Rabu, 06 April 2016

“Analisis Lingkungan Eksternal Lembaga Pendidikan Islam”





“Analisis Lingkungan Eksternal Lembaga Pendidikan Islam



Oleh: Abdulchalid Badarudin


UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Lingkungan eksternal dalam lembaga pendidikan Islam yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Dalam lembaga pendidikan Islam, lingkungan eksternal biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan di luar tubuh lembaga resmi. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan eksternal tersebut. Oleh karena itu, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian. Pengaruh lingkungan eksternal ini tentu dianalisis dengan menggunakan paradigma pendidikan Islam yakni analisis SWOT untuk melihat tantangan, peluang dan harapan lingkungan eksternal itu sendiri. Lingkungan eksternal dalam perspektif pendidikan Islam harus menunjang tercapainya tujuan pendidikan Islam. Jika lingkungan eksternal tidak sinergis dengan lingkungan internal dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan, maka ketercapaian tujuan pendidikan Islam sangat sulit dilakukan.
Dalam perspektif pendidikan Islam, lingkungan eksternal dapat memberi pengaruh yang positif atau negative terhadap pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak. Pengaruh lingkungan yang dapat terjadi pada anak di antaranya adalah akhlak dan sikap keberagamaannya. Mengingat besarnya pengaruh lingkungan terhadap kepribadian dan watak anak, maka dalam perspektif pendidikan Islam lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan fisiologis, psikologis dan sosio-kultural.
Dari uraian di atas dapat diketahui pentingnya lingkungan eksternal lembaga pendidikan Islam terhadap terjadinya proses pendidikan terutama pendidikan Islam. Sehingga kita akan menguraikan makalah ini yang berjudul “Analisis Lingkungan Eksternal Lembaga Pendidikan Islam”. Sebagai pelaksana program pendidikan, lembaga pendidikan adalah pemeran utama untuk melaksanakan program tersebut. Dalam pelaksanaan program-program serta tujuan yang telah disepakati oleh lembaga pendidikan tersebut tentunya tidak bisa terlepas dengan problematika maupun persoalan-persoalan lain yang harus diselesaikan oleh sebuah lembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan Islam.
Setiap pimpinan lembaga atau perusahaan tidak menginginkan perusahaannya jatuh bangrut begitupun dengan lembaga pendidikan tidak ada yang menginginkan jatuh terprosok hanya karena persoalan salah manajemen atau pengelolaan. Masalah pendidikan bukan merupakan masalah baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Berdasarkan masalah pendidikan, tidak lepas problematika yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam. Perhatian tersebut tidak lepas dari akar sejarah lembaga pendidikan islam yang memunculkan madrasah dan sekolah. Selaras dengan tuntutan zaman, lembaga pendidikan Islam pun berkembang. Persoalan-persoalan yang timbul baik berupaa faktor intern maupun ekstern.Faktor intern misalnya terkait dengan kurikulum, tenaga pendidik, perserta didik dan lain-lain, sedangkan faktor eksternnya adalah faktor-faktor sosial (masyarakat), pemerintahan maupun pihak-pihak yang terkait. Sebuah lembaga pendidikan Islam tentunya harus mengetahui problematika lembaganya, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman sehingga bisa melahirkan solusi-solusi cemerlang dan bisa mengantarkan lembaga pendidikan Islam pada kedudukan yang sangat berpengaruh dalam pergulatan keilmuan bangsa maupun dunia.
Sehubungan dengan hal tersebut  E. Mulyasa menyatakan bahwa perkembangan yang terjadi dewasa ini cenderung menimbulkan permasalahan dan tantangan baru berdampak luas terhadap tugas-tugas pengelolaan  pendidikan. Perbaikan mutu secara terus menerus berorientasi pada masukan, proses, luaran, dll. Inti sumber perbaikan bukanlah pada fisiknya, melainkan pada peningkatan profesionalitas manusia pengelola atau pelaksana lembaga pendidikan Islam. Untuk mengukur tingkat keberhasilan, kekuatan dan kelemahan maka analisis SWOT merupakan salah satu alternatif yang digunakan dalam mengnalisis manajemen pendidikan, khusunya lembaga pendidikan Islam.

1.2 Konteks Pembahasan
Konteks pembahasan pada makalah ini analisis lingkungan eksternal lembaga pendidikan Islam.

1.3 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas, kami mencoba merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai kerangka acuan dalam pembahasannya, sebagai berikut :
1.      Apa pengertian lingkungan Lembaga Pendidikan Islam?
2.      Apa saja yang termasuk dalam Lembaga Pendidikan Islam?
3.      Bagaimana sifat dan karakter Lembaga Pendidikan Islam?
4.      Faktor eksternal apa saja yang dihadapi pendidikan Islam?
5.      Faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi kebijakan Lembaga Pendidikan Islam?

1.4 Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini dapat digambarkan sebagai berikut :
1.      Untuk memperoleh gambaran tentang pengertian lingkungan Lembaga Pendidikan Islam.
2.      Untuk mengetahui macam-macam lembaga Pendidikan Islam.
3.      Untuk mendeskripsikan sifat dan karakter Lembaga Pendidikan Islam.
4.      Untuk mengidentifikasi factor-faktor  eksternal apa saja yang dihadapi pendidikan Islam.
5.      Untuk mendeskripsikan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan Lembaga Pendidikan Islam.

1.5  Kegunaan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai sebuah harapan agar makalah ini kelak bisa berguna untuk orang banyak, selain itu ada beberapa harapan penulis tentang kegunaan penulisan makalah ini di antaranya sebagai berikut:
1.      Untuk dunia pendidikan; kiranya dapat memperluas pengetahuan pembaca tentang lingkungan eksternal lembaga pendidikan Islam.
2.      Untuk penulis; digunakan untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Dosen. Selain itu penulisan makalah ini untuk memperkaya pengetahuan bagi penulis.
1.6  Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sumber data dari data-data kepustakaan (penelitian literatur) yang diperoleh dari pelbagai literatur buku dan juga sumber data dari data-data yang diambil melalui media internet. Sedangkan dalam metode penulisannya, penulis menggunakan berbagai metode adalah metode induktif, yakni pembahasan yang dimulai dengan mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dari fakta-fakta tersebut dicari generalisasinya (kesimpulan yang bersifat umum).

1.7  Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam makalah ini dapat digambarkan sebagai berikut :
















Rounded Rectangle: LINGKUNGAN EKSTERNAL  LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Rounded Rectangle: FENOMENA DAN PERMASALAHAN













Rounded Rectangle: 1. TINJAUAN  TEORITIS
2. ANALISIS SWOT


Rounded Rectangle: UPAYA PEMECAHAN MASALAH



 

























BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam
Dalam literatur pendidikan, lingkungan pada suatu lembaga pendidikan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karena itu, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.
Lingkungan dalam lembaga pendidikan Islam adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam berbagai kajian pendidikan, tidak banyak yang mengemukakan pengertian lingkungan pendidikan Islam. Namun dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Benar,  bahwa lingkungan pendidikan Islam tidak dijelaskan secara langsung dalam Al-Quran, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan universitas.  Walaupun begitu, Al-Quran tetap memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Dikenal dengan istilah al-qaryah, sebagai tempat tinggal mnausia umumnya yang dapat dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya, tingkah laku pendidiknya, serta tempat tinggal para nabi. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan juga merupakan faktor penting dalam pendidikan.
Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, kosakata lembaga memiliki empat arti, yaitu: Asal mula (yang akan jadi sesuatu); benih (bakal binatang, manusia, dan tumbuhan; misalnya Adam, segumpal tanah yang dijadikan manusia pertama) Bentuk (rupa, wujud) yang asli acuan Ikatan (tentang mata cincin dan sebagainya) Badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan sesuatu usaha, misalnya bahasa Indonesia.
Dalam bahasa inggris, kata lembaga biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata institution, dan selanjutnya menjadi kata institusionalisasi atau institusionalization yang berarti pelembagaan. Dalam bahasa Arab kata lembaga biasanya merupakan terjemahan dari kata muassasah yang berarti foundation (dasar bangunan), establishment (mendirikan bangunan), firm (lembaga).
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bawa lingkungan lembaga pendidikan Islam merupakan lingkungan yang dapat menunjang suatu proses kependidikan atau bahkan secara langsung maupun tidak langsung digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan Islam. Dan dari sisi pendidikan Islam, lingkungan pendidikan Islam merupakan suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Sedangkan lembaga pendidikan eksternal adalah tempat terjadinya transformasi pengetahuan/ ilmu yang meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Lembaga pendidikan ekternal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil dari lembaga pendidikan eksternal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan. Adapun pendidikan eksternal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau ingin melengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, yang berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Semua penjelasan di atas mengarah pada tujuan dari pendidikan Islam yakni mencapai ridla Allah. Dengan pendidikan diharapkan akan lahir individu-individu yang baik, bermoral, berkualitas sehingga bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya serta umat manusia pada umumnya. Manusia adalah fokus utama dari pendidikan. Ia terdiri dari jasmani dan rohani. Karenanya institusi pendidikan seharusnya lebih memfokuskan perhatiannya kepada substansi kemanusiaan, membuat system yang mendukung kepada  terbentuknya manusia yang baik. Pendidikan diharapkan mampu mengantarkan anak didik untuk memiliki kemakmuran materi dan juga individu yang memiliki kebahagiaan dunia dan akherat. Tujuan pendidikan identik dengan gambaran manusia terbaik menurut orang-orang tertentu. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh pandangan hidupnya. Bila pandangan hidupnya berupa agama, maka manusia yang baik yang menjadi tujuan pendidikan adalah manusia yang baik menurut agamanya. Dalam Al-quran Allah Berfiman dalam Surat Al_Baqarah ayat 1-5 :
$O!9# ÇÊÈ   y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ   tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÈ   tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qムÇÍÈ   y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ  
Artinya : Alif laam miin, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,  (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.

Alif, Lam, miim, ayat yang cukup singkat, tetapi sangat dalam maknanya, hanya Allah yang tahu rahasianya. Sudah cukup lama para ulama Al-Qur’an berbeda pendapat. Allahu A’lam, hanya Allah yang mengetahui, itulah jawaban yang dikemukakan oleh para ulama abad pertama hingga abad ketiga. Tampaknya jawaban Allabu A’lam yakni Allah lebih mengetahui masih diangap jawaban yang relevan sampai saat ini, meskipun demikian jawaban itu masih dianggap kurang memuaskan. Pada ayat ini menggunakan isyarat jauh untuk menunjuk Al-Qur’an. Semua ayat yang menunjuk kepada firman-firman Allah dengan nama al-Qur’an (bukan al-Kitab) yang mengarah pada isyarat dekat “hadzal Qur’an”. Penggunaan isyarat jauh ini bertujuan memberi kesan bahwa kitab suci ini berada dalam kedudukan tinggi dan sangat jauh dari jangkauan makhluk, karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi Maha Bijaksana, sedang penggunaan kata “hadza ini” untuk menunjukkan betapa dekat tuntunan-tuntunannya pada fitrah manusia.
Dalam hal ini pula yang dimaksud dengan orang-orang bertakwa adalah orang yang mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima petunjuk atau yang telah mendapatkannya tetapi masih mengharapkan kelebihan, karena petunjuk Allah tidak terbatas.

2.2 Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam
Di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus mengenai adanya lembaga-lembaga pendidikan, sekolah atau madrasah. Yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu nama-nama tempat yang baik yang selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, seperti masjid, rumah, majelis, dan lain-lain. Lembaga-lembaga pendidikan selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
o   Rumah (al-bait)
o   Masjid dan Suffah
o   Al-kuttab,Surau, dan TPA
o   Madrasah
o   Al-Zawiyah
o   Al-Ribath
o   Al-Maristan,
o   Al-Qushur (istana)
o   Hawanit al-Waraqin
o   Al-Shalunat al-Adabiyah
o   Al-Badiyah,
o   Al-Maktabat

2.3 Sifat dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam
o   Lembaga pendidikan islam bersifat holistic, terdiri  dari lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal.
o   Lembaga pendidikan islam bersifat dinamis dan inovatif
o   Lembaga pendidikan islam bersifat responsive dan fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab berbagai kebutuhan masyarakat.
o   Lembaga pendidikan islam bersifat terbuka, yakni dapat diakses atau digunakan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang keahlian, status social, ekonomi, budaya dll.
o   Lembaga pendidikan islam berbasis pada masyarakat.
o   Lembaga pendidikan islam bersifat religious.

2.4 Faktor-faktor eksternal yang dihadapi lembaga pendidikan Islam, meliputi :
1)      Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu urusan kementerian Agama atau Dinas Pendidikan, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, padahal pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
2)      Paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Dinas Pendidikan. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
3)      Paradigma masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. Lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya kepercayaan mereka terhadap lembaga pendidikan islam.
4)      Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang lebih parah lagi, kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Islam. Ini mungkin menjadi alasan yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.
5)      Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia. Konformisme atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada menjadi kendala mendasar dalam mengembangkan kurikulum pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dasar dan menengah masih menggunakan model kurikulum lama dengan mengandalkan pendidikan dasar agama sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat. Pembahasan yang diajarkan pun masih banyak menekankan aspek normatif dengan (mohon maaf) mengesampingkan aspek transformatif dalam konteks sosio-kultural masyarakat kita. Jangan kaget, apabila ada sekelompok ikhwan yang sudah merasa cukup hanya dengan mengkaji ilmu-ilmu keislaman yang datang dari tokoh-tokoh salaf dan menganggap tabu ilmu-ilmu lain (kontemporer) yang sebenarnya sama pentingnya. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang kita pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar. Indonesia tidak mungkin dilihat hanya melalui kaca mata sempit. Bagaimana kita akan mampu mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan kalau kita hanya belajar zaidun qo’imun (istilah penulis)? Lembaga-lembaga Islam seperti pesantren perlu melepaskan diri dari keterkungkungan dan memodernisasi sistem dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern.
6)      Perubahan Sosial Politik. Iklim sosial politik kita yang tidak menentu ikut memberi warna pada dunia pendidikan Islam. Sebagai negara demokrasi, politik merupakan hal yang tak bisa terhindarkan. Bahkan, tidak sedikit ulama (pengampu pendidikan Islam) menceburkan diri dalam kancah politik praktis. Mereka yang seharusnya berperan sebagai wasit, malah ikut andil menendang bola. Lalu apa yang terjadi dengan umat yang ditinggalkannya? Santri-santrinya? Lembaga pendidikannya? (biar mereka sendiri yang menjawab).
7)      Perubahan Orientasi. Sang Proklamator Bung Hatta pernah mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat. Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita dan para tokoh agama merespon wejangan Sang Proklamator? Atau kita hanya menghormati dan mengingat beliau sebatas mengikuti ritual 17 Agustus-an tanpa mengindahkan gagasan-gagasan beliau?
8)      Tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Kejumudan intelektual akut sedang dialami umat. Orientasi dari sekedar mendidik untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama harus di rekonstruksi menjadi paham terhadap ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu humaniora.
9)      Egosentris Ormas Islam
Pendidikan Islam (di Indonesia) jalan di tempat. Setelah lewat masa puluhan tahun, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak menunjukkan kemajuan kinerjanya yang berarti. Sebagai contoh, gerakan pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan organisasi Muhammadiyah, NU, Hidayatullah, Al-Irsad, Nahdatul Watan, dan lain-lain lebih banyak menekankan pada aspek kuantitatif, belum menajam pada aspek pembangunan mutu (kualitatif). Dari berbagai tolok ukur (fasilitas, manajemen, sdm, kurikulum), rata-rata pendidikan Islam belum duduk dalam barisan “papan atas”. Pendidikan Islam mengalami kekurangan sumberdaya manusia, sumberdaya pemikiran, sumber daya dana, sumber-sumber belajar. Pendidikan Islam kurang didukung oleh riset dan pengembangan yang berkelanjutan, baik yang dilakukan oleh individu masyarakat ataupun oleh pemerintah. Hasilnya, model pengelolaan institusi dan pendekatan pembelajaran tidak mengalami perkembangan yang berarti. Boleh jadi, krisis pengembangan ini diakibatkan pula oleh lemahnya komitmen dan alokasi pendanaan bagi kemajuan pendidikan Islam. Sedikit pihak penyandang dana (baik dari APBN, dari masyarakat, ataupun dari) anggaran belanja Negara

Dari fenomena di atas penulis setidaknya memberikan solusi antara lain ; diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang membina potensi spiritual,  emosional dan intelegensia secara optimal. Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran.yang akhirnya membentuk paradigma baru di masyarakat tentang kualitas yang menarik dari sekolah-seolah Islam. Dengan demikian sikap diskriminatif dan masalah paradigm yang buruk tentang kualitas pendidikan di Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, menciptakan output pendidikan yang baik, apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat. Lembaga Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor dan diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran dan model dari orang yang memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Hingga saat ini kita menyadari bahwa secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan, antara lain :
1)      kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana. Sementara itu kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif seperti sekarang ini harus didukung oleh ketiga hal tersebut, yaitu sumber daya manusia, manajemen dan dana.
2)      kita menyadari bahwa saat ini lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita idealnya. Di sisi lain masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu memberi rahmat bagi seluruh alam.
3)      kita masih melihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan formalistik.
4)      pada saat ini kita hidup dalam era reformasi. Pada era ini kecenderungan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani demikian kuat, yaitu masyarakat yang menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kesederajatan, kemitraan, kejujuran dan sebagainya.
5)      hingga saat ini posisi lembaga pendidikan tinggi Islam, bahkan juga pada lembaga pendidikan Islam yang ada di bawahnya masih kurang diminati oleh masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih memilih sekolah pada lembaga pendidikan yang tidak menggunakan label Islam.

Berbagai kelemahan di atas paling tidak merupakan persoalan yang harus dijawab oleh sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan memegang amanat tertinggi bangsa ini sebagai  sarana untuk membina dan membangun manusia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

2.5 Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan Lembaga Pendidikan Islam
1)    Faktor Budaya
Di dalam proses pembudayaan manusia, keberadaan pendidikan mutlak diperlukan. Bukan saja karena ia merupakan produk sejarah dan masyarakat, melainkan juga karena peranannya yang asasi dalam pembentukan hari depan. Di atas peranannya ini terletak tugas dan tanggung jawab kultural edukatif terhadap anak didik dan masyarakat. Dalam perjalanan sejarahnya, sebuah kegiatan pendidikan ditentukan oleh visi, misi dan sifat yang melatar belakanginya. Dalam berbagai referensi kita masih belum menjumpai rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan Islam tersebut secara eksplisit. Yang ada pada umumnya adalah rumusan tentang tujuan, kurikulum, metode belajar mengajar, kriteria guru dan berbagai aspek pendidikan lainya. Rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan Islam yang demikian penting itu belum sempat terpikirkan, walaupun berbagai isyarat di dalam al-Qur’an, al-Hadits dan berbagai sumber ajaran Islam lainnya, rumusan tentang visi, missi dan sifat pendidikan Islam tersebut dapat dirumuskan.
Visi pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang terkait dengan visi kerasulan para Nabi, mulai dari visi kerasulan Nabi Adam AS. hingga kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah SWT serta membawa rahmat bagi seluruh alam.
2)      Faktor adanya kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang sudah ada (agama). Standar-standar kehidupan dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan yang berpijak pada materialisme dan sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah modernisasi yang menjadi akar timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut jawaban segera.
3)      Faktor adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa pemusatan pengetahuan teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia pada ilmu pengetahuan dan informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan depersonalisasi dan keterasingan dalam dunia modern. Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah barang tentu pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang mengitarinya seperti sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah memasuki semua aspek kehidupan manusia. Begitu juga halnya modernisasi harus dipahami sebagai proses alamiah dalam evolusi kehidupan manusia. Pemahaman sebagaimana di atas menuntut kepekaan terhadap gejolak perubahan dengan segala implikasinya serta kemampuan baru untuk menerjemahkan setiap perubahan ke dalam proses pendidikan. Dengan cara seperti itu akan membuka kemungkinan untuk melahirkan pribadi-pribadi muslim yang kelenturan berpikir, daya intelektual serta keterbukaan dalam menghadapi perubahan cara hidup. Bertolak dari kenyataan tersebut, dalam konteks perubahan sosial ini pendidikan Islam mempunyai misi ganda, yaitu:
o   Mempersiapkan manusia muslim untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sedang dan   akan terjadi, mengendalikan dan memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut, menciptakan kerangka berpikir yang komprehensif dan dinamis bagi terselenggaranya proses perubahan yang berada diatas nilai-nilai Islam.
o   Memberikan solusi terhadap ekses-ekses negatif kehidupan modern yang berupa depersonalisasi, frustasi dan keterasingan umat dari dunia modern.
Tentunya, kedua misi tersebut di atas mengisyaratkan tugas berat yang dihadapi pendidikan Islam dewasa ini. Dan diperlukan suatu kerangka pandang yang komprehensif dan relevan dalam mengantisipasi setiap perubahan sosial sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misi pendidikan Islam itu juga mengisyaratkan perlunya mengaitkan pendidikan Islam dengan masa depan. Pendidikan Islam yang tidak berorientasi ke masa depan akan ketinggalan zaman dan tidak adaptif.
4)      Faktor Ideologi Negara
Antara pendidikan Islam dan pendidikan nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.  Hal ini dapat ditelusuri dari dua segi: Pertama, dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional Indonesia itu sendiri. Kedua, dari hakikat pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia. Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan masalah-masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa Indonesia pada khususnya baik dalam hubungannya dengan masa lampau, masa kini dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan. Eksistensi bangsa Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, di mana bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat penuh. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan bangsa dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Sejak dari awal Indonesia merdeka, pemerintah telah menempatkan agama sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini dapat kita baca dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah semata-mata atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pada alinea keempat dinyatakan bahwa Pancasila menjadi dasar negara.
Namun  apabila ditengok kembali  perjalanan sejarah para pemimpin nomor satu di negeri ini dalam menafsirkan ideologi Pancasila dan mengimplementasikannya terhadap pendidikan Islam, dapat di bagi menjadi tiga orde ( masa ) :
o  Orde Lama
Pancasila sebagai ideologi negara dianggap telah mewakili cita-cita semua agama dan golongan, termasuk umat Islam. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa semua agama itu sama, karena semua agama bertujuan untuk mencapai kebaikan hidup manusia. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berulangkali berhasil “menjinakkan” dan mementahkan perjuangan politik Islam yang kemudian berimbas ke pendidikan Islam. Penjinakan itu berupa memarginalisasi partai politik Islam dan aspirasi umat Islam dengan alasan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Contoh kongkretnya adalah menghapus tujuh kata dalam “Piagam Jakarta” dalam UUD 45 “Dengan Kepercayaan Terhadap Allah Yang Maha Kuasa”.
o  Orde Baru
Pada awal-awal pemerintahannya Presiden Soeharto mengadakan konsolidasi yang diiringi dengan kebijakan yang represif terhadap islam. Karena Soeharto melihat Islam sebagai ancaman. Maka antara Pemerintah dan islam selalu ada hubungan antagonis yaitu hubungan yang saling curiga dan saling tidak percaya. Pada pertengahan pemerintahannya Presiden Suharto mencetuskan idiologi Pancasila sebagai asas tunggal untuk partai politik dan keagamaan. Hubungan antara pemerintah dan umat Islampun makin menegang. Peristiwa “ Tanjung Priok “ 12 September 1984, yang memakan ratusan korban adalah salah satu contohnya.
o Orde Reformasi
Dengan bergulirnya masa reformasi yang ditandai dengan demokratisasi sebagai salah satunya, membawa angin segar bagi pendidikan Islam atau lembaga pendidikan Islam. Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi managerial dan proses Pendidikan Islam. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya Pendidikan Keagamaan Islam dan Keagamaan diselenggarakan. Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan : Pendidikan Keagamaan meliputi Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup Pendidikan Keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola yaitu Menteri Agama. Hanya saja realitas yang ada sampai saat ini masih terkesan, secara kelembagaan Pendidikan Islam menempati posisi kedua setelah Pendidikan Nasional. Sebuah lembaga yang menawarkan Pendidikan Islam kurang banyak diminati jika dibanding dengan lembaga lain yang dianggap lebih menjanjikan. Dan sampai saat inipun, posisi Pendidikan Islam belum beranjak dari sekedar sebuah subsistem dari sistem Pendidikan Nasional.
5)      Faktor Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan menuju kepada masyarakat informasi (informatical society) sebagai kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif, maka pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum cukup. Pada masyarakat informasi, manusia selain harus memiliki ciri-ciri masyarakat modern pada umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elektronika seperti komputer, faksimile, internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional, kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer orang memasuki lingkungan informasi dunia. Peran media elektronik yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat, juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.
Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.
Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan, baik dari kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Hal ini perlu dilakukan jika dunia pendidikan Islam ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut perlu dilakukan upaya-upaya strategis, antara lain:
a.       Tujuan pendidikan di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif.
b.      Guru di masa mendatang adalah guru yang selain memiliki informasi, berakhlak baik dan mampu menyampaikannya secara metodologis, juga harus mampu mendayagunakan berbagai sumber informasi yang tersebar di masyarakat ke dalam kegiatan belajar. Dengan demikian pembelajaran harus lebih memusat pada siswa yang pada gilirannya dapat menimbulkan masyarakat belajar.
c.       Bahan pelajaran umum dan agama perlu diintegrasikan dan diberikan kepada siswa sebagai bekal yang memungkinkan ia dapat memiliki pribadi yang utuh, yaitu pribadi disamping berilmu pengetahuan juga harus berakhlak mulia. Hal ini penting karena kehidupan masa mendatang dihadapkan pada tantangan yang bersifat moral. Untuk itu, perlu dikembangkan pengamalan akhlak di sekolah-sekolah.


6)      Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan teknologi dalam tiga dasawarsa ini telah menampakkan pengaruhnya pada setiap dan semua kehidupan individu, masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa tidak ada orang yang dapat menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), IPTEK bukan saja dirasakan individu, akan tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan negara. Kehadiran IPTEK di negara-negara maju, sudah lama dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara tersebutlah kemajuan itu mula-mula dicapai. Sebaliknya bagi negara-negara berkembang, pengaruh tersebut baru mulai dirasakan antara lain seperti dalam bidang informasi, buku-buku, media TV, radio, video, internet dan lain sebagainya.
Sekarang yang menjadi persoalan sekaligus pertanyaan bagi kita tentunya adalah bagaimana dengan eksistensi pendidikan Islam dalam menghadapi arus perkembangan IPTEK yang sangat pesat tersebut. Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama lembaganya) dituntut untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang ada. Disamping dapat mengadaptasi dirinya, pendidikan Islam juga dituntut untuk menguasai IPTEK, dan kalau perlu merebutnya.
Kenyataan untuk merebut teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut adalah sangat penting, sebab sekarang pembangunan nasional diarahkan dengan orientasi pada teknologi industri, dalam hal ini tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Menurut Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie, ada lima prinsip yang harus diikuti untuk mencapai penguasaan IPTEK yaitu:
o    Melakukan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang IPTEK yang dengan pembangunan bangsa.
o    Mengembangkan konsep masyarakat teknologi dan industri serta melakukan usaha serius dalam merealisasikan konsep tersebut.
o    Adanya transfer, aplikasi dan pengembangan lebih jauh dari teknologi yang diarahkan pada pemecahan masalah-masalah nyata.
o    Kemandirian teknologi, tanpa harus bergantung ke luar negeri.
o    Perlu adanya perlindungan terhadap teknologi yang dikembangkan di dalam negeri hingga mampu bersaing di arena internasional.
Sementara itu pendidikan Islam yang tugas pokoknya menelaah dan menganalisis serta mengembangkan pemikiran, informasi dan fakta-fakta kependidikan yang sama sebangun dengan nilai-nilai ajaran Islam dituntut harus mampu mengetengahkan perencanaan program-program dan aktivitas-aktivitas operasional kependidikan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan IPTEK sebagaimana digambarkan di atas.
Strategi pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan modernisasi berkat kemajuan IPTEK itu mencakup ruang lingkup:
o  Motivasi kreatifitas anak didik ke arah pengembangan IPTEK itu sendiri, dimana nilai-nilai Islam menjadi sumber acuannya.
o  Mendidik keterampilan, memanfaatkan produk IPTEK bagi kesejahteraan hidup umat manusia umumnya dan umat Islam pada khususnya.
o  Menciptakan jalinan yang kuat antara ajaran agama dan IPTEK, dan hubungan yang akrab dengan para ilmuwan yang memegang otoritas IPTEK dalam bidang masing-masing.
o  Menanamkan sikap dan wawasan yang luas terhadap kehidupan masa depan umat manusia melalui kemampuan menginterpretasikan ajaran agama dari sumber-sumbernya yang murni dan dengan masa depan kehidupan manusia.
Jadi kesanalah pendidikan Islam diarahkan, agar pendidikan Islam tidak hanyut terbawa arus modernisasi dan kemajuan IPTEK. Strategi tersebut merupakan sebagian solusi bagi pendidikan Islam untuk bisa lebih banyak berbuat. Kendatipun demikian, pendidikan Islam tentu saja tidak boleh lepas dari Idealitas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berorientasikan kepada hubungan manusia dengan Allah SWT. (Hablumminallah), hubungan manusia dengan sesamanya (Hablumminannas) dan dengan alam sekitarnya.
Dari ketiga orientasi tersebut, tampaknya hubungan dengan alam sekitar menjadi dasar pengembangan IPTEK, sedang Hablumminallah menjadi dasar pengembangan sikap dedikasi dan moralitas yang menjiwai pengembangan IPTEK, sedang Hablumminannas menjadi dasar pengembangan hidup bermasyarakat yang berpolakan atas kesinambungan, keserasian, dan keselarasan dengan nilai-nilai moralitas yang berfungsi menentramkan jiwa manusia, sehingga terciptalah kedamaian.
Dengan demikian apa dan bagaimanapun produk-produk hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan senantiasa bernilai positif, serta mendatangkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia.

2.6 Analisis Lingkungan Eksternal Lembaga Pendidikan Islam
Analisis lingkungan eksternal berupa pencermatan dan identifikasi terhadap kondisi lingkungan di luar organisasi yang dapat terdiri dari lingkungan ekonomi, teknologi, sosial, budaya, politik, ekologi, keamanan, kenyamanan, dan lain-lain pencermatan ini akan menghasilkan  indikasi menganai peluang (opportunities) dan tantangan (threas) organisasi dalam mewujudkan tujuan dan sasaran organisasi.
Lembaga pendidikan Islam perlu menangani masyarakat atau hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat. Kita harus menyadari bahwa masyarakat memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberadaan, keberlangsungan bahkan kemajuan lembaga pendidikan Islam. Setidaknya salah satu parameter penentu nasib lembaga pendidikan Islam adalah masyarakat. Bila ada lembaga pendidikan Islam maju, hampir bisa dipastikan salah satu faktor keberhasilan adalah keterlibatan masyarakat yang maksimal. Begitu pula sebaliknya, bila ada lembaga pendidikan Islam yang memperihatinkan, salah satu penyebabnya bisa jadi masyarakat enggang mendukung. Sikap masyarakat ini bisa jadi akibat dari hal lain dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan Islam, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Masyarakat memiliki posisi ganda dalam lembaga pendidikan Islam, yaitu sebagai objek dan sebagi subjek yang keduanya memiliki makna fungsional bagi pengadaan lembaga pendidikan Islam. Ketika lembaga pendidikan Islam sedang melakukan promosi penerimaan siswa/santri dan mahasiswa baru maka masyarakat menjadi objek mutlak dibutuhkan. Sementara itu respon terhadap promosi itu menempatkan mereka sebagai subjek yang memiliki kewenangan penuhuntuk mnerima tau menolaknya.
Selain itu hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain sebagai berikut :
a.       Memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak.
b.      Memperkukuh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat.
c.       Menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
d.      Analisis peranan pemerintah dan Yayasan
Dalam menghadapi kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada pengembangan lembaga pendidikan, pengelola harus mampu memiliki jiwa untuk berbesar dan menanggung apa yang terjadi dikemudian hari terhadap terhadap kebijakan tersebut.
Umumnya ketidaksesuaian kebijakan dengan apa yang ada di atas kertas dengan apa yang ada di lapangan dikarenakan tidak adanya kebijakan pendukung. Misalnya seperti penerapan kebijakan dalam menjalankan standar nasional pendidikan dalam bidang proses pembelajaran seperti yang tertuang dalam permendiknas No. 22,23 dan 24 tahun 2006, yang mengamanatkan agar sekolah atau madrasah melaksanakan proses pembelajaran yang terencana dibuktikan dengan adanya para guru yang membuat silabus dan RPP. Kebijakan ini sebenarnya adalah langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pembelajaran yang efektif. Namun awalnya kebijakan ini juga berjalan tersendak-sendak dikarenakan ketika menerima kebijakan tersebut para pengelola madrasah merasa kelebihan karena kebijakan tersebut tidak ditkuti dengan kebijakan pendukung seperti pengadaan pelatihan pembuatan silabus dan RPP yang merata diseluruh Indonesia, bantuan dana serta teknologi informasi dan komunikasi yang berkaitan dengan hal tersebut.














BAB III
KESIMPULAN



3.1 Lingkungan dalam lembaga pendidikan Islam adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam berbagai kajian pendidikan, tidak banyak yang mengemukakan pengertian lingkungan pendidikan Islam. Namun dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
3.2 Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga-lembaga pendidikan selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut: Rumah (al-bait), Masjid dan Suffah, Al-kuttab,Surau, dan TPA, Madrasah, Al-Zawiyah, Al-Ribath, Al-Maristan, Al-Qushur (istana), Hawanit al-Waraqin, Al-Shalunat al-Adabiyah, Al-Badiyah, dan Al-Maktabat.
3.3  Sifat dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam, antara lain:
a) Lembaga pendidikan islam bersifat holistic, terdiri  dari lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal, b) Lembaga pendidikan islam bersifat dinamis dan inovatif, c) Lembaga pendidikan islam bersifat responsive dan fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab berbagai kebutuhan masyarakat, d) Lembaga pendidikan islam bersifat terbuka, yakni dapat diakses atau digunakan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang keahlian, status social, ekonomi, budaya dll. e) Lembaga pendidikan islam berbasis pada masyarakat, f) Lembaga pendidikan islam bersifat religious.
3.4 Faktor-faktor eksternal yang dihadapi lembaga pendidikan Islam, meliputi :
a) Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam, b) Paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. c) Paradigma masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. d) Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. e) Konformisme kurikulum dan sumber daya manusia. f) Perubahan Sosial Politik. g) Perubahan Orientasi. h) tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan filsafat, i) Egosentris Ormas Islam.
3.5 Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan Lembaga Pendidikan Islam antara lain Faktor Budaya, faktor adanya kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang sudah ada (agama), faktor adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern, faktor Ideologi Negara, faktor Perkembangan Masyarakat, dan faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan.
3.6 Analisis Lingkungan Eksternal Lembaga Pendidikan Islam
Analisis lingkungan eksternal berupa pencermatan dan identifikasi terhadap kondisi lingkungan di luar organisasi yang dapat terdiri dari lingkungan ekonomi, teknologi, sosial, budaya, politik, ekologi, keamanan, kenyamanan, dan lain-lain pencermatan ini akan menghasilkan  indikasi menganai peluang (opportunities) dan tantangan (threas) organisasi dalam mewujudkan tujuan dan sasaran organisasi.




















DAFTAR PUSTAKA




Altaf Gauhar. 1996. Tantangan Islam dalam Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Raja Persada.

Bell, Daniel, 1996. The Coming of Post Industrial Society dalam Hasbullah, Kapita selekta pendidikan    Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Hasbullah. 1996. Kapita selekta pendidikan Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

M. Arifin. 1993. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum).Jakarta: Bumi Aksara.

Nata, Abuddin. 2006. Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : UIN JAKARTA PRESS.cet. I

Nata, Abuddin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam.  Jakarta : Gramedia Widiasarana.

Nata, Abuddin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Nata, Abuddin. 2005. Pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press,

Noer, Deliar. 1987. Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Mutiara.

Owens, Edgar & Shawn, Robert. 1980.  Pembangunan Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rachmat, Jalaluddin. 1989. Dalam Artikelnya “Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga”, dalam  Ulumul Qur’an, vol. 2.

Zuhairini dkk. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.






1 komentar: