama yang dipeluknya ada agama lain serta mengakui eksistensinya melepaskan dari
pendapat subyektifitas tentang agama yang lain. Obyektifitas ini
tidak memerlukan pertimbangan teologi
dalam
menilai benar salahnya agama lain. Ummat beragama harus mampu menempatkan diri dalam
kondisi yang plural
dengan
dilandasi
rasa
saling menghormati dan menghargai atas eksistensi
agama lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan
Jenis Penelitian
Menurut Wahab (dalam
Masykuri 2013:28) bahwa:
Mengingat kepeduliannya pada kedalaman
ketimbang pada keluasan informasi, maka pendekatan kualitatif dirasa amat cocok
dipergunakan untuk memperoleh pemahaman mendalam atas fenomena sosial yang
kompleks atau untuk mencuatkan isu baru serta memperoleh pemahaman baru
mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi fenomena sosial yang ada. Melalui penelitian
kualitatif yang kritis akan dapat diperoleh gambaran yang akurat mengenai
sikap, pandangan dan prilaku dari orang-orang yang menjadi target kebijakan.
Ghony dan Almanshur (2014:13)
menyatakan bahwa:
Penelitian kualitatif ditujukan untuk
mendeskripsikan dan menganalisa fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap,
keprcayaan, presepsi, dan pemikiran manusia secara individu maupun kelompok.
Penelitian kualitatif bersifat induktif,.Artinya peneliti membiarkan
permasalahan-permasalahan muncul dari data atau dibiarkan terbuka untuk
interpertasi.
Berdasarkan
permasalahan yang diangkat, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian dengan menghasilkan data
deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif pada dasarnya landasan teoritisnya
bertumpu secara mendasar pada fenomenologi dan menggali makna dalam penelitian.
Karena itu, pada bagian ini fenomenologi dijadikan sebagai dasar teoritis utama
sedang yang lainnya yaitu interaksi simbolik, kebudayaan, dan etnometodologi
dijadikan sebagai dasar tambahan yang melatarbelakangi secara teoretis
penelitian kualitatif. Kedudukan teori dalam pendekatan kualitatif merupakan
suatu produk akhir yang harus dihasilkan. Rancangan penelitian dibangun
berdasarkan kumpulan asumsi dan konsep yang dikembangkan dari teori yang relevan.
Sumber pokok jawaban penelitian terdapat data bukan pada teori. Dalam
pendekatan ini teori-teori yang diperoleh dari pembendaharaan teori hanya digunakan
sebagai pembanding atau instrumen yang membantu memperjelas karakteristik data.
Berangkat dari pendapat di atas maka pendekatan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang digunakan untuk meneliti
proses kepala sekolah dalam mempengaruhi
dan menentukan tujuan sekolah dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala
sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan
budaya toleransi, serta pengaruh kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan
budaya di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi umat beragama di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten
Belu.
Pertimbangan peneliti menggunakan pendekatan
kualitatif ini dengan alasan menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda, metode ini secara tidak langsung mengikat
hubungan antara peneliti dan responden, metode ini lebih peka dan menyesuaikan
diri dengan manajemen pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Data penelitian yang nantinya akan diteliti berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakkan metode diskriptif.
Data penelitian yang nantinya akan diteliti berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakkan metode diskriptif.
Berdasarkan
tempat penelitian, maka penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field
research), yaitu penelitian yang dilaksanakan di dua tempat yaitu di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua
Kabupaten Belu dan tidak tertutup
kemungkinan dilakukan di tengah-tengah masyarakat yang berhubungan langsung
dengan peningkatan toleransi antar umat beragama.
B.
Kehadiran Peneliti
Ghony dan Almanshur (2014:153) berpendapat bahwa “sewaktu
peneliti berada di lapangan
penelitian, mau tidak mau peneliti terjun ke dalamnya dan ikut berperan serta
di dalamnya. Sering terjadi bahwa peran serta peneliti baru terwujud seutuhnya
apabila ia membaur secara fisik dengan kelompok komunitas yang ditelitinya”.
Ahmadi (2014:101)
menyatakan bahwa “pada intinya kehadiran peneliti di lapangan betul-betul
berusaha menjadi dekat (get close) dengan
orang-orang di lapangan. Dengan menjadi dekat memungkinkan untuk memperoleh
data faktual dan memperoleh kutipan-kutipan penting”.
Dalam
penelitian kualitatif kehadiran peneliti di lapangan adalah mutlak
diperlukan karena peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci dan sekaligus sebagai pengumpul data
utama. Hal ini dilakukan
karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan tanpa persiapan terlebih
dahulu maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap
kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu hanya manusia yang dapat
berhubungan dengan responden atau obyek utama, dan hanya manusialah yang mampu
memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan.
Di dalam pengumpulan data, peneliti melibatkan
diri dalam kehidupan subyek yang diteliti dan harus berusaha menciptakan
hubungan akrab dengan subyek yang diteliti agar data yang diperoleh betul-betul
valid. Kehadiran peneliti di tempat penelitian harus terbuka dan menjelaskan
maksud penelitian yang dilakukannya kepada subyek yang diteliti, sehingga
peneliti dapat lebih bebas bertindak untuk mencari dan mengumpulkan data yang
dibutuhkan.
Dalam penelitian
ini, penulis bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif dalam
upaya mengumpulkan data-data di lapangan. Sedangkan instrument pengumpulan data
yang lain selain peneliti adalah berbagai bentuk alat bantu dan berupa dokumen-dokumen
lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun
berfungsi sebagai instrument pendukung. Oleh karena itu, kehadiran peneliti
secara langsung di lapangan sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami
kasus yang diteliti, sehingga keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif
dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan. Adapun informan penelitian selain penulis
sendiri adalah kepala sekolah, guru, tata usaha, dan siswa SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian amat mempengarui terhadap keberhasilan sebuah penelitian. Pemilihan lokasi penelitian harus benar-benar mampu
menggambarkan obyek yang menjadi permasalahan penelitian. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu karena dua sekolah tersebut yang mempunyai keragaman yang
cukup besar dalam kaitannya dengan agama, mayoritas beragama Katolik,
selanjutnya Kristen Protestan, Islam dan Hindu. Kondisi umat beragama yang
berbeda tersebut sangat membutuhkan hadirnya pemimpin yang arif dan bijaksana
agar suasana tetap aman, nyaman dan kondusif sehingga seluruh program kegiatan
sekolah baik yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran di kelas ataupun kegiatan ektra kurikuler dapat berjalan
dengan baik sehingga tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan berkaitan dengan seragam
sekolah khusus untuk peserta didik perempuan yang beragama Islam mereka memakai
seragam sesuai ketentuan ajaran Islam yakni menutup aurat dengan rok panjang, kemeja lengan panjang dan
berjilbab. Hal ini yang menjadi daya tarik peneliti untuk melakukan penelitian
lebih lanjut berkaitan dengan toleransi umat beragama di sekolah tersebut
mengingat jumlah siswa yang beragama Islam hanya sekitar 10% . Selain dari sisi toleransi umat beragama, banyak juga prestasi baik akademik maupun yang non akademik
diraihnya sehingga kedua sekolah ini termasuk sekolah yang menjadi pilihan
utama dan menjadi idola yang didambakan. Hal ini terbukti setiap penerimaan
siswa baru selalu dibanjiri calon peserta didik yang mendaftarkan diri, tiap
tahun ajaran baru lebih dari 1000 calon peserta didik yang mempercayakan
kelanjutan pendidikannya di sekolah tersebut.
D. Sumber Data
Disebabkan penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, maka menggunakan dua sumber
data, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber
data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul
data. Sedangkan data sekunder
merupakan sumber data yang tidak langsung
memberikan data.
1.
Sumber data primer didapat dari studi
lapangan, yaitu proses pengumpulan informasi, data, dan fakta secara langsung
pada objek penelitian. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kepala
sekolah, guru, tata usaha, dan siswa SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
2.
Sumber data sekunder didapat melalui
studi literatur/kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data sekunder dengan
mempelajari buku-buku atau bahan-bahan
tertulis yang ada hubungannya dengan topik yang akan diteliti, termasuk
data-data tertulis lainnya yang berasal dari lembaga yang dijadikan objek
penelitian termasuk mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan.
Ghony dan
Almanshur (2014:95) berpendapat bahwa:
Nilai kepercayaan
suatu penelitian terletak pada hasil penelitian yang diperoleh secara valid dan
reliable. Hal ini sangat bergantung
pada kualitas data yang diperoleh dari sumber data yang tepat melalui
pengungkapan instrument yang berkualitas pula. Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah yang melakukan
penelitian itu sendiri, yaitu peneliti. Peneliti
dalam penelitian kualitatif merupakan orang yang membuka kunci, menelaah dan
mengeksplorasi seluruh ruang secara cermat, tertib, leluasa, bahkan ada yang
menyebutnya sebagai key instrument.
Ahmadi
(2014:103) menyatakan bahwa:
Dalam penelitian
kualitatif, instrument penelitian adalah manusia, yakni peneliti itu sendiri
atau orang lain yang terlatih. Data yang akan diperoleh dalam penelitian
kualitatif berupa kata-kata (bahasa), tindakan atau bahkan isyarat atau
lambang. Untuk dapat menangkap atau menjelaskan data yang demikian, yang paling
tepat sebagai instrumen penelitian adalah manusia.
Merujuk pada
beberapa pendapat di atas maka instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, peranan penelitilah yang
menentukan keseluruhan apa yang dirancangnya. Dengan demikian peneliti
merupakan instrumen penelitian yang paling efektif digunakan dalam penelitian
kualitatif. Penetapan peneliti
sebagai instrumen penelitian bertujuan untuk mendapatkan data empirik di
lapangan.Instrumen penelitian yang digunakan adalah wawancara dan pengamatan
terhadap obyek penelitian melalui sejumlah pendalaman dalam bentuk diskusi
terfokus.Wawancara melalui sejumlah pertanyaan yang terfokus dilakukan secara
logis berhubungan dengan masalah penelitian, dan tiap-tiap pertanyaan merupakan
jawaban-jawaban yang mempunyai makna.
Pemilihan
informan dilakukan secara purposive sampling menurut Soetopo (dalam
Masykuri 2013:124) menyatakan bahwa:
Dalam
penelitian kualitatif, proposif sampling
yang diambil lebih bersifat selektif, memilih informan yang dianggap mengetahui
informasi, masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber
data yang mantap.Peneliti mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan
keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang dihadapi.Sumber data yang
digunakan tidak sebagai yang mewakili populasinya, tetapi lebih cenderung
mewakili informasinya.Karena pengambilan sampel didasarkan atas berbagai
pertimbangan tertentu.
Ahmadi (2014:85)
berpendapat bahwa:
Proposif sampling merupakan jenis
sampling yang diterima untuk situasi-situasi khusus.Proposif samplingmenggunakan keputusan(judgment) ahli dalam memilih kasus-kasus atau memilih kasus-kasus
dengan tujuan khusus dalam pikiran.Proposif
samplingcocok dalam tiga situasi.Pertama, seorang peneliti menggunakannya
untuk memilih kasus-kasus unik, khususnya yang bersifat informative.Kedua,
seorang peneliti bisa menggunakan proposif
sampling untuk memilih anggota-anggota yang sulit untuk dicapai,
populasi khusus.Ketiga, proposif sampling digunakan
ketika seorang peneliti ingin mengidentifikasi tahapan-tahapan khusus kasus-kasus
untuk investigasi mendalam.
Dengan merujuk
pada pendapat di atas, maka penentuan informan dalam penelitian ini untuk melaksanakan
wawancara mendalam, penulis menentukan beberapa sumber atau informan yang
dianggap paling representatif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan
dengan fokus penelitian. Penentuan
informan dilakukan berdasarkan jabatan, pengalaman dan pemahaman atas objek
yang diteliti. Pemilihan informan
dilakukan secara purposive sampling dengan memilih informan kunci yang
paling tau dan faham tentang situasi, kondisi dan gejala-gejala yang terjadi.Ini
dilaksanakan pada tahap awal memasuki lapangan memilih orang yang memiliki
power dan otoritas pada situasi sosial atau objek yang diteliti. Hal ini
dimaksudkan untuk mampu membukakan pintu atau jalan masuk kemana saja peneliti
akan melakukan pengumpulan data.
Jadi, informan
sekaligus sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten
Belu.
E. Prosedur Pengumpulan Data
Menurut Soetopo (dalam Masykuri 2013:131) pengumpulan
data primer tersebut dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:
Observasi;
digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat
atau lokasi dan benda serta rerkaman gambar. Dapat dikatakan bahwa observasi
merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung
terhadap objek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala yang ditemukan di
lapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan sebagai acuan yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian.Wawancara, yaitu teknik pengumpulan
data dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung kepada pihak yang
berhubungan dengan penelitian.
Berangkat dari
pendapat di atas maka dalam pengumpulan data penelitian, penulis akan
menyiapkan pedoman observasi yakni lembaran pengamatan yang telah disiapkan
oleh penulis untuk menjaring data tentang proses kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menentukan tujuan sekolah
dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan budaya toleransi, pengaruh
kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan budaya di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi serta kebebasan
beragama, penghormatan eksistensi agama lain, dan pluralisme agama sebagai
realitas di di SMA Negeri 1 dan
2 Atambua Kabupaten Belu.
Selanjutnya, peneliti menggunakan wawancara
terstruktur dan tak terstruktur.Wawancara terstruktur mirip dengan percakapan untu menggali informasi. Metode ini bertujuan memperoleh
bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan
urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap informan. Sedangkan wawancara tak
terstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaan dan kata-kata dalam setiap
pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi saat wawancara. Melalui wawancara tersebut akan diperoleh informasi
tentang proses kepala sekolah dalam mempengaruhi
dan menentukan tujuan sekolah dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala
sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan
budaya toleransi, pengaruh kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan budaya
di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi serta kebebasan
beragama, penghormatan eksistensi agama lain,
dan pluralisme agama sebagai
realitas di SMA Negeri
1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu.
Kemudian penulis
melakukan studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi
melalui literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku,
artikel dan makalah yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara
memperoleh data melalui pengkajian dan penelaahan terhadap catatan penulis
maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang diteliti.
F. Analisis
Data
Masykuri dan Bafadal (2013:174)
menyatakan bahwa:
Analisis data
adalah proses penelaahan, pengurutan, dan pengelompokkan data dengan tujuan
untuk menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya menjadi kesimpulan atau teori
sebagai temuan penelitian. Data dalam penelitian kualitatif terdiri dari
deskripsi yang rinci tentang situasi, interaksi, peristiwa, orang dan prilaku
yang diamati; atau nukilan-nukilan langsung dari seseorang tentang pengalaman,
fikiran, sikap, dan keyakinannya atau petikan-petikan dokumen, surat dan
rekaman-rekaman lainnya. Pada dasarnya analisis data selama pengumpulannya itu
merupakan analisis awal terhadap data yang diperoleh. Analisisnya dapat
diupayakan dengan apa yang disebut kegiatan reduksi data. Reduksi data dapat
diartikan sebagai proses pemilihan dan pemusatan perhatian penelitian melalui
seleksi yang ketat terhadap fokus yang akan dikaji lebih lanjut, penajaman
focus, pembuatan ringkasan hasil pengumpulan data, pengorganisasian data
sehingga siap untuk dianalisis lebih lanjut begitu selesai melakukan
pengumpulan data secara keseluruhan.
Ahmadi (2014:229)
berpendapat bahwa “analisis data pada penelitian kualitatif dilakukan melalui
pengaturan data secara logis dan sistematis dan dilakukan sejak awal peneliti
terjun ke lapangan hingga pada akhir penelitian (pengumpulan data). Yang melakukan analisis data adalah peneliti
yang sejak awal turun ke lapangan berinteraksi dengan latar dan orang (subjek)
dalam rangka pengumpulan data”.
Dari rumusan di
atas dapatlah kita tarik garis besar bahwa analisis data bermaksud pertama-tama
mengorganisasikan data. Data yang
terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan, komentar peneliti,
gambar, pengumuman, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel, dan
sebagainya. Setelah data dari
lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas, maka
peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis
secara deskriptif-kualitatif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka secara garis besar
langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Reduksi Data. Reduksi data merupakan salah
satu dari teknik analisis data kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis
yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.
Kemudian peneliti melakukan reduksi data yang kegiatannya mencakup unsur-unsur
spesifik termasuk (1) proses pemilihan data atas dasar tingkat relevansi dan
kaitannya dengan setiap kelompok data, (2) menyusun data dalam satuan-satuan
sejenis. Pengelompokkan data dalam satuan yang sejenis ini juga dapat
diekuivalenkan sebagai kegiatan kategorisasi/variable, (3) membuat koding data
sesuai dengan kisi-kisi kerja penelitian. Kegiatan lain yang masih termasuk dalam
mereduksi data yaitu kegiatan memfokuskan, menyederhanakan dan mentransfer dari
data kasar ke catatan lapangan. Dalam penelitian kualitatif-naturalistik, ini
merupakan kegiatan kontinyu dan oleh karena itu peneliti perlu sering memeriksa
dengan cermat hasil catatan yang diperoleh dari setiap terjadi kontak antara
peneliti dengan informan.
2. Penyajian Data. Penyajian data merupakan
salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan
ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya
penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif
(berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan.
3. Penarikan Kesimpulan. Penarikan kesimpulan
merupakan salah satu dari teknik analisis data kualitatif. Penarikan kesimpulan
adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan.
Ketajaman analisis peneliti dalam menyajikan
sebuah data tidak serta merta menjadikan hasil temuan peneliti sebagai data
yang akurat dan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Perlu melewati
pengujian data terlebih dahulu sesuai dengan prosedural yang telah ditetapkan
sebagai seleksi akhir dalam menghasilkan atau memproduksi temuan baru. Oleh
karena itu, sebelum melakukan publikasi hasil penelitian, peneliti terlebih
dahulu harus melihat tingkat kesahihan data tersebut dengan melakukan
pengecekan data melalui pengujian keabsahan data.
Guba dan Lincoln (dalam
Masykuri 2013:187) berpendapat bahwa “auditor adalah seorang yang ditunjuk
melakukan audit terhadap suatu hasil analisis data”.
Menurut Masykuri dan Bafadal (2013:187)
menyatakan bahwa:
Ada beberapa
langkah yang dapat ditempuh dalam mengaudit hasil analisis data penelitian
kualitatif.Pertama menentukan
seorang, dua orang atau lebih yang akan meminta kesediaannya menjadi auditor. Kedua menyiapkan semua berkas-berkas
yang diperlukan dalam mengaudit hasil analisis data, berkas-berkas dimaksud
meliputi rumusan masalah dan tujuan penelitian, rancangan, metode dan prosedur
analisis data penelitian, dan sebagainya.Ketiga
menghubungi orang yang akan diminta kesediaannya menjadi auditor. Apabila
yang bersangkutan bersedia, maka semua berkas yang telah disiapkan sebelumnya
diserahkan kepada yang bersangkutan.Keempat
auditor mulai melakukan audit terhadap hasil analisis data. Prosesnya dapat
diawali dengan cara membandingkan antara kesimpulan, masalah dan tujuan
penelitian.
Ghony dan
Almanshur (2014:314) berpendapat bahwa:
Ada lima teknik
untuk mengecek kredibilitas data hasil penelitian kualitatif, yaitu: (1)
kegiatan-kegiatan yang lebih memungkinkan temuan atau interpretasi yang dapat
dipercaya yang dihasilkan (memperpanjang keterlibatan pengamatan yang terus
menerus, dan triangulasi); (2) pengecekkan eksternal pada proses inquiri
(wawancara teman sejawat-peer debriefing);
suatu kegiatan yang mendekati perbaikan hipotesis kerja karena semakin banyak
informasi yang tersedia (analisis kasus negativf); (4) suatu kegiatan yang
memungkinkan untuk mengecek temuan dan interpretasi awalterhadap “data mentah”
yang diarsipkan (kecukupan referensial); (5) suatu kegiatan yang memberikan
pengujian temuan dan interpretasi langsung dengan sumber manusia sebagai asal
dan temuan tersebut---pembuat realitas ganda yang dikaji (pengecekkan anggota).
Ahmadi (2014:262)
menyatakan bahwa “ada tiga kegiatan yang dapat dilakukan oleh peneliti
kualitatif untuk meningkatkan temuan yang dapat dipercaya akan dihasilkan,
yaitu (1) memperpanjang keterlibatan, (2) pengamatan yang cermat, dan (3)
triangulasi”.
Dari beberapa
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dilaksanakan pelaporan hasil
penelitian yang ilmiah, terlebih dahulu menguji kredibilitas secara gamblang.
Pengujian kredibilitas yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap perolehan
data yang ditemukan di lapangan dapat mengikuti langkah-langkah yang telah
diuraikan di atas. Peneliti dapat mengambil cara pengujian kredibilitas baik
secara keseluruhan maupun hanya menggunakan beberapa tahap pengujian yang telah
dipaparkan.Nilai yang diperoleh dalam temuan penelitian kualitatif tidak
bersifat universal tetapi dapat diterapkan apabila memiliki konteks dan situasi
yang mirip dengan objek penelitian.Untuk mengetahui hal tersebut, maka
pengujian perlu dilakukan guna memberikan uraian yang rinci, jelas dan
sistematis, dan dapat dipercaya oleh pembaca mengenai hasil penelitian.Dengan
demikian, generalisasi dapat dihindari oleh pembaca karena telah memahami seluk
beluk data yang diperoleh dalam penelitian. Pembaca akan bijak untuk menerapkan
hasil penelitian tersebut sesuai dengan konteks dan situasi yang identik dengan
penelitian yang dimaksud.
Untuk meguji
keabsahan, keakuratan dan dapat dipercaya terhadap data penelitian ini, penulis
menggunakan “triangulasi metode”. Sebagaimana dalam Ahmadi (2014:267)
menyatakan bahwa “triangulasi metode, data yang dikumpulkan dengan menggunakan
metode tertentu nantinya dicek dengan menggunakan metode yang lain”.
Penulis
akan menggunakan teknik triangulasi metode, artinya data yang diperoleh melalui
obseravsi akan dicek kembali dengan menggunakan wawancara dan dokumen-dokumen
pendukung. Jika dari ketiga metode pengumpulan data tersebut diperoleh
informasi yang sama maka data tersebut dikatakan valid, reliable dan dapat
dipercaya.
H. Tahap-Tahap Penelitian
Ghony dan Almanshur (2014:143-157)
menyatakan bahwa:
Tahapan-tahapan penelitian kualitatif
disesuaikan dengan kepraktisan, kemampuan peneliti, serta mudah
dipahami.Selanjutnya tahapan tersebut terdiri tahap penelitian secara umum dan
tahap penelitian secara siklus. Tahapan secara umum akan dipaparkan sebagai
berikut:
1.
Tahap
pra-penelitian, antara lain (a) menyusun rancangan penelitian; (b) memilih
lokasi penelitian; (c) mengurus perijinan penelitian; (d) menjajaki dan menilai
lokasi penelitian; (e) memilih dan memanfaatkan informan; (f) menyiapkan
perlengkapan penelitian; (g) memperhatikan etika penelitian.
2.
Tahap
perkejaan lapangan, meliputi (a) memahami latar penelitian dan persiapan diri;
(b) penampilan peneliti; (c) pengenalan hubungan peneliti di lapangan; (d)
jumlah waktu penelitian.
3.
Memasuki
lokasi penelitian, meliputi (a) keakraban hubungan; (b) mempelajari bahasa; (c)
peranan peneliti.
4.
Berperan
serta sambil mengumpulkan data, meliputi (a) pengarahan batas waktu penelitian;
(b) mencatat data; (c) petunjuk tentang cara mengikat data; (d) kejenuhan,
keletihan dan istrahat; (e) meneliti suatu latar yang di dalamnya terdapat
pertentangan; (f) analisis di lapangan.
Dengan merujuk
pada pendapat di atas, maka tahap-tahap yang ditempuh oleh penulis dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1.
Tahap sebelum kelapangan, meliputi
kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan teori, penjajakan alat
peneliti mencakup observasi lapangan, permohonan ijin kepada subyek yang
diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian.
2.
Tahap pekerjaan lapangan, meliputi
mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan proses kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menentukan tujuan sekolah dalam mewujudkan budaya toleransi, motivasi kepala sekolah terhadap perilaku guru-guru dan semua unsur sekolah untuk mewujudkan budaya toleransi, pengaruh kepala sekolah untuk memperbaiki kelompok dan
budaya di sekolah dalam rangka mewujudkan budaya toleransi
serta
kebebasan beragama, penghormatan eksistensi agama lain, dan pluralisme agama
sebagai realitas di
SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu. Data tersebut diperoleh dengan
observasi, wawancara dan dokumentasi.
3.
Tahap analisis data, meliputi analisis
data baik yang diperolah melaui observasi, dokumen maupun wawancara mendalam
dengan kepala sekolah, guru, tata usaha, dan siswa SMA Negeri 1 dan 2 Atambua Kabupaten Belu
serta pihak-pihak terkait. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan
konteks permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan
data dengan cara mengecek sumber data yang didapat dan metode perolehan data
sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan bahan untuk memberikan makna
data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks penelitian yang
sedang diteliti.
4.
Tahap penulisan laporan, meliputi:
kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian kegiatan pengumpulan
data sampai pemberian makna data. Setelah itu melakukan konsultasi hasil
penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan perbaikan saran-saran demi
kesempurnaan penelitian yang kemudian ditindaklanjuti hasil bimbingan sehingga
hasilnya sempurna. Langkah terakhir melakukan pengurusan kelengkapan persyaratan untuk ujian tesis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar