“Analisis
Lingkungan Eksternal Lembaga Pendidikan Islam”
Oleh: Abdulchalid Badarudin
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KOSENTRASI SUPERVISI PENDIDIKAN ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lingkungan eksternal dalam lembaga pendidikan Islam yang
nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan
turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.
Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan
sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Dalam
lembaga pendidikan Islam, lingkungan eksternal biasanya disamakan dengan
institusi atau lembaga pendidikan di luar tubuh lembaga resmi. Meskipun kajian
ini tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat
beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan eksternal tersebut.
Oleh karena itu, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan
mendapat perhatian. Pengaruh lingkungan eksternal ini tentu dianalisis dengan
menggunakan paradigma pendidikan Islam yakni analisis SWOT untuk melihat
tantangan, peluang dan harapan lingkungan eksternal itu sendiri. Lingkungan eksternal
dalam perspektif pendidikan Islam harus menunjang tercapainya tujuan pendidikan
Islam. Jika lingkungan eksternal tidak sinergis dengan lingkungan internal
dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan, maka ketercapaian tujuan pendidikan
Islam sangat sulit dilakukan.
Dalam perspektif pendidikan Islam, lingkungan eksternal
dapat memberi pengaruh yang positif atau negative terhadap pertumbuhan jiwa dan
kepribadian anak. Pengaruh lingkungan yang dapat terjadi pada anak di antaranya
adalah akhlak dan sikap keberagamaannya. Mengingat besarnya pengaruh lingkungan
terhadap kepribadian dan watak anak, maka dalam perspektif pendidikan Islam
lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan fisiologis, psikologis dan
sosio-kultural.
Dari uraian di atas dapat diketahui pentingnya lingkungan
eksternal lembaga pendidikan Islam terhadap terjadinya proses pendidikan
terutama pendidikan Islam. Sehingga kita akan menguraikan makalah ini yang
berjudul “Analisis Lingkungan Eksternal
Lembaga Pendidikan Islam”. Sebagai pelaksana program pendidikan, lembaga
pendidikan adalah pemeran utama untuk melaksanakan program tersebut. Dalam
pelaksanaan program-program serta tujuan yang telah disepakati oleh lembaga
pendidikan tersebut tentunya tidak bisa terlepas dengan problematika maupun
persoalan-persoalan lain yang harus diselesaikan oleh sebuah lembaga pendidikan
termasuk lembaga pendidikan Islam.
Setiap pimpinan lembaga atau perusahaan tidak
menginginkan perusahaannya jatuh bangrut begitupun dengan lembaga pendidikan
tidak ada yang menginginkan jatuh terprosok hanya karena persoalan salah
manajemen atau pengelolaan. Masalah pendidikan bukan merupakan masalah baru
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Berdasarkan masalah pendidikan, tidak
lepas problematika yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam. Perhatian
tersebut tidak lepas dari akar sejarah lembaga pendidikan islam yang
memunculkan madrasah dan sekolah. Selaras dengan tuntutan zaman, lembaga
pendidikan Islam pun berkembang. Persoalan-persoalan yang timbul baik berupaa
faktor intern maupun ekstern.Faktor intern misalnya terkait dengan kurikulum,
tenaga pendidik, perserta didik dan lain-lain, sedangkan faktor eksternnya
adalah faktor-faktor sosial (masyarakat), pemerintahan maupun pihak-pihak yang
terkait. Sebuah lembaga pendidikan Islam tentunya harus mengetahui problematika
lembaganya, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman sehingga
bisa melahirkan solusi-solusi cemerlang dan bisa mengantarkan lembaga
pendidikan Islam pada kedudukan yang sangat berpengaruh dalam pergulatan keilmuan
bangsa maupun dunia.
Sehubungan dengan hal tersebut E. Mulyasa menyatakan bahwa perkembangan yang
terjadi dewasa ini cenderung menimbulkan permasalahan dan tantangan baru
berdampak luas terhadap tugas-tugas pengelolaan pendidikan. Perbaikan
mutu secara terus menerus berorientasi pada masukan, proses, luaran, dll. Inti
sumber perbaikan bukanlah pada fisiknya, melainkan pada peningkatan
profesionalitas manusia pengelola atau pelaksana lembaga pendidikan Islam.
Untuk mengukur tingkat keberhasilan, kekuatan dan kelemahan maka analisis SWOT
merupakan salah satu alternatif yang digunakan dalam mengnalisis manajemen
pendidikan, khusunya lembaga pendidikan Islam.
1.2
Konteks Pembahasan
Konteks
pembahasan pada makalah ini analisis lingkungan eksternal lembaga pendidikan
Islam.
1.3 Rumusan
Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas, kami mencoba
merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai kerangka acuan dalam
pembahasannya, sebagai berikut :
1.
Apa pengertian lingkungan Lembaga
Pendidikan Islam?
2.
Apa saja yang termasuk dalam Lembaga
Pendidikan Islam?
3.
Bagaimana sifat dan karakter Lembaga
Pendidikan Islam?
4.
Faktor eksternal apa saja yang dihadapi
pendidikan Islam?
5.
Faktor eksternal apa saja yang
mempengaruhi kebijakan Lembaga Pendidikan Islam?
1.4 Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
1.
Untuk memperoleh gambaran tentang pengertian
lingkungan Lembaga Pendidikan Islam.
2.
Untuk mengetahui macam-macam lembaga
Pendidikan Islam.
3.
Untuk mendeskripsikan sifat dan karakter
Lembaga Pendidikan Islam.
4.
Untuk mengidentifikasi factor-faktor eksternal apa saja yang dihadapi pendidikan
Islam.
5.
Untuk mendeskripsikan faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi kebijakan Lembaga Pendidikan Islam.
1.5 Kegunaan
Penulisan
Dalam penulisan makalah ini,
penulis mempunyai sebuah harapan agar makalah ini kelak bisa berguna untuk
orang banyak, selain itu ada beberapa harapan penulis tentang kegunaan penulisan makalah ini di antaranya
sebagai berikut:
1. Untuk dunia
pendidikan; kiranya dapat
memperluas pengetahuan pembaca
tentang lingkungan eksternal lembaga
pendidikan Islam.
2. Untuk penulis; digunakan
untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Dosen. Selain itu penulisan makalah ini untuk memperkaya pengetahuan bagi penulis.
1.6 Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sumber
data dari data-data kepustakaan (penelitian literatur) yang diperoleh dari
pelbagai literatur buku dan juga sumber data dari data-data yang diambil
melalui media internet.
Sedangkan dalam
metode penulisannya, penulis menggunakan berbagai metode adalah metode induktif, yakni pembahasan yang
dimulai dengan mengemukakan fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dari
fakta-fakta tersebut dicari generalisasinya (kesimpulan yang bersifat
umum).
1.7 Kerangka Berpikir
Kerangka
berpikir dalam makalah ini dapat digambarkan sebagai berikut :
![]() |
![]() |
||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
![]() |
|||||||||||||
![]() |
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam
Dalam literatur
pendidikan, lingkungan pada suatu lembaga pendidikan biasanya disamakan dengan
institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam
Al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang
menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karena itu, dalam
kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.
Lingkungan dalam lembaga
pendidikan Islam adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu
berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang
berlangsung. Dalam berbagai kajian pendidikan, tidak banyak yang mengemukakan
pengertian lingkungan pendidikan Islam. Namun dapat dipahami bahwa lingkungan
pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri
ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Benar, bahwa
lingkungan pendidikan Islam tidak dijelaskan secara langsung dalam Al-Quran,
kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan
sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para
sastrawan, madrasah, dan universitas. Walaupun
begitu, Al-Quran tetap memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat
sesuatu. Dikenal dengan istilah al-qaryah, sebagai tempat
tinggal mnausia umumnya yang dapat dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya,
tingkah laku pendidiknya, serta tempat tinggal para nabi. Hal ini menunjukkan
bahwa lingkungan juga merupakan faktor penting dalam pendidikan.
Dalam
kamus Umum Bahasa Indonesia, kosakata lembaga memiliki empat arti, yaitu: Asal
mula (yang akan jadi sesuatu); benih (bakal binatang, manusia, dan tumbuhan;
misalnya Adam, segumpal tanah yang dijadikan manusia pertama) Bentuk (rupa,
wujud) yang asli acuan Ikatan (tentang mata cincin dan sebagainya) Badan
(organisasi) yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau
melakukan sesuatu usaha, misalnya bahasa Indonesia.
Dalam
bahasa inggris, kata lembaga biasanya digunakan sebagai terjemahan dari kata
institution, dan selanjutnya menjadi kata institusionalisasi atau
institusionalization yang berarti pelembagaan. Dalam bahasa Arab kata lembaga
biasanya merupakan terjemahan dari kata muassasah yang berarti foundation
(dasar bangunan), establishment (mendirikan bangunan), firm (lembaga).
Dari
uraian di atas penulis menyimpulkan bawa lingkungan lembaga pendidikan Islam merupakan
lingkungan yang dapat menunjang suatu proses kependidikan atau bahkan secara
langsung maupun tidak langsung digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan
pendidikan Islam. Dan dari sisi pendidikan Islam, lingkungan pendidikan Islam
merupakan suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang
memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik. Sedangkan lembaga
pendidikan eksternal adalah tempat terjadinya transformasi pengetahuan/ ilmu
yang meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan
kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Lembaga pendidikan ekternal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil dari lembaga pendidikan eksternal dapat
dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses
penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan
pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan. Adapun
pendidikan eksternal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau ingin
melengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat,
yang berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian profesional.
Semua
penjelasan di atas mengarah pada tujuan dari pendidikan Islam yakni mencapai
ridla Allah. Dengan pendidikan diharapkan akan lahir individu-individu yang
baik, bermoral, berkualitas sehingga bermanfaat bagi dirinya, keluarganya,
masyarakatnya, bangsanya serta umat manusia pada umumnya. Manusia adalah fokus
utama dari pendidikan. Ia terdiri dari jasmani dan rohani. Karenanya institusi
pendidikan seharusnya lebih memfokuskan perhatiannya kepada substansi
kemanusiaan, membuat system yang mendukung kepada terbentuknya manusia
yang baik. Pendidikan diharapkan mampu mengantarkan anak didik untuk memiliki
kemakmuran materi dan juga individu yang memiliki kebahagiaan dunia dan
akherat. Tujuan pendidikan identik dengan gambaran manusia terbaik menurut
orang-orang tertentu. Kualitas hidup seseorang ditentukan oleh pandangan
hidupnya. Bila pandangan hidupnya berupa agama, maka manusia yang baik yang
menjadi tujuan pendidikan adalah manusia yang baik menurut agamanya. Dalam Al-quran
Allah Berfiman dalam Surat Al_Baqarah ayat 1-5 :
$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu‘ ¡ Ïm‹Ïù ¡ “W‰èd z`ŠÉ)FßJù=Ïj9 ÇËÈ tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sムÍ=ø‹tóø9$$Î/ tbqãK‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%y—u‘ tbqà)ÏÿZムÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sム!$oÿÏ3 tAÌ“Ré& y7ø‹s9Î) !$tBur tAÌ“Ré& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qムÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré& 4’n?tã “W‰èd `ÏiB öNÎgÎn/§‘ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ
Artinya : Alif laam miin, Kitab (Al Quran) ini tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Alif,
Lam, miim, ayat yang cukup singkat, tetapi sangat dalam maknanya, hanya Allah
yang tahu rahasianya. Sudah cukup lama para ulama Al-Qur’an berbeda pendapat.
Allahu A’lam, hanya Allah yang mengetahui, itulah jawaban yang dikemukakan oleh
para ulama abad pertama hingga abad ketiga. Tampaknya jawaban Allabu A’lam
yakni Allah lebih mengetahui masih diangap jawaban yang relevan sampai saat
ini, meskipun demikian jawaban itu masih dianggap kurang memuaskan. Pada ayat
ini menggunakan isyarat jauh untuk menunjuk Al-Qur’an. Semua ayat yang menunjuk
kepada firman-firman Allah dengan nama al-Qur’an (bukan al-Kitab) yang mengarah
pada isyarat dekat “hadzal Qur’an”. Penggunaan isyarat jauh ini bertujuan
memberi kesan bahwa kitab suci ini berada dalam kedudukan tinggi dan sangat
jauh dari jangkauan makhluk, karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi
Maha Bijaksana, sedang penggunaan kata “hadza ini” untuk menunjukkan betapa
dekat tuntunan-tuntunannya pada fitrah manusia.
Dalam hal ini pula yang dimaksud dengan orang-orang
bertakwa adalah orang yang mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima petunjuk
atau yang telah mendapatkannya tetapi masih mengharapkan kelebihan, karena
petunjuk Allah tidak terbatas.
2.2
Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam
Di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, secara eksplisit
tidak disebutkan secara khusus mengenai adanya lembaga-lembaga pendidikan,
sekolah atau madrasah. Yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis yaitu
nama-nama tempat yang baik yang selanjutnya dapat digunakan untuk kegiatan
pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, seperti masjid, rumah, majelis, dan
lain-lain. Lembaga-lembaga pendidikan selengkapnya dapat dikemukakan sebagai
berikut:
o
Rumah (al-bait)
o
Masjid dan Suffah
o
Al-kuttab,Surau, dan TPA
o
Madrasah
o
Al-Zawiyah
o
Al-Ribath
o
Al-Maristan,
o
Al-Qushur (istana)
o
Hawanit al-Waraqin
o
Al-Shalunat al-Adabiyah
o
Al-Badiyah,
o
Al-Maktabat
2.3
Sifat dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam
o
Lembaga pendidikan islam bersifat
holistic, terdiri dari lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal.
o
Lembaga pendidikan islam bersifat
dinamis dan inovatif
o
Lembaga pendidikan islam bersifat
responsive dan fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab
berbagai kebutuhan masyarakat.
o
Lembaga pendidikan islam bersifat
terbuka, yakni dapat diakses atau digunakan seluruh lapisan masyarakat dengan
berbagai latar belakang keahlian, status social, ekonomi, budaya dll.
o
Lembaga pendidikan islam berbasis pada
masyarakat.
o
Lembaga pendidikan islam bersifat
religious.
2.4
Faktor-faktor eksternal yang dihadapi lembaga pendidikan Islam, meliputi :
1) Adanya
perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Alokasi dana yang
diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di
lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu urusan kementerian Agama atau
Dinas Pendidikan, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak
terjadi kesenjangan, padahal pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan
bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
2) Paradigma
birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan
sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap
bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Dinas
Pendidikan. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak
atau lulusan pendidikan Islam.
3) Paradigma
masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. Lembaga
pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat
diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering kita
temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi
indicator rendahnya kepercayaan mereka terhadap lembaga pendidikan islam.
4) Posisi
dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih
dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai
pendidikan alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran
madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada
ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis atau badan-badan/
yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang lebih parah lagi, kasus teroris yang
dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Islam. Ini mungkin menjadi alasan
yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang
ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk
menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga
ilmu bisa terwujud.
5) Konformisme
kurikulum dan sumber daya manusia. Konformisme atau cepat merasa puas dengan
keadaan yang ada menjadi kendala mendasar dalam mengembangkan kurikulum
pendidikan Islam. Lembaga pendidikan dasar dan menengah masih menggunakan model
kurikulum lama dengan mengandalkan pendidikan dasar agama sebagai bekal
mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat. Pembahasan yang
diajarkan pun masih banyak menekankan aspek normatif dengan (mohon maaf) mengesampingkan
aspek transformatif dalam konteks sosio-kultural masyarakat kita. Jangan kaget,
apabila ada sekelompok ikhwan yang sudah merasa cukup hanya dengan mengkaji
ilmu-ilmu keislaman yang datang dari tokoh-tokoh salaf dan menganggap tabu
ilmu-ilmu lain (kontemporer) yang sebenarnya sama pentingnya. Dunia ini jauh
lebih kompleks daripada yang kita pelajari dan bayangkan selama berada di
tempat belajar. Indonesia tidak mungkin dilihat hanya melalui kaca mata sempit.
Bagaimana kita akan mampu mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan keterbatasan
kalau kita hanya belajar zaidun qo’imun (istilah penulis)? Lembaga-lembaga
Islam seperti pesantren perlu melepaskan diri dari keterkungkungan dan
memodernisasi sistem dan metode pendidikannya agar tidak tertinggal dengan
perkembangan keilmuan modern.
6) Perubahan
Sosial Politik. Iklim sosial politik kita yang tidak menentu ikut memberi warna
pada dunia pendidikan Islam. Sebagai negara demokrasi, politik merupakan hal
yang tak bisa terhindarkan. Bahkan, tidak sedikit ulama (pengampu pendidikan
Islam) menceburkan diri dalam kancah politik praktis. Mereka yang seharusnya
berperan sebagai wasit, malah ikut andil menendang bola. Lalu apa yang terjadi
dengan umat yang ditinggalkannya? Santri-santrinya? Lembaga pendidikannya?
(biar mereka sendiri yang menjawab).
7) Perubahan
Orientasi. Sang Proklamator Bung Hatta pernah mengatakan, agama hidup di
masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan
perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan
tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan
perkembangan masyarakat. Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita dan para tokoh
agama merespon wejangan Sang Proklamator? Atau kita hanya menghormati dan
mengingat beliau sebatas mengikuti ritual 17 Agustus-an tanpa mengindahkan
gagasan-gagasan beliau?
8) Tidak
sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan filsafat, bahkan ilmu
sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu
pengetahuan. Kejumudan intelektual akut sedang dialami umat. Orientasi dari
sekedar mendidik untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama harus di rekonstruksi
menjadi paham terhadap ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu humaniora.
9) Egosentris
Ormas Islam
Pendidikan
Islam (di Indonesia) jalan di tempat. Setelah lewat masa puluhan tahun,
lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak menunjukkan kemajuan kinerjanya yang
berarti. Sebagai contoh, gerakan pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan
organisasi Muhammadiyah, NU, Hidayatullah, Al-Irsad, Nahdatul Watan, dan
lain-lain lebih banyak menekankan pada aspek kuantitatif, belum menajam pada
aspek pembangunan mutu (kualitatif). Dari berbagai tolok ukur (fasilitas,
manajemen, sdm, kurikulum), rata-rata pendidikan Islam belum duduk dalam
barisan “papan atas”. Pendidikan Islam mengalami kekurangan sumberdaya manusia,
sumberdaya pemikiran, sumber daya dana, sumber-sumber belajar. Pendidikan Islam
kurang didukung oleh riset dan pengembangan yang berkelanjutan, baik yang
dilakukan oleh individu masyarakat ataupun oleh pemerintah. Hasilnya, model
pengelolaan institusi dan pendekatan pembelajaran tidak mengalami perkembangan
yang berarti. Boleh jadi, krisis pengembangan ini diakibatkan pula oleh
lemahnya komitmen dan alokasi pendanaan bagi kemajuan pendidikan Islam. Sedikit
pihak penyandang dana (baik dari APBN, dari masyarakat, ataupun dari) anggaran
belanja Negara
Dari fenomena di atas penulis setidaknya memberikan
solusi antara lain ; diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi
terkait dengan pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal,
yaitu pendidikan islam yang membina potensi spiritual, emosional dan
intelegensia secara optimal. Ketiganya terintegrasi dalam satu
lingkaran.yang akhirnya membentuk paradigma baru di masyarakat tentang kualitas
yang menarik dari sekolah-seolah Islam. Dengan demikian sikap diskriminatif dan
masalah paradigm yang buruk tentang kualitas pendidikan di Sekolah Islam dapat
perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated curriculum, proses
pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian
lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan,
menciptakan output pendidikan yang baik, apabila menginginkan pendidikan Islam
kembali survive di tengah perubahan masyarakat. Lembaga Pendidikan pada
dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia yang dalam konsep
dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor dan
diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran dan model dari
orang yang memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang
diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik
pemerintahan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan
perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan
pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca kemerdekaan hingga
masuknya Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi bahkan hampir saja
menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan “Indonesia bukanlah
negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh
pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk
sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20 Tahun 2003,
yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Hingga
saat ini kita menyadari bahwa secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam di
Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan, antara lain :
1)
kelemahan sumber daya manusia (SDM),
manajemen maupun dana. Sementara itu kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga
pendidikan ingin tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan
yang semakin kompetitif seperti sekarang ini harus didukung oleh ketiga hal
tersebut, yaitu sumber daya manusia, manajemen dan dana.
2)
kita menyadari bahwa saat ini lembaga
pendidikan tinggi Islam masih belum mampu mengupayakan secara optimal
mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita idealnya. Di sisi lain masyarakat
masih memposisikan lembaga pendidikan Islam sebagai pilar utama yang menyangga
kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-citanya, yaitu memberi rahmat bagi
seluruh alam.
3)
kita masih melihat lembaga pendidikan
tinggi Islam belum mampu mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih
melihat bahwa masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti
pada dataran simbol dan formalistik.
4)
pada saat ini kita hidup dalam era
reformasi. Pada era ini kecenderungan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat
madani demikian kuat, yaitu masyarakat yang menunjang tinggi nilai-nilai
kemanusiaan seperti nilai-nilai keadilan, kebersamaan, kesederajatan,
kemitraan, kejujuran dan sebagainya.
5)
hingga saat ini posisi lembaga
pendidikan tinggi Islam, bahkan juga pada lembaga pendidikan Islam yang ada di
bawahnya masih kurang diminati oleh masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih
memilih sekolah pada lembaga pendidikan yang tidak menggunakan label Islam.
Berbagai kelemahan di atas paling tidak merupakan
persoalan yang harus dijawab oleh sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia
saat ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan memegang amanat tertinggi bangsa
ini sebagai sarana untuk membina dan membangun manusia seutuhnya,
sebagaimana tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
2.5
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan Lembaga Pendidikan Islam
1) Faktor
Budaya
Di
dalam proses pembudayaan manusia, keberadaan pendidikan mutlak diperlukan.
Bukan saja karena ia merupakan produk sejarah dan masyarakat, melainkan juga
karena peranannya yang asasi dalam pembentukan hari depan. Di atas peranannya
ini terletak tugas dan tanggung jawab kultural edukatif terhadap anak didik dan
masyarakat. Dalam perjalanan sejarahnya, sebuah kegiatan pendidikan ditentukan
oleh visi, misi dan sifat yang melatar belakanginya. Dalam berbagai referensi
kita masih belum menjumpai rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan
Islam tersebut secara eksplisit. Yang ada pada umumnya adalah rumusan tentang
tujuan, kurikulum, metode belajar mengajar, kriteria guru dan berbagai aspek
pendidikan lainya. Rumusan tentang visi, misi dan sifat pendidikan Islam yang
demikian penting itu belum sempat terpikirkan, walaupun berbagai isyarat di
dalam al-Qur’an, al-Hadits dan berbagai sumber ajaran Islam lainnya, rumusan
tentang visi, missi dan sifat pendidikan Islam tersebut dapat dirumuskan.
Visi
pendidikan Islam sesungguhnya melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yang
terkait dengan visi kerasulan para Nabi, mulai dari visi kerasulan Nabi Adam
AS. hingga kerasulan Nabi Muhammad SAW, yaitu membangun sebuah kehidupan
manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah SWT serta membawa rahmat bagi
seluruh alam.
2) Faktor
adanya kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai
yang sudah ada (agama). Standar-standar kehidupan
dilaksanakan oleh kekuatan-kekuatan yang berpijak pada materialisme dan
sekularisme. Dan inilah titik sentral masalah modernisasi yang menjadi akar
timbulnya masalah-masalah di semua aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, ekonomi,
budaya maupun politik. Ketika menghadapi tantangan-tantangan modernisasi dan
polarisasi ideologi dunia, terutama didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, pendidikan Islam tidak terlepas dari tantangan yang menuntut
jawaban segera.
3) Faktor
adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern yang berupa
pemusatan pengetahuan teoritis. Ini berarti bertambahnya ketergantungan manusia
pada ilmu pengetahuan dan informasi sebagai sumber strategis pembaharuan. Tidak
terpenuhinya kebutuhan ini akan menimbulkan depersonalisasi dan keterasingan
dalam dunia modern. Dalam menghadapi tantangan di atas, sudah barang tentu
pendidikan Islam harus memperhitungkan kekuatan arus yang mengitarinya seperti
sistem Barat yang bercorak sekuler dan telah memasuki semua aspek kehidupan
manusia. Begitu juga halnya modernisasi harus dipahami sebagai proses alamiah
dalam evolusi kehidupan manusia. Pemahaman sebagaimana di atas menuntut
kepekaan terhadap gejolak perubahan dengan segala implikasinya serta kemampuan
baru untuk menerjemahkan setiap perubahan ke dalam proses pendidikan. Dengan
cara seperti itu akan membuka kemungkinan untuk melahirkan pribadi-pribadi
muslim yang kelenturan berpikir, daya intelektual serta keterbukaan dalam
menghadapi perubahan cara hidup. Bertolak dari kenyataan tersebut, dalam
konteks perubahan sosial ini pendidikan Islam mempunyai misi ganda, yaitu:
o
Mempersiapkan manusia muslim untuk
menghadapi perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi,
mengendalikan dan memanfaatkan perubahan-perubahan tersebut, menciptakan
kerangka berpikir yang komprehensif dan dinamis bagi terselenggaranya proses
perubahan yang berada diatas nilai-nilai Islam.
o
Memberikan solusi terhadap ekses-ekses
negatif kehidupan modern yang berupa depersonalisasi, frustasi dan keterasingan
umat dari dunia modern.
Tentunya,
kedua misi tersebut di atas mengisyaratkan tugas berat yang dihadapi pendidikan
Islam dewasa ini. Dan diperlukan suatu kerangka pandang yang komprehensif dan
relevan dalam mengantisipasi setiap perubahan sosial sebagai akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Misi pendidikan Islam itu juga mengisyaratkan
perlunya mengaitkan pendidikan Islam dengan masa depan. Pendidikan Islam yang
tidak berorientasi ke masa depan akan ketinggalan zaman dan tidak adaptif.
4) Faktor
Ideologi Negara
Antara
pendidikan Islam dan pendidikan nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain. Hal ini dapat ditelusuri dari dua segi: Pertama,
dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional Indonesia itu sendiri. Kedua,
dari hakikat pendidikan Islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di
Indonesia. Penyusunan suatu sistem pendidikan nasional harus mementingkan
masalah-masalah eksistensi umat manusia pada umumnya dan eksistensi bangsa
Indonesia pada khususnya baik dalam hubungannya dengan masa lampau, masa kini
dan kemungkinan-kemungkinan perkembangan masa depan. Eksistensi bangsa
Indonesia terwujud dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945,
di mana bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat
penuh. Bangsa Indonesia telah bertekad bulat untuk membangun dan mengembangkan
bangsa dengan Pancasila sebagai landasan Ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai landasan konstitusionalnya. Sejak dari awal Indonesia merdeka,
pemerintah telah menempatkan agama sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan
negara. Hal ini dapat kita baca dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembukaan
UUD 1945 alinea ketiga dinyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah
semata-mata atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan pada alinea keempat
dinyatakan bahwa Pancasila menjadi dasar negara.
Namun
apabila ditengok kembali perjalanan sejarah para pemimpin nomor satu di
negeri ini dalam menafsirkan ideologi Pancasila dan mengimplementasikannya
terhadap pendidikan Islam, dapat di bagi menjadi tiga orde ( masa ) :
o
Orde Lama
Pancasila
sebagai ideologi negara dianggap telah mewakili cita-cita semua agama dan
golongan, termasuk umat Islam. Bahkan Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa
semua agama itu sama, karena semua agama bertujuan untuk mencapai kebaikan
hidup manusia. Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya berulangkali
berhasil “menjinakkan” dan mementahkan perjuangan politik Islam yang kemudian
berimbas ke pendidikan Islam. Penjinakan itu berupa memarginalisasi partai
politik Islam dan aspirasi umat Islam dengan alasan menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Contoh kongkretnya adalah menghapus tujuh kata
dalam “Piagam Jakarta” dalam UUD 45 “Dengan Kepercayaan Terhadap Allah Yang
Maha Kuasa”.
o
Orde Baru
Pada
awal-awal pemerintahannya Presiden Soeharto mengadakan konsolidasi yang
diiringi dengan kebijakan yang represif terhadap islam. Karena Soeharto melihat
Islam sebagai ancaman. Maka antara Pemerintah dan islam selalu ada hubungan
antagonis yaitu hubungan yang saling curiga dan saling tidak percaya. Pada
pertengahan pemerintahannya Presiden Suharto mencetuskan idiologi Pancasila
sebagai asas tunggal untuk partai politik dan keagamaan. Hubungan antara
pemerintah dan umat Islampun makin menegang. Peristiwa “ Tanjung Priok “ 12
September 1984, yang memakan ratusan korban adalah salah satu contohnya.
o
Orde Reformasi
Dengan
bergulirnya masa reformasi yang ditandai dengan demokratisasi sebagai salah
satunya, membawa angin segar bagi pendidikan Islam atau lembaga pendidikan
Islam. Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 55 tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan
pada sisi managerial dan proses Pendidikan Islam. Peraturan Pemerintah (PP)
tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya Pendidikan Keagamaan
Islam dan Keagamaan diselenggarakan. Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan :
Pendidikan Keagamaan meliputi Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katholik,
Hindu, Budha dan Khonghucu. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan
ruang lingkup Pendidikan Keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama
disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola yaitu Menteri Agama. Hanya saja
realitas yang ada sampai saat ini masih terkesan, secara kelembagaan Pendidikan
Islam menempati posisi kedua setelah Pendidikan Nasional. Sebuah lembaga yang
menawarkan Pendidikan Islam kurang banyak diminati jika dibanding dengan
lembaga lain yang dianggap lebih menjanjikan. Dan sampai saat inipun, posisi
Pendidikan Islam belum beranjak dari sekedar sebuah subsistem dari sistem
Pendidikan Nasional.
5) Faktor
Perkembangan Masyarakat
Perkembangan
masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya mau tidak mau akan
menuju kepada masyarakat informasi (informatical
society) sebagai kelanjutan atau perkembangan dari masyarakat industri atau
modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri-ciri rasional, berorientasi ke
depan, bersikap terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif, maka
pada masyarakat informasi ciri-ciri tersebut belum cukup. Pada masyarakat
informasi, manusia selain harus memiliki ciri-ciri masyarakat modern pada
umumnya, juga harus memiliki ciri-ciri lain, yaitu menguasai dan mampu
mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba
ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi
peluang, dan menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi. Pada masyarakat informasi peranan media
elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak
kehidupan. Penggunaan teknologi elektronika seperti komputer, faksimile,
internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang
bercorak lokal dan nasional, kepada lingkungan yang bersifat internasional,
mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer
orang memasuki lingkungan informasi dunia. Peran media elektronik yang demikian
besar akan menggeser agen-agen sosialisasi yang berlangsung secara tradisional
seperti yang dilakukan orang tua, guru, pemerintah dan sebagainya. Komputer
dapat menjadi teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat,
juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban segera terhadap
pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan mendasar.
Kemajuan
dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan
dan kepribadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah
mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi
kebijakan dan ciri-ciri lain sebagaimana dimiliki oleh masyarakat modern.
Itulah
gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus
menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia
pendidikan, baik dari kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana dan
prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang
harus dijawab oleh dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Hal ini perlu
dilakukan jika dunia pendidikan Islam ingin tetap bertahan secara fungsional
dalam memandu perjalanan umat manusia.
Berkenaan
dengan hal tersebut perlu dilakukan upaya-upaya strategis, antara lain:
a. Tujuan
pendidikan di masa sekarang tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan, keimanan dan ketakwaan saja, tetapi juga harus diarahkan pada upaya
melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, mandiri, dan produktif, mengingat
dunia yang akan datang adalah dunia yang kompetitif.
b. Guru
di masa mendatang adalah guru yang selain memiliki informasi, berakhlak baik
dan mampu menyampaikannya secara metodologis, juga harus mampu mendayagunakan
berbagai sumber informasi yang tersebar di masyarakat ke dalam kegiatan
belajar. Dengan demikian pembelajaran harus lebih memusat pada siswa yang pada
gilirannya dapat menimbulkan masyarakat belajar.
c. Bahan
pelajaran umum dan agama perlu diintegrasikan dan diberikan kepada siswa
sebagai bekal yang memungkinkan ia dapat memiliki pribadi yang utuh, yaitu
pribadi disamping berilmu pengetahuan juga harus berakhlak mulia. Hal ini
penting karena kehidupan masa mendatang dihadapkan pada tantangan yang bersifat
moral. Untuk itu, perlu dikembangkan pengamalan akhlak di sekolah-sekolah.
6) Faktor
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan
teknologi dalam tiga dasawarsa ini telah menampakkan pengaruhnya pada setiap
dan semua kehidupan individu, masyarakat dan negara. Dapat dikatakan bahwa
tidak ada orang yang dapat menghindar dari pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), IPTEK bukan saja dirasakan individu, akan
tetapi dirasakan pula oleh masyarakat, bangsa dan negara. Kehadiran IPTEK di
negara-negara maju, sudah lama dirasakan pengaruhnya, karena pada negara-negara
tersebutlah kemajuan itu mula-mula dicapai. Sebaliknya bagi negara-negara
berkembang, pengaruh tersebut baru mulai dirasakan antara lain seperti dalam
bidang informasi, buku-buku, media TV, radio, video, internet dan lain
sebagainya.
Sekarang
yang menjadi persoalan sekaligus pertanyaan bagi kita tentunya adalah bagaimana
dengan eksistensi pendidikan Islam dalam menghadapi arus perkembangan IPTEK
yang sangat pesat tersebut. Bagaimanapun tampaknya pendidikan Islam (terutama
lembaganya) dituntut untuk mampu mengadaptasikan dirinya dengan kondisi yang
ada. Disamping dapat mengadaptasi dirinya, pendidikan Islam juga dituntut untuk
menguasai IPTEK, dan kalau perlu merebutnya.
Kenyataan
untuk merebut teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut adalah sangat penting,
sebab sekarang pembangunan nasional diarahkan dengan orientasi pada teknologi
industri, dalam hal ini tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Menurut
Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie, ada lima prinsip yang harus diikuti untuk mencapai
penguasaan IPTEK yaitu:
o
Melakukan pendidikan dan pelatihan
sumber daya manusia (SDM) dalam bidang IPTEK yang dengan pembangunan bangsa.
o
Mengembangkan konsep masyarakat
teknologi dan industri serta melakukan usaha serius dalam merealisasikan konsep
tersebut.
o
Adanya transfer, aplikasi dan
pengembangan lebih jauh dari teknologi yang diarahkan pada pemecahan
masalah-masalah nyata.
o
Kemandirian teknologi, tanpa harus
bergantung ke luar negeri.
o
Perlu adanya perlindungan terhadap
teknologi yang dikembangkan di dalam negeri hingga mampu bersaing di arena
internasional.
Sementara
itu pendidikan Islam yang tugas pokoknya menelaah dan menganalisis serta
mengembangkan pemikiran, informasi dan fakta-fakta kependidikan yang sama sebangun
dengan nilai-nilai ajaran Islam dituntut harus mampu mengetengahkan perencanaan
program-program dan aktivitas-aktivitas operasional kependidikan, terutama yang
berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan IPTEK sebagaimana digambarkan di atas.
Strategi
pendidikan Islam dalam menghadapi tantangan modernisasi berkat kemajuan IPTEK
itu mencakup ruang lingkup:
o
Motivasi kreatifitas anak didik ke arah
pengembangan IPTEK itu sendiri, dimana nilai-nilai Islam menjadi sumber
acuannya.
o
Mendidik keterampilan, memanfaatkan
produk IPTEK bagi kesejahteraan hidup umat manusia umumnya dan umat Islam pada
khususnya.
o
Menciptakan jalinan yang kuat antara
ajaran agama dan IPTEK, dan hubungan yang akrab dengan para ilmuwan yang
memegang otoritas IPTEK dalam bidang masing-masing.
o
Menanamkan sikap dan wawasan yang luas
terhadap kehidupan masa depan umat manusia melalui kemampuan
menginterpretasikan ajaran agama dari sumber-sumbernya yang murni dan dengan
masa depan kehidupan manusia.
Jadi
kesanalah pendidikan Islam diarahkan, agar pendidikan Islam tidak hanyut
terbawa arus modernisasi dan kemajuan IPTEK. Strategi tersebut merupakan
sebagian solusi bagi pendidikan Islam untuk bisa lebih banyak berbuat.
Kendatipun demikian, pendidikan Islam tentu saja tidak boleh lepas dari
Idealitas Al-Qur’an dan As-Sunnah yang berorientasikan kepada hubungan manusia
dengan Allah SWT. (Hablumminallah), hubungan manusia dengan sesamanya
(Hablumminannas) dan dengan alam sekitarnya.
Dari
ketiga orientasi tersebut, tampaknya hubungan dengan alam sekitar menjadi dasar
pengembangan IPTEK, sedang Hablumminallah menjadi dasar pengembangan sikap
dedikasi dan moralitas yang menjiwai pengembangan IPTEK, sedang Hablumminannas
menjadi dasar pengembangan hidup bermasyarakat yang berpolakan atas kesinambungan,
keserasian, dan keselarasan dengan nilai-nilai moralitas yang berfungsi
menentramkan jiwa manusia, sehingga terciptalah kedamaian.
Dengan
demikian apa dan bagaimanapun produk-produk hasil pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi akan senantiasa bernilai positif, serta mendatangkan kemanfaatan
bagi kehidupan manusia.
2.6
Analisis Lingkungan Eksternal Lembaga Pendidikan Islam
Analisis lingkungan eksternal berupa pencermatan dan
identifikasi terhadap kondisi lingkungan di luar organisasi yang dapat terdiri
dari lingkungan ekonomi, teknologi, sosial, budaya, politik, ekologi, keamanan,
kenyamanan, dan lain-lain pencermatan ini akan menghasilkan indikasi
menganai peluang (opportunities) dan tantangan (threas) organisasi dalam
mewujudkan tujuan dan sasaran organisasi.
Lembaga pendidikan Islam perlu menangani masyarakat
atau hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat. Kita harus menyadari
bahwa masyarakat memiliki peranan yang sangat penting terhadap keberadaan,
keberlangsungan bahkan kemajuan lembaga pendidikan Islam. Setidaknya salah satu
parameter penentu nasib lembaga pendidikan Islam adalah masyarakat. Bila
ada lembaga pendidikan Islam maju, hampir bisa dipastikan salah satu faktor
keberhasilan adalah keterlibatan masyarakat yang maksimal. Begitu pula
sebaliknya, bila ada lembaga pendidikan Islam yang memperihatinkan, salah satu
penyebabnya bisa jadi masyarakat enggang mendukung. Sikap masyarakat ini bisa
jadi akibat dari hal lain dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan Islam, baik
yang bersifat internal maupun eksternal.
Masyarakat memiliki posisi ganda dalam lembaga
pendidikan Islam, yaitu sebagai objek dan sebagi subjek yang keduanya memiliki
makna fungsional bagi pengadaan lembaga pendidikan Islam. Ketika lembaga
pendidikan Islam sedang melakukan promosi penerimaan siswa/santri dan mahasiswa
baru maka masyarakat menjadi objek mutlak dibutuhkan. Sementara itu respon
terhadap promosi itu menempatkan mereka sebagai subjek yang memiliki kewenangan
penuhuntuk mnerima tau menolaknya.
Selain itu hubungan sekolah dengan masyarakat
bertujuan antara lain sebagai berikut :
a. Memajukan
kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak.
b. Memperkukuh
tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat.
c. Menggairahkan
masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
d. Analisis
peranan pemerintah dan Yayasan
Dalam menghadapi kebijakan pemerintah yang dinilai
kurang berpihak pada pengembangan
lembaga pendidikan, pengelola harus mampu memiliki jiwa untuk berbesar dan
menanggung apa yang terjadi dikemudian hari terhadap terhadap kebijakan
tersebut.
Umumnya ketidaksesuaian kebijakan dengan apa yang
ada di atas kertas dengan apa yang ada di lapangan dikarenakan tidak adanya
kebijakan pendukung. Misalnya seperti penerapan kebijakan dalam menjalankan standar
nasional pendidikan dalam bidang proses pembelajaran seperti yang tertuang
dalam permendiknas No. 22,23 dan 24 tahun 2006, yang mengamanatkan agar sekolah
atau madrasah melaksanakan proses pembelajaran yang terencana dibuktikan dengan
adanya para guru yang membuat silabus dan RPP. Kebijakan ini sebenarnya adalah
langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pembelajaran yang
efektif. Namun awalnya kebijakan ini juga berjalan tersendak-sendak dikarenakan
ketika menerima kebijakan tersebut para pengelola madrasah merasa kelebihan
karena kebijakan tersebut tidak ditkuti dengan kebijakan pendukung seperti
pengadaan pelatihan pembuatan silabus dan RPP yang merata diseluruh Indonesia,
bantuan dana serta teknologi informasi dan komunikasi yang berkaitan dengan hal
tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 Lingkungan dalam
lembaga pendidikan Islam adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana
pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses
pendidikan yang berlangsung. Dalam berbagai kajian pendidikan, tidak banyak
yang mengemukakan pengertian lingkungan pendidikan Islam. Namun dapat dipahami
bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat
ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan
baik.
3.2 Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga-lembaga
pendidikan selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut: Rumah (al-bait), Masjid
dan Suffah, Al-kuttab,Surau, dan TPA, Madrasah, Al-Zawiyah, Al-Ribath, Al-Maristan,
Al-Qushur (istana), Hawanit al-Waraqin, Al-Shalunat al-Adabiyah, Al-Badiyah, dan
Al-Maktabat.
3.3 Sifat
dan Karakter Lembaga Pendidikan Islam, antara lain:
a)
Lembaga pendidikan islam bersifat holistic, terdiri dari lembaga
pendidikan informal, nonformal dan formal, b) Lembaga pendidikan islam bersifat
dinamis dan inovatif, c) Lembaga pendidikan islam bersifat responsive dan
fleksibel, yakni senantiasa menyesuaikan diri atau menjawab berbagai kebutuhan
masyarakat, d) Lembaga pendidikan islam bersifat terbuka, yakni dapat diakses
atau digunakan seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang
keahlian, status social, ekonomi, budaya dll. e) Lembaga pendidikan islam
berbasis pada masyarakat, f) Lembaga pendidikan islam bersifat religious.
3.4 Faktor-faktor eksternal yang
dihadapi lembaga pendidikan Islam, meliputi :
a)
Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam, b) Paradigma
birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan
sektoral dan bukan pendekatan fungsional. c) Paradigma masyarakat terhadap
lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. d) Posisi dan peran pendidikan
Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. e) Konformisme
kurikulum dan sumber daya manusia. f) Perubahan Sosial Politik. g) Perubahan
Orientasi. h) tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang masih alergi dengan
filsafat, i) Egosentris Ormas Islam.
3.5 Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
kebijakan Lembaga Pendidikan Islam antara lain Faktor Budaya, faktor adanya
kecenderungan perubahan sistem nilai untuk meninggalkan sistem nilai yang sudah
ada (agama), faktor adanya dimensi besar dari kehidupan masyarakat modern,
faktor Ideologi Negara, faktor Perkembangan Masyarakat, dan faktor Perkembangan
Ilmu Pengetahuan.
3.6 Analisis Lingkungan Eksternal
Lembaga Pendidikan Islam
Analisis
lingkungan eksternal berupa pencermatan dan identifikasi terhadap kondisi
lingkungan di luar organisasi yang dapat terdiri dari lingkungan ekonomi,
teknologi, sosial, budaya, politik, ekologi, keamanan, kenyamanan, dan
lain-lain pencermatan ini akan menghasilkan indikasi menganai peluang
(opportunities) dan tantangan (threas) organisasi dalam mewujudkan tujuan dan
sasaran organisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Altaf
Gauhar. 1996. Tantangan Islam dalam
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Raja Persada.
Bell,
Daniel, 1996. The Coming of Post
Industrial Society dalam Hasbullah, Kapita selekta pendidikan
Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Hasbullah.
1996. Kapita selekta pendidikan Islam.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
M.
Arifin. 1993. Kapita Selekta Pendidikan
(Islam dan Umum).Jakarta: Bumi Aksara.
Nata,
Abuddin. 2006. Modernisasi Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta : UIN JAKARTA PRESS.cet. I
Nata,
Abuddin. 2001. Paradigma Pendidikan
Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : Gramedia Widiasarana.
Nata,
Abuddin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam.
Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Nata,
Abuddin. 2005. Pendidikan dalam
perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press,
Noer,
Deliar. 1987. Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Mutiara.
Owens,
Edgar & Shawn, Robert. 1980. Pembangunan
Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rachmat,
Jalaluddin. 1989. Dalam Artikelnya “Islam
Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga”, dalam Ulumul Qur’an, vol. 2.
Zuhairini
dkk. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama.
Makasih, menambah khazah ilmu bagi pembaca
BalasHapus